Jumat, 17 Februari 2012

Pengetahuan Vs Kebodohan

Buku Karma Keadilan Tertinggi
ISOPANISAD menyatakan,

 "Orang bijak telah menjelaskan bahwa satu jenis hasil diperoleh dari kultur pengetahuan dan bahwa hasil yang berbeda diperoleh dari kultur kebodohan." 

Kultur pengetahuan yang sejati adalah kemajuan pengetahuan spiritual. Dan kemajuan pengetahuan dalam hal kenyamanan badan atau untuk melindungi badan adalah kultur kebodohan, sebab bagaimanapun Anda mungkin berusaha untuk melindungi badan ini, ia akan menuruti proses alaminya. 

Apakah itu ? Kelahiran dan Kematian yang berulang-ulang, dan saat badan masih terwujud terdapat penyakit dan usia tua. Orang sangat sibuk mengembangkan pengetahuan mengenai badan ini, walau mereka melihat bahwa setiap saat badan ini sedang merosot.  Kematian badan ini telah ditentukan saat ia lahir. Itu adalah FAKTA. Jadi Anda tidak dapat menghentikan proses alamiah badan ini - yaitu kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian.
Srimad-Bhagavatam (10.84.13) menyatakan bahwa badan ini tidak lain adalah sebuah kantung yang berisi tiga unsur utama - Lendir, Empedu dan Udara - dan seseorang yang mengganggap capuran dari Lendir, Empedu dan Udara ini sebagai dirinya adalah seekor keledai. 

Bahkan para filsuf dan ilmuwan hebat pun menganggap diri mereka sebagai campuran antara lendir, empedu dan udara ini. Inilah kesalahan mereka. Sebenarnya, para filsuf dan ilmuwan adalah roh-roh, dan sesuai karma mereka, mereka memperlihatkan bakat tertentu mereka. Mereka tidak mengerti hukum karma.
Mengapa kita menemukan ada begitu banyak pribadi yang berbeda ? Jika manusia hanya merupakan sebuah campuran dari lendir, empedu dan udara, mengapa mereka tidak identik ( sama persis) ? Satu orang lahir sebagai seorang jutawan; yang lain bahkan tidak mampu untuk makan dua kali sehari, meskipun telah berusaha keras.

 Mengapa terjadi perbedaan seperti ini ? Karena HUKUM KARMA, aksi dan reaksi. Seseorang yang mengerti misteri ini maka dia berada dalam pengetahuan.

Kehidupan manusia dimaksudkan untuk mengerti misteri kehidupan. 


Dan orang yang gagal dalam menggunakan bentuk badan manusia ini untuk tujuan tersebut adalah krpana, orang kikir. Hal ini dinyatakan di dalam Garga Upanisad. Jika Anda mendapatkan uang satu juta dolar dan tidak menggunakannya, dengan berpikir,
 "Oh, saya hanya akan menyimpan uang satu juta dolar ini untuk tabungan saya," 
Anda adalah seorang krpana. Anda tidak mengetahui bagaimana cara menggunakan uang Anda. Di pihak lain, orang yang menggunakan uang satu juta dolarnya untuk menghasilkan jutaan dolar lainnya adalah orang cerdas. Begitu juga, badan manusia ini sangatlah berharga. Orang yang menggunakannya untuk mengembangkan pengetahuan spiritual adalah seorang brahmana, orang bijak, dan orang yang mengembangkan pengetahuan materialistik adalah seorang krpana, orang kikir. Itulah perbedaan antara brahmana dan krpana.
Orang yang menggunakan badan ini dengan cara seperti yang dilakukan oleh anjing dan kucing -- untuk kepuasan indera -- adalah orang kikir. Dia tidak mengetahui bagaimana menggunakan "uang jutaan dolar" miliknya. Karena itu, adalah kewajiban bagi ayah, ibu, negara dan guru untuk menyediakan pendidikan spiritual bagi anak-anak tanggungan mereka sejak awal kehidupannya. 

Memang, Srimad-Bhagavatam menyebutkan bahwa seseorang hendaknya tidak menjadi ayah, ibu, guru atau pemimpin pemerintahan jika dia tidak mampu untuk mengangkat anak-anak tanggungannya menjadi tataran pengetahuan spiritual, yang dapat menyelamatkan mereka dari kelahiran dan kematian yang dialami berulangkali.

Sumber Buku KARMA Keadilan Tertinggi karya Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, diposting oleh Rare Angon Nak Bali Belog

Minggu, 12 Februari 2012

Dewi Sri Laksmi | Dewi Kesuburan

-Dewi Sri-Laksmi-
Di Bali ( Indonesia ) dibedakan penggambaran dewi Sri dan dewi Laksmi. Dewi Sri dihubungkan dengan kesuburan, khususnya sebagai dewi "padi" (devatanya pangan) sedang dewi Laksmi dihubungkan dengan kekayaan di luar pangan (sandang dan papan, khususnya barang-barang yang mahal/terbuat dari emas dan lain-lain). Ada yang menarik dalam pemahaman umat Hindu di Bali adalah adanya perwujudan Sri Sadhana yakni dua arca yang terbuat dari uang kepeng.  

 

Sri Sadhana sering disebut sebagai devata "Rambut Sadhana", devata yang berambut uang (dipuja pada hari Budha Cemeng Klawu, seperti dirumah Rare Angon Nak Bali Belog yang di Gianyar, red).

 Ada yang menafsirkan Rambut Sadhana "tempat uang yang tinggi", karena kata Sadhana diartikan uang. Tentang devata menggenakan perhiasan uang, dewasa ini juga dapat dijumpai, yakni pada hari Vijaya Dasami, dewi Laksmi dihias dengan uang kertas baru, baik busana maupun perhiasannya semuanya dihias dengan uang kertas yang baru. 

Rupanya tradisi memuja dewi Laksmi dengan menghiasi dengan uang (di Bali bahkan berbadan uang) adalah kelanjutan dari tradisi India. Di Indonesia di masa yang silam digunakan uang kepeng China (Chiyen, pipis bolong, red), oleh karena itu kita warisi dewi Sri Sadhana atau bhatara Rambut Sadhana menggunakan hiasan dan bahkan badannya terbuat dari uang kepeng.

Dalam upacara pemujaan, khususnya sehari setelah pemujaan kepada Saraswati ( Saniscara Umanis Watugunung 16 juni 2012, red ) dan sehari sebelum hari Pagerwesi, 2 hari tersebut dirayakan sebagai hari pemujaan kepada dewi Sri ( Sri Amrta ) yang disimbolisasikan dengan upacara selamatan kepada padi atau lumbung beras, sedang keesokan harinya kepada Sang Hyang Mahadewa, yang disebut sebagai devata penguasa barang-barang yang mahal seperti permata, emas dan perak.

Kelahiran Sri Laksmi
Laksmi sebagai Dewi Kemakmuran dan Kesucian
Pemujaan Kepada Dewi Sri Laksmi




Kelahiran Sri Laksmi
Dewi Laksmi berasal dari bagaian kiri Paramatma (Tuhan yang Maha Agung). Atas perintah Tuhan Yang Maha Esa, dewi Laksmi membagi dirinya menjadi dua putra yang sama-sama cantik mempesona, bercahaya gemerlapan, agung dan mengenakan hiasan dan penuh keramahan, yakni Laksmidevi dan Radhadevi. Radhadevi kemudian kawin dengan Sri Krsna mengambil posisi di sebelah kiri, sedang di sebelah kanan sebagai Visnu (dengan empat tangan) mengawini Laksmi ( Devi Bhagavata IX ).

Dalam kitab Devi Bhagavata Purana (Skandha IX) Sri lebih dikenal sebagai Sri-Laksmi. Ia merupakan sakti Visnu. Sri-Laksmi atau Mahalaksmi pertama kali muncul ketika pengadukan lautan Susu. 

Dalam kitab Visnu Purana, Dewi Bhagavata Purana, Padma Purana dan Mahabharata disebut bahwa ketika dunia berada di ambang kehancuran dewa Visnu sebagai dewa pemelihara dunia memerintahkan kepada para dewa, raksasa dan mahluk lainnya untuk mengaduk lautan Susu guna mendapatkan air amrta, yaitu kehidupan dan keabadian. Dewa Visnu sebagai pemimpin dibantu oleh Vasuki, ular yang bersedia menjadi tali pengaduk dan seekor kura-kura besar sebagai landasan. Setelah lautan Susu diaduk bermunculanlah isinya, permata, kuda Ucchaisrava dan terakhir muncul dewi Sri-Laksmi membawa kekayaan emas permata, serta air amrta. 

Kemunculan Sri-Laksmi membuat kegembiraan dan kekaguman yang hadir. Melihat kekuatan Visnu sebagai landasan yang mampu menahan beban yang sangat berat Sri-Laksmi sangat kagum sehingga ia tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Pada akhirnya Sri-Laksmi dijadikan pendamping Visnu. Sebagai sakti dewa Visnu, ia memberikan kekuatan dan kemampuan bagi Visnu.

Inkarnasi yang lainnya disebutkan sebagai berikut; Mahalaksmi lahir sebagai putri Rsi Bhrgu. Ketika Mahavisnu menjelma sebagai Surya, dewi Laksmi muncul dari bunga padma. Ketika Visnu menjelma sebagai Parasurama, dewi Laksmi menjelma sebagai Prthivi, ketika Visnu turun sebagai Sri Rama, dewi Laksmi menjelma sebagai Sita dan ketika Visnu turun sebagai Sri Krsna, dewi Laksmi menjelma sebagai Radha ( Visnu Purana 9.1 ).

Laksmi sebagai Dewi Kemakmuran dan Kesucian
Sebagai sakti dari dewa Pemelihara Dunia, Sri-Laksmi dikenal sangat setia terhadap suami dan dharma, juga sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran. Perannya sebagai dewi kesuburan dan kemakmuran tercermin dari tetap diadakannya upacara-upacara pemujaan kepadanya, yang diadakan pada akhir musim panas. Umumnya upacara pemujaan itu guna mendapat kemakmuran, kesuburan (tumbuh dan subur tanam-tanaman), hasil panen dan kekayaan yang melimpah. Selain itu juga dipuja sebagai dewi keberuntungan. Para pemujanya sebagain besar para pedagang, petani dan masyarakat agraris pada umumnya.

Dalam doa pujaan, Sri-Laksmi, seperti yang terdapat dalam kitab Sri Sukta, selalu dihubungkan dengan padma dan gajah. Untuk itu ia dikenal dengan nama Padma atau Kamala, serta Gaja-Laksmi. Seperti diketahui padma adalah lambang kesuburan dan awal kehidupan, lambang dari segala penciptaan dunia atau kelahiran di dalam alam makrokosmos atau alam dewa-dewa. Padma atau teratai merah yang digambarkan mekar pertama kali muncul sebagai tumbuhan air yang suci dan bersih. Walaupun berasal dari dalam lumpur padma dapat berkembang di atas air sebagai awal kehidupan.

Pemujaan Kepada Dewi Sri Laksmi
Sri-Laksmi dipuja sebagai sumber kekuatan seorang raja. Seorang raja dalam pertempuran bila didampingi oleh dewi Sri Laksmi, maka ia akan selalu dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Sebelum menjadi sakti Visnu, Sri-Laksmi kerap dihubungkan dengan banyak dewa, diantaranya dewa Soma, dewa Dharma, dewa Indra dan Kubera. Dihubungkan Sri-Laksmi dengan dewa Soma, karena dewa Soma dikenal kesetiaannya. Untuk memperkuat sifat Sri-Laksmi itulah dihubungkan dengan dewa Soma. Selain itu dewa Soma dikenal juga sebagai dewa dari tanam-tanaman, sehingga amatlah dekat kaitannya denga Sri-Laksmi, sebagai dewi kesuburan.

Mengenai dihubungkannya Sri-Laksmi dengan dewa Dharma, erat hubungannya dengan peran dewa Dharma sebagai dewa kemakmuran. Dalam halnya Sri-Laksmi dihubungkan dengan Indra, erat kaitannya dengan kedudukan Indra sebagai raja dari para dewa, dan peran Sri-Laksmi sebagai dewi pemberi kekuatan bagi seorang raja. Dengan kehadiran Sri-Laksmi kedudukan dan kekuatan dewa Indra menjadi lebih nyata. Dalam mitologi tersebut dikatakan bahwa bila dewa Indra berdampingan dengan dewi Sri-Laksmi, maka dunia akan turun hujan sehingga tumbuh-tumbuhan menjadi subur, sapi-sapi mendapat makanan yang berlimpah (rumput hijau subur) sehingga menghasilkan susu yang berlimpah.

Ada tradisi di India menghubungkan dewi Sri-Laksmi dengan dewa Kubera, raja para yaksa, penguasa hutan dan kekayaan. Yaksa kadang-kadang juga dihubungkan dengan kesuburan, seperti Sri-Laksmi. Ia digambarkan dengan tumbuh-tumbuhan yang merambat dan berkembang, keduanya bersatu dan berawal dari mulut sang dewa.

Pustaka dari Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu, I Made Titib, diposting oleh Rare Angon Nak Bali Belog. Suksma.

Jumat, 03 Februari 2012

AYUDHADEVATA | 3 Senjata Para Dewa

Senjata Astadikpalaka
AYUDHADEVATA adalah Senjata Para Dewa. Para Dewa memiliki senjata tertentu yang merupakan "LAKSANA" atau ciri khasnya. AYUDHA berarti: "Yang dibawa waktu berperang " / ayudhyate anena, dari urat kata "Yudh" yang berarti berperang. Senjata para Devata itu pada umumnya dibedakan dalam 3 jenis, yaitu :

1. Praharana, yaitu senjata yang dipakai memukul seperti tombang dan pedang.
2. Panimukta, yaitu senjata yang ditembakkan atau dilemparkan seperti cakram.
3. Yantramukta, yaitu senjata yang dilemparkan menggunakan tenaga atau alat tertentu seperti panah dengan bantuan busur atau mekanis lainnya.

Arca-arca perwujudan Devata umumnya selalu membawa senjata, sesuai aturan (laksana) yang sesuai dengan Devata (dewa-dewa dan dewi-dewi) yang membawanya, sebagai yang sedang menghadapi musuh berupa kekuatan jahat (negatif). Di dalam kitab Purana disebutkan
pasukan para Dewa, juga Dewi membunuh asura dan raksasa yang mengacaukan kahyangan para Devata dan umat manusia di dunia. Dalam kenyataannya, penderitaan masyarakat disebabkan oleh raksasa dan roh-roh jahat sebagai alasan turunnya para Dewa dan Dewi dalam berbagai wujud. 

Sang Hyang Siva dalam berbagai "LILAMURTI" (wujud permainan), Visnu dengan berbagai AVATARA (turun menjelma), dan inkarnasi dari para Sakti, semuanya itu adalah untuk menghukum yang jahat dan memberikan pahala kebaikan bagi yang saleh. Semeton Rare Angon Nak Bali Belog sane tresnain titiang.

Tangan-tangan tambahan yang umumnya muncul di belakang kedua tangan yang asli dalam seni arca memang dirancang untuk memegang berbagai senjata tertentu. Para Devata digambarkan bengis / UGRAMURTI dan dimaksudkan untuk menghancurkan para raksasa jahat / SAMHARAMURTI, umumnya memiliki 8, 16 atau 32 tangan, dan masing-masing tangan tersebut memegang senjata yang berbeda-beda untuk menghancurkan musuh. 

 


Devata yang digambarkan dalam keadaan santi (tenang) umumnya memiliki 2 atau 4 tangan dan bila memegang senjata, umumnya mengandung arti simbolis untuk menunjukkan identitas Dewa tersebut, seperti SAMKHA dan CAKRAM untuk arca Visnu, TRISULA dan DAMARU untuk arca Siva, PARASU,ANKUSA dan PASA untuk Ganesa, TOMBAK SAKTI / VELA untuk Subrahmanya, VAJRA untuk Indra, PASA untuk Varuna, DHANURBANA (busur dan panah) untuk Sri Rama dan KHADGA (pedang) untuk Kalki AVATARA.

Devata yang memiliki banyak tangan, umumnya untuk membawa senjata dalam memenangkan perang, di samping senjata-senjata untuk peperangan tersebut, tangan-tangan Devata ada juga membawa KAMALA (padma), UTPALA (tunjung), IKSUDANDA (batang tebu), AKSMALA (tasbih), PUSTAKA (keropak/buku), PANAPATRA (mangkuk untuk minum), HALA (bajak), MRGA (menjangan), SIRAS (penggalan kepala), KAPALA (tengkorak manusia) yang secara keliru disebut sebagai  AYUDHA (senjata). Sikap tangan ( MUDRA atau HASTA ) di samping memegang senjata, umumnya juga dalam sikap ABHAYAMUDRA ( menolak bahaya ), VARADAMUDRA ( memberi anugrah ) atau TARJANIMUDRA ( memberi peringatan ). 

Kadang-kadang senjata-senjata tersebut digabungkan dengan sikap tangan, misalnya ' PADMABHAYAMUDRA' atau sikap memberi anugrah dalam sikap tangan memberi sebuah mangkok / PANAPATRAVARADA-MUDRA.

Ada beberapa ceritra yang terkait dengan senjata Devata tersebut, misalnya busur dewa Siva disebut Pinaka, sebagai penghangcur TRIPURA. Busur Sri Rama bernama KODANDA untuk membunuh Ravana, tombak di tangan dewi Durga untuk membunuh raksasa Mahisasura. Pedang yang sangat tajam di tangan Virabhadra untuk menyembelih Daksa, tombak ajaib yang disebut Sakti di tangan Karttikeya.

AYUDHADEVATA mengandung makna simbolis kedewataan, seperti TRISULA merupakan kesatuan dati Triguna. PARASU melambangkan kekuatan gaib dari Tuhan Yang Maha Esa. PASA (tali atau jerat) melambangkan dunia atau maya yang menjerat kehidupan spiritual seseorang. Semeton Rare Angon Nak Bali Belog sane wangiyang tityang.  SANKHA ( terompet kerang ) melambangkan waktu (proses) penciptaan. CAKRA AGNI (api) atau KHADGA (pedang) menggambarkan simbol proses kehancuran jagat raya ( samhara ).

 IKSUDANDA ( tongkat berupa batang tebu ) melambangkan kemanisan spiritual dalam gejala duniawi. PADMA melambangkan karunia dan kemahakuasaan. ANKUSA ( tombak bertali ) melambangkan prinsip dasar melepaskan ikatan dan pengendalian diri.

Kadang-kadang senjata digambarkan berpasangan, seperti busur ( Dhanus ) ditangan kiri dan panah ( Sara ) pada tangan kanan, pedang ( Khadga ) di tangan kanan, tameng ( Carma ) ditangan kiri, tombak bertali ( Ankusa ) di tangan kanan, tali ( Pasa / jerat ) di tangan kiri, terompet kerang ( Sankha ) di tangan kiri dan Cakra ( Cakram ) di tangan kanan.

AYUDHADEVATA digambarkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Umumnya berupa pentungan seperti Danda, Gada dan Musala ( alat penumbuk dari kayu / alu ), Khadga ( Pedang Baja ) atau Tomara ( Lembing ) dan Khatyanga ( Tongkat dengan ujungnya tengkorak kepala manusia ) dalam berbagai bentuk. Senjata yang terakhir ini dibawa oleh Dewa Siva saat diliputi krodha ( kemarahan ) seperti CAMUNDA dan BHAIRAVA. 

Di dalam Purana disebutkan  bahwa dewa Siva membawa senjata berupa kepala ( Tengkorak manusia ) dan mengembara selama 14 tahun sebagai Sannyasin untuk menebus dosanya yang berat karena memotong salah satu dari 5 kepala Brahma ( Sayana dalam Rgveda X.9.1 ). Lembing dibawa oleh Samkarsana atau Balarama. Bajak (hala) dibawa oleh Balarama atau Baladeva.

APARAJITASUTRA (235,10-13) menguraikan daftar senjata yang dibuat oleh Visvakarma sebanyak 36 buah Ayudha, yaitu : Trisula (tombak bergigi tiga), Churika (pisau), Khadga (pedang), Kheta (tameng), Khatvanga (tombak dengan hiasan tengkorak manusia pada ujungnya), Dhanus (busur), Bana (panah), Pasa (tali/jerat), Ankusa (tombak bertali), Ghanta (genta perang), Rista (senjata yang merobek), Darpana (cermin), Cakra (cakram), Gada (pentungan besi), Vajra (senjata berupa petir/semacam tombak dengan kedua ujungnya bergigi tiga), Sakti (tombak gaib), Mudgara (palu), Bhusundi (senjata yang tidak jelas bentuknya), Musala (alu dan kayu), Parasu (kapak perang), Kartrika (senjata penggunting), Kapala (tengkorak manusia), Siras (penggalan kepala), Sarpa (ular naga), Srnga (tanduk), Hala (bajak), Kuta (lembing), Pustaka (keropak/buku), Aksa (tasbih), Kamandalu (kendi amrta), Suci (jarum atau sikap tangan memberi peringatan), Bunga Padma, Patra atau Patraka (mangkok, Yogamudra (sikap tangan seorang yogi). Semeton Rare Angon Nak Bali Belog sane tresnain tityang.

Di samping senjata seperti tersebut di atas, terdapat pula senjata lainnya seperti; Pattisa (tombak dengan tiga mata), Tanka (pahat pemecah batu) dan Agni (api untuk membakar). 

Kadang-kadang pula binantang dan burung juga dipegang oleh tangan Devata yang juga dianggap sebagai AYUDHADEVATA, seperti Mrga (kijang) pada salah satu tangan dibagian belakang dewa Siva, KUKKUTA ( ayam jantan) di tangan Subrahmanyam dan dibawa juga oleh beberapa dewi, NAKULI (musang) di tangan Kuvera atau Yaksa, dan Sarpa (ular) di tangan Bhairava atau dewi-dewi dalam aspek krodha.

Peralatan musik juga merupakan wujud-wujud dari AYUDHADEVATA seperti; Damaru (kendang kecil), Venu (seruling), Vina (semacam kecapi), Gendrang (bheri), Dholak (alat musik pukul selain kendang) dan Karatala (ceng-ceng). Di samping itu juga Kumbha ( kendi air ), Kundika ( kendi kecil ), juga buah-buahan seperti; MATULANGA (jeruk), Modaka (jajan manis), Lekhami (pena), Kartari ( penggunting ) dan Pataka atau Dhvaja ( bendera atau simbol devata) juga nampak dipegang oelh tangan-tangan Devata.

AYUDHADEVATA dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu :

1. Bersifat Sattvika seperti kendi air, tasbih, bunga padma, buku dan sendok upacara.
2. Bersifat Rajasika semua alat musik seperti Sankha dan Ganta.
3. Bersifat Tamasika yaitu semua senjata penghancur musuh seperti pahat untuk pemecah batu, gunting, api, ular binatanrig-binatang dan burung-burung yang dipegang oleh Devata.

Di Bali senjata para Deva umumnya dibuat dari baja yang tajam, ditempatkan diujung sebuah tiang (tombak) dari kayu dan menggambarkan senjata para Devata penguasa kiblat menurut Sivatattwa ( Saiva Siddhanta). 

Informasi tentang senjata dewa-dewa ini juga dapat dijumpai dalam puja Astamahabhaya (Hooykaas,197,65) yaitu penguasa kiblat di Timur, dewa Iswara membawa sejnata Bajra, Tenggara Mahesvara membawa senjata Dhupa, Selatan Brahma membawa senjata Gada, Barat Daya Rudra membawa senjata Danda, Barat Mahadewa membawa senjata Nagapasa, Barat Laut Sankara membawa senjata Ankusa, Utara Visnu membawa senjata Cakra dan Timur Laut Sambhu membawa senjata Trisula. 

Di Tengah dewa Siva membawa senjada Padma. Wujud senjata-senjata para dewa ini diberi tangkai panjang disebut "Pangawin" dipergunakan pada waktu upacara di pura dan diarak pula pada waktu upacara (prosesi) Malis atau Makiyis menyucikan area atau Pratima.

Sumber Buku Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu oleh I Made Titib halaman 377-384. Di posting oleh Rare Angon Nak Bali Belog.