Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Kamis, 03 Juli 2014

Mengukur Keberhasilan Tri Hita Karana

Bunga Bali
Kembang Sarana Upacara
TRI HITA KARANA
Sesungguhnya belum waktunya kita berbangga ria melihat penerapan Falsafah hidup Tri Hita Karana dalam bentuk konteks pembangunan di Bali. Karena berbagai ketidak seimbangan dalam berbagai bidang kehidupan masih meraja lela di Bali. Kalau sebatas niat memang patut kita acungkan jempol. Pemda Bali dengan semua jajarannya sangat berniat untuk mewujudkan Tri Hita Karana. Perda dengan berbagai implementasinya pun sudah digelar. Bagaimana hasilnya sebaiknya kita perlu berhati-hati menilainya. 


Ada pejabat mengatakan bahwa Tri Hita Karana di Bali bukan hanya sebatas wacana namun sudah terwujud dari sejak jaman dahulu. Pernyataan seperti itu wajib kita cermati dengan realita yang ada. Pejabat selama menjabat memang sangat cendrung menyatakan berbagai bidang selalu sukses. Tetapi kalau sudah tidak menjabat omongannya pun sering berbalik. Hal itu dilakukan agar ia dapat berbangga ria dengan pernyataan itu. Pernyataan itu hanya untuk menyenang-nyenangkan diri sang pejabat dan orang lain untuk mendapatkan pujian yang sesungguhnya palsu.

Baca Juga  Ajeg Bali Kesejahteraan Semu.




Pernyataan sukses itu sering dijual ke atas, kesamping maupun ke bawah oleh sang pejabat untuk tujuan-tujuan yang sempit. Untuk menilai bahwa Tri Hita Karana sudah terwujud dengan baik dalam masyarakat perlu ditentukan terlebih dahulu tolok ukur yang dijadikan dasar acuan untuk menilainya. Misalnya menilai hubungan manusia dengan Tuhan. Dapatkah hubungan manusia dengan Tuhan dinilai sudah sukses karena banyaknya Pura yang dibangun dan direnovasi. Atau diukur dari banyaknya rakyat mengeluarkan duit untuk kepentingan upacara Agama. Konon di Bali setiap tahun umat Hindu menghabiskan tiga setengah triliun rupian lebih untuk kepentingan upacara Agama.

Mungkin dari segi ekonomi bagus karena banyaknya uang beredar di masyarakat bawah. Namun dari segi pembenahan moral dan mental masyarakat perlu kita telusuri. Sudahkah nilai-nilai Agama yang dikandung oleh upacara Agama itu teraplikasi dalam kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Bahkan nampaknya masih banyak umat tidak mengerti apa makna suatu Upacara Agama dilangsungkan.

Baca Juga Hari Raya Hindu, Bukan Sekedar Seremonial

Pura yang banyak itu sudahkah digunakan dengan tepat untuk membina umat. Kalau Pura hanya digunakan saat ada Odalan atau Hari Raya Agama untuk melangsungkan Upacara belumlah patut kita berbangga ria. Karena fungsi Pura bukan hanya untuk Upacara semata. Pura umumnya memiliki jaba Sisi, Jaba Tengah dan Jeroan Pura. Hal ini belum difungsikan secara benar. Bahkan Jaba Sisi lebih banyak digunakan untuk menggelar judian dalam bentuk sabungan ayam, dan bentuk-bentuk judian lainnya.


Sudahkah sebagian besar umat melakukan hubungan dengan Tuhan sesuai dengan petunjuk Ajaran Agama Hindu yang dianutnya. Seperti Tri Sandhya, sembahyang Purnama-Tilem dan lain-lain. Meskipun mengukur hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak bisa diukur dari hubungan formal seperti itu. Dalamsatu persoalan saja seperti hunungan manusia dengan Tuhan kita akan banyak sekali menemukan sealita yang masih jauh dari idealisme Tri Hita Karana. Oleh karena itu belumlah waktunya kita berbangga-bangga. 

Orang yang mudah berbangga-bangga itu cepat berpuas diri dan ujung-ujungnya sering menjadi sombong. Dari berpuas diri dan sombong kita bisa lengah dan lemah menghadapi berbagai persoalan yang masih membentang di hadapan kita. Kelengahan dan kelemahan ini merupakan awal dari kegagalan. Karena itu bangga yang berlebihan (dambhah) dan sombong (darpah) tergolong sifat-sifat Asura menurut BhagawadGita XVI.4. Membanggakan diri secara berlebihan dapat menimbulkan sikap untuk mengganggap rendah pihak lain. Menganggap orang lain lebih rendah dengan diri merupakan suatu bibit permusuhan yang tersembunyi.

Menurut ajaran Rwa Bhineda semua ciptaan Tuhan di kolong langit ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bentuk kelebihan dan kekurangan itu berbeda-beda. Setiap kita merasa memiliki kelebihan hendaknya juga kita serius meneliti kekurangan kita. Dengan sikap seperti itu kita akan dapat mencegah timbulnya sikap takabur. Karena sikap takabur seperti itu kita bisa mandeg untuk mengembangkan proses perbaikan diri karena sudah menganggap diri berhasil. Oleh karena itu janganlah dulu berbangga ria tentang penerapan Tri Hita Karana di Bali.

Masih banyak bolong-bolongnya. Marilah kita kerja terpadu untuk menutup bolong-bolong itu. Persoalan yang sudah demikian menggejala jangan lalu disebut hanya kasus kecil saja. (seperti Reklamasi Benoa - red). Jangan karena kegiatan Adat dan Agama yang lebih menonjolkan hura-hura itu sudah kita menganggap Tri Hita Karana sudah berjalan mulus. Sumber bacaan buku Mengapa Bali Disebut Bali oleh Drs. I Ketut Wiana. (RANBB).

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive