Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Sabtu, 04 Mei 2013

Kebahagiaan Bukanlah Reaksi

Bukan Sorga Bukan Neraka

Kebahagiaan Bukanlah Reaksi. 

Selembar kertas yang dicelupkan ke dalam air niscaya akan basah. Ini sifat alami yang menunjukkan suatu reaksi sesuatu terhadap sesuatu yang lain. Nah, bagaimana halnya kalau seseorang dicelupkan pada suatu persitiwa atau keadaan ? Bila ada anggota keluarga yang meninggal, maka mereka yang ditinggalkan bereaksi secara mental dalam bentuk kesedihan. Air matanya bercucuran dan pikirannya menerawang. Apakah ini contoh rekasi mental terhadap sebuah keadaan ? Tampaknya memang ya, tetapi bila diteliti lebih lanjut, apa yang terjadi tersebut bukanlah reaksi mental. Kesedihan itu hanyalah petunjuk pada seseorang, bagaimana ia memahami peristiwa kematian itu.

Kasus lain bisa dipakai sebagai alat uji. Biasanya, jika orang yang mati pada usia muda, apalagi pernah berbuat jasa pada suatu komunitas kelompok atau lingkungan tempat tinggalnya, entah kepada keluarga, desa atau negara, maka akan memunculkan kesedihan lebih hebat orang-orang sekitarnya. Berbeda keadaannya bila yang meninggal adalah kakek uzur, maka kesedihan keluarga tidak separah peristiwa sebelumnya. Mungkin mereka menganggap si kakek sudah wajar meninggal, sudah umur.


Link Terkait Sorga dan Neraka


Ada contoh lebih ekstrim. Misalnya bila orang yang begitu dekat dengan  diri kita meninggal sebutlah pacar, saudara, anak, orangtua dan sebagainya, maka sudah pasti kesedihan itu begitu menusuk. Namun tengoklah bila seorang penjahat kehilangan teman

akrabnya yang tewas diterjang peluru polisi, bukankah kesedihan yang dialami tidak sepedih orang kebanyakan ? Semestinya, yang namanya reaksi akan menimbulkan efek sama terhadap kasus serupa. Sekali lagi ini membuktikan, bahwa kesedihan dan kegembiraan bukanlah reaksi mental melainkan suatu pertanda yang menjelaskan, bagaimana seseorang memahami sebuah keadaan atau situasi.

Cara pemahaman yang berbeda inilah yang menyebabkan orang bereaksi terhadap fenomena yang sama. Si penjahat sudah memahami kalau aktifitasnya beresiko fatal, sehingga memahami kematian dalam aksi kejahatannya sebagai hal lumrah, sehingga mereka tidak begitu sedih kehilangan temannya. Ini berbeda dengan orang kebanyakan yang memahami hidup sebagai suatu yang lempeng, damai, rukun dan sebagainya. Lantas tiba-tiba ada yang meninggal di tengah-tengah mereka, maka sudah tentu mereka kaget, shock, karena tetap saja kematian dianggap sesuatu yang luar biasa, Ini cara pemahaman yang berbeda. 
Baca Cara Menyadari Datangnya Kematian.

Demikianlah orang bisa saja berjingkrak-jingkrak kegirangan saat menang undian berhadiah mobil, karena memang sejak lama orang itu mendambakan punya mobil. Namun pada  kesempatan yang sama anaknya yang masih kanak-kanak juga berjingkrak-jingkrak kegirangan begitu melihat mobil hadiah itu tiba dirumahnya. Apa sebab ? Ternyata warna mobil hadiah itu kuning, si anak teringat dengan warna kotoran, sehingga dirasa lucu ada mobil berlumuran tahi.

Ini mengajarkan, bahwa suka cita, bahkan kebahagiaan merupakan misteri baru yang bukanlah disebabkan oleh faktor tertentu yang berlaku mutlak, tetapi bisa dipelajari tergantung bagaimana pikiran memformulasikan pengetahuan bagi dirinya. Faktor luar bukanlah input atau benih kebahagiaan maupun kesedihan. Semua faktor-faktor luar itu hanyalah objek yang pantas menjadi santapan pikiran untuk dikunyah, dipilah-pilah mana yang berguna dan membuang yang tidak bermanfaat.

Peristiwa ataupun penampakan yang terjadi diluar diri bukanlah 'barang jadi' yang sering kita sebut sebagai sebuah realitas. Keadaan di luar tersebut adalah fonomena netral dan baru menjadi realitas pada saat pikiran menafsirkan peristiwa atau objek pengamatan itu. Jadi realitas itu ada di otak, bukan di luar diri.

Peristiwanya berlangsung sebagai berikut; panca indra menerima sejumlah informasi dari luar diri kemudian mengirim penggalan-penggalan informasi itu ke otak. Otak mengolah data baru tersebut untuk dibandingkan dengan data yang masuk sebelumnya dan diolah berdasarkan cara pemahaman yang telah dianut sebelumnya. Pemahaman yang bersumber dari gudang kecerdasan terbatas ini ibarat cetakan yang siap mencetak setiap bahan baru (informasi baru) menjadi pengetahuan sesuai bentuk cetakan yang telah ada. Cetakan baru ini dikirim ke ulang memori sebagai produksi yang siap didistribusikan ke organ pengertian. Sebagai tindak lanjutnya, maka munculah sebuah tanggapan, misalnya; oh dia cantik, o di sana kurang aman, senyumnya menggoda, pelukannya menyakitkan, dan sebagainya.

Dalam praktek kehidupan sehari hari produksi pikiran berupa pengetahuan inilah yang disangka sebuah kebenaran dan sebagai kenyataan empiris, padahal sekali lagi itu hanyalah cetakan. Baik buruknya kualitas cetakan tergantung dari canggih tidaknya alat pabrik pembuat cetakan itu. Alat kecerdasan yang berkualitas akan sanggup memotret fenomena di luar diri hampir mendekati fakta sesungguhnya, sedangkan kecerdasan yang belum berkembang cendrung mengelabui fakta asli.

Kata orang, pengalaman adalah guru terbaik. Ungkapan ini tidaklah sepenuhnya benar, sebab pengalaman bukanlah sesuatu untuk siap pakai dan berguna praktis bagi kehidupan sehari-hari. Pengalaman  bersifat sama dengan teori realitas di atas. Satu peristiwa sama, dengan tempat sama dan waktu sama, bila dalam saat bersamaan ada sejumlah orang terlibat, maka mereka masing-masing memiliki pengalamannya masing-masing. Ada yang menjadi taku, yang lain merasa berkesan, yang lain bergembira, yang lain merasa jijik. Kecerdasan selalu menjadi kunci untuk menentukan sesuatu itu apakah sebagai pengalaman yang mengasyikan atau menyebalkan. Sayangnya kecerdasan bukanlah sejenis kepintaran yang bisa dikuasai dengan cara belajar di sekolah atau banyak membaca buku. Lebih dari semua usaha itu kecerdasan menuntuk invividu untuk merespon semua ilmu yang masuk melalui perenungan, sehingga intelek berkembang. Kebanyakan kasus yang terjadi sebaliknya, ilmu yang dipelajari kebanyakan memenjarakan intelek seseorang, karena yang bersangkutan terlalu percaya akan teori yang diajarkan sebauh cabang ilmu pengetahuan. Akibatnya inteleknya terkungkung pada kebenaran ciptaan orang lain dan sifak intelek yang biasa menjelajah sengaja dipasung oleh pemiliknya, karena menganggap sudah mendapat jawaban dari fenomena yang diamati. Salah membentuk cetakan kecerdasan, maka salah pula akal menafsirkan segala sesuatu, bahkan lebih parah akan memicu kesalahan dari emosi untuk bereaksi terhadap sebuah persitiwa atau pengalaman. Pengalaman bukanlah selalu guru terbaik, sebab dalam situasi tertentu pengalaman yang dibentuk oleh penafsiran kecerdasan yang keliru akan menyeret seseorang ke dalam kesesatan persepsi, menyeretnya kepada penderitaan sesungguhnya tanpa tunda.

Dunia di luar diri diibaratkan pemandangan besar dengan berbagai pernik yang menghiasinya. Seseorang yang berdiri memandangnya sebagai penikmat tidaklah menatap utuh objeknya dengan mata telanjang, melainkan dengan bantuan kaca mata. Celakalah orang yang menggenakan kaca mata pembesar milik tukang reperasi arloji bila digunakan untuk melihat seekor semut. Sebab semut tersebut akan tampak sungguh mengerikan dengan taring panjang berkilat bak monster siap mencabik. Begitulah orang yang merasa gembira atau sedih pada suatu kesempatan tergantung kaca mata kecerdasan melihat penyebab kesedihan itu.

Semuanya menyangkut seni kehidupan, sebab apa yang disangka nyata bisa jadi hal itu sekedar ilusi pemahaman. Apa yang dirasa sebagai kesenangan hanyalah tipuan, sebagaimana juga sifat dari penderitaan. Karena kebahagiaan maupun penderitaan bukanlah suatu rekasi mental atau emosi. Dengan demikian kebahagiaan atau penderitaan bukanlah sebuah kemestian yang tidak menyangkut-pautkan peran serta manusia.

Contoh terbaik untuk hal ini bisa kita pelajari saat sakit demam. Saat seperti ini bukankah semua makanan yang disentuh lidah terasa pahit ? Daging ayam gorang yang diolah dengan cara yang sama seperti hari sebelumnya tiba-tiba terasa pahit, mengapa bisa demikian ? Enak tidaknya suatu makanan tergantung dari kesehatan lidah dan tubuh secara keseluruhan. Demikianlah pengalaman hidup tidak bernilai dan berasa apa-apa, kecuali intelek ikut campur dan memberinya cita rasa sesuai tingkat kesehatan intelek masing-masing, sehingga munculah komentar 'penderitaan' dan 'kebahagiaan'.
Sumber bacaan buku
Bukan SORGA bukan NERAKA, Oleh Nyoman Putrawan, Penerbit Majalah Hindu Raditya, 2006

3 komentar:

  1. Selamat sore Pak Guru Eka , besok UN untuk anak2 didik bapak ya, semoga sukses dalam mengikuti UN dan terima kasih atas kunjungannya

    BalasHapus
  2. Informasi sangat Lengkap, dan tulisannya sangat detai, terima kasih telah berbagi. oh iya terima kasih juga atas kunjungannya salam kenal.

    BalasHapus
  3. terimakasih atas informasinya diartikel sobat sangat bermanfaat kawan

    BalasHapus

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive