Senin, 29 Agustus 2011

Brahma Catur Mukha

Brahma Catur Muka
Pada umumnya setiap Purana menyebutkan Brahma sebagai Catur Mukha, yang memiliki 4 wajah dan untuk mendukung ceritra Brahma memperoleh 4 wajah diceritakan di dalam kitab Matsya Purana. Brahma menciptakan Satarupa dari separo badannya, dan menjadikannya sebagai seorang wanita yang cantik berkeliauan sebagai istrinya. Brahma tidak dapat memalingkan pandangannya terhadap kecantikan istrinya walaupun sekejap saja. 

Untuk mencegah supaya melihat seluruh gerakan istrinya keberbagai arah, maka Brahma menciptakan wajahnya sendiri menjadi 4 wajah. Suatu kali Satarupa berjalan-jalan di angkasa, saat itu juga muncul wajah yang ke 5 dari gelung rambut pada kepala dewa Brahma. Wajah yang ke 5 ini kemudian ditebas oleh Sang Hyang Siva. Tentang ditebasnya wajah yang ke 5 milik dewa Brahma terdapat berbagai versi, antara lain :


* Suatu hari Brahma memuja putranya Sang Hyang Siva dan memohon kesediaanya untuk menjadi putranya sendiri. Sang Hyang Siva tidak berkenan atas permintaan tersebut. Siva marah dan mengutuk,"Saya akan menjadi anak anda. Tetapi saya akan menebas wajah anda yang ke-5".

* Pada awalnya Brahma menciptakan inkarnasi Siva, yang juga dinama Nilalohita, bersamaan dengan penciptaan dunia dan segala sesuatunya. Pada akhir masa penciptaan. Brahma tidak lagi memikirkan Nilalohita. Menyaksikan Brahma sibuk melaksanakan proses penciptaan dan melupakan dirinya, Nilalohita marah kepadanya dan mengutuk Brahma " Wajah anda yang ke - 5 segera akan kuhancurkan ! "

* Setelah Brahma memiliki 5 wajah, cahaya para devata semakin hari semakin pudar. Menyaksikan keadaan itu Brahma menjadi takabur dan berkata kepada Siva : " Aku yang pertama yang eksis di bumi ini, oleh karenanya Aku-lah yang tertua ". Mendengarkan hal itu, Siva sangat marah dan menebas kepala Brahma yang ke - 5 dan melemparkannya jauh-jauh ( Matsya Purana 183.84-86 ). Ketika kepalanya yang ke - 5 lenyap, wajahnya yang dilemparkan itu menjadi beku. Keringat yang mengalir dari padanya kemudian dijatuhkan ke bumi oleh Brahma. Dari keringat yang telah menyentuh bumi itu muncul monster yang mengerikan, yang segera mengejar dewa Siva dan berhasil menangkapnya dan diberikan kepada dewa Visnu ( Skanda 5.13.4 )

* Di dalam himpunan cerita tentang Siva-Rudra, diceritakan terjadi pertengkaran antara Siva dengan Brahma. Suatu kali Brahma jatuh cinta terhadap Sati, Sakti dari Siva, mengetahui hal ini Siva berusaha untuk membunuh Brahma. Mahavisnu berusaha menenangkan Siva, tetapi usaha tersebut sia-sia. Siva kemudian mengambil wajah Brahma yang ke - 5 dan menjadikan Brahma nampak buruk penampilannya dan akibatnya Brahma menjadi gaib di dunia ini.

* Suatu hari Siva menunjukkan putrinya bernama Sandhya kepada Brahma yang seketika itu tergoda dan tidak mampu mengendalikan nafsunya. Siva menghina Brahma atas kelakuannya itu dan memberitahukan kepada putra Brahma sendiri. Sebagai balasan Brahma menciptakan Sati dan menghina Siva melalui Daksa ( Skanda 2.2.26 )

Sumber Buku " Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu " oleh I Made Titib, hal 210, di posting oleh Rare Angon Nak Bali Belog

Sabtu, 13 Agustus 2011

5 Cara Menghitung Jasa Leluhur : Panca Widha

Pura Ulun Danu Beratan
Dalam kitab suci Manawa Dharmasastra VI.35 ada dinyatakan bahwa dalam hidup ini seseorang tidak dibenarkan untuk mengarahkan hidupnya untuk mencapai kelepasan dari kehidupan duniawi apabila belum menyelesaikan hutang moralnya yang di sebut Tri Rna. Ini artinya jalan kelepasan menuju dunia rohani tidak akan mulus dicapai kalau kewajiban suci hidup di dunia ini belum diselesaikan. 

Hutang  moral yang disebut Tri Rna ini adalah; Dewa Rna yaitu rasa berhutang kepada Tuhan, Rsi Rna berhutang kepada Rsi ( orang suci ) dan Pitra Rna berhutang kepada leluhur atau Pitara. 



Dalam kita Nitisastra Kakawin VIII.3 ada dinyatakan lima perbuatan jasa leluhur kepada keturunannya. Lima perbuatan jasa leluhur itu disebut Panca Widha yaitu : 

1. Sang Ametuaken 
   : artinya orang yang melahirkan kita.
2. Sang Maweh Binojana 
   : artinya orang yang memberikan kita makan, minum
3. Sang Matulung Urip Rikalaning Baya 
  : artinya orang yang menyelamatkan nyawa kita saat menghadapi mara bahaya.
4. Sang Mangupa Dyaya 
   : artinya orang yang memberikan kita pendidikan
5. Sang Anyangaskara 
   : artinya orang yang menyucikan rohani kita

Inilah Swadharma atau kewajiban suci orang tua atau leluhur yang disebut Panca Widha.

Karena itu dalam tradisi umat Hindu di Bali juga disebut "Bapa". Artinya beliau yang melindungi. Lima kewajiban suci itu umumnya dilakukan oleh orang tua secara tulus dan iklhas berkorban. Inilah Yajna orang tua kepada keturunanya. Karena itu kitab suci Weda dan kitab-kita tafsirnya mengajarkan kepada umat Hindu untuk berbakti kepada leluhurnya baik saat beliau masih hidup maupun setelah beliau meninggal dan rohnya disucikan melalui suatu prosesi upacara yang disebut Upacara Pitra Yajna.

Dalam kitab Sarasamuccaya 250 ada dinyatakan suatu jani bahwa bagi mereka yang sungguh-sungguh berbhakti kepada leluhurnya akan mendapatkan empat pahala mulia yaitu ; Kirti, Bala, Ayusa, dan Yasa

Kirti : artinya kemakmuran dan kemasyuran. Masyur tidak sama dengan terkenal. Terkenal itu ada yang positif dan ada yang negatif. Tetapi masyur adalah terkenal karena mampu menunjukkan perbuatan yang sangat patut dipuji. Jadinya masyur itu adalah terkenal karena positif. Untuk mendapatkan kesempatan berbuat baik yang berguna bagi banyak orang tidaklah mudah. Tetapi bagi yang rajin berbakti kepada leluhur kesempatan itu akan terbuka. Demikian keyakinan ajaran Hindu.


Bala : artinya kekuatan. Bagi yang rajin berbhakti kepada leluhurnya akan mendapatkan kekuatan yang disebut Bala. Kekuatan dalam hal ini bukanlah dalam arti fisik semata. Bala artinya kekuatan lahir bathin. Sehat dalam arti jasmani dan rohani. Kuat menghadapi sukha dan dukha. Dalam kitab Bhagawad Gita II. 15 dinyatakan : sama duhha sukham dhiram. Artinya seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan dukanya kehidupan.
 
Ayusa : artinya umur panjang. Ayusa ini tidak sama artinya dengan orang lanjut usia. Karena dalam Sarasamuccaya ada dinyatakan bahwa orang yang tidak berbuat Dharma dalam hidupnya ini sama dengan orang mati. Bedanya dengan mayat hanya karena ia bernafas. Jadinya dalam hidup ini kalau kita dapat pergunakan sebagian besar umur ini untuk berbuat baik itulah yang disebut Dirgha Yusa atau Ayusa.Orang yang selalu berbuat berdasarkan Dharma dalam hidupnya dapat mencapai keadaan yang disebut "hidup tanpa nafas" artinya orang yang mampu berbuat baik dalam hidupnya ini sampai perbuatan baiknya itu sampai menjadi sumber hidup dan kehidupan sampai turun temurun. 


Meskipun ia sudah tidak bernafas lagi alias sudah meninggal, namun perbuatannya yang dahulu terus menjadi suri tauladan generasi ke generasi. Seperti para Rsi, meskipun beliau sudah tidak ada secara fisik namun karya-karya beliau terus menjadi sumber hidup dan penghidupan sampai saat ini. Hal seperti itulah yang akan didapat bagi mereka yang rajin berbhakti kepada leluhurnya.

Yasa : artinya berbuat jasa. Salah satu harapan setiap orang yang hidup di dunia ini adalah mampu berbuat jasa kepada keluarga, masyarakat, bangsa, Negara dan Dharma. Untuk berbuat jasa itu adalah salah satu naluri hidup manusia. Cuma tidak semudah itu seseorang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk berbuat jasa. Namun bagi yang rajin berbhakti pada leluhurnya kesempatan dan kekuatan itu akan lebih mudah diperolehnya.

Itulah empat pahala bagi orang yang memuja leluhur. Karena itulah umat Hindu dimanapun mereka berada umumnya memiliki tempat pemujaan leluhur. Bentuk dan corak pemujaannya itu ada yang bercorak Sapinda, Gotra atau Pravara.
Dari buku " Mengapa Bali disebut Bali " oleh Drs. I Ketut Wiana, diposting oleh Rare Angon Nak Bali Belog

Kamis, 04 Agustus 2011

Bhagawan ( Maha Resi ) Carabhangga

Rama Purusothama

Bhagawan Carabhangga adalah orang suci yang telah mencapai Moksa, selain itu terdapat; Bhagawan (Maha Resi) Byasa atau Wyasa atau Kresna Dwipayana yaitu putra Bhagawan Paracara dengan Dewi Sayojana Gandhi ( Satyawati), Sang Dharmawangsa (Yudhistira), Panca Pandhawa yang sulung, putra Pandhu dengan Dewi Kunti, Sang Budha (Budhha Siddharta Gautama) Putra raja Cuddodhana dengan Dewi Mahamaya, raja suku bangsa Sakhya beribukota di Kapilawasta (Kapilavatthu), Sang Gagang Aking-Sang Bubuksah, Empu Kuturan, Empu Bharadah,

 Shri Kresna salah seorang awatara Wisnu putra Prabhu Wasudewa dengan Dewaki, raja Dwarawati, Dukuh Sogra, Danghyang Dwijendra atau Padanda Cakti Wawu Rawuh - Padanda Cakti Wawu Dateng - Danghyang Nirartha - Tuan Semeru - Pangeran Sang Utpati, Sang Kulputih (Sang Kul Pinge) yaitu Pamangku di Pura Besakih, Rajapala dalam cerita Durma, Bhagawan Bhagaspati dalam wira carita Mahabharata dan Dukuh Blatung dalam Babad Pinatih.

Menurut Kita Kakawin Ramayana, dijelaskan keadaan Bhagawan ( Maha Resi ) Carabhangga yang telah mencapai Moksa. Diceritakan pada waktu Sang Rama, Sita dan Laksmana,
sedang mengembara di hutan dan gunung Citrakuta, masuklah beliau ke pesraman Maha Resi Atri, kemudian meneruskan perjalanan ke hutan raya Dandhaka.

Bertemulah beliau dengan Raksasa yang dahsyat dan mengerikan, berjalan sungsang, kaki diatas dan tangan dibawah, takutlah musuh-musuhnya.
Raksasa itu bernama Wirada ingin segera membunuh. Dengan senjata kuku yang tajam serta mulut menganga lebar ia datang menyerang karena menganggap Rama dan Laksama orang lemah tanpa kekuatan atau kesaktian.

Rama dan Laksmana maju dan secepat kilat masing-masing menangkap kaki raksasa Wirada itu lalu dibelah ( disobek ) maka matilah raksasa Wirada dengan badan terbelah dua.


Setelah itu Rama dan Laksmana mengembara tiada bahaya mengancamnya, lalu masuklah beliau ke suatu pasraman yang asri, indah berwibawa, pertapaan Bhagawan Carabhangga. sang Bhagawan adalah seorang yogi yang telah berhasil semadhinya, sehingga dapat mengetahui keadaan di niskala serta tahu akan keparamarthan ( Moksa ).

Setelah bertemu dengan Rama dan Laksmana maka mohon dirilah Bhagawan Carabhangga untuk Moksa dan berkata :

 

 " Tuanku ialah Rama, putra seorang raja, hamba mohon diri untuk kembali ke alam niskala, yaitu Moksa; berbahagialah hati hamba dapat bertemu dengan uanku di tempat ini, Tuanku adalah Narayana, penuntun dunia yang agung. Tuanku, tiada jauh dari sin terdapatlah suatu asrama pertapaan seorang Yogi Sutiksna namanya yang dapat dijadikan sahabat baik, tempat berlindung ."

Setelah berkata demikian maka Sang Pertapa Bhagawan Carabhangga melaksanakan yoga semadhi, keparamarthan, maka keluarlah api dharana, yang lahir dari pemusatan pikiran yang tunggal lalu membakar badan jasmani Sang Bhagawan hingga sirna Moksalah Bhagawan Carabhangga tanpa jasad.

Sumber " Buku Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan " Disusun oleh : Panitya Tujuh Belas di Jakarta  1986 . Di posting oleh : Rare Angon Nak Bali Belog