Agama Hindu, Agama Fleksibel
Agama Hindu, Agama
Fleksibel
Om
Swastiastu;
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ;
semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru
Pinandita
Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati
Yang
saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar
Yang saya
hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug
Yang
saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug
Dan
Umat Sedharma yang berbahagia.
Pada
hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Agama Hindu, Agama Fleksibel dikutip
dari naskah Prof. Gede Pitana .
Pertama-tama
saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa,
Sesuhunan Yang Melinggih di Pura
Dharma Sidhi karena atas waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir
dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.
Bapak-Ibu
Umat Sedharma yang berbahagia;
Agama
Hindu, agama yang sangat fleksibel yang artinya sangat bisa menyesuaikan dengan
keadaan dimana kita berada. Ada pertanyaan-pertanyaan “Mengapa agama Hindu di
Bali dan di Indonesia berbeda dengan agama Hindu yang ada di India.
Mengapa
di Bali ada Galungan padahal di India tidak ada Galungan, mengapa di Bali ada
Nyepi padahal di India tidak ada Nyepi.
Berdasarkan
berbagai sumber perbedaan-perbedaan itulah kelebihan agama Hindu yang selalu
fleksibel dengan alam sosial budaya ekonomi geografis lokal. Adaptasi ini bukan
sekedar adaptasi karena leluhur kita yang sangat cerdas dan pintar.
India
ada pada 23 derajat Lintang Utara, sehingga harinya, musimnya, matahari
terbitnya berbeda dengan Bali yang berada pada 6 derajat Lintang Selatan.
Tidak
harus apa tradisi disana dilakukan sama dengan di Bali walaupun
prinsip-prinsipnya sama. Di India ada Deevapali, di Bali ada Galungan, di India
ada Purnami, di Bali ada Purnama, sama tetapi tidak harus pada waktu yang
bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Agama Hindu betapa fleksibelnya.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Agama
Hindu tidak hanya membolehkan orang berbeda, tidak hanya membolehkan orang
mengikuti budaya lokal tetapi mengharuskan setiap orang Hindu jadilah Hindu
yang lokal walaupun dengan prinsip-prinsip yang universal.
Ajaran
agama Hindu dalam kitab Sarasamuccaya dan Bhagawad Gita diibaratkan bagai Air
Bening yang mengalir, yang tanpa warna dan tanpa bau, tetapi warna air itu akan
sangat kelihatan tergantung daripada warna dasar dimana air itu mengalir.
Tidak
salah Hindu di Nepal berbeda dengan Hindu di Prala, Hindu di Utara Pradesh
berbeda dengan Hindu di Jawa, Hindu Jawa berbeda dengan Hindu Kaharingan,
Kaharingan beda dengan Bali.
Perbedaan
bukan sesuatu yang dinaifkan dalam agama Hindu. Perbedaan justru diakui sebagai
bentuk kepercayaan, sesuai ajaran Rwa Bhineda.
Walaupun
sudah jelas Hitam dan Putih, tetapi tidak pernah kita mengatakan Hitam itu
lawannya Putih. Hitam dan Putih harus hidup berdampingan yang akan menciptakan
harmonis dan keindahan.
Umat
Sedharma yang berbahagia;
Yang
ketiga, agama Hindu sudah diajarkan dengan berbagai level, tingkatan. Dalam
Upacara tidak ada keharusan untuk melaksanakan dalam level-level tertentu
tetapi umat diberikan kebebasan sesuai dengan kemampuan.
Dalam
Manawadharma Sastra disebut dengan Dharma Sidhiarta yang dalam agama Hindu di
Bali disebut dengan Panca Tarka. Tata Upacara agama Hindu tidak ada yang
mutlak, sehingga model upacara, upakara yang ada di Jawa akan berbeda dengan
yang ada di Bali.
Apakah
berarti yang di Bali benar dan Jawa salah ? Tidak bisa kita katakan demikian,
jangankan di Bali Selatan antara Gianyar – Badung dengan Bali Utara,
Tembiran-Culah, bentuk dan wujud pada sarana upakaranya beda. Di Culah
menggunakan daun Jati tetapi di Bali Selatan tidak demikian. Hal ini
menunjukkan adaptasi manusia Hindu dengan Lingkungan.
Bapak-Ibu
Umat Sedharma yang berbahagia;
Dalam
tingkatan upacara ada Nista, Madia dan Utama. Kanista, Kanis artinya Inti, core, hal yang wajib. Keutamaan dari
sebuah upakara tidak terletak pada skalanya, tetapi berada pada tetuek dan lascharya sang agawe karya.
Lascharya
artinya atmanastuti, keikhlasan kita beryadnya. Yadnya adalah korban suci yang
dihaturkan dengan tulus ikhlas. Ketulus-ikhlasan inilah yang menjadi core dari setiap upacara.
Kita
juga diajarkan tentang konsep keseimbangan yaitu Tri Hita Karana, dimana
hubungan kita harus seimbang, antara vertikal, horisontal maupun diagonal. Hal
ini mengandung arti bahwasannya antara Utama mandala, Madya Mandala dan Nista
Mandala harus seimbang.
Tidak
boleh kita berpesta pora untuk keteben
(kebawah/nista mandala), tetapi yang kita persembahkan ke atas (Utama) hanya
canang sari, itu tidak seimbang. Apakah hal ini salah ? tidak salah tetapi
tidak patut.
Tidak
salah sesuai dengan Bhagawad Gita menyatakan “Apapun yang dipersembahkan dengan tulus akan diterima dengan senang
hati”. Tetapi keseimbangan ini penting karena menentukan sukses tidaknya
upacara itu, yang didasarkan atas keinginan baik, sehingga upacara itu menjadi
Satvika Yajna bukan Tamasika Yajna dan
bukan Rajasika Yajna.
Bapak-Ibu
Umat Sedharma yang berbahagia;
Dharma
Sidhiarta atau Panca Tarka yaitu Iksa, Sakti, Desa, Kala, Tattwa. Iksa adalah
keyakinan. Apapun yang kita persembahkan tanpa keyakinan tiada gunanya.
Keyakinan adalah inti dasar yang utama harus kita lakukan setiap melaksanakan
upacara upakara keagamaan.
·
Sakti adalah kemampuan, sumber daya yang
kita miliki.
·
Desa berarti lingkungan, sosial budaya
dimana kita berada.
·
Kala adalah waktu, waktu itu Jaman. Saat
jaman agraris berbeda dengan jaman industri, waktu pelaksanaan disesuaikan
pelaksanaannya. Tiada ada yang kuasa dari waktu, waktu yang menjadi penentu,
waktu akan menentukan kemana kita menuju.
·
Tatwa, apapun yang kita dilakukan harus
didasari atas Tattwa, yaitu Sastra atau Filosofi.
·
Iksa sebagai awal adalah keyakinan dan
harus diakhiri atau ujungnya adalah sastra atau Tattwa. Mengandung arti, ketika
kita mengawali dengan keyakinan, keyakinan itu didasari atas sastra, tattwa.
Bukan keyakinan yang sekedar yakin tanpa dasar.
Bapak-Ibu
Umat Sedharma yang berbahagia;
Upakara
adalah Nyasa Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan, artinya Nyasa adalah simbol-simbol
Tuhan yang tidak bisa kita bayangkan. Setiap bentuk tuwesan busung reringgitan mengandung makna. Leluhur kita sangat
pintar Nyastra dengan Nyasa.
Beragama
Hindu sangat mudah. Bukan saja disesuaikan dengan tempat, kemampunan ekonomi
tetapi juga disesuaikan ke masing-masing diri umat Hindu. Kita semua yakin
bahwa agama Hindu adalah Sanatana
Dharma.
Agama
yang akan hidup sepanjang masa, sepanjang gunung Himalaya masih berdiri,
sepanjang sungai Gangga masih mengalir, sepanjang Matahari dan Bulan masih
bersinar, sepanjang itupula ajaran Weda akan abadi.
Umat Sedharma yang
berbahagia;
Harapan
saya dari apa yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat
bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana
ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang
tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om...