Rabu, 23 Agustus 2023

Agama Hindu, Agama Fleksibel

Agama Hindu, Agama Fleksibel

Agama Hindu, Agama Fleksibel

 

Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 

Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.

 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Agama Hindu, Agama Fleksibel dikutip dari naskah Prof. Gede Pitana .

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 


Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Agama Hindu, agama yang sangat fleksibel yang artinya sangat bisa menyesuaikan dengan keadaan dimana kita berada. Ada pertanyaan-pertanyaan “Mengapa agama Hindu di Bali dan di Indonesia berbeda dengan agama Hindu yang ada di India.

 

Mengapa di Bali ada Galungan padahal di India tidak ada Galungan, mengapa di Bali ada Nyepi padahal di India tidak ada Nyepi.

 

Berdasarkan berbagai sumber perbedaan-perbedaan itulah kelebihan agama Hindu yang selalu fleksibel dengan alam sosial budaya ekonomi geografis lokal. Adaptasi ini bukan sekedar adaptasi karena leluhur kita yang sangat cerdas dan pintar.

 

India ada pada 23 derajat Lintang Utara, sehingga harinya, musimnya, matahari terbitnya berbeda dengan Bali yang berada pada 6 derajat Lintang Selatan.

 

Tidak harus apa tradisi disana dilakukan sama dengan di Bali walaupun prinsip-prinsipnya sama. Di India ada Deevapali, di Bali ada Galungan, di India ada Purnami, di Bali ada Purnama, sama tetapi tidak harus pada waktu yang bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa Agama Hindu betapa fleksibelnya.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Agama Hindu tidak hanya membolehkan orang berbeda, tidak hanya membolehkan orang mengikuti budaya lokal tetapi mengharuskan setiap orang Hindu jadilah Hindu yang lokal walaupun dengan prinsip-prinsip yang universal.

 

Ajaran agama Hindu dalam kitab Sarasamuccaya dan Bhagawad Gita diibaratkan bagai Air Bening yang mengalir, yang tanpa warna dan tanpa bau, tetapi warna air itu akan sangat kelihatan tergantung daripada warna dasar dimana air itu mengalir.

Tidak salah Hindu di Nepal berbeda dengan Hindu di Prala, Hindu di Utara Pradesh berbeda dengan Hindu di Jawa, Hindu Jawa berbeda dengan Hindu Kaharingan, Kaharingan beda dengan Bali.

 

Perbedaan bukan sesuatu yang dinaifkan dalam agama Hindu. Perbedaan justru diakui sebagai bentuk kepercayaan, sesuai ajaran Rwa Bhineda.

 

Walaupun sudah jelas Hitam dan Putih, tetapi tidak pernah kita mengatakan Hitam itu lawannya Putih. Hitam dan Putih harus hidup berdampingan yang akan menciptakan harmonis dan keindahan.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Yang ketiga, agama Hindu sudah diajarkan dengan berbagai level, tingkatan. Dalam Upacara tidak ada keharusan untuk melaksanakan dalam level-level tertentu tetapi umat diberikan kebebasan sesuai dengan kemampuan.

 

Dalam Manawadharma Sastra disebut dengan Dharma Sidhiarta yang dalam agama Hindu di Bali disebut dengan Panca Tarka. Tata Upacara agama Hindu tidak ada yang mutlak, sehingga model upacara, upakara yang ada di Jawa akan berbeda dengan yang ada di Bali.

 

Apakah berarti yang di Bali benar dan Jawa salah ? Tidak bisa kita katakan demikian, jangankan di Bali Selatan antara Gianyar – Badung dengan Bali Utara, Tembiran-Culah, bentuk dan wujud pada sarana upakaranya beda. Di Culah menggunakan daun Jati tetapi di Bali Selatan tidak demikian. Hal ini menunjukkan adaptasi manusia Hindu dengan Lingkungan.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Dalam tingkatan upacara ada Nista, Madia dan Utama. Kanista, Kanis artinya Inti, core, hal yang wajib. Keutamaan dari sebuah upakara tidak terletak pada skalanya, tetapi berada pada tetuek dan lascharya sang agawe karya.

 

Lascharya artinya atmanastuti, keikhlasan kita beryadnya. Yadnya adalah korban suci yang dihaturkan dengan tulus ikhlas. Ketulus-ikhlasan inilah yang menjadi core dari setiap upacara.

 

Kita juga diajarkan tentang konsep keseimbangan yaitu Tri Hita Karana, dimana hubungan kita harus seimbang, antara vertikal, horisontal maupun diagonal. Hal ini mengandung arti bahwasannya antara Utama mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala harus seimbang.

 

Tidak boleh kita berpesta pora untuk keteben (kebawah/nista mandala), tetapi yang kita persembahkan ke atas (Utama) hanya canang sari, itu tidak seimbang. Apakah hal ini salah ? tidak salah tetapi tidak patut.

 

Tidak salah sesuai dengan Bhagawad Gita menyatakan “Apapun yang dipersembahkan dengan tulus akan diterima dengan senang hati”. Tetapi keseimbangan ini penting karena menentukan sukses tidaknya upacara itu, yang didasarkan atas keinginan baik, sehingga upacara itu menjadi Satvika Yajna bukan Tamasika Yajna  dan bukan Rajasika Yajna.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Dharma Sidhiarta atau Panca Tarka yaitu Iksa, Sakti, Desa, Kala, Tattwa. Iksa adalah keyakinan. Apapun yang kita persembahkan tanpa keyakinan tiada gunanya. Keyakinan adalah inti dasar yang utama harus kita lakukan setiap melaksanakan upacara upakara keagamaan.

 

·         Sakti adalah kemampuan, sumber daya yang kita miliki.

 

·         Desa berarti lingkungan, sosial budaya dimana kita berada.

 

·         Kala adalah waktu, waktu itu Jaman. Saat jaman agraris berbeda dengan jaman industri, waktu pelaksanaan disesuaikan pelaksanaannya. Tiada ada yang kuasa dari waktu, waktu yang menjadi penentu, waktu akan menentukan kemana kita menuju.

 

·         Tatwa, apapun yang kita dilakukan harus didasari atas Tattwa, yaitu Sastra atau Filosofi.

 

·         Iksa sebagai awal adalah keyakinan dan harus diakhiri atau ujungnya adalah sastra atau Tattwa. Mengandung arti, ketika kita mengawali dengan keyakinan, keyakinan itu didasari atas sastra, tattwa. Bukan keyakinan yang sekedar yakin tanpa dasar.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Upakara adalah Nyasa Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan, artinya Nyasa adalah simbol-simbol Tuhan yang tidak bisa kita bayangkan. Setiap bentuk tuwesan busung reringgitan mengandung makna. Leluhur kita sangat pintar Nyastra dengan Nyasa.

 

Beragama Hindu sangat mudah. Bukan saja disesuaikan dengan tempat, kemampunan ekonomi tetapi juga disesuaikan ke masing-masing diri umat Hindu. Kita semua yakin bahwa agama Hindu adalah  Sanatana Dharma.

 

Agama yang akan hidup sepanjang masa, sepanjang gunung Himalaya masih berdiri, sepanjang sungai Gangga masih mengalir, sepanjang Matahari dan Bulan masih bersinar, sepanjang itupula ajaran Weda akan abadi.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...

 

Selasa, 22 Agustus 2023

Jasa Pembuatan Gambar Rendering 3D

 

Klien yang terhormat Salam!

Kami Menyediakan Jasa Pembuatan Gambar Rendering 3D.

Kami telah bekerja dengan  selama 12 tahun sebagai 3D impresion gambar perspektif 3d untuk arsitektur. KAMI JUGA SIAP KERJA KANTORAN

Cara Memesan :

Hubungi kami via email sobatbaliku@gmail.com

Atau

Desain 2D email ke : sobat_lama007@yahoo.com atau WA (setelah kita terhubung via email, utk menghindari SPAM )

Kami Kerjakan dan kirim progress masa 3D nya

Pembayaran setelah pekerjaan selesai

Salam:

Ketut Budiasa



Selasa, 08 Agustus 2023

Cerita Lubdhaka Berdasarkan Lontar Kekawin karya Mpu Tanakung

Cerita Lubdhaka Berdasarkan Lontar Kekawin karya Mpu Tanakung

Cerita Lubdhaka

Naskah Dharma Wacana

Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 

lubdaka tanakung

Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.

 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Cerita Lubdhaka

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas asung kerta waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Sastra agama yang mendasari Hari Raya Siwaratri yang bersifat Epos yaitu Lubdhaka Tattwa atau Lontar Kekawin Lubdhaka (Siwaratrikalpa) karya Mpu Tanakung merupakan yang terkenal di Bali.

Cerita Lubdhaka ini berdasarkan Lontar Kekawin Lubdhaka. Di dalam Lontar Kekawin Lubdhaka mengungkapkan hal-hal sebagai berikut :

 

Seorang yang tinggal di puncak gunung, bernama Lubdhaka penghidupannya adalah sebagai seorang pemburu. Adapun yang senang diburunya adalah Mong (Harimau), Wek (Babi Hutan), Gajah dan Badak (Warak).

 

Pada suatu hari, tepatnya pada hari panglong 14, Tilem Kapitu (bulan Magha) pagi-pagi buta dia telah meninggalkan rumah pergi ke hutan untuk berburu, itulah kegiatannya sehari-hari.

 

Kebetulan pada hari itu kepergiannya ke hutan mengalami kesialan karena tidak ada seekor binatangpun yang dilihatnya, tetapi Si Lubdhaka tetap sabar menunggu dalam keadaan perut kosong.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Saat menjelang senja hari, belum juga ada seekor binatang pun yang nampak, maka muncul dalam pikiran Si Lubdhaka, kemungkinan binatang-binatang tersebut sedang mencari tempat minum, dan karena mempunyai perkiraan yang demikian, maka dia pun berusaha menemukan sumber-sumber air yang ada di hutan tersebut.

 

Kemudian Si Lubdhaka menemukan sebuah telaga, dan kebetulan pada tepi telaga ada sebuah pohon yang rimbun yang disebut dengan pohon Bila (Pohon Maja). Di bawah pohon itulah Si Lubdhaka berteduh sambil menunggu binatang yang akan datang untuk minum air.

 

Namun harapannya tetap saja kandas, ternyata tidak seekor binatang pun ada yang datang untuk meminum air, sangat kecewa Si Lubdhaka.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Sang mentari pun telah kelam, dan dijemputlah oleh kegelapan, tiada bisikan deringan sayap jangkrikpun lenyap, suasana berganti menjadi sepi dan malam itu sangat mengerikan sehingga Si Lubdhaka tidak berani bermalam dibawah pohon karena takut disergap oleh harimau, maka diapun naik ke pohon Bila tersebut, serta duduk pada dahan pohon yang menjulur ke atas telaga, dalam perhitungannya kalau jatuh tidak akan cedera.

 

Untuk menghilangkan kantuknya, maka Si Lubdhaka memetik-metik daun Bila tersebut satu-persatu lalu dijatuhkan ke dalam telaga. Setelah dalam perhitungan 108 kali menjatuhkan daun Bila-nya dan saat itu tepat pada dauh Yoga (dauh penciptaan) dilihatlah olehnya sebuah lingga bermunculan dari dalam telaga dalam waktu sekejap.

 

Tidak lama lagi datanglah sang fajar menyingsing. Si Lubdhaka turun dari pohon Bila langsung pulang dengan tangan hampa. Sesampainya Si Lubdhaka di rumah hari sudah senja, dengan perut lapar karena satu hari satu malam tidak sebutir nasipun dapat menyentuh perutnya, kebetulan di rumahnya ada nasi kerak (entip), itulah yang dimakannya.

 

Setelah beberapa tahun berselang, maka Si Lubdhaka jatuh sakit, dan sakitnya makin parah, akhirnya Si Lubdhaka meninggal dunia. Diceritakan setelah Si Lubdhaka meninggal dunia Sang Hyang Yamadipati telah mengetahui maka diperintahkanlah pada Cikrabala, Kingkarabala untuk menjemput rohnya Si Lubdhaka agar dibawa ke Yama Loka, untuk diadili serta dihukum sesuai dengan dosanya atas perbuatannya di dunia semasih hidupnya, suka melakukan perbuatan “Himsa Karma”.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Demikian juga Sang Hyang Siwa di Siwa Loka juga telah mengetahui bahwa Si Lubdhaka telah meninggal dunia, diutuslah bala tentaranya “Watek Gana”, untuk menjemput roh Si Lubdhaka agar dibawa ke Siwa Loka.

 

Setelah kedua kelompok utusan tersebut tiba ditempat roh Si Lubdhaka, maka mereka saling berebut dan masing-masing menunjukkan perintah dan tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah peperangan antara laskar Sang Hyang Yama dengan laskar Sang Hyang Siwa.

Akhirnya kalah laskarnya Sang Hyang Yamadipati dan rokh Si Lubdhaka diboyong ke Siwa Loka.

 

Setelah laskar Sang Hyang Yama sampai di Yama Loka, maka dilaporkan tentang kejadian yang tadi kehadapan Sang Hyang Yama, serta kagetlah Sang Hyang Yamadipati mendengar isi laporan tersebut, akhirnya Sang Hyang Yama datang ke Siwa Loka untuk menuntut dan menanyakan kehadapan Sang Hyang Siwa, kenapa Si Lubdhaka dapat pengampunan dosa padahal dia selalu melakukan perbuatan Himsa Karma semasih hidupnya di dunia.

 

Sesudah Sang Hyang Yama memohon penjelasan tentang peleburan dosanya Si Lubdhaka maka, kembalilah Sang Hyang Yama ke Yama Loka dengan tangan kosong.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Demikianlah Cerita Lubdaka yang dapat kami sampaikan.

 

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...

 

 


Selasa, 01 Agustus 2023

Para Maharsi yang Mendapatkan Wahyu Weda

 Para Maharsi yang Mendapatkan Wahyu Weda

 Naskah Dharma Wacana 

Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 

Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.

 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Para Maharsi yang Mendapatkan Wahyu Weda

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas asung kerta waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 


 

Maharsi itu adalah orang bijaksana. Mereka adalah orang yang melewati tahap kehidupan sebagai pelajar (brahmacari) dan berumah tangga (grihasta) dengan baik. Mereka sudah ada dalam tahap hidup wanaprasta (hidup di hutan) atau sanyasi, sebagai bhiksu pengembara. Mereka tidak terlibat lagi di dalam urusan keluarga atau politik.

 

Mantra-mantra dari keempat Weda yang jumlahnya 25,000, diterima, dilihat atau didengar oleh 7 maharsi ketika mereka dalam keadaan anubhava. Ketujuh maharsi itu adalah :

 

1.   Rsi Grtasamada

2.   Rsi Wismamitra

3.   Rsi Wamadewa

4.   Rsi Atri

5.   Rsi Bharadwadja

6.   RSi Wasistha

7.   Rsi Kanwa

 

Mantra-mantra itu kemudian dikodifikasikan oleh Maharsi Viyasa dibantu 4 orang muridnya sehingga terbentuklah Catur Weda :

 

1.   Maharsi Pulaha (Rig Weda)

2.   Maharsi Jaimini (Sama Weda)

3.   Maharsi Vaisampayana (Yajur Weda)

4.   Maharsi Sumantu (Atawa Weda)

 

Cara para Maharsi itu menemukan isi kitab suci Weda adalah melalui anubhava, bukan disampaikan oleh seorang perantara atau melalui ilham. Tetapi didengar, dilihat, ditemukan secara langsung oleh para maharsi ketika mereka dalam keadaan Samadhi, atau anubhava, atau diberikan secara langsung oleh Tuhan sebagai avatara kepada manusia, seperti Bhagawad Gita

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Agama seharusnya tidak mengajarkan kebencian atau permusuhan dengan membagi ke dalam dua kubu yang berlawanan. Tetapi sebaliknya seharusnya mengajarkan keselarasan, cinta kasih dan persahabatan terhadap semua orang atau semua makhluk, seperti mantra Weda di bawah ini:

 

“ Semoga aku menghargai semua makluk dengan mata seorang kawan. Dengan mata seorang kawan kami menghargai satu sama lain.” Yajur Weda.36.31.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Kembali ke perihal Kitab Suci Weda. Ajaran Kitab Suci Weda yang banyak jumlahnya itu diperoleh dengan 2 cara.

Yang pertama, ditemukan, dilihat atau didengar oleh para Maharsi ketika jiwa mereka bersatu dengan Tuhan, dalam agama Hindu ini disebut Samadhi / Anubhava.

Cara kedua, adalah Tuhan sendiri menjelma ke Bumi sebagai manusia, disebut Avatara, dan menyampaikan ajarannnya secara langsung kepada manusia, seperti Krishna yang lahir ke dunia dan menyampaikan ajarannya secara langsung kepada manusia seperti Krishna yang lahir ke dunia dan menyampaikan ajarannya langsung kepada arjuna.

Jadi bukan perantara atau melalui ilham tetapi scara langsung diperoleh dari sumbernya yaitu Tuhan sendiri, yang dalam agamaku disebut Brahman. Atau diajarkan secara langsung oleh Tuhan sebagai Avatara kepada manusia.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...