Kamis, 16 Mei 2019

Belajar Matembang Pupuh Sekar Alit Sesuai Pada Lingsa

"Sudah lama belajar matembang pupuh sekar alit, kenapa saya tidak juga bisa ?" Keluh I Belog saat ia duduk didepan teras rumahnya sambil menyanyikan Pupuh Ginanti. Selalu ia gagal dan gagal karena hanya bait pertama saja yang I Belog dapat nyanyikan. Hanya bagian " Saking tuhu manah guru .....", setelah itu suaranya mulai tidak jelas, alias ngaco. Tak disadari oleh I Belog, tetangganya I Rare memperhatikan dirinya. Tak tega rasanya I Rare melihat 'penderitaan' tetangganya itu.
Sekar Alit
PUPUH GINADA

I Rare menghampiri I Belog dan berkata " We cai Belog  (He Belog), kenapa setiap hari kamu menyanyikan Pupuh Ginanti tidak selesai ? Hanya sampe bait pertama saja " !!!!. I Belog menyampaikan perasaannya kepada I Rare, bahwasanya ia sering merasa kebingungan akan arah lagunya, karena i Belog tidak paham akan "pada Lingsa" yang membangun sebuah pupuh Sekar Alit tersebut. 



Seperti kita ketahui, Sekar Alit adalah bagian dari seni suara atau Dharma Gita yang populer di Bali sebagai sarana dalam berbagai upacara. Dharma Gita atau Seni suara yang dikenal meliputi : Sekar Rare, Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Kesemuanya ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan budaya Bali, dimanapun orang Bali itu kini bertempat tinggal, kemudian hidup bermasyarakat. Disana pula akan tumbuh sekeha-sekeha yang berkaitan dengan seni suara tersebut.

"I Belog, kalau mau belajar matembang Pupuh itu sudah seharusnya ada gurunya" , tegas I Rare. Kita boleh saja belajar dan belajar tetapi tanpa seorang guru kita tidak akan tahu apakah hal yang kita pelajari benar atau salah, karena tidak ada yang mengkoreksi. Demikian juga untuk seni suara ini, matembang memerlukan guru, walaupun hanya Sekar Alit, sebab dalam Sekar Alit akan kita jumpai pupuh yang berbeda-beda, meliputi : Pupuh Ginada, Pupuh Sinom, Pupuh Ginanti, Pupuh Dangdang dan lain sebagainya. 

"Pada Lingsa itu apa ?", Tanya I Belog penasaran akan penjelasan I Rare. Pupuh dibangun berdasarkan "Pada Lingsa" yaitu "Pada" (dibaca, pade) berarti banyak bilangan suku kata dalam suatu kalimat. "Lingsa" artinya perubahan suara pada kalimat terakhir. Dengan perbedaan jumlah kalimat "Pada" dan "Lingsa" dalam suatu syair menyebabkan juga berbeda nama pupuh itu, jelas I Rare . 
Sekar Alit
PUPUH GINANTI

Tak ubahnya dengan lagu dengan notasi (not) do, re, mi, fa, sol, la, si, dan do demikian juga dengan pupuh yang memiliki notasi Ndang, Ndung, Ndeng, Ndong, Nding. Dengan membaca not dan menghafalnya sehingga kita dapat membaca syairnya pula. Setiap pupuh memiliki notasi yang berbeda, "pada" dan "lingsa" yang berbeda. 

Pada kesempatan ini Rare Angon Nak Bali Belog menyampaikan postingan mengenai notasi Pupuh Ginanti dan Pupuh Ginada, notasi Ndang, Ndung, Ndeng, Ndong, Nding, yang sangat mungkin untuk dapat mengarahkan kita ke jalan yang benar ehehehe.... Yach paling tidak saat bertemu dengan guru, suhu, sesepuh lagu, kita tidak malu-malu amat. Kita hanya tahu bait pertamanya saja ... "Ede ngaden awak bisa ....." setelah itu lupa ...

Selamat belajar dan mecoba, ngiring megending Bali. NB: kira-kira Admin bisa ga yaa ...




(tiang sing bisa mase)
sumber bacaan : Agama Hindu untuk SMU kelas 3 dan Kusumasari 4 untuk SD kelas IV.