Bale Gading Semara Ratih |
Bale gading merupakan kelengkapan upakara berupa bangunan yang berbentuk
persegi empat seperti gedong yang dibuat dengan bambu yang berwarna
kuning (tiying gading) memiliki atap serta dihias dengan hiasan serba
kuning berupa bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta
dekorasinya seperti pengider-ider, dan pajengan dibuat dengan warna
serba kuning.
Kutipan cerita dibawah ini merupakan asal mula dari mengapa bale gading
itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat
Hindu di Bali.
Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan. Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.
Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan. Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.
Dewa Kama dan Dewi Ratih |
Diceritakan terbakarnya Sanghyang Semara dan Dewi Ratih oleh sinar mata ketiga dari Bhatara Siwa karena berani menggoda beliau pada saat Bhatara Siwa sedang bersemadi. Diceritakanlah bahwa sorga sedang diserang oleh raksasa Nilarudraka, seorang raksasa yang sakti ingin menguasai sorga. Para dewa-dewa semuanya kalah tidak ada yang sanggup melawannya.
Akhirnya para dewa-dewa datang menghadap Bhagawan Wraspati untuk menanyakan dan meramalkan siapa yang akan sanggup mengalahkan raksasa tersebut. Akhirnya hasil ramalan ternyata bahwa raksasa Nilarudraka hanya akan dapat dikalahkan oleh putranya Bhatara Siwa yang berkepala gajah.
Ternyata pada saat itu Bhatara Siwa belum berputra di samping itu beliau sedang bersemadi (bertapa), yang tidak ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya.
Namun oleh karena keadaan mendesak, maka para Dewa-Dewa memutuskan bahwa akan membangunkan Bhatara Siwa, dan Dewa yang akan ditugaskan untuk membangunkan beliau adalah Dewa Semara atau Dewa Kama. Walaupun tugas tersebut penuh resiko, namun dilaksanakan juga oleh Bhatara Kama, demi kepentingan para Dewa-Dewa semua dan sorga yang sedang terancam.
Demikianlah Dewa Kama dengan diantar oleh para Dewa-Dewa menuju Gunung Kailasa, tempat Bhatara Siwa bertapa dan setelah sampai di tempat tersebut Bhatara Kama pun lalu melepaskan panahnya yang mengenai dada Bhatara Siwa. Oleh karena panah yang dilepaskan adalah panah asmara, maka seketikalah Bhatara Siwa yang sedang bersemadi tergoyah hatinya, tiba-tiba rindu kepada Dewi Uma, serta Beliau lalu membuka mata.
Namun ternyata di hadapan beliau dilihat Dewa Kama yang masih memegang busur panah diantar oleh para Dewa-Dewa. Dan sadarlah Bhatara Siwa bahwa bangunnya Bhatara Siwa bahwa bangunnya beliau dari semadi-Nya tidak lain karena panah asmara Dewa Kama, maka seketika timbullah marah beliau berupa api yang menyorot dan membakar Dewa Kama.
Dewa-Dewa semua datang dan mohon ampun kepada Bhatara Siwa agar Dewa Kama dapat dihidupkan lagi, karena kesalahan tersebut bukanlah kesalahan Dewa Kama, melainkan adalah kesalahan para Dewa-Dewa yang meminta bantuan kepada Dewa Kama, agar Bhatara Siwa menghentikan semadi-Nya, karena ada raksasa sakti, yaitu: Nilarudraka sedang mengancam sorga. Permohonan para Dewa-Dewa tidak dikabulkan, tidak berapa lama kemudian datanglah Dewi Ratih, yaitu istri dari Dewa Kama, sambil menangis memegang kaki Bhatara Siwa, namun Bhatara Siwa pun tidak mengabulkan juga.
Oleh karena itu sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Bhatara Siwa agar dirinya dibakar juga, karena ingin mengalami nasib yang sama. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhatara Siwa, sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih, dari sela-sela kening Bhatara Siwa.
Selanjutnya bahwa Bhatara Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma. Pada saat Dewi Uma dan Bhatara Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya, menanyakan abu apa sebenarnya itu?. Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Setelah mendengar cerita dari Bhatara Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua Dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Bhatara Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma. Atas permohonan Dewi Uma maka Bhatara Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga.
Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai. Demikianlah jiwa Dewi Ratih dan abunya memasuki setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama memasuki lubuk hati setiap pria (jantan). Karena itu pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Kelompok abu yang tersebar dari Dewa Kama jatuh di Kahuripan, sehingga lahirlah Mantrining Kahuripan, sedangkan abu Dewi Ratih yang tersebar jatuh di Deha. Inilah yang menyebabkan sehingga Mantrining Kahuripan dan Galuh Deha selalu bertemu dan berpasangan.
Diceritakan selanjutnya Dewi Uma yang sedang mengandung besar, menimbulkan keresahan hati dari para Dewa, karena cemas memikirkan apakah putra Dewi Uma nanti akan berkepala gajah seperti yang diramalkan. Oleh karena itu para Dewa pun akhirnya membuat suatu upaya, yaitu gajah Dewa Ludra yang bernama gajah Airawata digiring dan dihalau kehadapan Dewi Uma yang sedang memetik bunga di taman sehingga Dewi Uma sangat terkejut dan pada saat itu lahirlah Dewa Gana yang berkepala gajah dan berbadan manusia.
Gembiralah para Dewa-Dewa karena usahanya sudah berhasil. Tetapi pada saat itu pula raksasa Nilarudraka telah datang kembali menyerang sorga. Dewa Gana yang masih bayi diminta untuk dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran tersebut Dewa Gana yang masih bayi dan belum bisa berjalan itu sudah diadu, dan terkena pukul Raksasa Nilarudraka. Tetapi anehnya tiap kali dipukul Dewa Gana pun semakin besar demikian seterusnya.
Saat peperangan itu saja Dewa Gana sudah menjadi dewasa dan sudah bertaring besar oleh karena saat itu Dewa Gana tidak bersenjata maka taring itulah yang dipatahkan dan dipakai senjata sehingga dengan patahan taring itu dibunuhlah Raksasa Nilarudraka dan sorgapun kembali aman .
Akhirnya para dewa-dewa datang menghadap Bhagawan Wraspati untuk menanyakan dan meramalkan siapa yang akan sanggup mengalahkan raksasa tersebut. Akhirnya hasil ramalan ternyata bahwa raksasa Nilarudraka hanya akan dapat dikalahkan oleh putranya Bhatara Siwa yang berkepala gajah.
Ternyata pada saat itu Bhatara Siwa belum berputra di samping itu beliau sedang bersemadi (bertapa), yang tidak ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya.
Namun oleh karena keadaan mendesak, maka para Dewa-Dewa memutuskan bahwa akan membangunkan Bhatara Siwa, dan Dewa yang akan ditugaskan untuk membangunkan beliau adalah Dewa Semara atau Dewa Kama. Walaupun tugas tersebut penuh resiko, namun dilaksanakan juga oleh Bhatara Kama, demi kepentingan para Dewa-Dewa semua dan sorga yang sedang terancam.
Demikianlah Dewa Kama dengan diantar oleh para Dewa-Dewa menuju Gunung Kailasa, tempat Bhatara Siwa bertapa dan setelah sampai di tempat tersebut Bhatara Kama pun lalu melepaskan panahnya yang mengenai dada Bhatara Siwa. Oleh karena panah yang dilepaskan adalah panah asmara, maka seketikalah Bhatara Siwa yang sedang bersemadi tergoyah hatinya, tiba-tiba rindu kepada Dewi Uma, serta Beliau lalu membuka mata.
Namun ternyata di hadapan beliau dilihat Dewa Kama yang masih memegang busur panah diantar oleh para Dewa-Dewa. Dan sadarlah Bhatara Siwa bahwa bangunnya Bhatara Siwa bahwa bangunnya beliau dari semadi-Nya tidak lain karena panah asmara Dewa Kama, maka seketika timbullah marah beliau berupa api yang menyorot dan membakar Dewa Kama.
Dewa-Dewa semua datang dan mohon ampun kepada Bhatara Siwa agar Dewa Kama dapat dihidupkan lagi, karena kesalahan tersebut bukanlah kesalahan Dewa Kama, melainkan adalah kesalahan para Dewa-Dewa yang meminta bantuan kepada Dewa Kama, agar Bhatara Siwa menghentikan semadi-Nya, karena ada raksasa sakti, yaitu: Nilarudraka sedang mengancam sorga. Permohonan para Dewa-Dewa tidak dikabulkan, tidak berapa lama kemudian datanglah Dewi Ratih, yaitu istri dari Dewa Kama, sambil menangis memegang kaki Bhatara Siwa, namun Bhatara Siwa pun tidak mengabulkan juga.
Oleh karena itu sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Bhatara Siwa agar dirinya dibakar juga, karena ingin mengalami nasib yang sama. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhatara Siwa, sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih, dari sela-sela kening Bhatara Siwa.
Selanjutnya bahwa Bhatara Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma. Pada saat Dewi Uma dan Bhatara Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya, menanyakan abu apa sebenarnya itu?. Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Setelah mendengar cerita dari Bhatara Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua Dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Bhatara Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma. Atas permohonan Dewi Uma maka Bhatara Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga.
Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai. Demikianlah jiwa Dewi Ratih dan abunya memasuki setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama memasuki lubuk hati setiap pria (jantan). Karena itu pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.
Kelompok abu yang tersebar dari Dewa Kama jatuh di Kahuripan, sehingga lahirlah Mantrining Kahuripan, sedangkan abu Dewi Ratih yang tersebar jatuh di Deha. Inilah yang menyebabkan sehingga Mantrining Kahuripan dan Galuh Deha selalu bertemu dan berpasangan.
Diceritakan selanjutnya Dewi Uma yang sedang mengandung besar, menimbulkan keresahan hati dari para Dewa, karena cemas memikirkan apakah putra Dewi Uma nanti akan berkepala gajah seperti yang diramalkan. Oleh karena itu para Dewa pun akhirnya membuat suatu upaya, yaitu gajah Dewa Ludra yang bernama gajah Airawata digiring dan dihalau kehadapan Dewi Uma yang sedang memetik bunga di taman sehingga Dewi Uma sangat terkejut dan pada saat itu lahirlah Dewa Gana yang berkepala gajah dan berbadan manusia.
Gembiralah para Dewa-Dewa karena usahanya sudah berhasil. Tetapi pada saat itu pula raksasa Nilarudraka telah datang kembali menyerang sorga. Dewa Gana yang masih bayi diminta untuk dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran tersebut Dewa Gana yang masih bayi dan belum bisa berjalan itu sudah diadu, dan terkena pukul Raksasa Nilarudraka. Tetapi anehnya tiap kali dipukul Dewa Gana pun semakin besar demikian seterusnya.
Saat peperangan itu saja Dewa Gana sudah menjadi dewasa dan sudah bertaring besar oleh karena saat itu Dewa Gana tidak bersenjata maka taring itulah yang dipatahkan dan dipakai senjata sehingga dengan patahan taring itu dibunuhlah Raksasa Nilarudraka dan sorgapun kembali aman .
(Lontar Cudamani II, hal 15)
Sebagaimana diketahui Dewa Kama sering digambarkan sebagai Dewa Cinta ataupun Dewa Asmara. Cinta adalah manifestasi dari keinginan, dengan cinta maka dunia ini digerakkan, tidak ada suatu gerakan akan terjadi kalau tidak karena dorongan keinginan (cinta).
Bila dihubungkan dengan diri kita (bhuana alit) maka atma yang tenang dan non aktif diumpamakan sebagai jiwa yang sedang bersemadi. Dewa Kama adalah simbol dari cinta (tri guna) yang merupakan motivator dari pada gerak. Cinta disini berwujud cinta kasih dan keinginan. Dewa kama yang dilukiskan memanah Dewa Siwa dengan panah asmara, dan hal ini dapat diumpamakan seperti manusia, dimana atmanya mulai digerakkan oleh keinginan sehingga menjadi aktif. Keinginan adalah merupakan perwujudan dari cinta atau ingatan.
Keinginan ada dua macam yaitu yang positif dan negatif, sedangkan sattwam bersifat positif rajas dan tamas mementingkan diri sendiri (ahamkara) sedangkan sattwam mengabdi untuk kepentingan orang banyak (anresangsya).
Sorga yang diserang oleh Raksasa Nilarudraka adalah simbol dari tubuh kita (bhuana alit) yang ditantang olah alam (lingkungan) yang kelihatan seperti mau menghancurkan. Dewa-Dewa di Sorga yang memerangi Raksasa Nilarudraka, adalah simbol dari kekuatan energi yang sering dilukiskan dengan Dewa Pala, di dalam Kanda Pat Dewa dilukiskan terdapat dalam tubuh manusia. Pertempuran yang terjadi merupakan simbul perjuangan manusia menghadapi alam yang ditantang dan digoda oleh alam ini.
Siwa adalah simbol utama dari Gama Pati adalah kekuatan yang berasal dari Siwa. Pertempuran Gana Pati melawan Nilarudraka adalah suatu simbol dimana kekuatan atma harus dibangkitkan, hanya dengan kekuatan atma maka segala godaan ala mini akan dapat diatasi. Dewa Gana cepat menjadi besar karena pukulan dan hantaman dari Raksasa Nilarudraka demikian pulalah halnya kekuatan manusia akan tambah pandai bertambah mampu serta bertambah bijaksana karena tantangan-tantangan dari alam.
Karena tantangan dari lingkungan inilah manusia kain kuat dan maju. Makin hebat tantangan maka makin baju dan makin dewasalah manusia itu seperti halnya dengan Dewa Gana Pati, baru bisa mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya yang dipatahkan dan dipakai sebagai senjata, demikian pula hal ini adalah merupakan simbol di mana manusia harus melepaskan sebagian sifat kebuasannya.
Demikian Gana Pati yang mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya adalah merupakan suatu simbolis dari manusia yang baru akan dapat mengalahkan tantangan dan godaan dunia ini, kalau dia mampu mengendalikan kebuasannya.
Sebagaimana halnya Dewa Kama dan Dewi Ratih adalah merupakan suatu simbolis dari suatu kesetiaan, dimana Dewi Ratih selalu bersatu tidak mau berpisah dengan Dewa Kama. Baik Dewi Ratih maupun Dewa Kama adalah merupakan lambang keinginan tidak lebih dari batu yang tidak akan bergerak sepanjang zaman, sebab itu sebagai manusia yang dilahirkan untuk berkarma, meningkatkan dirinya agar bisa mencapai moksa, maka keinginan itu harus ada.
Keinginan dan hawa nafsu bisa menjadi baik bisa juga menjadi tidak baik tergantung daripada tujuannya. Bila keinginan itu ditujukan untuk pengabdian, kepentingan orang banyak, kepentingan negara dan sebagainya, maka keinginan yang sedemikian adalah keinginan yang mulia. Tetapi bila keinginan itu hanya ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau akunya maka keinginan yang semacam itu adalah tidak baik.
Selanjutnya Dewa Kama berkorban demi untuk menyelamatkan sorga dan para Dewa-Dewa, adalah merupakan simbol dari kerelaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Maka itulah Dewa Kama diberi hidup di dunia oleh Bhatara Siwa, bukan disorga. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan.
Dimana dalam upacara tertentu diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi. Dewa Gana yang sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai Dewa penakluk terhadap segala bencana. Dengan demikian Dewa Gana adalah merupakan simbul dari pada pengetahuan atau ilmu. Demikian pula ilmu itu makin ditantang, makin berkembang dan dengan pengetahuan itu pula manusia dapat mengatasi segala tantangan.
Bila dihubungkan dengan diri kita (bhuana alit) maka atma yang tenang dan non aktif diumpamakan sebagai jiwa yang sedang bersemadi. Dewa Kama adalah simbol dari cinta (tri guna) yang merupakan motivator dari pada gerak. Cinta disini berwujud cinta kasih dan keinginan. Dewa kama yang dilukiskan memanah Dewa Siwa dengan panah asmara, dan hal ini dapat diumpamakan seperti manusia, dimana atmanya mulai digerakkan oleh keinginan sehingga menjadi aktif. Keinginan adalah merupakan perwujudan dari cinta atau ingatan.
Keinginan ada dua macam yaitu yang positif dan negatif, sedangkan sattwam bersifat positif rajas dan tamas mementingkan diri sendiri (ahamkara) sedangkan sattwam mengabdi untuk kepentingan orang banyak (anresangsya).
Sorga yang diserang oleh Raksasa Nilarudraka adalah simbol dari tubuh kita (bhuana alit) yang ditantang olah alam (lingkungan) yang kelihatan seperti mau menghancurkan. Dewa-Dewa di Sorga yang memerangi Raksasa Nilarudraka, adalah simbol dari kekuatan energi yang sering dilukiskan dengan Dewa Pala, di dalam Kanda Pat Dewa dilukiskan terdapat dalam tubuh manusia. Pertempuran yang terjadi merupakan simbul perjuangan manusia menghadapi alam yang ditantang dan digoda oleh alam ini.
Siwa adalah simbol utama dari Gama Pati adalah kekuatan yang berasal dari Siwa. Pertempuran Gana Pati melawan Nilarudraka adalah suatu simbol dimana kekuatan atma harus dibangkitkan, hanya dengan kekuatan atma maka segala godaan ala mini akan dapat diatasi. Dewa Gana cepat menjadi besar karena pukulan dan hantaman dari Raksasa Nilarudraka demikian pulalah halnya kekuatan manusia akan tambah pandai bertambah mampu serta bertambah bijaksana karena tantangan-tantangan dari alam.
Karena tantangan dari lingkungan inilah manusia kain kuat dan maju. Makin hebat tantangan maka makin baju dan makin dewasalah manusia itu seperti halnya dengan Dewa Gana Pati, baru bisa mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya yang dipatahkan dan dipakai sebagai senjata, demikian pula hal ini adalah merupakan simbol di mana manusia harus melepaskan sebagian sifat kebuasannya.
Demikian Gana Pati yang mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya adalah merupakan suatu simbolis dari manusia yang baru akan dapat mengalahkan tantangan dan godaan dunia ini, kalau dia mampu mengendalikan kebuasannya.
Sebagaimana halnya Dewa Kama dan Dewi Ratih adalah merupakan suatu simbolis dari suatu kesetiaan, dimana Dewi Ratih selalu bersatu tidak mau berpisah dengan Dewa Kama. Baik Dewi Ratih maupun Dewa Kama adalah merupakan lambang keinginan tidak lebih dari batu yang tidak akan bergerak sepanjang zaman, sebab itu sebagai manusia yang dilahirkan untuk berkarma, meningkatkan dirinya agar bisa mencapai moksa, maka keinginan itu harus ada.
Keinginan dan hawa nafsu bisa menjadi baik bisa juga menjadi tidak baik tergantung daripada tujuannya. Bila keinginan itu ditujukan untuk pengabdian, kepentingan orang banyak, kepentingan negara dan sebagainya, maka keinginan yang sedemikian adalah keinginan yang mulia. Tetapi bila keinginan itu hanya ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau akunya maka keinginan yang semacam itu adalah tidak baik.
Selanjutnya Dewa Kama berkorban demi untuk menyelamatkan sorga dan para Dewa-Dewa, adalah merupakan simbol dari kerelaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Maka itulah Dewa Kama diberi hidup di dunia oleh Bhatara Siwa, bukan disorga. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan.
Dimana dalam upacara tertentu diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi. Dewa Gana yang sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai Dewa penakluk terhadap segala bencana. Dengan demikian Dewa Gana adalah merupakan simbul dari pada pengetahuan atau ilmu. Demikian pula ilmu itu makin ditantang, makin berkembang dan dengan pengetahuan itu pula manusia dapat mengatasi segala tantangan.
(Lontar Cudamani II, hal 15)
Kutipan cerita tersebut adalah merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan.
Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.