Jumat, 23 September 2011

Pitra Yadnya Ngaben : Bade | Nagabandha

pitra yadnya ngaben
Nagabandha
Bade adalah sarana Pitra Yajnya dan tidak tergolong bangunan suci, namun bangunan tersebut beserta perlengkapannya mengandung makna simbolis yang dalam. Bangunan lainnya adalah Bade, Wadah, Petulangan sarana upacara ngaben, Bukur atau Madhya digunakan pada upacara Nyekah, Mamukur, Maligya atau Ngeroras.

Bade bentuknya menyerupai Meru, namun terbuat dari kayu dan dilapisi dengan kertas warna-warni utamanya kertas emas. Seperti halnya Meru, maka Bade menggunakan atap tumpang, yakni yang tertinggi beratap tumpang 11 ( Solas ), atap tumpang 9 ( Sanga ), atap tumpang 7 ( Pitu ), atap tumpang 5 ( Lima ), atap tumpang 3 ( Telu ) dan atap tumpang 1 ( terdiri dari 2 atap tumpang ).
Bade adalah lambang " Bhuwana Agung " dengan puncak-puncak gunung yang disimbolkan dengan atap tumpang tersebut. Dengan ditempatkannya jenasah pada menara yang disebut Bade ini, diharapkan Roh ( Atma ) orang yang diupacarakan Ngaben tersebut segera mencapai alam Sorga ( Kadevataan )

Nagabandha. Berkaitan dengan upacara Ngaben dalam tingkatan yang besar (uttama) dan umumnya digunakan bagi para raja ( mantan raja ) dan juga pandita Hindu dari warga Brahmana Budha ( Budakeling ) adalah Nagabandha.


Nagabandha dibuat dari kain dengan panjang 1700 depa ( sekitar 1.500 meter ) merupakan simbol dari keterikatan badan jasmani terhadap objek-objek duniawi, oleh karena itu pada saat upacara Ngaben, Nagabandha tersebut di "ENTAS" dengan panah kalepasan oleh seorang pandita yang memimpin upacara Ngaben tersebut. 

Dalam lontar Tattwa Bhattara Astapaka diuraikan " .... Huwus lah yeki ingaranan Nagabandha, penuntn sang wibhuh muliheng Haribhawana. Sadela setahun rong tahun cili muliheng Haribhawana, munggah ring bale-reragi. Kewala kawenangan kulawangsa sangulun juga angatera, yan tan kulawangsa hulun kawenang, tatan prasidha sang hyang pitra muiheng Haribhawana
Terjemahannya:

".... Inilah yang bernama Nagabandha, yang akan menuntun seorang raja mencapai sorga ( Haribhawana ). Kiranya tidak akan lama lagi Tuanku ( Cili Bali ) akan pulang ke alam sorga, ditempatkan di balai raragi ( kematian). Dan yang patut menyelesaikan ( memimpin upacara ) adalah keturunan hamba ( Mpu Danghyang Astapaka ) sajalah, bila tidak dari keturunan hamba, tidak akan mendapat sorga arwah yang meninggal dunia ".

sejarah Nagabandha dalam Lontar Tattwa Bhatara Astapaka, yang merupakan babad (silsilah) keluarga Brahmana Buddha di Bali, yang dimaksud adalah Mpu Katarangan yang identik dengan Mpu Astapaka, putra Mpu Angcoka, kakak dari Danghyang Nirartha seorang pandita istana dari raja Dalem Waturenggong yang memerintah Bali pada tahun 1460-1550 Masehi dan beristana di Puri Linggarsapura ( Gelgel ), Kabupaten Klungkung.

 Dalam Babad tersebut diuraikan bahwa Mpu Katarangan datang ke Bali karena diminta oleh Dalem Waturenggong untuk memimpin upacara "Homayajna". Setelah beliau tiba di Bali, sebelum sampai di istana Gelgel, Raja Dalem Waturenggong ingin menguji kesaktian Mpu Katarangan. Upaya yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong adalah membuat lubang di bawah lantai pertemuan, selanjutnya di dalam lubang dimasukkan seekor angsa kemudian diberi rongga udara dan ditutup dengan gedeg dari atas. 

Pada saat Mpu Katarangan tiba di istana ( balai pertemuan ), beliau disambut dengan meriah, dihadiri oleh seluruh pejabat istana dan para pandita, demikian juga masyarakat disekitar puri. Ketika sidang berlangsung tiba-tiba angsa dalam lubang berbunyi. Dalem Waturenggong pura-pura tidak mengetahui suara tersebut dan menanyai hal ini kepada Mpu Katarangan

Merasa bahwa dirinya diuji oleh Dalem Waturenggong, Mpu Katarangan menjawab bahwa suara tersebut ternyata seekor naga yang sangat besar, yang langsung dipangku oleh Mpu Katarangan. Dalem Waturenggong menanyakan tentang naga tersebut, Mpu Katarangan menjelaskan bahwa naga ini bernama Nagabandha, merupakan penuntun bagi sang raja untuk mencapai Visnuloka

Selanjutnya Mpu Katarangan atau Danghyang Astapaka meninggalkan Gekgel pergi ke arah timur dan membuat asrama serta menetap di Budakeling Karangasem.

Jumat, 16 September 2011

Dharma Wacana : DOA bertentangan dengan KARMA?

Dharma Wacana : dalam kegagalan kita tetap punya harga diri dalam keberhasilan kita tetap rendah hati
Doa dan Karma
Tetapi bukankah di dalam agama Hindu, hidup kita sepenuhnya ditentukan oleh perbuatan kita atau KARMA ? Andaikata kita mengajukan permohonan kepada Tuhan, dan Tuhan mengabulkan permohonan kita, bukankah ini berarti Tuhan campur tangan atau bahkan melanggar HUKUM KARMA yang diciptakannya ?. Mari kita lihat dulu manfaat Meditasi Sembahyang .



  1. Ketenangan Pikiran
  2. Mengetahui Tujuan
  3. Isi Ulang Energi
  4. Terhubung dengan Diri yang Lebih Luas
  5. Membuat Kita Rendah Hati
  6. Harapan Tanpa Kecemasan


1. Ketenangan Pikiran. Sejak kita masuk halaman pura kita sudah mulai berupaya menenangkan pikiran. Suara genta, mantra Pandita/Pinandita, bau harum dupa, kidung, pranayama, trisandya, panca sembah, dan siraman tirta, membuat pikiran dan hati kita tenang dan damai. Pikiran yang tenang dan damai membuat lingkungan tenang dan damai. Belum pernah terjadi orang pulang dari pura lalu demo sambil berteriak-teriak merusak milik orang.

2. Mengetahui Tujuan. Ketika pikiran tenang kita dapat mengetahui dengan jelas apa yang kita inginkan dalam hidup ini. Keinginan ini penting, karena, "seperti keinginannya demikianlah tindakannya; seperti tindakannya demikian manusia jadinya". Kadang-kadang kita berpikir, Tuhan tahu apa yang kita inginkan. Betul ! Tetapi kita sering kali tidak tahu apa yang kita inginkan, lalu bagaimana kita dapat melakukan sesuatu ? Atau keinginan kita terlalu banyak, sehingga tidak tahu mana yang harus direalisasikan terlebih dulu. Keinginan itu mengarahkan tindakan kita.

3. Isi Ulang Energi. Seperti hp yang dipergunakan sepanjang hari, baterenya pasti lemah. Demikian juga dengan diri kita. Tuhan adalah sumber listrik atau energi kita. Ketika diri kita, tepatnya jiwa, pikiran dan hati kita terhubung dengan Tuhan, hidup kita menjadi kuat dan segar kembali.

4. Terhubung dengan Diri yang Lebih Luas. Bayangkan kita ada dalam satu kamar sempit, dirumah kita. Mata kita hanya melihat ruang yang sempit,. Hati kita menjadi cupet dan ini bisa membuat pikiran kita rusuh. Lalu kita pergi piknik ke persawahan yang luas. Kita menyaksikan pemandangan yang luas dan indah. Hati dan Pikiran kita menjadi luas, lega dan bahagia, seolah-olah kita lepas dari kurungan. Ketika dalam keadaan itu, kita tidak hanya memikirkan diri kita sendiri, tetapi juga memikirkan orang lain, serta alam di mana dan dengan siapa kita hidup. Tindakan-tindakan kita mengikuti pikiran itu. Demikianlah halnya diri kita, jiwa kita yang dibatasi oleh badan, ketika terhubung dengan sumber dan asalnya, Tuhan, Jiwa Semesta, menjadi luas tak terbatas.

5. Membuat Kita Rendah Hati. Ketika kita telah berupaya dan berdoa, maka tahap berikutnya adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. " Kewajibanmu hanyalah bekerja, sedangkan hasilnya Aku yang menentukan " demikian dikatakan oleh Bhagawad Gita. Itulah hukum moralnya. Pada sloka lain Bhagawad Gita menjamin. " Tidak ada pengorbanan yang sia-sia ." Dengan mengikuti hukum ini kita akan sanggup bekerja keras, tetapi pikiran dan hati kita tetap tenang. Kepasrahan, setelah berupaya keras, merupakan bagian penting dari sembahyang kita. Dengan kata lain, sembahyang membuat kita rendah hati.

6. Harapan Tanpa Kecemasan. Masa depan memberi harapan. Tetapi juga kecemasan bahkan ketakutan (bila harapan tidak menjadi kenyataan). Dapatkah kita memiliki harapan tanpa kecemasan atau ketakutan ? Ada yang memberi nasehat agar kita tidak memikirkan masa lalu dan masa depan. Hanya memusatkan perhatian pada masa kini. Ini satu nasehat yang baik, tapi mungkin tidak banyak orang dapat mengikutinya. Jadi tidak mungkin berharap tanpa cemas dan takut ? Mengapa tidak ? Melalui doa atau sembahyang, kita menyerahkan masa depan kepada Tuhan.

Keenam manfaat sembahyang diatas sudah menjawab bahwa sembahyang sebenarnya adalah untuk diri kita. Bukan untuk Tuhan (agar Dia tidak marah). Tidak selalu doa kita dikabulkan Tuhan. Dan karena itu sering juga orang kehilangan kepercayaan kepada-Nya. Penolakan oleh Tuhan atas permohonan kita membuat kita lebih kuat, bila kita memahami maksudnya; dalam kegagalan kita tetap punya harga diri, dalam keberhasilan kita tetap rendah hati. Lagi pula Tuhan bukanlah pelayan rumah tangga kita.

Referensi "TUHAN AGAMA & NEGARA" Oleh Ngakan Made Madrasuta, penerbit MediaHindu, diposting oleh Rare Angon Nak Bali Belog.

Rabu, 07 September 2011

Vahana Devata | Binatang Suci Hindu

brahma wisnu siwa
Visnu - Garuda
Dalam kitab suci Veda kita jumpai informasi tentang binatang suci seperti garuda, angsa, naga dan lain-lain. Binatang-binatang tersebut ada yang merupakan gambaran perwujudan-Nya, ada juga yang berfungsi sebagai Vahana para devata.

Vahana Devata dapat berupa binatang dan burung, dimana para Dewa dan Dewi duduk mengendarainya, seperti Visnu diatas garuda, Brahma diatas angsa, Devi Durga di atas seekor singa, Kartikeya atau Kumara menggunakan burung merak sebagai kendaraannya, Ganapati kendaraannya seekor tikus, Indra atau Sasta di atas gajah (Airavata), Sani berupa burung merak, Yama berupa seekor kerbau, Dewi Ganga kendaraannya seekor buaya, Yamuna seekor kura-kura, Vayu kendaraannya seekor kijang, Surya keretanya ditarik oleh 7 ekor kuda, Dewi Candi kendaraannya seekor harimau, Nirrti kendaraannya seekor anjing, Varaha seekor ular, Rati, burung kakak tua, Gauri seekor biawak, Kubera kendaraannya manusia dan Revanta seekor kuda.

Beberapa Devata menggunakan benda-benda mati sebagai kendaraannya, antara lain seperti Sankhanidhi terompet kerang, Kurukulla perahu, Yoganidra pelbet, Kubera mahkota, Usnisavijaya petir dan lain-lain ( Ramachandra, II,1992:115)

Binatang-binatang dan burung-burung yang digunakan sebagai kendaraan para dewa, mengandung  makna filosofis tertentu dalam bingkai konseptual dan identifikasi, seperti burung garuda dengan energi matahari, lembu jantan dengan dharma, angsa dan Gunasattvam, merak dengan api dan lain-lain. Menurut Kalika Purana (57) Vahana-vahana tersebut hanya transformasi dari para devata tersebut " murtyantaram krtva vahanatvam gatah " yang merespon sesuatu yang menjadi penyebab.

Kitab Vamana Purana (9) memuat sebuah daftar tentang vahana-devata sebagai berikut; gajah besar bernama Airavata, putih warna kulitnya, lahir dari telapak tangan dewa Rudra adalah vahana untuk dewa Indra, kerbau yang ganas bernama Paundraka, warna tubuhnya hitam lahir dari keberanian dewa Siva untuk dewa Yama, Simsumara, binatang air berwarna biru yang muncul dari pikiran dewa Indra dan sebagai simbol lautan untuk dewa Varuna.

Manusia yang tinggi besar dan wajahnya menyeramkan, yang lahir dari kaki dewi Durga dan yang matanya seperti roda kereta untuk dewa Kubera; ular naga besar dan sangat galak, anjing berbulu putih dan lembu jantan yang larinya sangat cepat untuk Ekadasa Rudra; kereta dengan 500 angsa yang menariknya untuk dewi Candra, kereta yang ditarik oleh 12 ekor kuda yang digabungkan sedemikian rupa untuk dewa-dewa Aditya, gajah untuk Astavasu, manusia untuk yaksa, ular naga untuk para Kinnara, kuda untuk dewa-dewa Asvina, kijang bertanduk tanpa cabang untuk para Maruta.

Selama upacara tahunan pada pura-pura yang besar, yang disebut Rathotsava, yang berlangsung sampai 9 hari atau lebih, banyak dihiasi vahana-vahana devata dengan aneka bentuk seperti gaja (gajah), vrsabha (lembu jantan), asva (kuda), sesa (ular naga), sbika (joli emas), hamsa (angsa), ravi-mandala (bola matahari), candra-prabha (gambar bulan), simha (singa), puspa-pitha (sthana dari bunga), Meru (gunung mahameru), kalpavrksa (pohon kahyangan yang memenuhi keinginan umat-Nya), Hanuman, Garuda, dan ratha (kereta).

Banyak devata yang bersifat Tanrik, khususnya pantheon Vajrayana, digambarkan mengendarai mayat manusia (preta-vahana) dan dalam praktek magic seperti Khatvanga (Ramachandra, 1992: 115).