Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Kamis, 02 Januari 2014

Siapa Yang Bisa Menghibur Lara Hati ?

Akibat perang saudara
Kurusetra Berdarah
KETIKA PERANG BERAKHIR

KETIKA perang berakhir, seluruh negeri Hastinapura berkabung. Semua wanita dan anak-anak menangis dan meratapi orang-orang terkasih dan terdekat mereka gugur di medan perang. Bersama ribuan wanita yang berduka, Raja Destarata menuju medan perang. Di padang Kurusetra, medan peran yang menghabisi jutaan nyawa, raja buta itu merenungkan mereka semua yang gugur. Dia menangis sesenggukan. Tapi apa gunanya air mata?

Kata Sanjaya kepada Destarata: "Paduka Raja, kata-kata penghiburan yang engkau berikan kepada mereka yang berduka tidak akan mengubah apa-apa. Ribuan raja dan pangeran telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk putramu. Sekaranglah saatnya untuk mempersiapkan upacara pemakaman yang pantas untuk mereka yang gugur."

Dengan berbagai macam cara Widura yang bijaksana mencoba menghibur raja buta itu. Katanya: "Tidak semestinya meratapi orang-orang yang gugur di medan perang. Ketika jiwa meninggalkan badan, tidak ada lagi hubungan persaudaraan, kekerabatan, atau persahabatan. Kau dan putramu tidak ada hubungan lagi. Hubungan itu sudah berakhir dengan kematian. Hubungan semacam itu hanyalah hubungan yang bersifat duniawi dan hanya sebuah peristiwa kecil dalam kaitannya dengan kehidupan abadi. Kita berasal dari ketiadaan dan akhirnya kembali pada ketiadaan. Tidak ada yang perlu ditangisi. Mereka yang gugur di medan perang akan diterima di surga sebagai tamu Batara Indra. Berduka karena kehilangan tidak akan mendekatkan kita pada Dharma, kekayaan, atau kebahagiaan."



Begawan Wiyasa
juga berusaha menghibur Destarata dengan lembut. Katanya : "Anakku, tida ada lagi yang tidak kau ketahui dan harus engkau pelajari dariku. Engkau sudah tahu bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Kata Batara Wisnu sendiri, perang yang baru saja usai ini membantu meringankan beban dunia. Itulah alasan mengapa bencana ini tidak bisa kita hindarkan. Mulai saat ini, Yudhistira adalah anakmu sendiri. Engkau harus belajar mencintainya. Dengan cara ini, beban hidupmu akan lebih tertanggungkan. Sudahlah. Jangan bersedih."

Berjalan di sela-sela para wanita yang meratap, Yudhistira mendekati Destarata dan menghaturkan sembah. Destarata memeluk Yudhistira, tapi pelukan itu tidak memancarkan cinta.
Kemudian, pelayan raja mengumumkan kedatangan Bimasena.
Kata Destarata : "Kemarilah."
Tapi Wasudewa bijaksana. Dengan lembut dia dorong Bima ke samping dan menyodorkan patung besi pada raja buta itu. Krishna tahu Destarata amat marah. Destarata memeluk patung itu kuat-kuat. Tiba-tiba di benak raja tua itu muncul pikiran bahwa orang inilah yang membunuh anak-anaknya. Amarahnya meluap sampai patung itu remuk dalam pelukannya.
Seru Destarata : "Aku tidak kuasa mengendalikan amarah. Aku telah membunuh Bima dengan meremukkan badannya."
Kemudian kata Krishna kepada raja buta itu : "Paduka Raja, aku sudah memperkirakan ini semua. Karena itu, aku halang-halangi maksud Tuanku. Sebenarnya engkau tidak membunuh Bimasena, tapi meremukkan sebuah patung besi. Semoga amarahmu telah lenyap dengan apa yang telah Tuanku lakukan pada patung itu. Bima masih hidup."

Maharaja tua itu akhirnya sadar dan memberikan berkatnya pada Bima dan para Pandawa. Kemudian para Pandawa menghadap Dewi Gandari.
Waktu itu, Begawan Wiyasa sedang bersama Dewi Gandari. Kata resi itu : "Oh, Paduka Permaisuri, jangan engkau marah kepada para Pandawa. Bukankah engkau sendiri pernah berkata : 'Di mana ada Dharma, di situ ada kemenangan' ? Demikianlah Pandawa sekarang. Tidak pantas membiarkan pikiran dikuasai masa lalu dan hati dikendalikan amarah. Engkau harus tabah menghadapi semua ini. "

Kata Gandari : "Begawan, aku tidak iri hati dengan kemenangan Pandawa. Memang benar, kematian putra-putraku membuatku gelap mata. Para Pandawa ini putra-putraku juga. Aku tahu Sengkuni dan Dursasana lah yang sesungguhnya menyebabkan kehancuran rakyat. Arjuna dan Bima sama sekali tidak bersalah. Harga diri mendorong mereka untuk terjun ke gelanggang perang dan putra-putraku pantas menemui takdir mereka. Aku tidak menyesali semua itu. Tapi kemudian, dengan kehadiran Wasudewa, Bima menantang Duryudana untuk bertarung. Mereka bertarung. Karena tahu Duryudana lebih kuat dan tidak mungkin dikalahkan dalam pertarungan satu lawan satu, Bima memukul dibawah perut dan membunuhnya. Wasudewa hanya melihat dan tidak mencegah. Itu jelas menyalahi Dharma. Sungguh sulit bagiku untuk memaafkannya."

Bima yang mendengar percakapan itu mendekat dan berkata : "Ibunda, aku lakukan semua itu untuk membela diri. Apakah itu benar atau salah, engkau dan aku harus menanggung akibat perbuatan itu. Dalam pertarungan satu lawan satu, putramu tidak mungkin dikalahkan dan aku melindungi diri dengan perbuatan yang memang jelas salah. Putramu mengundang Yudhistira untuk bermain dadu dan menjebaknya. Berkali-kali putramu berbuat jahat pada kami. Dia tidak akan mengembalikan kerajaan kami yang dia rampas secara tidak sah. Dan engkau tahu apa yang dia lakukan pada Drupadi yang tidak berdosa. Jika kami membunuh Duryudana seketika itu juga ketika dia melakukan perbuatan dosa itu tentunya engkau tidak akan menyalahkan kami. Karena terikat oleh sumpah Dharmaraja, kami menahan diri dengan susah payah. Setelah sumpah itu berakhir kami ingin memulihkan kehormatan. Tidak ada pilihan lain. Kami harus merebut apa yang menjadi hak kami melalui perang. Ibunda, mohon maafkan aku."
Kata Gandari : "Anakku, seandainya engkau sisakan satu saja dari seratus anakku, aku dan suamiku yang sudah tua ini masih punya anak pelipur duka. Di mana Dharmaputra? Panggil dia!"
Yudhistira gemetar mendengar kata-kata Dewi Gandari. Dengan tangan menyembah, Yudhistira menghadap Gandari yang menutup matanya dengan sehelai kain. Gandari bersumpah tidak akan melihat dunia sebagai bentuk kesetiaan pada suaminya yang buta. Yudhistira menunduk takzim di depan Gandari dan katanya pelan : "Permaisuri, inilah aku Yudhistira yang jahat, yang telah membunuh putra-putramu menghadap. Kutuk dan hukumlah aku yang telah berbuat dosa besar. Aku tidak peduli lagi pada hidup dan kerajaanku." Setelah berkata demikian, dia menjatuhkan diri. Dia pasrah dan bersujud di kaki Gandari.

Gandari mengambil nafas panjang dan berdiri. Lidahnya kelu. Ia palingkan wajahnya dari Yudhistira. Dia tahu jika matanya bisa melihat menembus kain ke arah badan Yudhistira, badan itu akan terbakar menjadi abu. Tapi dari celah bagian bawah kain penutup matanya, dia bisa melihat ibu jari kaki Dharmaputra. Seketika itu juga, kata sang pengarang Mahabharata, jari kaki itu terpanggang dan meninggalkan tanda hitam.

Arjuna tahu kekuatan amarah Gandari yang sedang berduka. Dia segera menyembunyikan diri di belakang Wasudewa. Dewi Gandari yang bijaksana dan baik budi berusaha mengendalikan amarahnya. Dia memberikan berkatnya kepada para Pandawa dan menyuruh mereka menghadap Kunti.

Kepada Drupadi yang berduka karena kehilangan anak-anaknya, Dewi Gandari berkata : "Anakku, jangan engkau berduka. Siapa yang bisa melipur hatiku dan hatimu? Karena kesalahanku bangsa besar ini musnah."

Sumber bacaan buku Mahabharata dan Ramayana, Kitab Epos Terbesar Sepanjang Masa oleh C.Rajagopalachari. (RANBB)
insert picture Kurusetra Berdarah oleh Adi Suta https://www.facebook.com/artadisuta

4 komentar:

  1. selamat Pagi Sob... kalau hati saya lara biasanya saya tumpahkan dengan bermain gitar atau membuat Puisi tentang perasaan hati...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Paling asik kalo bisa gitaran ... suka gembira ataupun sedih bisa disampaikan lewat gitar ... apalagi ditambah bikin puisi ... klop deh .. tinggal ke dapur rekaman aja kawan..

      Hapus
  2. Selamat Tahun Baru 2014 bli... Mari kita jadikan makna kisah kelaraan Drestarata untuk introspeksi diri, perbaikan karma ke depan... astungkara kita Selalu sehat dan sukses....

    BalasHapus

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive