Senin, 09 September 2024

TARI TOPENG SIDAKARYA

 TARI TOPENG SIDAKARYA

Tari Topeng Sidakarya ditarikan oleh 1 orang laki yang merupakan Tarian Wali sebagai pelancar jalannya upacara yadnya. Tarian ini ditarikan menggunakan topeng berwarna putih dengan kesakralan yang terlihat dari topengnya, dan penari menari membawa bokorang berisi uang kepeng, dupa, beras kuning, dan canang sari yang digunakan sebagai symbol pelancar jalannya upacara yadnya.


 

Topeng Sidakarya bertujuan agar upacara ataupun pekerjaan yang dilakukan dapat berlangsung hingga selesai dengan selamat dan baik. Melalui lakon yang dipentaskan memberi uraian terkait arti suatu upacara yang digelar dengan tujuan untuk menghubungkan umat dengan Tuhan.

Suatu Upacara bukan hanya dipimpin dan diselesaikan oleh sulinggih atau pendeta saja, pertunjukan Tari Topeng Sidakarya ikut untuk pengukuhan sempurnanya dan suksesnya suatu upacara. Tari Topeng Sidakarya selain sebagai pelengkap ritual agama Hindu, Tari Topeng Sidakarya merupakan seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah.

Gerakan dalam Tari Topeng Sidakarya dibagi dalam beberapa gerakan inti yang memiliki simbolis sebagai pelancar jalannya Upacara yadnya, yakni gerakan ngayab, gerakan ngejuk (menangkap anak kecil), dan gerakan melemparkan beras kuning.

Topeng Sidakarya memiliki peranan penting dalam setiap upacara yadnya bagi umat Hindu di Bali. Upacara yadnya belum dinyatakan selesai sebelum dipentaskannya tarian sakral ini, sehingga dalam setiap prosesi ada pementasan tarian yang tergolong tari wali. Jenis tarian ini adalah bergenre tari topeng dengan atribut yang khas menampakan ketuaanya. Sidakarya secara literal berarti pekerajaan yang sudah tuntas atau selesai.

Melalui pementasan tarian ini, masyarakat Hindu yang melangsungkan upacara yadnya diyakini sudah selesai menjalankan yadnya, dan tentunya ada pemberkatan di dalamnya. Tarian sakral yang menunjukan kesan magis, dan tidak saja dipandang sebagai pelengkap ritus yadnya, tetapi juga kaya makna teologi, keindahan dan filosofis yang berhubungan dengan praktik beragama Hindu di Bali yang di dalamnya tidak terlepas dari konsep satyam, siwam dan sundaram.

 

Senin, 02 September 2024

HINDU BANTEN ; KEGIATAN NGAYAH AKAN MEMBENTUK SOLIDARITAS SOSIAL

KEGIATAN NGAYAH AKAN MEMBENTUK SOLIDARITAS SOSIAL

Ngayah. Dalam tradisi masyarakat Hindu Bali, ketika ada upacara piodalan maka masyarakat baik pria atau wanita diwajibkan untuk terjun ngayah. Dalam acara ngayah kebersamaan lebih terlihat dimana umat saling membantu untuk mempersiapkan jalannya upacara.

Acara ngayah memberikan banyak makna kebersamaan. Masyarakat saling membantu menyelesaikan pekerjaan satu sama yang lain.

 


Bagi masyarakat Hindu, melaksanakan yadnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama, baik yang berhubungan dengan upacara ataupun sikap. Masyarakat melaksanakan yadnya dengan perasaan tulus ikhlas, murni dan suci sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa Wasa.

 

Kegiatan Ngayah akan membentuk solidaritas sosial, hal ini terjadi karena adanya berbagai macam kesamaan ras, suku, dan adanya perasaan yang sama sehingga mereka mempunyai keinginan kuat dalam memperbaiki keadaannya dan daerah ataupun lingkungan sekitarnya dengan cara saling membantu satu sama lain. Solidaritas sosial juga dipengaruhi adanya interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan cultural.

 

Kegiatan Ngayah juga membentuk Interaksi sosial, dimana adanya hubungan antara individu satu dengan yang lain, atau adanya situasi sosial.

 

Maka dalam melaksanakan yadnya seperti halnya pelaksanaan Piodalan di sebuah Pura, interaksi sosial dan solidaritas sosial merupakan unsur yang paling penting diperlukan dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan pelaksanaannya. Tanpa adanya interaksi dan kebersamaan di antara masyarakat, piodalan tidak dapat terlaksana dengan sempurna.

 

Dalam kitab Sarasamuscaya Sloka 2 yang berbunyi : Ri sakwehing sarwa bhuta, iking janma wwang juga, wènang gumawayaken ikang çubhaçubhakarma, kuneng panëntasakëna ring çubhakarma juga, ikangaçubhakarma phalaning dadi wwang.

 

artinya:

Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.

 

Sloka tersebut mengingatkan bahwa menjadi manusia merupakan sesuatu yang sungguh-sungguh utama. Dalam kehidupan sosial ini hendaknya manusia mampu menciptakan hubungan baik antar sesama dengan bertingkah laku yang baik pula. Seperti halnya saat ngayah dalam beryadnya, begitu banyak prilaku kekeluargaan yang tercermin.