Selasa, 16 April 2024

Bagaimana Dana Punia dapat Meningkatkan Penghasilan ?

Bagaimana Dana Punia dapat Meningkatkan Penghasilan ?

 

Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 

Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.


 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Bagaimana Dana Punia dapat Meningkatkan Penghasilan ?.

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Saya mengutip sebuah sloka yang terkait dengan dana punia. Dalam Atharwa Weda VIII.15.6 disebutkan bahwa:

 

Berdermalah untuk tujuan kebaikan bersama, maka Hyang Widhi akan memberikan penghasilan yang berlimpah kepada kita

 

Sloka ini mengajak kita untuk berderma alias berdana punia untuk tujuan kebaikan bersama. Dengan berdana punia maka dari dalam diri kita terpancar energi keberlimpahan. Ketika kita memancarkan energi keberlimpahan maka kita menarik keberlimpahan ke dalam hidup kita.

 

Sebaliknya, ketika kita memancarkan energi negatif (perasaan kekurangan), maka kita akan menarik berbagai kekurangan terjadi dalam hidup kita.

 

Sloka tersebut di atas ternyata sudah banyak dipraktekkan oleh umat selain Hindu dan terbukti nyata. Contohnya seorang Warren Buffet yang pernah mendonasikan sekitar 90% kekayaannya kepada yayasan sosial milik Bill Gates. Akibat donasi yang lumayan besar ini bukannya membuat Warren Buffet bangkrut, tetapi malahan dalam beberapa waktu kemudian kekayaan Warren Buffet malah makin bertambah dari jumlah semula.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Perusahaan-perusahaan besar juga menerapkan sloka ini dengan membentuk divisi CSR sebagai bagian yang bertugas berbagi kepada masyarakat. Pemberian (dana punia) kepada masyarakat ini diyakini bisa mendongkrak omzet perusahaan karena dengan memberi justru dapat menarik lebih banyak keberlimpahan.

 

Bagaimana Merubah Rasa Ragu-Ragu Menjadi Keikhlasan Saat Berdana Punia ?

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Walau sudah banyak kita baca Sloka Bhagawad Gita, Sarasamuccaya dll tentang Dana punia dan keikhlasan, namun kita masih punya rasa ragu dalam melaksanakannya. Ragu akan penggunaan dana yang kita puniakan, Apakah dana kita akan dipakai yang benar ?, jangan-jangan disalahgunakan. Mungkin ada berbagai pertanyaan yang membuat rasa ragu-ragu dalam berdana punia.

 

Untuk menghilangkan rasa ragu, marilah kita sadari bahwa Dana merupakan latihan dasar dalam spiritual. Jika di dalam diri kita tidak pernah tumbuh sebuah niat untuk melakukan sedekah/dana, jenis spiritual apapun yang dijalankan tidak akan pernah sempurna. Dana tidak ubahnya seperti akar pada sebuah pohon.

 

Tanpa akar, pohon tidak akan pernah berkembang. Tanpa memiliki niat melakukan dana, pohon spiritual yang kita bangun tidak akan pernah berkembang.

 

Bagaimana Tingkatan Dana Punia Itu ?

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Kita coba mengupas dari segi yang lain, dalam Kitab Sang Hyang Kamahayanikam 51, disebutkan ‘Dana tri widha laksanam, tiga prakaraning laksananing dana , lwirnya : dana, atidana, mahatidana ‘ ini merupakan tingkatan keikhlasan dalam berdana punia.

 

1.   Dana memiliki tingkatan yang sederhana (baik), dimana kita memberikan materi yang kita miliki, pemberian yang tidak pernah menuntut balas. Beri dan kemudian lupakan. Dana ini bersifat materi yang kita miliki, seperti makanan, uang, pakaian dll

 

2.   Atidana kwalitas dana yang lebih baik, selain kita memberi materi tanpa menuntut balas, namun juga karena materi yang kita berikan adalah yang paling kita cintai. Memberikan sesuatu yang kita cintai jauh lebih sulit, melepaskan keterikatan terhadap sesuatu yang kita cintai jauh lebih sulit, sehingga halangan di dalam praktek spiritual pun jauh lebih besar.

 

3.   Mahatidana, ini adalah dana tertinggi yang bisa dilaksanakan. Seseorang yang mampu menyumbangkan sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri adalah mahatidana. Mereka yang telah mampu mencapai tahap ini, tidak pernah terikat lagi terhadap materi, siap menderita untuk kepentingan orang lain, seperti para pahlawan, para pendeta yang tulus, para guru yang tidak pamrih termasuk dalam katagori dana ini.

 

 

 

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...

 

Minggu, 14 April 2024

Bagaimana Hindu memahami Agamanya

 Bagaimana Hindu memahami Agamanya

Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 

Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.


 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Bagaimana Hindu memahami Agamanya.

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Dilihat dari kata agama itu berasal dari kata Sanskerta A dan Gam. A artinya tidak dan Gam artinya pergi. (Dalam bahasa Inggris Gam=Go, dalam bahasa Belanda Ga, yang artinya sama juga yaitu “pergi”

 

Jadi kata Agama berarti “tidak pergi”, “tetap di tempat”, “Langgeng” diwariskan secara turun temurun. Inilah arti istilah kata Agama.

 

Dalam agama Hindu kita memahami agama sebagai arti dalam jiwa kerohaniannya agama bagi kita adalah Dharma dan kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan (way of life) manusia.

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Agama adalah kepercayaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi, yang kekal abadi. Dan agama Hindu ini diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi yang diturunkan ke dunia, dan pertama kalinya berkembang di sekitar sungai suci Sindhu.

 

Tujuan agama Hindu ini adalah untuk mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan hidup jasmani. Di dalam pustaka suci Weda tersebut “ Mokshartham Jagadhita Ya Ca iti Dharma” yang artinya Dharma atau agama itu ialah untuk mencapai moksa (Moksartham) dan mencapai kesejahteraan hidup mahluk (Jagadhita).

 

Moksa juga disebut “mukti” artinya mencapai kebebasan Jiwatman atau kebahagiaan rohani yang langgeng.

 

“Jagadhita” juga disebut dengan istilah “bhukti” yaitu membina “Abhyudaya” atau kemakmuran kehidupan masyarakat dan Negara.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

Dalam agama Hindu ada 3 bagian utama yang menjadi dasar dari agama Hindu, yang merupakan intisari dari pustaka suci Weda yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, yaitu : Tattwa (Filsafat), Susila (ethika) dan Upacara (ritual).

 

Sehingga ritual merupakan inti dari agama Hindu dimanapun berada, yang disesuaikan dengan local genius (kebiasaan adat setempat).

 

Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama yang lain. Jika filsafat agama saja yang diketahui tanpa melaksanakan ajaran-ajaran susila dan upacara, tidaklah sempurna.

 

Demikian juga jika hanya melakukan upacara saja tanpa dasar-dasar filsafat dan ethika, percuma pulalah upacara itu, bagaimanapun besarnya.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

Memahami tattwa menjadi sangat penting bagi pemeluk agama Hindu, salah satunya mengenai Filsafat Panca Sradha. Ini adalah kepercayaan, keyakinan agama Hindu yang ada 5 bagian. Panca itu Lima, Sradha adalah kepercayaan yaitu :

 

1.   Percaya adanya Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa)

2.   Percaya adanya Atma (Roh leluhur)

3.   Percaya adanya Hukum Karma Phala

4.   Percaya adanya Samsara (Punarbhawa)

5.   Percaya adanya Moksa

 

Sang Hyang Widhi adalah Ia Yang Maha Kuasa sebagai Pencipta, Pemelihara, Pemrelina segala yang ada di alam semesta ini. Sang Hyang Widhi adalah Maha Esa. Agama Hindu percaya ke-Esa-an Tuhan sesuai dengan pustaka suci Weda .

 

“Ekam Eva Adwityam Brahman” . yang artinya “Hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya (Adwityam) Hyang Widhi (Brahman) itu”

 

Selaian itu kita mengenal “Eko Narayana Na Dwityo Sti Kaccit” artinya “Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya”

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

Hindu percaya pada ke-Esa-an Tuhan, Tuhan itu hanya satu dan Maha Kuasa, sehingga memiliki kemahakuasaan yang berbeda-beda.

Dalam lontar Sutasoma disebutkan “Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma Mangrwa” artinya “Berbeda-beda tetapi satu, tidak ada Dharma yang dua” juga dikatakan “Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti” artinya “Hanya satu (Ekam) Sang Hyang Widhi (Sat=hakekat), hanya orang bijaksana (Viprah) menyebutkan (Wadanti) dengan banyak nama (bahuda).

 

Sifat-sifat Sang Hyang Widhi yang Maha Mulia, Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan tiada terbatas sedangkan kekuatan manusia untuk menggambarkan Sang Hyang Widhi sangat terbatas adanya.

 

Maha Rsi-Maha Rsi kita tidak hanya mampu memberi sebutan dengan banyak nama menurut fungsinya. Dan yang paling utama adalah Tri Sakti, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa.

 

·         Brahma ialah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai Pencipta dalam bahasa Sanskerta disebut Uttpeti

 

·         Wisnu ialah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai Pelindung, pemelihara dengan segala kasih sayangnya. Pelindung dalam bahasa Sanskerta disebut Sthiti.

 

·         Ciwa ialah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya melebur (pralina) dunia serta isinya dan mengembalikan dalam peredarannya ke asal. Dalam bahasa Kawinya diistilahkan dengan “Sangkan Paran” (Kembali ke asal)

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

Agama Hindu mengajarkan adanya tiga cara untuk mengetahui sesuatu yang disebut Tri Pramana yaitu Pratyaksa Pramana, Anumana Pramana dan Agama Pramana.

 

Tri Pramana memiliki arti dengan cara melihat langsung (Pratyaksa), dengan cara mengambil kesimpulan dari suatu analisa (Anumana) dan dengan mempercayai pemberitahuan orang-orang suci yang tidak pernah bohong (Agama).

 

Demikian juga mengenai Sang Hyang Widhi. Hanya orang-orang yang sangat suci yang mengetahui Sang Hyang Widhi dengan melihat langsung, dengan cara Pratyaksa.

 

Kita percaya bahwa kita seluruh alam ini, ada. Tentu ada yang menciptakan yaitu Sang Hyang Widhi. Dan kita percaya bahwa kita akan mati tentu ada tempat bagi Atman kita yang telah lepas dari badan. Inipun adalah Sang Hyang Widhi. Kita contohkan dengan seekor kumbang.

 

Kumbang itu hinggap ke suatu bunga dan dari sana ke bunga yang lain. Pada kakinya penuh bulu tersangkut benang-benang sari bunga yang nantinya menyebabkan perkawinan antara bunga-bunga itu.

Nah siapakah yang membuat kaki kumbang itu berbulu yang gunanya justru untuk melekatnya benang-benang sari bunga itu ? Tentu Sang Hyang Widhi. Cara Agama Pramana adalah hanya dengan cara mempercayai isi pustaka suci kita.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...

 

Jumat, 12 April 2024

Banten Arcanam dan Nyasa : Materi Dharma Wacana

Banten Arcanam dan Nyasa

Banten Arcanam dan Nyasa

 


Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 

Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.

 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Banten Arcanam dan Nyasa

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas asung kerta waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Banten, Babali, adalah salah satu unsur sadhana bhakti, dalam persembahan dan pemujaan atau yajna yang dilaksanakan oleh masyarakat umat Hindu. Bahkan banten, Babali itu sendiri tergolong juga Dewa wigraha (Arcanam), dan Nyasa (simbul-simbul keagamaan Hindu).

 

Seperti porosan, porosan sebagai pelengkap suatu upakara, memiliki ajaran konsep Nyasa, filsafat dan ajaran tattwa yang basic dan konseptual dengan ajaran Siwasidhanta, yang kita anut di Bali, disamping konsep ajaran filsafat dan tattwa, yang lainnya, seperti Budha Mahayana, sehingga oleh para ahli agama Hindu yang kita anut di Bali, sering kita sebut Siwa Budha.


Unsur-unsur porosan, yang terdiri dari kamben porosan, base, buah, dan pamor itu, adalah nyasa prabhawa Hyang Widhi dalam wujud Dewa Trimurthi.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;


 

Buah, yang berwama merah, nyasa Dewa Brahma, sebagai prabhawa utpthi, (pencipta). Base, berwarna hijau, adalah nyasa Dewa Wisnu sebagai prabhawa stithi, (pemelihara, Pembina, dan Pengayo).

 

Sedangkan pamor, yang berwarna putih, adalah sebagai nyasa Dewa Siwa sebagai prabhawa Hyang Widhi, dalam wujud sebagai pelebur atau pamralina.

 

Belum lagi pengungkapan aspek filsafat, tattwa dan nyasa beberapa bentuk dan jenis banten, seperti pabangkit, gayah utuh, sampai telah ditingkatkan menjadi Sate Tegeh, Sate Wayang atau Sate Bingin, yang merupakan nyasa Durgha Dewi, shakti Dewa Siwa itu.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Demikian pula halnya pula gembal, sampai telah ditingkatkan wujudnya menjadi sarad, yang merupakan nyasa Dewa Ganesya (Gana+lsa), putra Dewa Siwa dengan Parwati Dewi, (dasanama lain) Uma Dewi.

 

Dewa Ganesya, atau di Bali lebih dikenal sebagai Bhatara Gana, adalah juga abhiseka Dewa Awighnesura, yang berarti; Dewa Raja Rintangan atau Dewa Penghalang Rintangan.


Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Demikian pula tidak akan mungkin kita membicarakan aspek-aspek ajaran filsafat, tattwa dan nyasa eteh-eteh tatandingan Daksina, Bagia Pulakerti, yang kedua bentuk dan jenis banten itu me-nyasa-kan alam raya (isi Bhwana Agung) ini.

 

Termasuk plawa peselan, plawa munggah ring sanggar tawang, yang dalam upaweda merupakan pancavrikshu, (lima tumbuh-turnbuhan sorga), dari indraloka, yang ditanam di taman Nandhane, Taman Dewa Indra di indraloka yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan suci, seperti ; (1) Mandara, (2) Kalpa Vriksha, (3) Parijataka, (4) Hari-Chendanaka, dan Bodi, (di Bali, sering diganti dengan ancak).

 

Lalu bagaimana kisah Panca Vriksha itu sampai tumbuh di Madyapada atau dunia ini, menurut sumber Upaweda.

 

Dan kenapa Panca Vriksha selalu digunakan khusus sebagai Plawa Sanggar Tawang, Sanggar Tutuan atau Sanggar Surya, Panggunga, yang menurut tradisi Bali, di samping yang pokok mempergunakan (1) Bingin, (2) Ancak, tiga jenis plawa lainnya, sebagai pengganti, biasa digunakan (3) Uduh, (4) Peji dan (5) Biyu Lalung.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Di samping kelima tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai plawa Sanggar Tawang, Sanggar Tutuan atau Sanggar Surya dan panggungan merupakan nyasa sorga, juga sebagai tuntunan ajaran tata susila, yang pengungkapannya secara kirata basa, yakni dimana dipasang plawa uduh, irika patut kapituduhang ngunggahang banten (upakara).

 

Dimana dipasang plawa peji, yang sampun ngunggahang banten, punika sane kapuji.

 

Sedangkan plawa biyu lalung, pisang adalah juga disebut salah satu species tumbuh-tumbuhan atau buah sorga, yang dalam beberapa lontar Mpu Lutuk dan Prembon Babantenan, sebagai nyasa tateken atau Tungked Bathara Surya.

Selain dari itu, banten juga merupakan nyasa paragan Widhi, atau nyasa wujud fisik Widhi (Brahman), seperti yang dikemukakan dalam Lontar Medang Kemulan, yang petikannya sebagai berikut:

 

Umat Sedharma yang berbahagia;



" ... saha widhiwidhananya, tekeng taledan awang sasayut, marage dewa sami, tekeng wawangunan.Bantene ring sanggar tawang, ring aryane pinaka ulunin bhatara, tekeng bahu sasana ring tutuan, pinaka hasta karo, babantene ring arepan widhine pinaka, anggan bhatara, carune pinaka wamun, bhatara tekeng gigir awang ampolan, sane ring panggungan, pinaka sukun bhatara, sane ring paselang, pinaka dlamakan bhatara, sakwehing jajaitan, pinaka carman bhatara......



Berdasarkan petikan lontar Medang Kemulan yang telah dikemukakan sesuai dengan opini atau pendapat umum dikalangan masyarakat umat Hindu di Bali, sangat keliru, bahwa semua banten itu adalah merupakan rayunan Widhi, Seperti telah dikemukakan, berbagai bentuk dan jenis banten (upakara) adalah memiliki konsep ajaran filsafat, tattwa dan berbagai aspek nyasa.

 

Bahkan ada yang merupakan tuntunan ajaran yang bersifat petunjuk kepatutan ngunggahang banten (ingat plawa peji dan uduh). Termasuk merupakan sedana dan sarana doa, (ingat data upacara Pakerab Kambe atau Masakapan, saat dilakukan upacara Makalakalan, aed terakhir kedua mempelai menanam kunyit-endong di belakang sanggah kemulan atau pamrajan kamimitan, itu adalah penyampaian doa secara kiratabasa, (mara ngajengit apang suba ngelandong).


Ingat dan bandingkan pula dengan upacara mantenan padi di lumbung, yang eteh-eteh bantennya, berisi don dindingai, don tebel-tebel, dan kayu padi, yang semuanya merupakan doa yang dikemukakan secara kiratabasa.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...