Selasa, 27 Desember 2011

Mitologi Dalam Bale Gading : Potong Gigi

sanghyang semara ratih
Bale Gading Semara Ratih
Bale gading merupakan kelengkapan upakara berupa bangunan yang berbentuk persegi empat seperti gedong yang dibuat dengan bambu yang berwarna kuning (tiying gading) memiliki atap serta dihias dengan hiasan serba kuning berupa bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya seperti pengider-ider, dan pajengan dibuat dengan warna serba kuning.

Kutipan cerita dibawah ini merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. 

Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan. Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.
bale gading potong gigi
Dewa Kama dan Dewi Ratih

Diceritakan terbakarnya Sanghyang Semara dan Dewi Ratih oleh sinar mata ketiga dari Bhatara Siwa karena berani menggoda beliau pada saat Bhatara Siwa sedang bersemadi. Diceritakanlah bahwa sorga sedang diserang oleh raksasa Nilarudraka, seorang raksasa yang sakti ingin menguasai sorga. Para dewa-dewa semuanya kalah tidak ada yang sanggup melawannya.

Akhirnya para dewa-dewa datang menghadap Bhagawan Wraspati untuk menanyakan dan meramalkan siapa yang akan sanggup mengalahkan raksasa tersebut. Akhirnya hasil ramalan ternyata bahwa raksasa Nilarudraka hanya akan dapat dikalahkan oleh putranya Bhatara Siwa yang berkepala gajah.

Ternyata pada saat itu Bhatara Siwa belum berputra di samping itu beliau sedang bersemadi (bertapa), yang tidak ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya. 

Namun oleh karena keadaan mendesak, maka para Dewa-Dewa memutuskan bahwa akan membangunkan Bhatara Siwa, dan Dewa yang akan ditugaskan untuk membangunkan beliau adalah Dewa Semara atau Dewa Kama. Walaupun tugas tersebut penuh resiko, namun dilaksanakan juga oleh Bhatara Kama, demi kepentingan para Dewa-Dewa semua dan sorga yang sedang terancam.

Demikianlah Dewa Kama dengan diantar oleh para Dewa-Dewa menuju Gunung Kailasa, tempat Bhatara Siwa bertapa dan setelah sampai di tempat tersebut Bhatara Kama pun lalu melepaskan panahnya yang mengenai dada Bhatara Siwa. Oleh karena panah yang dilepaskan adalah panah asmara, maka seketikalah Bhatara Siwa yang sedang bersemadi tergoyah hatinya, tiba-tiba rindu kepada Dewi Uma, serta Beliau lalu membuka mata.

Namun ternyata di hadapan beliau dilihat Dewa Kama yang masih memegang busur panah diantar oleh para Dewa-Dewa. Dan sadarlah Bhatara Siwa bahwa bangunnya Bhatara Siwa bahwa bangunnya beliau dari semadi-Nya tidak lain karena panah asmara Dewa Kama, maka seketika timbullah marah beliau berupa api yang menyorot dan membakar Dewa Kama. 

Dewa-Dewa semua datang dan mohon ampun kepada Bhatara Siwa agar Dewa Kama dapat dihidupkan lagi, karena kesalahan tersebut bukanlah kesalahan Dewa Kama, melainkan adalah kesalahan para Dewa-Dewa yang meminta bantuan kepada Dewa Kama, agar Bhatara Siwa menghentikan semadi-Nya, karena ada raksasa sakti, yaitu: Nilarudraka sedang mengancam sorga. Permohonan para Dewa-Dewa tidak dikabulkan, tidak berapa lama kemudian datanglah Dewi Ratih, yaitu istri dari Dewa Kama, sambil menangis memegang kaki Bhatara Siwa, namun Bhatara Siwa pun tidak mengabulkan juga.

Oleh karena itu sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Bhatara Siwa agar dirinya dibakar juga, karena ingin mengalami nasib yang sama. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhatara Siwa, sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih, dari sela-sela kening Bhatara Siwa

Selanjutnya bahwa Bhatara Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma. Pada saat Dewi Uma dan Bhatara Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya, menanyakan abu apa sebenarnya itu?. Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih

Setelah mendengar cerita dari Bhatara Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua Dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Bhatara Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma. Atas permohonan Dewi Uma maka Bhatara Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga. 

Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai. Demikianlah jiwa Dewi Ratih dan abunya memasuki setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama memasuki lubuk hati setiap pria (jantan). Karena itu pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.

Kelompok abu yang tersebar dari Dewa Kama jatuh di Kahuripan, sehingga lahirlah Mantrining Kahuripan, sedangkan abu Dewi Ratih yang tersebar jatuh di Deha. Inilah yang menyebabkan sehingga Mantrining Kahuripan dan Galuh Deha selalu bertemu dan berpasangan.

Diceritakan selanjutnya Dewi Uma yang sedang mengandung besar, menimbulkan keresahan hati dari para Dewa, karena cemas memikirkan apakah putra Dewi Uma nanti akan berkepala gajah seperti yang diramalkan. Oleh karena itu para Dewa pun akhirnya membuat suatu upaya, yaitu gajah Dewa Ludra yang bernama gajah Airawata digiring dan dihalau kehadapan Dewi Uma yang sedang memetik bunga di taman sehingga Dewi Uma sangat terkejut dan pada saat itu lahirlah Dewa Gana yang berkepala gajah dan berbadan manusia. 

Gembiralah para Dewa-Dewa karena usahanya sudah berhasil. Tetapi pada saat itu pula raksasa Nilarudraka telah datang kembali menyerang sorga. Dewa Gana yang masih bayi diminta untuk dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran tersebut Dewa Gana yang masih bayi dan belum bisa berjalan itu sudah diadu, dan terkena pukul Raksasa Nilarudraka. Tetapi anehnya tiap kali dipukul Dewa Gana pun semakin besar demikian seterusnya.

Saat peperangan itu saja Dewa Gana sudah menjadi dewasa dan sudah bertaring besar oleh karena saat itu Dewa Gana tidak bersenjata maka taring itulah yang dipatahkan dan dipakai senjata sehingga dengan patahan taring itu dibunuhlah Raksasa Nilarudraka dan sorgapun kembali aman .
(Lontar Cudamani II, hal 15)

Sebagaimana diketahui Dewa Kama sering digambarkan sebagai Dewa Cinta ataupun Dewa Asmara. Cinta adalah manifestasi dari keinginan, dengan cinta maka dunia ini digerakkan, tidak ada suatu gerakan akan terjadi kalau tidak karena dorongan keinginan (cinta).

Bila dihubungkan dengan diri kita (bhuana alit) maka atma yang tenang dan non aktif diumpamakan sebagai jiwa yang sedang bersemadi. Dewa Kama adalah simbol dari cinta (tri guna) yang merupakan motivator dari pada gerak. Cinta disini berwujud cinta kasih dan keinginan. Dewa kama yang dilukiskan memanah Dewa Siwa dengan panah asmara, dan hal ini dapat diumpamakan seperti manusia, dimana atmanya mulai digerakkan oleh keinginan sehingga menjadi aktif. Keinginan adalah merupakan perwujudan dari cinta atau ingatan.

Keinginan ada dua macam yaitu yang positif dan negatif, sedangkan sattwam bersifat positif rajas dan tamas mementingkan diri sendiri (ahamkara) sedangkan sattwam mengabdi untuk kepentingan orang banyak (anresangsya).

Sorga yang diserang oleh Raksasa Nilarudraka adalah simbol dari tubuh kita (bhuana alit) yang ditantang olah alam (lingkungan) yang kelihatan seperti mau menghancurkan. Dewa-Dewa di Sorga yang memerangi Raksasa Nilarudraka, adalah simbol dari kekuatan energi yang sering dilukiskan dengan Dewa Pala, di dalam Kanda Pat Dewa dilukiskan terdapat dalam tubuh manusia. Pertempuran yang terjadi merupakan simbul perjuangan manusia menghadapi alam yang ditantang dan digoda oleh alam ini.

Siwa adalah simbol utama dari Gama Pati adalah kekuatan yang berasal dari Siwa. Pertempuran Gana Pati melawan Nilarudraka adalah suatu simbol dimana kekuatan atma harus dibangkitkan, hanya dengan kekuatan atma maka segala godaan ala mini akan dapat diatasi. Dewa Gana cepat menjadi besar karena pukulan dan hantaman dari Raksasa Nilarudraka demikian pulalah halnya kekuatan manusia akan tambah pandai bertambah mampu serta bertambah bijaksana karena tantangan-tantangan dari alam. 

Karena tantangan dari lingkungan inilah manusia kain kuat dan maju. Makin hebat tantangan maka makin baju dan makin dewasalah manusia itu seperti halnya dengan Dewa Gana Pati, baru bisa mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya yang dipatahkan dan dipakai sebagai senjata, demikian pula hal ini adalah merupakan simbol di mana manusia harus melepaskan sebagian sifat kebuasannya.

Demikian Gana Pati yang mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya adalah merupakan suatu simbolis dari manusia yang baru akan dapat mengalahkan tantangan dan godaan dunia ini, kalau dia mampu mengendalikan kebuasannya.

Sebagaimana halnya Dewa Kama dan Dewi Ratih adalah merupakan suatu simbolis dari suatu kesetiaan, dimana Dewi Ratih selalu bersatu tidak mau berpisah dengan Dewa Kama. Baik Dewi Ratih maupun Dewa Kama adalah merupakan lambang keinginan tidak lebih dari batu yang tidak akan bergerak sepanjang zaman, sebab itu sebagai manusia yang dilahirkan untuk berkarma, meningkatkan dirinya agar bisa mencapai moksa, maka keinginan itu harus ada.

Keinginan dan hawa nafsu bisa menjadi baik bisa juga menjadi tidak baik tergantung daripada tujuannya. Bila keinginan itu ditujukan untuk pengabdian, kepentingan orang banyak, kepentingan negara dan sebagainya, maka keinginan yang sedemikian adalah keinginan yang mulia. Tetapi bila keinginan itu hanya ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau akunya maka keinginan yang semacam itu adalah tidak baik.

Selanjutnya Dewa Kama berkorban demi untuk menyelamatkan sorga dan para Dewa-Dewa, adalah merupakan simbol dari kerelaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Maka itulah Dewa Kama diberi hidup di dunia oleh Bhatara Siwa, bukan disorga. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan.

Dimana dalam upacara tertentu diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan.

Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi. Dewa Gana yang sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai Dewa penakluk terhadap segala bencana. Dengan demikian Dewa Gana adalah merupakan simbul dari pada pengetahuan atau ilmu. Demikian pula ilmu itu makin ditantang, makin berkembang dan dengan pengetahuan itu pula manusia dapat mengatasi segala tantangan.
(Lontar Cudamani II, hal 15)

Kutipan cerita tersebut adalah merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan.

Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.

Kamis, 15 Desember 2011

Buku Hindu : Kembali Lagi Sains Reinkarnasi

buku hindu reinkarnasi
Kembali Lagi
Penjelasan terlengkap dan lebih gamblang dari yang sudah dikenal sebelumnya mengenai Reinkarnasi. Kehidupan bukan dimulai dengan kelahiran ataupun berakhir dengan kematian. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Sang Diri sesudah ia meninggalkan raga ini ? Bagaimana rantai reinkarnasi itu berputar ? Bisakah kita mengendalikan reinkarnasi kita yang akan datang ? 
Kembali Lagi menjawab misteri dan pertanyaan-pertanyaan yang menantang tersebut, dengan penjelasan gamblang yang terlengkap dan asli di seluruh dunia, pencarian yang tak pernah surut untuk meretas pengetahuan mengenai perjalanan sesudah kehidupan ini.

Berikut adalah hal yang sebaiknya Anda ketahui dalam hal-hal yang berkaitan dengan Reinkarnasi. Semoga bermanfaat.

Acarya : Guru spiritual yang mendidik melalui teladan tingkah lakunya sendiri
Ahimsa : Anti kekerasan
Asrama : Padepokan pendidikan Spiritual
Asura : Raksasa atau orang yang bukan penyembah Tuhan / ateis
Atmarama : Seorang Resi yang berpuas di dalam dirinya
Avatara : Inkarnasi Tuhan yang turun dari dunia rohani
Badan halus : Penutup bagian dalam untuk sang roh yang terikat, terdiri dari pikiranm kecerdasan dan ego
Badan kasar : Penutup bagian luar dari sang roh yang terikat, terdiri dati elemen-elemen kasat mata
Badan material : Badan sementara sang roh, terdiri dari tanah, air, api, udara, eter, pikiran, kecerdasan dan ego
Bhadrakali : Salah satu nama Dewi Durga, personifikasi energi material
Bhagavad-gita : Kitab yang memuat ajaran spiritual, disampaikan oleh Krsna kepada Arjuna di Medan Perang Kutuksetra
Bhakta : Seorang penyembah Tuhan
Bhakti : Mempersembahkan segala sesuatu / kegiatan kita berdasarkan cinta kasih untuk kepuasan Yang Mahakuasa

Bhakti-yoga : Yoga, pelayanan suci yang taat kepada Tuhan
Brahma : Mahluk hidup pertama, yang diciptakan di alam semesta material
Brahmacari : Seorang murid yang hidup membujang di bawah bimbingan seorang guru spiritual
Brahmajyoti : Cahaya non-personal, dari badan Krsna
Brahman : Golongan rohani masyarakat yang pekerjaannya mendalami pengetahuan Veda
Brahma-sambhita : Kitab suci yang berisi doa-doa Dewa Brahma
Caitanya Mahaprabhu : Inkarnasi Krsna sebagai penyembah-Nya yang datang pada zaman ini untuk mengajarkan cara pelayanan bhakti dengan menyanyikan nama-nama suci Tuhan
Dija-vu : Seakan-akan  merasakan satu pengalaman yang sudah pernah dialami dalam kehidupan yang lampau.
Deva : Seorang dewa atau penyembah Tuhan
Dunia Material : Bagian ciptaan Tuhan tempat kelahiran dan kematian terjadi
Dunia Rohani : Bagian ciptaan Tuhan yang bercirikan kekekalan, pengetahuan dan kebahagiaan
Ekadasi : Berpuasa sehari, dua kali dalam sebulan dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran Krsna kita
Entitas hidup : Sang roh / mahluk hidup
Gangga : Sungai suci yang bersumber dari kaki-padma Sri Visnu
Garuda : Burung besar kendaraan Visnu
Grhasta : Seorang yang hidup berumah tangga
Guru : Seorang guru kerohanian / guru spiritual
Hare : Energi rohani Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa
Hari : Salah satu nama suci Tuhan yang berarti " Dia yang menghilangkan segala rintangan dalam kemajuan spiritual"
Jnana : Pengetahuan teoretis
Jnani : Seseorang yang pikirannya sibuk berspekulasi mengejar pengetahuan
Kali : Personifikasi senergi material
Karma : Kegiatan-kegiatan yang berpamrih atau reaksi reaksi dari kegiatan tersebut
Karmi : Orang yang melakukan kegiatan berpamrih
Karmatmaka : Orang yang pikirannya terikat dalam keinginan dan kegiatan duniawi
Kebaikan : Sifat alam material yang bercirikan pengendalian diri, pengendalian indera-indera, dan pengetahuan spiritual
Kebodohan : Sifat alam material yang becirikan kegilaan, kegelapan, berkhayal dan malas
Keinsafan-diri : Cara untuk mengerti bahwa sang roh lain dan berbeda dari badan material
Keinginan material : Kecendrungan untuk berkuasa dan mengeksploitasi unsur-unsur alam demi kepuasan pribadi
Krsna : Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa
Krsna-katha : Kisah-kisah atau pembicaraan tentang Krsna / Ketuhanan
Ksatria : Golongan rohani dari masyarakat yang tugas mengurusi pemerintahan dan perlindungan bagi para warga
Maha-Bhagavata : Seorang penyembah yang berpengetahuan tinggi
Maha-mantra : Mantra Kare Krsna : Hare Krsna, Hare Krsna, Krsna Krsna, Hare Hare / Hare Rama, Hare Rama, Rama Rama, Hare Hare
Mahluk hidup : sang roh yang telah berbadan kasar di dunia material
Mantra : Getaran suara rohani
Maya (Mahamaya) : energi material luar Tuhan, yang menutupi roh terikat dan tidak memperkenankan dia mengerti Personalitas Tuhan Yang Maha Esa
Mayavadi : Orang yang taat mengikuti filosofi impersonalis atau kekosongan dan tidak menerima keberadaan bentuk transendental Tuhan
Narayana : Salah satu nama suci Tuhan, wujud Krsna yang berlengan empat
Nirguna : Secara harfiah berarti tanpa sifat ( untuk menggambarkan Tuhan yang tanpa sifat material )
Paramahamsa : ( secara harfiah berarti angsa yang agung) seorang penyembah yang mengerti hakikat kehidupan, persis seekor angsa yang mampu memilah susu dari campuran susu dan air
Paramatma : Perluasan Tuhan Yang Mahakuasa yang bersemayam di hati semua entitas hidup
Parsi : Sekte keagamaan Zoroastria di India
Prakrta-sahajiya : Penyembah gadungan Krsna yang gagal mengerti kesempurnaan, kedudukan transendental Krsna
Pranayama : Latihan pernafasan Yoga
Prasadam : Makanan yang dipersembahkan kepada Tuhan kemudian dibagikan
Purana : Delapan belas kitab yang memaparkan ajaran Veda melalui cerita sejarah dan alegori
Rama : Nama suci Tuhan yang berarti " Sumber segala kebahagiaan "
Reinkarnasi : Perjalanan sang roh saat kematian, dari satu badan ke badan yang baru
Rg Veda : Salah satu dari empat bagian Veda yang asli
Roh : Butiran kekal, yang sadar yang bersumber dari energi spiritual Tuhan
Roh yang telah bebas : Orang yang telah bebas dari pengindentifikasi diri sebagai badan dan pikiran material
Roh Yang Utama : Aspek Tuhan yang terlokalisir ( dihati setiap entitas /  mahluk hidup )
Samadhi : Meditasi, khusuk dalam memusatkan pikiran kepada Yang Mahakuasa
Samsara : Siklus kelahiran dan kematian
Sankirtana-yajna : Menyanyikan nama Tuhan, sebagai korban suci yang dianjurkan untuk zaman ini
Sannyasi : Orang yang berada dalam tahap melepaskan ikatan duniawi
Sankerta : Bahasa sastra pada zaman India Kuno
Sastra : Kitab-kitab yang diwahyukan
Sifat alam : Tiga bagian energi material Tuhan, kebaikan, nafsu dan kebodohan
Sravana : Mendengarkan nama suci Tuhan
Srimad-Bhagavatam : Kita suci Veda yang absah yang menguraikan secara mengkhusus kegiatan-kegiatan Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa bersama pra penyembah-Nya
Tilaka : Tanda dari tanah liat yang menghiasi wajah Krsna dan para penyembah-Nya
Tulasi : Seorang penyembah mulia dalam bentuk sebatang tanaman, yang sangat disayangi Sri Krsna
Upanisad : Bagian filsafat dalam Veda, yang dimaksudkan untuk membawa seorang murid lebih dekat pada pengertian Personalitas Kebenaran Mutlak
Veda : Kitab Suci Sejak zaman purba
Vaisnava : Penyembah Sri Visnu Agung atau penyembah Krsna
Vaisya : Masyarakat petani dan pedagang dalam kebudayaan Veda, yang melindungi sapi-sapi dan bercocok tanam
Visnu : Yang Mahakuasa, perluasan dari Sri Krsna untuk penciptaan dan pemeliharaan alam semesta
Visnuduta : Para abdi / utusan Sri Visnu
Yajna : Korban Suci
Yamaduta : Para pelayan / utusan Yamaraja
Yamaraja : dewa kematian, penghukum orang berdosa
Yoga : Cara untuk melakukan kontak dengan Yang Mahakuasa
Yogamaya : Kekuatan internal dari Tuhan Yang Mahakuasa
Yogi : Orang yang mempraktekkan Yoga.

Sumber dari buku " Kembali Lagi Sains Reinkarnasi " Berbasis pada pelajaran-pelajaran dari Yang Paling Berkarunia Sri Srimad A.G. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, Acarya- Pendiri International Society for Krishna Gonsciousness.



Jumat, 02 Desember 2011

Manusia Bali Titisan Dewa

Soekarno  Kecil
Peradaban dunia mengenal sedikit orang hebat. Einstein, Newton, Galileo, adalah manusia-manusia hebat, seperti juga Nepoleon, Socrates, Machiavelli, Karl Max, Adam Smith, Shakespeare, Mozart. Dunia mengenang mereka sebagai orang-orang jenius, yang merenung, bekerja, dengan akal, pikiran, kendati mereka demikian hebat, dunia tetap menerimanya sebagai manusia, bukan sosok yang turun dari langit, bukan utusan dewa-dewa dari kahyangan. Orang-orang jenius itu nyata, bukan perwujudan mimpi-mimpi, bukan dongeng.

Walau orang hebat sedikit, mereka ada di mana-mana, di setiap zaman, diseluruh waktu. Di Indonesia pun orang jenius itu ada, Sukarno, Proklamator kemerdekaan, seorang diantaranya. Jika di Barat sang jenius diterima dan ditelaah dengan akal sehat, tidak demikian di Tanah Air. Sukarno tak cuma dinilai sebagai manusia hebat, namun sering dianggap titisan dewa. 
Menjelang prahara politik disertai rentetan pergolakan berdarah September 1965, tampang Sukarno dikabarkan muncul di bulan. Tengah malam hingga dini hari, orang-orang mendongak ke langit, menatap bulan lama-lama, mencari wajah Sukarno di situ. Ada yang berteriak kegirangan mengaku melihat jelas wajah pemimpin besar revolusi itu. Yang lain justru bingung. " Aku tak melihat apa-apa, cuma bulatan keemasan dengan siluet hitam di permukaan bulan," ujar banyak orang. Namun wajah Sukarno muncul di bulan kala itu, sungguh berita yang berubah menjadi sihir, mencekam, menegangkan, sakral dan meninabobokan.
" Hanya manusia titisan dewa yang bisa begitu," komentar

orang yang mengaku pernah melihat Sukarno di permukaan bulan. Imajinasi tentang manusia keturunan dewa inipun segera disambut hangat oleh orang Bali. Jika Sukarno keturunan dewa, maka orang Bali juga titisan dewa. Bukankah Sukarno orang Bali ? Dia lahir dari gua-garba wanita Bali dari Buleleng. Jika seorang perempuan melahirkan "anak" dewa, tidaklah berarti ia juga perempuan utusan dewa ? Boleh jadi itu sebabnya muncul gelar Bali itu Pulau Dewata

Pulau ini tak cuma menjadi istana atau tempat pelesir dewa-dewa dari kahyangan, namun sesungguhnya sebuah pulau pemukiman titisan dewa. Wah, alangkah hebat Bali ! Jenius ! Pantas orang luar suka memuji Bali sebagai tanah tumpah darah kaum Local Genius.

Raja-raja di Bali, yang memerintah wilayah Badung, Mengwi, Klungkung, Gianyar, Bangli, Karangasem, memang dianggap titisan dewa oleh rakyatnya, inkarnasi dewa untuk menaburkan kerahayuan jagat, memberi perlindungan bagi rakyat. Raja Klungkung misalnya disebut sebagai Ratu Dewa Agung oleh rakyat dan bawahannya. 

Raja ini dianggap titisan dewa, yang membuat rakyat duduk bersimpuh di tepi jalan jika sang raja lewat. Rakyat menyembah raja tak beda dengan ketika mereka menyembah dewa; tunduk, takluk, berserah diri sepenuh hati, tanpa sisa.
P. Swantoro dalam bukunya, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, mengungkapkan,pendiri dinasti sering dinyatakan sebagai keturunan dewa. Kaisar Jepang dianggap keturunan dewa Matahari. Romulus, pendiri Roma, diyakini sebagai keturunan dewa Mars. Julius Caesar menyatakan diri sebagai keturunan dewi Venus, sedangkan Hengist, Pangeran Anglo-Saksen pendiri kerajaan Britania, bercikal balak dewa Wodan.

Ken Arok disebut-sebut pula sebagai titisan Bhatara Wisnu dan juga putra Bhatara Guru. Ken Dedes, istri Ken Arok, juga bukan perempuan biasa. Ia dihormati sebagai Ardhanariswari, perempuan yang gua-garbanya bersinar, pertanda ia paro-perempuan dari paduan Siwa-Durga. Siapa pun yang berhasil memperistri seorang Ardhanariswari bakal menjadi penakluk dunia.

Jika kita percaya orang Bali masih memiliki pertalian darah dengan dinasti Arok, pasti tidak sedikit titisan dewa di sudut-sudut Bali pendiri Majapahit. Kerajaan di Jawa Timur ini punya peran dan pengaruh kuat terhadap perkembangan peradaban Bali. 

Dalam ekspedisi Majapahit menaklukkan Bali, tentu banyak tokoh, senapati, prajurit, punggawa, kaum intelektual, akhirnya menjadi penduduk Bali, dan beranak pinak di sini.

Tentu Bali harus bersyukur pulau ini dihuni banyak titisan dewa, pertanda tak susah menciptakan kemakmuran, keamanan, kedamaian, disini. Apalagi jika orang-orang (dewa-dewa) itu bersatu padu membangun Bali. Tapi, mengapa belakangan sering terbit baku hantam, pembunuhan, perampokan, di Bali ? Orang Bali kini gampang bunuh diri, mudah marah, dan saling bacok, merusak dam membakar rumah kerabat.

Apakah dewa-dewa (orang Bali?) sedang memperagakan jurus "Dewa Mabuk" seperti dalam film kunfu ? Jurus yang mengharuskan pendekar mabuk dulu untuk merebut kemenangan.

Tetapi benarkah ada manusia titisan dewa? Jangan-jangan semua itu cuma mitos, dongeng untuk menghibur kita agar lupa pada kesusahan hidup sehari-hari.
Sumber Buku Jangan Mati di Bali Tingkah Polah Negeri Turis halaman 260 karya Gde Aryantha Soethama. Di posting oleh Rare Angon Nak Bali Belog