Kamis, 25 Oktober 2012

Memuliakan atau Menyenangkan Diri??

**Blog Radheyasuta**
 Memuliakan atau Menyenangkan Diri. 

Di dalam hidup ini manusia sering dihadapkan pada pilihan melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat bermanfaat bagi orang banyak (shreya) atau memberikan kesenangan bagi dirinya sendiri (preya). Hendaknya manusia memilih “shreya” daripada “preya”. “Shreya”, atau mementingkan segala sesuatu yang mulia dan bermanfaat bagi banyak orang, dan tidak memilih preya, atau sesuatu yang sekedar menyenangkan diri. 

Dalam hidup ini kita memang selalu berhadapan dengan dua pilihan tersebut, shreya atau preya, yang memuliakan, atau yang menyenangkan. Seorang pencari jatidiri hendaknya memilih shreya, atau yang memuliakan. Dan, tidak memilih preya, yang menyenangkan. Karena yang menyenangkan itu belum tentu baik belakangnya. Seperti halnya pada kutipan cerita berikut ini.
 
Resi Sukra adalah Guru dari Raja Asura Warsaparwa. Dewayani putri Resi Sukra berteman dengan Sarmishta putri Raja Warsaparwa. Pada suatu hari mereka dengan beberapa temannya mandi di sungai. Mendadak angin besar bertiup yang membuat pakaian mereka mulai terbang.


Para gadis segera naik ke pinggir sungai mengejar pakaiannya dan segera pulang sambil berlari. Tanpa sadar Dewayani bertukar baju dengan Sarmistha. Kemudian terjadilah keributan, Dewayani menganggap Sarmishta tidak sopan karena seorang asura mengapa berani memakai pakaian putri seorang brahmana. Padahal sang brahmana, Resi Sukra adalah Guru dari raja asura. Karena dibimbing Resi Sukralah  maka kaum asura menjadi jaya. 

Sarmishta tidak menerima Dewayani menghina ayahandanya dengan mengatakan, bahwa bagaimanapun ayahnyalah yang memberi makan sang resi, sehingga sang resi dapat diibaratkan sebagai seorang pengemis. Mereka adu mulut, dan karena angin bertambah besar Sarmistha berlari duluan pulang. Sedangkan Dewayani yang berlari dalam keadaan angin yang bertiup semakin kencang, kemudian  terperosok masuk ke dalam sumur.

Pada hari itu Raja Yayati putra Raja Nahusa sedang berburu. Dan, tanpa sadar sang raja  mengendalikan kudanya menjauh dari rombongannya. Ketika sampai pada sebuah sumur, dia mendengar suara perempuan terisak-isak. Ditolongnya perempuan cantik tersebut yang mengenalkan diri sebagai Dewayani, putri Resi Sukra. Ketika sang raja mau pergi, Dewayani menangis. Dewayani mengatakan bahwa dia adalah seorang perawan dan sang raja telah menolongnya keluar sumur dengan memegang tangan kanannya. Sudah seharusnya sang raja menjadi suaminya. 


Raja Yayati bingung, Resi Sukra adalah seorang mahaguru yang dihormati tiga dunia. Raja Asura Varsaparwa, dirinya sebagai raja manusia dan Indra sebagai  raja dewa pun menghormati Resi Sukra. Sang raja berkata bahwa dia tidak berani menjadi suami Dewayani sebelum Resi Sukra mengizinkannya. Sang Raja takut apabila Resi Sukra tidak berkenan dia akan terkena kutukannya.

Ketika Sarmishta melaporkan kejadian keributan antara dirinya dengan Dewayani kepada ayahnya, ayahnya khawatir Resi Sukra tidak akan berkenan menjadi guru para asura lagi. Kemudian raja Warsaparwa mengajak Sarmistha beserta seribu dayangnya diajak mendatangi rumah Resi Sukra. Pada waktu itu Dewayani juga sedang melaporkan kejadian adu mulut dengan Sarmistha kepada Resi Sukra. Sang raja berkata kepada Dewayani,  



“Kekuatanku dan kekayaanku diperoleh atas bantuan Resi Sukra. Asura yang mati dalam peperangan dihidupkan kembali oleh sang resi sehingga asura mengalami kejayaan. Perintahkan kepadaku apa yang harus kulakukan agar Resi Sukra tetap menjadi mahaguru kaum Asura.”

Selanjutnya, Dewayani meminta agar Sarmishta beserta seribu dayangnya menjadi pelayan Dewayani dan mengikuti kemana pun dia pergi. Ketika Sarmishta ditanya ayahandanya mengenai kesanggupannya dalam  menjalani perintah Dewayani, Sarmishta berkata, “Sudah sewajarnya seseorang yang mendapat masalah

harus mencari jalan keluar penyelesaiannya. Akan tetapi pengorbanan ini dilakukan demi seorang raja yang kebetulan menjadi ayahnya dan juga demi rakyat di kerajaan ayahandanya. Saya patuh pada permintaan Dewayani.” Sejak saat itu Sarmishta dan seribu dayangnya menjadi pelayan Dewayani.
Dewayani berpikir bahwa menjadikan Sarmistha sebagai pelayannya akan menyenangkan dirinya. demikian pula kita semua yang mempunyai keinginan untuk membahagiakan diri kita.

Ketika Raja Yayati sedang berburu lagi, dia bertemu kembali dengan Dewayani diiringi seorang gadis cantik yang bernama Sarmishta beserta seribu dayangnya. Resi Sukra yang hadir di tempat itu mengizinkan dirinya mengawini Dewayani, akan tetapi berpesan agar tidak mengawini Sarmishta. Dan, Dewayani akhirnya menjadi istri Raja Yayati dan tinggal di istana. Sarmistha beserta seribu dayangnya menjadi pelayan Dewayani di istana.

Di halaman istana yang luas Sarmishta dan seribu dayangnya melayani

Minggu, 07 Oktober 2012

PUSTAKA SUCI TIRTAYATRA

Hindu Menjawab
....."Lihat, saudara-saudaraku, yang mandi di air suci, Lihat, para sadhu, yang mandi di sungai, Hentikan, hentikan, pikiran-pikiran yang tidak suci, Hentikan pikiranmu yang penuh nafsu terhadap istri orang lain. Hentikan menginginkan harta milik orang lain, Bila engkau mandi di air suci tanpa menghentikan ini, Seolah-olah mandi dalam satu sungai yang kering "....

Sloka Basavana yang juga teks pertama dari Isa Upanisad. Tirtayatra memiliki fungsi untuk menghilangkan kemelekatan.

Pustaka Suci yang mengatur Tirtayatra sangat banyak. Di dalam Mahabarata dan Purana-Purana ada sekitar 40.000 (empat puluh ribu teks) yang mengatur tirtayatra. Juga terdapat dalam kitab-kitab lain, seperti; Krtya-Kalpataru oleh Laksmidhara (abad 12 AD); Caturvargacintamani oleh Hemadri (abad 13 AD); Tirtacintamani oleh Vacaspati (abad 15 AD), Tirthasara oleh Dalapati (1490 AD), Triteliseru oleh Narayanabhata (1570 AD)

Tujuan :



Tirtayatra telah dimasukkan sebagai salah satu dari Asmanayadharma (Kewajiban umum atau universal) oleh beberapa pustaka suci seperti Visnudharmasuktas. Tirtayatra dianggap menghancurkan dosa seseorang, memberikan punia agama dan menghasilkan kemurnian pikiran. Bahkan Rig Veda merujuk kepada kesucian dari sungai yang putih dan hitam (Gangga dan Yamuna) bertemu. Mandi di sini memungkinkan seseorang masuk sorga. Seseorang yang mandi di sini memperoleh amrtatva atau hidup abadi.

Keindahan dan  keagungan dari tempat-tempat semacam itu cocok untuk meditasi, dan juga berhubungan dengan tokoh-tokoh besar spiritualitas yang mungkin telah mengunjungi tempat-tempat ini sebelumnya, dan berbagai ide-ide terkait telah menganugrahi tempat-tempat ini dengan vibrasi spiritual. 


Arti etimologis dati kata "Tirtha" - tiryate anena iti tirtham, samsarasagarataranopaye-bhutam; '

itu dengan mana bila diseberangi, itu yang akan membantu menyeberangi samudra kelahiran kembali, adalah tirtha' - juga menunjuk kepada kesimpulan ini. Itulah sebabnya ketika orang-orang mengunjungi tempat-tempat ini dengan sikap benar, mereka akan mendapat manfaat besar.

Klasifikasi :


Brahma Purana mengklasifikasikan tirtha atau tempat-tempat tirtayatra ke dalam empat kelompok :


1. Daiva; yang diciptakan oleh para Dewa.
2. Asura; yang dikaitkan dengan raksasa, seperti Gaya.
3. Arsa; yang didirikan oleh maharsi atau orang suci, seperti Prabhasa dan Nara-Narayana.
4. Yang diciptakan oleh manusia, seperti Ambarisa, Manu dan Kuru.
Keempatnya ditujukan kepada empat yuga- Krta, Treta, Dvapara dan Kali. Namun keempat penggolongan ini tidak memiliki relevansi dengan kita dewasa ini.

Yang Memenuhi Syarat Untuk Tirthayatra

 
Satu pertanyaan yang sering didiskusikan di dalam Purana dan Dharmasastra adalah adikara atau syarat-syarat untuk tirthayatra. Tirthayatra dapat dilakukan oleh setiap orang, terlepas dari status atau kondisinya. Purana-purana lebih jauh menjelaskan bahwa mereka yang mandi di sungai suci atau di tempat-tempat suci tidak saja akan membebaskan dirinya sendiri, tetapi juga memurnikan tujuh generasi leluhur dan keturunannya.


Puja-puji hiperbolik tersebut jelas sekali ditujukan untuk mengajak orang-orang biasa agar melakukan tirtayatra. Terlepas dari pernyataan yang liberal tersebut, beberapa aturan utama telah ditetapkan bagi mereka yang ingin melakukan tirtayatra. Misalnya, seorang Brahmachari yang tinggal di rumah gurunya harus mendapat ijin dari gurunya. Seorang grihasta harus mengajak pasangannya, agar memperoleh punia (merit, jasa) dari tirtayatra itu.

Kehidupan Etik, Satu Prasyarat
Tirtayatra untuk menarik orang-orang biasa, para maharsi dari Purana tidak lupa menekankan pentingnya satu kehidupan bermoral dan beretika sebagai satu prasyarat, tanpanya tirtayatra akan sia-sia. Namun, juga diakui bahwa seseorang yang melanggar DHARMA, dan berdosa, yang melaksanakan tirtayatra dengan keyakinan, menyesali perbuatannya dan bersumpah tidak akan mengulanginya lagi, dipastikan akan memberoleh kebaikan dari tirtayatranya.


Sekalipun seseorang yang menjalani hidup murni tidak diharuskan melakukan tirtayatra, mereka juga akan mendapatkan manfaat dari tirtayatra dalam evolusi spiritual mereka bila mereka melakukannya.



Menarik untuk dicatat bahwa praktik-praktik keutamaan seperti jnana (pengetahuan akan kitab suci), ksama (pengampunan), daya (welas,asih) dan dama (pengendalian diri) adalah juga "Tirtha", karena mereka cocok untuk membersihkan pikiran. Demikian juga berteman dengan orang-orang suci.

Prosedur Yang Direkomendasikan


Purana dan Dharmasastra telah menggariskan prosedur untuk tirthayatra, diringkas sebagai berikut: berpuasa sehari sebelumnya; sembahyang di merajan keluarga, memberi hadiah kepada orang miskin pada hari keberangkatan; memakai pakaian warna kuning tua, janji atau sumpah (sankalpa) seperti yang didiktekan oleh pustaka suci, memberikan semua barang-barang mewah dan melaksanakan hidup sederhana, tapa, selama tirtayatra; setelah kembali, mengulangi pemujaan di merajan dan mempersembahkan hadiah.


Dalam konteks modern ketika bahkan tirtayatra telah menjadi satu bagian dari turisme, seseorang dapat memuja di merajan, mengunjungi satu pura dan meminta anugerah dari para tetua sebelum berangkat. Hal yang sama dapat diulangi setelah kembali dari tirtayatra.

Sumber Bacaan " HINDU MENJAWAB 2 - SUSILA DAN UPAKARA " oleh Ngakan Made Madrasuta. Penerbit Media Hindu 2012. Di tulis dalam blog rare-angon Nak Bali Belog.