Minggu, 26 September 2010

Sarasvati dan Teori Kecerdasan Ganda

Dewi Saraswati
Satu lagi keistimewaan sang Ibu Sarasvati yang dapat kita temukan dalam figurnya adalah mengenai korelasinya dengan teori kecerdasan ganda. Teori ini dikemukakan pada 1999 oleh Howard Gardner, seorang psikolog kelahiran Amerika Serikat yang banyak bergelut di bidang intelegensi. Ia menyatakan bahwa setiap individu memiliki keunikan, dan sedikitnya terdapat tujuh macam kecerdasan dalam seorang individu. 

Kecerdasan yang beraneka ragam itu pasti ada dalam setiap individu dan membedakannya dengan individu lain, dan oleh sebab itu tidak ada individu yang bodoh, semua berpotensi untuk menjadi cerdas dengan meningkatkan kecenderungan kecerdasannya itu. 

Seorang individu bisa saja pintar dalam matematika, tetapi kurang dalam musik, demikian pula sebaliknya, seorang individu sangat pandai mengutarakan pendapatnya secara lisan, sementara yang lain lebih baik dengan jalan tertulis. Hal itulah yang disebutnya sebagai Teori Kecerdasan Ganda “Multiple Intelligence”.


Gardner menyimpulkan bahwa terdapat sedikitnya tujuh jenis kecerdasan pada seseorang.  Ia mengategorikan ketujuh kecerdasan tersebut menjadi tiga. Dua yang pertama adalah yang biasa dinilai di sekolah-sekolah; tiga jenis lagi biasanya dikaitkan dengan seni; dan dua jenis terakhir disebutnya sebagai “kecerdasan personal” (Gardner dalam mark K. Smith. 2002). Ketujuh jenis kecerdasan tersebut adalah sebagai berikut.

1.    Kecerdasan Linguistik (bahasa)
Adalah kecerdasan untuk membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata atau bahasa. Penulis, penyair, orator, dan debator adalah contoh orang yang memiliki kecakapan linguistik.

2.    Kecerdasan Logis-Matematis
Adalah kecerdasan untuk berpikir (bernalar), berhitung, serta bepikir logis-matematis. Kecerdasan ini terutama terdapat pada matamatikawan, insinyur, akuntan, dan detektif.

3.    Kecerdasan Visual-Spasial
Adalah kemampuan untuk berpikir menggunakan gambar. Orang dengan kecerdasan visual-spasial tinggi dapat menentukan arah dengan tepat dan tidak mudah tersesat. Pelaut, pelukis, fotografer, dan arsitek memiliki kemampuan ini.

4.    Kecerdasan Musikal
Adalah kemampuan menggubah atau mencipta musik, memahami nada-nada, dan dapat menyanyi dengan baik.

5.    Kecerdasan Kinestetik-Tubuh
Adalah kemampuan untuk mengolah tubuh dengan baik untuk memecahkan masalah, meluapkan emosi, atau menciptakan sesuatu. Ahli bedah, aktor, dan olahragawan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan kinestetis.

6.    Kecerdasan Interpersonal
Adalah kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain. Orang dengan kecerdasan interpersonal memiliki empati yang tinggi dan mudah berteman dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki kemampuan interpersonal adalah doplomat, wartawan, politisi, dan pemuka agama.

7.    Kecerdasan Intrapersonal
Adalah kemampuan untuk menganalisis diri sendiri. Orang dengan kecerdasan intrapersonal memiliki intuisi yang tinggi dan memiliki kata hati yang tajam serta mampu merenungi diri sendiri. Kemampuan ini biasanya dimiliki oleh filosof, guru spiritual, dan pembimbing.



Gardner menambahkan jenis kecerdasan baru yaitu kecerdasan naturalis yang mana adalah kemampuan untuk berkorelasi dengan alam dan menjadi selaras dengannya. Kemampuan ini dimiliki oleh ahli biologi dan pecinta alam.

Setiap orang yang normal memiliki derajat setiap jenis kecerdasan yang bervariasi (Colin Rose dan Malcom J. Nichols, 2002 : 61). Akan tetapi, seluruh jenis kecerdasan tersebut berbaur dan menyatu dalam proses kehidupan seorang individu. Ada satu atau beberapa jenis kecerdasan yang lebih menonjol pada masing-masing individu dan dengan kecerdasan tersebutlah seharusnya ia belajar. 

Barangkali konsep tiada seorang pun yang bodoh ini telah dikenal sejak zaman dahulu dengan figur-figur Sarasvati sebagai ibu yang menarik bagi siapa pun. Kembali kita harus melihat secara lebih cermat dan dalam terhadap figur-figur Sarasvati, — mengapa Ia dinyatakan mewakili seluruh kecedasan dalam teori ini. 


Pertama, kecerdasan linguistik. Kecerdasan linguistik dinyatakan dengan atribut lontar. Lontar telah dinyatakan berkali-kali sebagai media menulis. Menulis  tidak semudah berbicara. Menulis memerlukan kerangka berpikir yang terstruktur, baik dari umum ke khusus atau sebaliknya. Dalam menulis diperlukan kemampuan berbahasa yang praktis, sistematis, lugas, dan tepat makna. Dengan kata lain, menulis memerlukan suatu keterampilan khusus. Untuk itu atribut lontar sebagai media tulis mewakili kemampuan linguistik seseorang. 
Kedua, kecerdasan logis-matematis dinyatakan dengan atribut japamala. Japamala memiliki 108 butir yang jika digunakan dalam meditasi atau japa dihitung berturut-turut dengan tangan. Hal ini mengasosiasikan kemampuan berhitung dan berpikir (bernalar) secara cermat sebagai ciri khas orang berkecerdasan logis-matematis. 
Kecerdasan ketiga yaitu kecerdasan visual-spasial, yaitu kemampuan untuk mengenali arah dengan baik. Dalam figur Sarasvati terdapat bunga teratai atau bisa juga lotus sebagai alas duduk Beliau. Teratai atau lotus juga terkadang dipegang di salah satu tangan. Teratai memiliki daun bunga yang mengembang ke segala arah. 
Dalam literatur Hindu, dikenal adanya Padmastadala atau lotus berdaun bunga delapan sebagai lambang Devata Navasangga. Devata Navasangga adalah penjaga kedelapan penjuru mata angin, termasuk Siva di tengah-tengah. Selain itu, bentuk teratai yang bundar dengan banyak helai mahkota bunga melambangkan kesimetrisan dan kekompleksan bentuk. 
Jadi, atribut teratai tersebut melambangkan arah dan juga bentuk yang rumit, simetris, dan kompleks, di mana jika dikaitkan dengan ketujuh kecerdasan akan mewakili kecerdasan visual-spasial. Keempat adalah kecerdasan musikal, atau kemampuan untuk mengenali, menyanyikan, dan menggubah musik. Dalam hal kecerdasan ini, atribut vina adalah alat yang sangat tepat mewakili kecerdasan ini. 
Kecerdasan kinestetis-tubuh dapat diinterpretasikan dari empat lengan Sarasvati yang menyiratkan kemampuan untuk mengolah tubuh secara maksimal. Akhirnya, dua kecerdasan terakhir, yaitu kecerdasan interpersonal dan intrapersonal dilambangkan dengan wajah Sarasvati yang memikat. Kecantikan-Nya, selain memikat orang-orang untuk datang ke arah-Nya, juga menyimpan inner beauty ‘kecantikan dalam’.
Kecerdasan interpersonal mengarah ke luar, sedangkan kecerdasan intrapersonal mengarah ke dalam diri. Seperti kecantikan Sarasvati: kecantikan wajah Beliau yang memancar ke luar dan kecantikan dalam berupa kecantikan ilmu pengetahuan yang dikuasai di dalam diri.

Mengenai kecerdasan terakhir, atau kecerdasan naturalis dapat dianalogikan sebagai telaga tempat Ibu Sarasvati biasa menghabiskan waktu. Kadang Ia juga digambarkan duduk di hutan yang rindang sebagai sahabat alam. Analogi ini juga dapat diartikan bahwa manusia seharusnya mengembangkan kecerdasannya dengan tidak mengabaikan kesejahteraan dan kelestarian alam. Kecerdasan hendaknya bertujuan untuk menjaga dan melestarikan alam, bukan hanya untuk mengeksploitasinya. 


Dua kecerdasan pertama, yaitu kecerdasan linguistik dan logis-matematis adalah dua jenis kecerdasan yang sering mengecoh penilaian pendidik terhadap anak didiknya. Pendidik sering melupakan aspek-aspek lain dari anak yang jika dipicu akan membuatnya sukses dalam bidang itu. Eksistensi anak di bidang lain tersebut kadang tidak dikenali dan diabaikan oleh guru, sehingga anak merasa tidak berguna. 

Pendidikan dan konsep kecerdasan ala figur Ibu Devi memiliki perspektif yang hampir sama dengan konsep ilmuwan masa kini. Ini menandakan sekali lagi kajian ilmu filsafat Veda yang sangat dalam. 

Sayangnya para vedantist (istilah Svami Vivekananda untuk pemeluk Hindu, atau orang-orang Veda) belum mau (atau mungkin tidak mau) menggali dan mempelajari kebijaksanaan Veda secara lebih serius. Banyak konsep keilmuan modern diambil dari Veda yang mahaluas, dan sayangnya yang aktif melakukannya adalah para sarjana barat. Lalu, apakah ini juga berarti Howard Gardner terinspirasi dari Ibu Sarasvati dalam merumuskan teori kecerdasan gandanya?
Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba
Mandalakawi Virtual Ashram, santikatmaka ring asing kawya

Senin, 13 September 2010

5 Sarananing Upakara Umat Hindu

Sane  pinih mabuat maka sarananing upakara inggih punika "Bebanten" . Maka dasar pelakaran bebanten punika tan lian ring busung, ron, taler wenten ngangge rontal saha don-donan minakadi plawa, sirih (base), endongan mwah saka luir ipun.
 
Rarasmene, raka-raka sahaning buah minakadi salak, pisang, manggis mwah lian-lianan madaging labha sekadi ulam segara, taluh, ulam daging saha kacang-kacangan lan saur. Maka murdha bhawaning canang bebanten merupa Sekar, Tirtha, Api utawi Dupa, Bija saha Kwangen. 


Punika sami inolah antuk sang Krtyajna (skillful in ritual) inggih lumbrah sinengguh Tukang Banten gumanti mategep-tegep rupannyane sami pada "maadan".

Wenten bebanten "pejati mwah pesaksi" wenten "tataban", "dapetan" wenten bebanten penyucian "biakaon,durmangala, pelukatan sami pada masoroh-soroh matanding masusun rawit nganutin Seni Budaya Baline.
 
Makweh pisan yan bawosang tan keni winilang. Sang Krtyajna ugi sane pascad uning ring pengiketing Rerasmen bebanten saha tetandingan ngeraris rauhing sesuduk daging tattwan ipun.



 
Ring ajeng sampun sinahang titiang antuk maka murdha bhawaning serana canang bebanten marupa Sekar, Tirtha, Api (dupa) Kwangen lan Bija. Punika mawinan yen pacang ngagem sembah ring Ida Hyang Widhi Wasa, mabhakti ring jeng Ida Batara-Betari tan maren majalaran antuk Sekar, Tirtha, Dupa/Api, Kwangen mwah Bija saha canang utawi kedulirin antuk canang bebanten.

Mebhakti pada Ida Hyang Widhi patut kalaksanayang ri antuk saterehing wong Bali rajya puniki nyungkemin Agama sane kabawos Agama Hindu wiadin Hindu Dharma. Saterehing wong me Agama wenang nyungkemin Ida Hyang Maha Tunggal, nanging sewos Agama taler sewos tata caran ipun. Asapunika taler seranan ipun. Yen ri sengkering Agama Hindu serana sane mabuat samkadartayang ring ajeng inggih punika;

Sekar, Tirtha, Api/Dupa. Becik yan tambehin antuk Kwangen lan Bija.
 
 
1. Indik Tirtha
Sane kabawos Tirtha inggih punika Toya sane sampun gumanti kasuciang sinalih tunggil antuk Weda mantra utawi mapinunas ring genah wiadin sthanan Ida Hyang Maha Suci. Matirtha manut Agama Hindu, tetuweknyane pacang amerih kesucian sekala niskala ri antuk Tirtha Suci puniki mresidayang ngicalang shananing mala mwah leteh. Yen upamayang titiang Tirtha punika tan pendah kadi "besi sembrani" harepe ring sang oneng matritha pinaka "besi" suwening asuwe besi punika pacang medaging sembrani. Asapunika taler i manusa pacang prasida nemu kasucianing Tirtha.
 
2. Indik Api utawi Pedupan
Ring bhuwana Agung wenten api sane tan petandingan antuk ageng mwah bhawannyane. Panesnyane tan wenten nyaminin. Punika api utawi agni Maha Agung, boya sewos ring Sang Surya sane nyinarin Jagate sami. Sahaning tumuwuh ring jagate puniki kasunarin antuk tejan api punika. Kukusnyane anglayang ring akasa ngebekin langit. Punika pinaka tali pengiket kahuripan i manusa mantuka ring Ida Hyang Maha Wisesa ring akasa.
Ka utaman Api punika, yogya ngicenin sesuluh rikala peteng, lamakane i manusa sida amangguh saka luir prayojanan ipun. Api prasida ngicalang utawi nyirnayang sekancan malane. Punika mawinan Api, Agni dados maka saksi seluir upakara/upacara mantuka ring pangagem Agama Hindu puniki.
 
3. Indik Sekar utawi BungaSekar utawi Bunga merupa aturan sane metu saking kesucian angen mantuka ring Ida Hyang Widhi Wasa. Ri antuk punika cihna kesucian angen wenang katur sekancaning sekar arum. Asapunika pari indik pengagem Agama Hindune ngangge sekar maka serana bhaktine ring Ida Hyang Widhi.
 
4. Indik Kewangen
Palakaran Kewangen sampun tan wenang inucap malih ri antuk sami pada wikan, uning ring sane mawasta Kewangen. Ipun merupa kojong antuk daun pisang madaging plawa mwah papayasan bunga saha peporosan sane mawasta 'silih asih" antuk daun sirih kalih bidang. madaging kapur mwah pinang magulung, nyantos pakantenannyane mabasang-matudun; malih madaging jinag bolong kalih bidang (duang keteng).
 
Wenten mawosang Kewangen punika cihna (simbul) Ongkara. Kojong punika batis inggih punika angka tiga; potongan kojong ring duwur pinaka Ardha Candra; jinah bolong pinaka Windu; mwah sekar, daun plawa mapinda pinaka Nada.

Manut Agama Hindu, ngaturang sembah ngangge Kewangen mantuka ring Ida Sanghyang Widhi, mangda Ida mapaica panugrahan. Pawayangan Ida marupa Pradhana - Purusa utawi Ardhanareswari. Sahananing yadnya midep ngangge Kawangen, nanging soang-soang pengaptine mabina-binayan.

5. Indik Bija 
Bija taler kawastanin Gandaksata teges ipun buah padi-padian, galih sane wangi ambunyane. Sesampune matirtha, ktah ipun raris polih bija, deketang ring gidat inggih punika ring selaning lelata pinaka Trinetra (matane kaping tiga) mwah ring pelengan kiwa tengen saha wenten sane katunas (katda) utawi ajeng inggih "uluh" (bhs. Bali Lumbrah)
Sesuduknyane; polih panugrahan, dados wicaksana sida nyingakin antuk Trinetra, Wibawa tan keneng Bhaya pataka.

Dresta Sima Agama olih I Gusti Agung Oka, Denpasar 1994

Rabu, 01 September 2010

Umat Hindu Bangga Beragama Bumi

Mengapa mesti malu beragama bumi karena kita tinggal di bumi;
sementara agama langit masih menggantung di awan-awan yang tidak tetap adanya...

Orang Hindu dikenal sebagai orang yang cinta damai, penuh pengertian, jujur, dan penolong. Sifat-sifat ini dipengaruhi oleh ajaran Hindu itu sendiri yang menekankan kepada konsep ahimsa, prema, shanti, dan satya. Oleh karena itu, di mana pun orang Hindu berada, ia akan selalu membawa kedamaian bagi masyarakat sekitarnya. Bukan hanya itu, makhluk lain seperti binatang dan tetumbuhan pun ikut merasakan kedamaian karena manusia Hindu turut mencurahkan kasihnya kepada alam sekitar dalam konsep-konsep filosofi yang adiluhung: Tri Hita Karana.


Mengapa filosofi Hindu begitu luhur dan mencakup kesejahteraan seluruh makhluk hidup? Jawabannya sederhana: karena Hindu adalah agama Bumi.
Sebelum beranjak ke paparan selanjutnya, ada baiknya kita mengetahui istilah agama langit dan agama bumi. Ngakan Made Madrasuta dalam bukunya Saya Beragama Hindu mengutip beberapa penggolongan agama yang dibuat subyektif oleh pihak-pihak tertentu. 



Salah satu diantaranya adalah agama samawi (langit) yang berasal dari wahyu Tuhan, dan agama alamiah (bumi) yang berdasarkan kepada renungan manusia/buatan manusia. Agama Hindu sendiri, dalam golongan itu dimasukkan dalam agama buatan manusia (agama bumi).

Ketika ini menjadi polemik, beberapa kalangan umat Hindu yang berpendidikan mulai mengajukan protes etis. Dikatakan etis karena kita (bagian dari mereka) menggunakan media komunikasi tertulis untuk melawan anggapan itu. Terbitlah buku-buku yang berisikan pertentangan-pertentangan atas tuduhan bahwa Hindu adalah agama bumi, dan perang media pun dimulai. Keributan memang syukur tidak terjadi berupa demonstrasi atau aksi anarkis lain. 

Namun, perang media ini juga sebenarnya tidak perlu terjadi kalau kita menerima dengan lapang dada (sekaligus bangga) bahwa agama Hindu memang adalah sebuah agama bumi.

Jangan salah sangka dulu. Aksi perang untuk mempertahankan nama suci agama adalah sungguh mulia, apalagi perang media yang lebih mengutamakan kekuatan pikiran daripada kekuatan fisik. Namun, ada baiknya kita kembali kepada filsafat kita sebagai orang Hindu yang tabah, penuh pertimbangan, dan bijaksana dalam menghadapi hal ini.

Suatu agama, ketika ia diturunkan adalah abstrak. Agama apa pun sebenarnya adalah agama wahyu, sekalipun ada agama yang berdasar kepada renungan manusia suci (enlightened human). Dikatakan begitu karena setiap individu adalah percikan Tuhan (atma) yang memiliki potensi, pengetahuan, dan kesadaran yang sama dengan sang pencipta. Jika manusia secara konsisten menyadari eksistensinya sebagai atma, maka ia akan memperoleh pencerahan. Singkatnya, seluruh pengetahuan dan pencerahan datangnya dari sang diri (atma) yang sumbernya dari Tuhan (paramatma).

Kembali ke masalah agama bumi. Wahyu Tuhan yang abstrak kemudian disusun sedemikian rupa oleh manusia yang terpilih untuk itu (Rsi, Nabi) dan meng-konkret-kannya dengan cara membaurkannya dengan budaya, lingkungan, serta karakteristik manusia yang hidup di sana. 

Dengan kata lain, agama itu dibumikan. Jadi, agama yang berupa wahyu Tuhan harus terlebih dahulu disesuaikan dengan kondisi alam dan masyarakat tempat di mana agama itu berada sehingga dapat dimengerti dan diaplikasikan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, jika kita melihat contoh Hindu, satu wilayah akan berbeda pelaksanaannya dengan wilayah lain.

Agama yang telah dibumikan adalah agama yang sudah nyekala, bukan lagi niskala. Agama yang dibumikan ini telah memiliki aturan-aturan, filosofi, etika, dan tata upacara konkret yang disesuaikan dengan keadaan alam dan sosial. Agama Hindu sendiri adalah agama yang telah dibumikan, sehingga ajaran-ajarannya, filosofinya, serta tatanan kehidupan beragamanya telah meluruh dan melekat dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya. 

Ajaran-ajaran Hindu yang telah membumi ini menawarkan cara-cara dan aturan luhur tentang bagaimana menjaga keharmonisan antara alam, manusia, dewata, leluhur, Tuhan, dan bahkan dengan kekuatan alam (para bhuta kala). Karena  manusia tinggal di bumi, maka ia harus hidup selaras dengan bumi. Unsur-unsur pembentuk tubuh manusia sama dengan unsur-unsur pembentuk bumi. Jadi, jika bumi tidak harmonis, maka keharmonisan juga tidak akan datang kepada manusia yang mendiaminya.

Singkatnya, banggalah beragama Hindu: sebuah agama bumi yang menawarkan ajaran-ajaran luhur tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap tempat di mana kita hidup. Terbukti kini bahwa konsep Hindu diterima secara universal karena ia mengajarkan keharmonisan dengan alam. Lihatlah contoh the silent day yang diangkat dari konsep Nyepi di Bali. Contoh lain berupa ilmu yoga dan vegetarianisme yang terbukti dapat meningkatkan umur dan kesehatan manusia jauh melampaui obat-obat mana pun. 

Itu semua karena Hindu adalah sebuah agama yang memang dibumikan untuk manusia yang tinggal di bumi. Ia juga adalah agama langit karena mencakup keberadaan dewa-dewa, malaikat, pitara, makhluk suci seperti widyadara dan carana, para rsi agung, hingga para asura yang kejam. Mari saudara sedharma, kembali kepada jati diri kita dan hentikan perang yang tidak berguna ini. Toh, jika mereka beragama langit, itu artinya mereka masih di awang-awang

Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba
Mandalakawi Virtual Ashram, santikatmaka ring asing kawya