Sabtu, 26 Juli 2025

Jengah itu “bukannya marah”.

 JENGAH

 

Dalam konteks budaya Bali, "jengah" memiliki makna lebih dalam, terkait dengan nilai-nilai agama Hindu dan etos kerja keras untuk menghindari rasa malu. "Jengah" menjadi dorongan untuk bekerja keras, bangkit dari keterpurukan, dan menjaga harga diri. Sikap jengah diyakini sebagai sikap yang mampu memperkuat diri untuk tampil berkualitas.

 


Jengah itu “bukannya marah”. Begitu banyak nilai-nilai atau ajaran agama Hindu terekspresi dan menjadi nilai-nilai budaya Bali, salah satunya adalah jengah, yang dalam bahasa sansekertanya disebut Hrih yang diartikan sebagai ‘memiliki rasa malu’. Rasa malu itu berkaitan dengan sloka dalam Bhagavadgitha, ketika Arjuna menolak untuk berperang melawan Kurawa. Ketika itu Khresna menasehati Arjuna, agar tidak melakukan perbuatan yang memalukan atau hina, sebagai ksyatria yang menolak berperang. Perang yang akan dilakukan adalah perang melawan adharma (kebatilan) dalam rangka menegakkan dharma (kebenaran).

 

Melakukan jengah analoginya bagaikan melaksanakan perang, (urip sekadi perang). Keberhasilan dari jengah adalah diraihnya kesuksesan, direbutnya kemenangan dan diperolehnya jalan dharma serta berujung pada pemuliaan Tuhan. Dalam konteks budaya, perkataan jengah memiliki konotasi sebagai semangat guna menumbuhkan inovasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jengah merupakan dasar sifat-sifat dinamik yang menjadi pangkal segala perubahan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu perang dalam diri sendiri adalah melawan rasa malas untuk berkegiatan sosial di masyarakat (Ngayah). Rahayu

Kamis, 24 Juli 2025

Ngayah Tradisi Umat Hindu Bali Warisan Leluhur | Sing Mragatang Empugan

 Sing Mragatang Empugan

Ngayah, semua orang sudah tahu, pekerjaan yang dilakukan dengan tulus ikhlas sering terkait dengan upacara keagamaan Hindu dalam masyarakat Bali dimanapun berada. Banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan artinya dirubah dari bahan baku menjadi bahan jadi. Dari selembar busung dirubah menjadi sampian, aneka jejahitan yang indah. Dari sebatang bambu dirubah menjadi aneka bentuk uparengga, katik, klakat, dan banyak hal lain yang unik-unik. Ada bentuk-bentuk unik yang harus diwujudkan dari daging Babi, ada bentuk seni-seni yang indah yang harus dibentuk dari tepung beras, dan banyak hal lainnya bahkan yang sangat sulit, karena hanya orang-orang tertentu yang dapat mengerjakannya.



Proses Ngayah tidak semata-mata merubah dari bahan dasar menjadi bahan jadi, tetapi juga merupakan proses transfer ilmu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Bagaimana proses itu bisa terjadi, semata-mata karena ada ngayah yang dilakukan bersama-sama, guyub rukun saling interaksi satu sama lainnya. Untuk itulah kehadiran kita menjadi sangat penting dalam kegiatan Ngayah, agar bisa berinteraksi satu sama lainnya.



Hal-hal unik dalam sarana Upakara, Uparengga, Jejahiatan yang merupakan warisan leluhur kita ini, telah bertahan lama semata-mata karena terjadi transfer ilmu saat-saat Ngayah, saat-saat adanya piodalan. Memang dalam interaksi terkadang kita mendengar istilah Sing mragatang empugan dalam bahasa Bali berarti tidak menyelesaikan masalah atau tidak tuntas. "Sing" adalah kata untuk "tidak", "mragatang" berarti "menyelesaikan", dan "empugan" berarti "masalah" atau "persoalan". Jadi, frase ini secara harfiah berarti "tidak menyelesaikan masalah". 



Hal ini terjadi karena ‘macet’nya transfer ilmu saat-saat kegiatan Ngayah, atau adanya rasa malu saat kita tidak tahu apa yang harus dikerjakan, malu untuk bertanya, atau malu untuk berinteraksi dengan pengayah lainnya. Dalam nyanggra Pujawali 61 Pura Dharma Sidhi kegiatan Ngayah sangat sering dilaksanakan, dan akan menjadi tempat interaksi dan transfer ilmu antar generasi. Rahayu.

Senin, 21 Juli 2025

Sing Nawang Apa | Jadi Panak Bojog / Anak Kera dinamakan Apa.

 Sing Nawang Apa


Upacara ngunggahang Sunari, bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang pelaksanaan upacara tersebut kesegala arah, dari sapta petala, sapta dewata sampai ke sapta sunia. Itulah sebabnya lubang yang terdapat dalam sunari itu berjumlah tujuh buah/sapta Brahman. 



Sunari/Sundari juga berarti indah, harmonis. Alunan suaranya yang indah itu akan mengundang perasaan yang damai, nyaman, tentram dalam melaksanakan ritual keagamaan. 


Dalam batang sunari tersebut terdapat pula hiasan Kera sebagai lambang Angin (Marut/maruti/Hanoman). Disisi lain Sunari juga bermakna “Sunar’/Sinar” dan I bermakna menuju, jadi dengan sunari kita diharapkan menuju pada kecerahan sinar. 


Anak kera juga juga bernama “Ape”, jadi karena “sing nawang ape” maka perlulah sinar pencerah agar dapat melaksanakan upacara dengan baik dan benar.


Seimbangkan antara upakara, susila dan tattwanya, karena itu merupakan yadnya, kalau menyimpang dari tattwanya disebut “buta”, kalau tidak memakai tatanan/susila yang benar disebut “tuli”, kalau tidak menggunakan upakara disebut “lumpuh”, kerjanya sia-sia, karena merupakan manipestasi dari tubuh kita. 


Maka dari itu marilah kita bersama belajar tentang hakekat upakara dan upacara, agar senantiasa kita memperoleh kedamaian dan kesejahteraan, karena dengan mengikuti tuntunan sastra kita berupacara akan memperoleh hasil yang maksimal.


Jadi Panak Bojog / Anak Kera dinamakan Apa.

Sabtu, 19 Juli 2025

Ngayah, Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi ?

 Ngayah, Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi ?


Ngayah ikhlas adalah tradisi gotong royong di Bali yang dilakukan dengan sukarela dan tanpa pamrih, terutama dalam konteks kegiatan sosial dan keagamaan. Ngayah ikhlas berlandaskan pada nilai-nilai keikhlasan, kebersamaan, dan pengabdian kepada masyarakat serta Tuhan. 



Ngayah merupakan warisan budaya Bali yang penting untuk dilestarikan, karena mengandung nilai-nilai luhur yang relevan dalam kehidupan bermasyarakat. 


Ngayah dilakukan tanpa adanya paksaan atau imbalan materi, murni karena kesadaran untuk membantu dan berkontribusi pada kegiatan bersama. Ngayah menekankan pada kerjasama dan saling membantu antar anggota masyarakat, memperkuat solidaritas dan keakraban. 


Ngayah dapat berupa berbagai kegiatan, seperti membersihkan tempat ibadah, membantu upacara keagamaan, menyediakan konsumsi untuk peserta upacara atau kegiatan sosial lainnya di lingkungan masyarakat. 


Ngayah sejalan dengan ajaran Karma Marga dalam agama Hindu, yang menekankan perbuatan baik sebagai jalan menuju Tuhan. Ngayah mengandung nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, kebersamaan, solidaritas, dan pengabdian yang memperkuat tali persaudaraan dan harmoni dalam masyarakat. Melalui ngayah, seseorang juga dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui pengabdian dan perbuatan baik. 


Tradisi ngayah telah mengalami perubahan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat modern. Masyarakat modern sekarang memiliki gaya hidup yang efektif dan efisien. Masyarakat modern kini memiliki gaya hidup berdasarkan atas hal-hal yang bersifat efektif dan efisien. 


Walaupun tradisi ngayah dijalankan dengan cara yang lebih praktis dan efisien, nilai-nilai sosial masyarakat tetap terjaga seperti gotong royong, keikhlasan, dan toleransi antar sesama. Rahayu

Kamis, 17 Juli 2025

Beryadnya Banyak Godaannya | Panca Yadnya Agama Hindu

 Beryadnya Banyak Godaannya


Ungkapan "beryadnya banyak godaannya" dalam konteks agama Hindu mengacu pada tantangan dan godaan yang mungkin muncul saat melaksanakan yadnya (persembahan suci). Meskipun niatnya baik, godaan bisa datang dalam berbagai bentuk. Misalnya saat melakukan yadnya, seseorang mungkin mulai mengharapkan imbalan atau pujian atas perbuatannya, yang sebenarnya bertentangan dengan makna yadnya yang tulus ikhlas.



Terkadang, seseorang bisa terpengaruh oleh pelaksanaan yadnya orang lain, merasa kurang atau lebih, yang bisa mengurangi rasa syukur dan keikhlasan dalam beryadnya. Godaan untuk tidak fokus pada yadnya, seperti memikirkan hal-hal duniawi atau terbawa suasana, juga bisa menjadi tantangan tersendiri.


Melaksanakan yadnya secara rutin bisa menimbulkan rasa lelah dan bosan, sehingga mengurangi semangat dalam beryadnya. Terkadang, keterbatasan materi bisa menjadi godaan untuk tidak melaksanakan yadnya dengan baik atau bahkan meninggalkannya.


Oleh karena itu, penting untuk selalu ingat makna yadnya yang sebenarnya, yaitu persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Tuhan dan sesama, serta berusaha untuk mengatasi godaan-godaan yang mungkin muncul. Dengan demikian, yadnya yang dilakukan akan memberikan manfaat spiritual yang lebih besar. 


Ada pula pernyataan "beryadnya banyak godaannya berasal dari bhuta kala" dalam konteks agama Hindu, khususnya dalam upacara Bhuta Yadnya, merujuk pada keyakinan bahwa godaan dan rintangan dalam melaksanakan yadnya (persembahan suci) berasal dari kekuatan negatif atau unsur-unsur alam yang tidak seimbang, yang disebut Bhuta Kala. 


Godaan dalam konteks ini bisa berupa berbagai macam, seperti gangguan dalam pelaksanaan upacara, kesulitan dalam mencapai tujuan yadnya, atau bahkan munculnya hal-hal negatif yang menghalangi kelancaran upacara. 


Bhuta Yadnya adalah upacara yang ditujukan untuk menyeimbangkan kekuatan negatif Bhuta Kala. Tujuannya adalah untuk memohon perlindungan dan menetralisir pengaruh buruk Bhuta Kala agar tidak mengganggu kehidupan manusia. 


Dapat kita lihat bersama, dalam setiap rangkaian Upacara yang kita laksanakan selalu melakukan Pecaruan. Rahayu