Selasa, 27 Desember 2011

Mitologi Dalam Bale Gading : Potong Gigi

sanghyang semara ratih
Bale Gading Semara Ratih
Bale gading merupakan kelengkapan upakara berupa bangunan yang berbentuk persegi empat seperti gedong yang dibuat dengan bambu yang berwarna kuning (tiying gading) memiliki atap serta dihias dengan hiasan serba kuning berupa bunga-bunga serba kuning demikian pula perhiasannya serta dekorasinya seperti pengider-ider, dan pajengan dibuat dengan warna serba kuning.

Kutipan cerita dibawah ini merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. 

Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan. Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.
bale gading potong gigi
Dewa Kama dan Dewi Ratih

Diceritakan terbakarnya Sanghyang Semara dan Dewi Ratih oleh sinar mata ketiga dari Bhatara Siwa karena berani menggoda beliau pada saat Bhatara Siwa sedang bersemadi. Diceritakanlah bahwa sorga sedang diserang oleh raksasa Nilarudraka, seorang raksasa yang sakti ingin menguasai sorga. Para dewa-dewa semuanya kalah tidak ada yang sanggup melawannya.

Akhirnya para dewa-dewa datang menghadap Bhagawan Wraspati untuk menanyakan dan meramalkan siapa yang akan sanggup mengalahkan raksasa tersebut. Akhirnya hasil ramalan ternyata bahwa raksasa Nilarudraka hanya akan dapat dikalahkan oleh putranya Bhatara Siwa yang berkepala gajah.

Ternyata pada saat itu Bhatara Siwa belum berputra di samping itu beliau sedang bersemadi (bertapa), yang tidak ada seorang pun yang berani untuk mengganggunya. 

Namun oleh karena keadaan mendesak, maka para Dewa-Dewa memutuskan bahwa akan membangunkan Bhatara Siwa, dan Dewa yang akan ditugaskan untuk membangunkan beliau adalah Dewa Semara atau Dewa Kama. Walaupun tugas tersebut penuh resiko, namun dilaksanakan juga oleh Bhatara Kama, demi kepentingan para Dewa-Dewa semua dan sorga yang sedang terancam.

Demikianlah Dewa Kama dengan diantar oleh para Dewa-Dewa menuju Gunung Kailasa, tempat Bhatara Siwa bertapa dan setelah sampai di tempat tersebut Bhatara Kama pun lalu melepaskan panahnya yang mengenai dada Bhatara Siwa. Oleh karena panah yang dilepaskan adalah panah asmara, maka seketikalah Bhatara Siwa yang sedang bersemadi tergoyah hatinya, tiba-tiba rindu kepada Dewi Uma, serta Beliau lalu membuka mata.

Namun ternyata di hadapan beliau dilihat Dewa Kama yang masih memegang busur panah diantar oleh para Dewa-Dewa. Dan sadarlah Bhatara Siwa bahwa bangunnya Bhatara Siwa bahwa bangunnya beliau dari semadi-Nya tidak lain karena panah asmara Dewa Kama, maka seketika timbullah marah beliau berupa api yang menyorot dan membakar Dewa Kama. 

Dewa-Dewa semua datang dan mohon ampun kepada Bhatara Siwa agar Dewa Kama dapat dihidupkan lagi, karena kesalahan tersebut bukanlah kesalahan Dewa Kama, melainkan adalah kesalahan para Dewa-Dewa yang meminta bantuan kepada Dewa Kama, agar Bhatara Siwa menghentikan semadi-Nya, karena ada raksasa sakti, yaitu: Nilarudraka sedang mengancam sorga. Permohonan para Dewa-Dewa tidak dikabulkan, tidak berapa lama kemudian datanglah Dewi Ratih, yaitu istri dari Dewa Kama, sambil menangis memegang kaki Bhatara Siwa, namun Bhatara Siwa pun tidak mengabulkan juga.

Oleh karena itu sebagai tanda setia kepada suami maka Dewi Ratih pun memohon kepada Bhatara Siwa agar dirinya dibakar juga, karena ingin mengalami nasib yang sama. Permohonan itu dikabulkan oleh Bhatara Siwa, sehingga untuk kedua kalinya keluar api yang membakar hangus Dewi Ratih, dari sela-sela kening Bhatara Siwa

Selanjutnya bahwa Bhatara Siwa yang telah terkena panah asmara sangat rindu pada Dewi Uma dan akhirnya bertemulah beliau. Pertemuan ini menyebabkan mengandungnya Dewi Uma. Pada saat Dewi Uma dan Bhatara Siwa berjalan-jalan di puncak gunung Kailasa, maka dijumpailah oleh Dewi Uma onggokan abu dan Dewi Uma pun bertanya, menanyakan abu apa sebenarnya itu?. Dewa Siwa pun menjelaskan bagaimana bisa terjadi gundukan abu tersebut, yang tidak lain merupakan jazad dari Dewa Kama dan Dewi Ratih

Setelah mendengar cerita dari Bhatara Siwa itu, maka Dewi Uma pun meminta Dewa Siwa agar kedua Dewa tersebut dihidupkan lagi, karena kedua Dewa tersebut di samping bermaksud baik juga karena panah Bhatara Kamalah yang menyebabkan pertemuan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Uma, andaikata tidak, maka Dewa Siwa pun mungkin tidak merindukan Dewi Uma. Atas permohonan Dewi Uma maka Bhatara Siwa pun mengabulkan permintaan tersebut namun dengan catatan bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih tidak bisa dihidupkan lagi di sorga. 

Oleh karena itu ditaburkanlah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma, bersama-sama abu dari Dewa Kama dan Dewi Ratih itu ke dunia, dengan perintah agar jiwa Dewa Kama dan Dewi Ratih hidup di dunia dan memasuki lubuk hati setiap insan, sehingga timbullah rasa saling cinta mencintai. Demikianlah jiwa Dewi Ratih dan abunya memasuki setiap makhluk yang berbentuk wanita (betina) sedangkan Dewa Kama memasuki lubuk hati setiap pria (jantan). Karena itu pria dan wanita saling rindu merindukan karena berasal dari jiwanya Dewa Kama dan Dewi Ratih.

Kelompok abu yang tersebar dari Dewa Kama jatuh di Kahuripan, sehingga lahirlah Mantrining Kahuripan, sedangkan abu Dewi Ratih yang tersebar jatuh di Deha. Inilah yang menyebabkan sehingga Mantrining Kahuripan dan Galuh Deha selalu bertemu dan berpasangan.

Diceritakan selanjutnya Dewi Uma yang sedang mengandung besar, menimbulkan keresahan hati dari para Dewa, karena cemas memikirkan apakah putra Dewi Uma nanti akan berkepala gajah seperti yang diramalkan. Oleh karena itu para Dewa pun akhirnya membuat suatu upaya, yaitu gajah Dewa Ludra yang bernama gajah Airawata digiring dan dihalau kehadapan Dewi Uma yang sedang memetik bunga di taman sehingga Dewi Uma sangat terkejut dan pada saat itu lahirlah Dewa Gana yang berkepala gajah dan berbadan manusia. 

Gembiralah para Dewa-Dewa karena usahanya sudah berhasil. Tetapi pada saat itu pula raksasa Nilarudraka telah datang kembali menyerang sorga. Dewa Gana yang masih bayi diminta untuk dibawa ke medan perang. Dalam pertempuran tersebut Dewa Gana yang masih bayi dan belum bisa berjalan itu sudah diadu, dan terkena pukul Raksasa Nilarudraka. Tetapi anehnya tiap kali dipukul Dewa Gana pun semakin besar demikian seterusnya.

Saat peperangan itu saja Dewa Gana sudah menjadi dewasa dan sudah bertaring besar oleh karena saat itu Dewa Gana tidak bersenjata maka taring itulah yang dipatahkan dan dipakai senjata sehingga dengan patahan taring itu dibunuhlah Raksasa Nilarudraka dan sorgapun kembali aman .
(Lontar Cudamani II, hal 15)

Sebagaimana diketahui Dewa Kama sering digambarkan sebagai Dewa Cinta ataupun Dewa Asmara. Cinta adalah manifestasi dari keinginan, dengan cinta maka dunia ini digerakkan, tidak ada suatu gerakan akan terjadi kalau tidak karena dorongan keinginan (cinta).

Bila dihubungkan dengan diri kita (bhuana alit) maka atma yang tenang dan non aktif diumpamakan sebagai jiwa yang sedang bersemadi. Dewa Kama adalah simbol dari cinta (tri guna) yang merupakan motivator dari pada gerak. Cinta disini berwujud cinta kasih dan keinginan. Dewa kama yang dilukiskan memanah Dewa Siwa dengan panah asmara, dan hal ini dapat diumpamakan seperti manusia, dimana atmanya mulai digerakkan oleh keinginan sehingga menjadi aktif. Keinginan adalah merupakan perwujudan dari cinta atau ingatan.

Keinginan ada dua macam yaitu yang positif dan negatif, sedangkan sattwam bersifat positif rajas dan tamas mementingkan diri sendiri (ahamkara) sedangkan sattwam mengabdi untuk kepentingan orang banyak (anresangsya).

Sorga yang diserang oleh Raksasa Nilarudraka adalah simbol dari tubuh kita (bhuana alit) yang ditantang olah alam (lingkungan) yang kelihatan seperti mau menghancurkan. Dewa-Dewa di Sorga yang memerangi Raksasa Nilarudraka, adalah simbol dari kekuatan energi yang sering dilukiskan dengan Dewa Pala, di dalam Kanda Pat Dewa dilukiskan terdapat dalam tubuh manusia. Pertempuran yang terjadi merupakan simbul perjuangan manusia menghadapi alam yang ditantang dan digoda oleh alam ini.

Siwa adalah simbol utama dari Gama Pati adalah kekuatan yang berasal dari Siwa. Pertempuran Gana Pati melawan Nilarudraka adalah suatu simbol dimana kekuatan atma harus dibangkitkan, hanya dengan kekuatan atma maka segala godaan ala mini akan dapat diatasi. Dewa Gana cepat menjadi besar karena pukulan dan hantaman dari Raksasa Nilarudraka demikian pulalah halnya kekuatan manusia akan tambah pandai bertambah mampu serta bertambah bijaksana karena tantangan-tantangan dari alam. 

Karena tantangan dari lingkungan inilah manusia kain kuat dan maju. Makin hebat tantangan maka makin baju dan makin dewasalah manusia itu seperti halnya dengan Dewa Gana Pati, baru bisa mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya yang dipatahkan dan dipakai sebagai senjata, demikian pula hal ini adalah merupakan simbol di mana manusia harus melepaskan sebagian sifat kebuasannya.

Demikian Gana Pati yang mengalahkan Raksasa Nilarudraka dengan taringnya adalah merupakan suatu simbolis dari manusia yang baru akan dapat mengalahkan tantangan dan godaan dunia ini, kalau dia mampu mengendalikan kebuasannya.

Sebagaimana halnya Dewa Kama dan Dewi Ratih adalah merupakan suatu simbolis dari suatu kesetiaan, dimana Dewi Ratih selalu bersatu tidak mau berpisah dengan Dewa Kama. Baik Dewi Ratih maupun Dewa Kama adalah merupakan lambang keinginan tidak lebih dari batu yang tidak akan bergerak sepanjang zaman, sebab itu sebagai manusia yang dilahirkan untuk berkarma, meningkatkan dirinya agar bisa mencapai moksa, maka keinginan itu harus ada.

Keinginan dan hawa nafsu bisa menjadi baik bisa juga menjadi tidak baik tergantung daripada tujuannya. Bila keinginan itu ditujukan untuk pengabdian, kepentingan orang banyak, kepentingan negara dan sebagainya, maka keinginan yang sedemikian adalah keinginan yang mulia. Tetapi bila keinginan itu hanya ditujukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau akunya maka keinginan yang semacam itu adalah tidak baik.

Selanjutnya Dewa Kama berkorban demi untuk menyelamatkan sorga dan para Dewa-Dewa, adalah merupakan simbol dari kerelaan berkorban demi kepentingan orang banyak. Maka itulah Dewa Kama diberi hidup di dunia oleh Bhatara Siwa, bukan disorga. Manusia lahir ke dunia untuk berkarma, dan manusia baru dapat berkarma setelah adanya keinginan serta keinginan itupun harus dapat dikendalikan dengan kebaikan.

Dimana dalam upacara tertentu diadakan pemujaan kehadapan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka daripada itu dibuatkanlah linggih beliau suatu bangunan kecil yang disebut “Bale Gading” dengan segala hiasan yang serba kuning, sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksud adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih yang penuh dengan keinginan dan penuh kesetiaan.

Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi. Dewa Gana yang sering dianggap sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai ilmu pengetahuan di samping sebagai Dewa penakluk terhadap segala bencana. Dengan demikian Dewa Gana adalah merupakan simbul dari pada pengetahuan atau ilmu. Demikian pula ilmu itu makin ditantang, makin berkembang dan dengan pengetahuan itu pula manusia dapat mengatasi segala tantangan.
(Lontar Cudamani II, hal 15)

Kutipan cerita tersebut adalah merupakan asal mula dari mengapa bale gading itu ada dan dipergunakan dalam upacara-upacara yadnya pada masyarakat Hindu di Bali. Dalam upacara tertentu yang erat kaitannya dengan pemujaan Dewa Kama dan Dewi Ratih, maka dari itu sebagai linggih Beliau dan sebagai stana pemujaan Beliau maka dibuatlah suatu bangunan kecil dengan hiasan yang berwarna serba kuning yang disebut dengan “Bale Gading” sebagai lambang dari cinta kasih, tetapi cinta kasih yang dimaksudkan adalah cinta kasih seperti Dewa Kama dan Dewi Ratih, yang penuh dengan keinginan dan kesetiaan serta pengorbanan.

Kepada Sanghyang Semara Ratih manusia memohon bimbingan, agar manusia mempunyai cita-cita yang luhur dan keinginan yang tinggi untuk mengabdi.

Kamis, 15 Desember 2011

Buku Hindu : Kembali Lagi Sains Reinkarnasi

buku hindu reinkarnasi
Kembali Lagi
Penjelasan terlengkap dan lebih gamblang dari yang sudah dikenal sebelumnya mengenai Reinkarnasi. Kehidupan bukan dimulai dengan kelahiran ataupun berakhir dengan kematian. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Sang Diri sesudah ia meninggalkan raga ini ? Bagaimana rantai reinkarnasi itu berputar ? Bisakah kita mengendalikan reinkarnasi kita yang akan datang ? 
Kembali Lagi menjawab misteri dan pertanyaan-pertanyaan yang menantang tersebut, dengan penjelasan gamblang yang terlengkap dan asli di seluruh dunia, pencarian yang tak pernah surut untuk meretas pengetahuan mengenai perjalanan sesudah kehidupan ini.

Berikut adalah hal yang sebaiknya Anda ketahui dalam hal-hal yang berkaitan dengan Reinkarnasi. Semoga bermanfaat.

Acarya : Guru spiritual yang mendidik melalui teladan tingkah lakunya sendiri
Ahimsa : Anti kekerasan
Asrama : Padepokan pendidikan Spiritual
Asura : Raksasa atau orang yang bukan penyembah Tuhan / ateis
Atmarama : Seorang Resi yang berpuas di dalam dirinya
Avatara : Inkarnasi Tuhan yang turun dari dunia rohani
Badan halus : Penutup bagian dalam untuk sang roh yang terikat, terdiri dari pikiranm kecerdasan dan ego
Badan kasar : Penutup bagian luar dari sang roh yang terikat, terdiri dati elemen-elemen kasat mata
Badan material : Badan sementara sang roh, terdiri dari tanah, air, api, udara, eter, pikiran, kecerdasan dan ego
Bhadrakali : Salah satu nama Dewi Durga, personifikasi energi material
Bhagavad-gita : Kitab yang memuat ajaran spiritual, disampaikan oleh Krsna kepada Arjuna di Medan Perang Kutuksetra
Bhakta : Seorang penyembah Tuhan
Bhakti : Mempersembahkan segala sesuatu / kegiatan kita berdasarkan cinta kasih untuk kepuasan Yang Mahakuasa

Bhakti-yoga : Yoga, pelayanan suci yang taat kepada Tuhan
Brahma : Mahluk hidup pertama, yang diciptakan di alam semesta material
Brahmacari : Seorang murid yang hidup membujang di bawah bimbingan seorang guru spiritual
Brahmajyoti : Cahaya non-personal, dari badan Krsna
Brahman : Golongan rohani masyarakat yang pekerjaannya mendalami pengetahuan Veda
Brahma-sambhita : Kitab suci yang berisi doa-doa Dewa Brahma
Caitanya Mahaprabhu : Inkarnasi Krsna sebagai penyembah-Nya yang datang pada zaman ini untuk mengajarkan cara pelayanan bhakti dengan menyanyikan nama-nama suci Tuhan
Dija-vu : Seakan-akan  merasakan satu pengalaman yang sudah pernah dialami dalam kehidupan yang lampau.
Deva : Seorang dewa atau penyembah Tuhan
Dunia Material : Bagian ciptaan Tuhan tempat kelahiran dan kematian terjadi
Dunia Rohani : Bagian ciptaan Tuhan yang bercirikan kekekalan, pengetahuan dan kebahagiaan
Ekadasi : Berpuasa sehari, dua kali dalam sebulan dan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran Krsna kita
Entitas hidup : Sang roh / mahluk hidup
Gangga : Sungai suci yang bersumber dari kaki-padma Sri Visnu
Garuda : Burung besar kendaraan Visnu
Grhasta : Seorang yang hidup berumah tangga
Guru : Seorang guru kerohanian / guru spiritual
Hare : Energi rohani Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa
Hari : Salah satu nama suci Tuhan yang berarti " Dia yang menghilangkan segala rintangan dalam kemajuan spiritual"
Jnana : Pengetahuan teoretis
Jnani : Seseorang yang pikirannya sibuk berspekulasi mengejar pengetahuan
Kali : Personifikasi senergi material
Karma : Kegiatan-kegiatan yang berpamrih atau reaksi reaksi dari kegiatan tersebut
Karmi : Orang yang melakukan kegiatan berpamrih
Karmatmaka : Orang yang pikirannya terikat dalam keinginan dan kegiatan duniawi
Kebaikan : Sifat alam material yang bercirikan pengendalian diri, pengendalian indera-indera, dan pengetahuan spiritual
Kebodohan : Sifat alam material yang becirikan kegilaan, kegelapan, berkhayal dan malas
Keinsafan-diri : Cara untuk mengerti bahwa sang roh lain dan berbeda dari badan material
Keinginan material : Kecendrungan untuk berkuasa dan mengeksploitasi unsur-unsur alam demi kepuasan pribadi
Krsna : Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa
Krsna-katha : Kisah-kisah atau pembicaraan tentang Krsna / Ketuhanan
Ksatria : Golongan rohani dari masyarakat yang tugas mengurusi pemerintahan dan perlindungan bagi para warga
Maha-Bhagavata : Seorang penyembah yang berpengetahuan tinggi
Maha-mantra : Mantra Kare Krsna : Hare Krsna, Hare Krsna, Krsna Krsna, Hare Hare / Hare Rama, Hare Rama, Rama Rama, Hare Hare
Mahluk hidup : sang roh yang telah berbadan kasar di dunia material
Mantra : Getaran suara rohani
Maya (Mahamaya) : energi material luar Tuhan, yang menutupi roh terikat dan tidak memperkenankan dia mengerti Personalitas Tuhan Yang Maha Esa
Mayavadi : Orang yang taat mengikuti filosofi impersonalis atau kekosongan dan tidak menerima keberadaan bentuk transendental Tuhan
Narayana : Salah satu nama suci Tuhan, wujud Krsna yang berlengan empat
Nirguna : Secara harfiah berarti tanpa sifat ( untuk menggambarkan Tuhan yang tanpa sifat material )
Paramahamsa : ( secara harfiah berarti angsa yang agung) seorang penyembah yang mengerti hakikat kehidupan, persis seekor angsa yang mampu memilah susu dari campuran susu dan air
Paramatma : Perluasan Tuhan Yang Mahakuasa yang bersemayam di hati semua entitas hidup
Parsi : Sekte keagamaan Zoroastria di India
Prakrta-sahajiya : Penyembah gadungan Krsna yang gagal mengerti kesempurnaan, kedudukan transendental Krsna
Pranayama : Latihan pernafasan Yoga
Prasadam : Makanan yang dipersembahkan kepada Tuhan kemudian dibagikan
Purana : Delapan belas kitab yang memaparkan ajaran Veda melalui cerita sejarah dan alegori
Rama : Nama suci Tuhan yang berarti " Sumber segala kebahagiaan "
Reinkarnasi : Perjalanan sang roh saat kematian, dari satu badan ke badan yang baru
Rg Veda : Salah satu dari empat bagian Veda yang asli
Roh : Butiran kekal, yang sadar yang bersumber dari energi spiritual Tuhan
Roh yang telah bebas : Orang yang telah bebas dari pengindentifikasi diri sebagai badan dan pikiran material
Roh Yang Utama : Aspek Tuhan yang terlokalisir ( dihati setiap entitas /  mahluk hidup )
Samadhi : Meditasi, khusuk dalam memusatkan pikiran kepada Yang Mahakuasa
Samsara : Siklus kelahiran dan kematian
Sankirtana-yajna : Menyanyikan nama Tuhan, sebagai korban suci yang dianjurkan untuk zaman ini
Sannyasi : Orang yang berada dalam tahap melepaskan ikatan duniawi
Sankerta : Bahasa sastra pada zaman India Kuno
Sastra : Kitab-kitab yang diwahyukan
Sifat alam : Tiga bagian energi material Tuhan, kebaikan, nafsu dan kebodohan
Sravana : Mendengarkan nama suci Tuhan
Srimad-Bhagavatam : Kita suci Veda yang absah yang menguraikan secara mengkhusus kegiatan-kegiatan Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa bersama pra penyembah-Nya
Tilaka : Tanda dari tanah liat yang menghiasi wajah Krsna dan para penyembah-Nya
Tulasi : Seorang penyembah mulia dalam bentuk sebatang tanaman, yang sangat disayangi Sri Krsna
Upanisad : Bagian filsafat dalam Veda, yang dimaksudkan untuk membawa seorang murid lebih dekat pada pengertian Personalitas Kebenaran Mutlak
Veda : Kitab Suci Sejak zaman purba
Vaisnava : Penyembah Sri Visnu Agung atau penyembah Krsna
Vaisya : Masyarakat petani dan pedagang dalam kebudayaan Veda, yang melindungi sapi-sapi dan bercocok tanam
Visnu : Yang Mahakuasa, perluasan dari Sri Krsna untuk penciptaan dan pemeliharaan alam semesta
Visnuduta : Para abdi / utusan Sri Visnu
Yajna : Korban Suci
Yamaduta : Para pelayan / utusan Yamaraja
Yamaraja : dewa kematian, penghukum orang berdosa
Yoga : Cara untuk melakukan kontak dengan Yang Mahakuasa
Yogamaya : Kekuatan internal dari Tuhan Yang Mahakuasa
Yogi : Orang yang mempraktekkan Yoga.

Sumber dari buku " Kembali Lagi Sains Reinkarnasi " Berbasis pada pelajaran-pelajaran dari Yang Paling Berkarunia Sri Srimad A.G. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, Acarya- Pendiri International Society for Krishna Gonsciousness.



Jumat, 02 Desember 2011

Manusia Bali Titisan Dewa

Soekarno  Kecil
Peradaban dunia mengenal sedikit orang hebat. Einstein, Newton, Galileo, adalah manusia-manusia hebat, seperti juga Nepoleon, Socrates, Machiavelli, Karl Max, Adam Smith, Shakespeare, Mozart. Dunia mengenang mereka sebagai orang-orang jenius, yang merenung, bekerja, dengan akal, pikiran, kendati mereka demikian hebat, dunia tetap menerimanya sebagai manusia, bukan sosok yang turun dari langit, bukan utusan dewa-dewa dari kahyangan. Orang-orang jenius itu nyata, bukan perwujudan mimpi-mimpi, bukan dongeng.

Walau orang hebat sedikit, mereka ada di mana-mana, di setiap zaman, diseluruh waktu. Di Indonesia pun orang jenius itu ada, Sukarno, Proklamator kemerdekaan, seorang diantaranya. Jika di Barat sang jenius diterima dan ditelaah dengan akal sehat, tidak demikian di Tanah Air. Sukarno tak cuma dinilai sebagai manusia hebat, namun sering dianggap titisan dewa. 
Menjelang prahara politik disertai rentetan pergolakan berdarah September 1965, tampang Sukarno dikabarkan muncul di bulan. Tengah malam hingga dini hari, orang-orang mendongak ke langit, menatap bulan lama-lama, mencari wajah Sukarno di situ. Ada yang berteriak kegirangan mengaku melihat jelas wajah pemimpin besar revolusi itu. Yang lain justru bingung. " Aku tak melihat apa-apa, cuma bulatan keemasan dengan siluet hitam di permukaan bulan," ujar banyak orang. Namun wajah Sukarno muncul di bulan kala itu, sungguh berita yang berubah menjadi sihir, mencekam, menegangkan, sakral dan meninabobokan.
" Hanya manusia titisan dewa yang bisa begitu," komentar

orang yang mengaku pernah melihat Sukarno di permukaan bulan. Imajinasi tentang manusia keturunan dewa inipun segera disambut hangat oleh orang Bali. Jika Sukarno keturunan dewa, maka orang Bali juga titisan dewa. Bukankah Sukarno orang Bali ? Dia lahir dari gua-garba wanita Bali dari Buleleng. Jika seorang perempuan melahirkan "anak" dewa, tidaklah berarti ia juga perempuan utusan dewa ? Boleh jadi itu sebabnya muncul gelar Bali itu Pulau Dewata

Pulau ini tak cuma menjadi istana atau tempat pelesir dewa-dewa dari kahyangan, namun sesungguhnya sebuah pulau pemukiman titisan dewa. Wah, alangkah hebat Bali ! Jenius ! Pantas orang luar suka memuji Bali sebagai tanah tumpah darah kaum Local Genius.

Raja-raja di Bali, yang memerintah wilayah Badung, Mengwi, Klungkung, Gianyar, Bangli, Karangasem, memang dianggap titisan dewa oleh rakyatnya, inkarnasi dewa untuk menaburkan kerahayuan jagat, memberi perlindungan bagi rakyat. Raja Klungkung misalnya disebut sebagai Ratu Dewa Agung oleh rakyat dan bawahannya. 

Raja ini dianggap titisan dewa, yang membuat rakyat duduk bersimpuh di tepi jalan jika sang raja lewat. Rakyat menyembah raja tak beda dengan ketika mereka menyembah dewa; tunduk, takluk, berserah diri sepenuh hati, tanpa sisa.
P. Swantoro dalam bukunya, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, mengungkapkan,pendiri dinasti sering dinyatakan sebagai keturunan dewa. Kaisar Jepang dianggap keturunan dewa Matahari. Romulus, pendiri Roma, diyakini sebagai keturunan dewa Mars. Julius Caesar menyatakan diri sebagai keturunan dewi Venus, sedangkan Hengist, Pangeran Anglo-Saksen pendiri kerajaan Britania, bercikal balak dewa Wodan.

Ken Arok disebut-sebut pula sebagai titisan Bhatara Wisnu dan juga putra Bhatara Guru. Ken Dedes, istri Ken Arok, juga bukan perempuan biasa. Ia dihormati sebagai Ardhanariswari, perempuan yang gua-garbanya bersinar, pertanda ia paro-perempuan dari paduan Siwa-Durga. Siapa pun yang berhasil memperistri seorang Ardhanariswari bakal menjadi penakluk dunia.

Jika kita percaya orang Bali masih memiliki pertalian darah dengan dinasti Arok, pasti tidak sedikit titisan dewa di sudut-sudut Bali pendiri Majapahit. Kerajaan di Jawa Timur ini punya peran dan pengaruh kuat terhadap perkembangan peradaban Bali. 

Dalam ekspedisi Majapahit menaklukkan Bali, tentu banyak tokoh, senapati, prajurit, punggawa, kaum intelektual, akhirnya menjadi penduduk Bali, dan beranak pinak di sini.

Tentu Bali harus bersyukur pulau ini dihuni banyak titisan dewa, pertanda tak susah menciptakan kemakmuran, keamanan, kedamaian, disini. Apalagi jika orang-orang (dewa-dewa) itu bersatu padu membangun Bali. Tapi, mengapa belakangan sering terbit baku hantam, pembunuhan, perampokan, di Bali ? Orang Bali kini gampang bunuh diri, mudah marah, dan saling bacok, merusak dam membakar rumah kerabat.

Apakah dewa-dewa (orang Bali?) sedang memperagakan jurus "Dewa Mabuk" seperti dalam film kunfu ? Jurus yang mengharuskan pendekar mabuk dulu untuk merebut kemenangan.

Tetapi benarkah ada manusia titisan dewa? Jangan-jangan semua itu cuma mitos, dongeng untuk menghibur kita agar lupa pada kesusahan hidup sehari-hari.
Sumber Buku Jangan Mati di Bali Tingkah Polah Negeri Turis halaman 260 karya Gde Aryantha Soethama. Di posting oleh Rare Angon Nak Bali Belog


Rabu, 16 November 2011

Belibis Putih | Satua Mebasa Bali

Belibis Putih
Kacrita ada bendega madan Narajana. Ia nongos di pesisi kelod. Sadina-dina Narajana ngalih be di pasih. Narajana negakin jukung sambilanga mamancing. Di kenkene ia masih makena jala. Tibanan suba Narajana nyalanang geginane ento. Jani Narajana merasa sebet. Sawireh uli semengan pancinge tonden ada ngamahin. Kanti tengai Narajana tusing maan be angan aukud. Basangne marasa seduk. Awakne marasa panes. Peluhne nyrekcek sawireh panese ngentak.

Narajana ngliwat ka tengah pasihe. Ditu ia nepukin parangan gede. Pesu kenehne bakal mareren. Mawinan ia tuun, laut ngagah bekel. Ungkusan bekelne misi sangu asambekan. Tipat galeng duang bungkul. Pesan lindung akaputan. Sambel isen macakcak misi uyah kusamba atemelosan.

Suud madaar Narajana masayuban di beten kayune. Makelo ia mailih-ilih. Laut teka angine ngasirsir. Lega kenehne muponin dayuh. Mara Narajana matolihan kangin, saget tepukina ada belibis putih. Ditu ia iju ngejuk kedise baan jala.

Narajana tengkejut ningeh kedise mamunyi jlama, " Bapa ! Bapa ! Eda tiang tampaha, Bapa !, Yening Bapa olas nuduk tiang, bakal tulungin tiang Bapa ngalih be ."
Narajana nuutin munyin kedise. Sawireh tumben ada kedis Belibis Putih bisa mamunyi jalma. Belibise ngorahang dewekne nawang tongos bene mapunduh. Laut matujuhin Narajana ka tongose ento. Mawinan Narajana liu pesan maan be gede-gede tur mokoh-mokoh. Sasubane sanja belibise abana mulih. Laut gaenanga bada di sisin balene.
Narajana sayang pesan teken belibise. Sesai baanga dedaaran buka ane daara padidi. Mawinan belibise demen pesan atinne. Kasayangang baan Narajana buka nyayangang pianak.

I Belibis Putih ningeh orta uli kedis goak. Kone di gook lelipine ada emas-emasan liu pesan. Emas-emasan ento pejanga teken malinge dugase malu. Jani malinge suba mati. Ditu I Belibis Putih ngorahin Narajana apang ngalih emas-emasan ento. " Bapa ! Kema Bapa ka pasisi kelod. Tingalin kayune gede ane misi gook lelipi." Yening suba tepuk lantas seebin gooke. Yening ada emas dadi Bapa nuduk. Sawireh malinge ane ngejang emase suba mati. Ia maan emas-emasan majalaran tan patut.
Narajana gegison ka pasisi. Saget tepukina ada kayu gede misi gook dalem pesan. Makelo ia tusing bani macelep. Sawireh takut gutil lelipi. Mara tepukina ada bikul di bungasne, mara Narajana bani nyelepin. Bengong kenehne ngatinang emas-emasane liu pesan. Laut abana mulih.

I Belibis Putih buin ningeh pasadok uli cicing gudig. Kone di paciringane liu arta brana matanem. Arta branane ento engkebange baan malinge dugase pidan. Jani malinge suba kone mati. Ditu I Belibis Putih buin ngorahin Narajana apang ngalih arta brana ento.

Kanti liu Narajana ngelah emas-emasan muah arta brana. Makejang ulihan patuduh I Belibis Putih. Tonden ada abulan ngubuh I Belibis Putih saget suba dadi anak sugih. Mawinan ia sayang pesan teken I Belibis Putih.
Jani Prabu Boja sedekan sungsut. Sawireh tusing nyidayang mutusang wicara. Ada pandita ajaka duang diri. Maka dadua sedekan merebut rabi. Ane istri tusing nyidayang ngelingin rabinne. Encen ane sujati, encen ane siluman. Ditu I Belibis Putih ngorahin Narajana apanga ka puri. Ngaturang pamutus wicara sakaning nungkalik. ento mawinan Narajana lantas ka puri. Tur makusara bakal nyidaang mutusang wicara.

Sasubane Sang Prabu nauhang pangandika, lantas Narajana matur teken panditane maka kalih. " Inggih, Ratu Pandita ! Puniki wenten caratan tanah asiki. Durusang Ratu ngranjing ! Sapasira sane nyidaang ngaranjing, punika sane patut nuenang rabine."

Mara keto aturne Narajana, prajani Panditane ane sujati kalenger. Ragan idane enyem leteg, praraine kembang lemlem buka enggal bakal seda. Sawireh karasa ring kayun tusing nyidaang bakal ngaranjing.

Sakewala Pandita ane siluman ledang pesan. Prajani egar kayun idane. Buka tusing ada nandingin. Sawireh aluh pesan antuk ida ngayunin. Lantas tusing dadi tambakin di nujune nyelepin caratane.

Sasubane di tengah, Narajana lantas nyemak caratane. Laut kasengsengin tur katunjel di apine gede. Kanti caratane belah tur Pandita ane siluman seda puun sengeh. Mawinan ledang pesan kayun Ida Sang Prabu.

Sawireh suba nyidaang mutusang wicara, lantas Narajana kadadosang Mantri Agung. Tur setata ngiringang pamargin Ida Sang Prabu. Di nujune mutusang wicara ane keweh-keweh, Narajana setata ngidih itungan teken I Belibis Putih.
Kaambil saking " Jaran Pondongan " Kamijilang olih Sabha Sastra Bali, Denpasar 2009

Jumat, 04 November 2011

Mantra Siddha, Sadhya, Susiddha dan Ari

tenaga prana spiritual
Power Mantras
Tidak terhitung jumlahnya Mantra. Semua sabda Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab suci Veda adalah Mantra. Walaupun demikian banyak jumlah Mantra, Mantra-mantra itu dapat dibedakan menjadi 4 jenis Mantra sesuai dengan dampak atau pahala dari pengucapan Mantra, yaitu sebagai berikut :
 
1. Siddha , yang pasti (berhasil)
2. Sadhya, (yang penuh pertolongan)
3. Susiddha (yang dapat menyelesaikan)
4. Ari, musuh (Visvasara Tantra)


" Siddhamantra memberikan pahala langsung tidak tertutupi dengan waktu tertentu. Sadhyamantra berpahala bila digunakan dengan sarana tasbih dan persembahan (ritual). Susiddha-mantra, mantra tersebut pahalanya segera diperoleh, dan Arimantra, menghancurkan siapa saja yang mengucapkan mantra tersebut " ( Mantra Mahodadhi, 24,23 )

Maharsi Manu yang disebut sebagai peletak dasar hukum digambarkan sebagai orang yang pertama memperoleh Mantra dan mengajakan Mantra itu kepada umat manusia dan menjelaskan hubungan antara Mantra dengan objeknya, demikianlah Mantra merupakan bahasa ciptaan yang pertama. 


Senin, 24 Oktober 2011

Dharma Wacana Hindu | Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sushruta
Om Swastiastu, Sumbangan Hindu Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan judul lengkap halaman 176 buku  "Hindu Akan Ada Selamanya" karya Ngakan Made Madrasuta terbitan Media Hindu. 

1. Penemuan Angka Nol - di India, konsep NOL (ZERO) berasal dari kata Sanskrit Shunya artinya "Tidak ada apa-apa (nothing). Dalam Brahma-Phuta, Siddhanta dari Brahmagupta tertanggal abad ke 7 SM, nol ini dijelaskan dan diterjemahkan kedalam buku-buku Arab sekitar tahun 770 M. Dari sini angka nol dibawa ke Eropa pada abad ke 8 M. Teks Sanskrit dari abad ke 4 menjelaskan nol sebagai shunya atau tidak ada apa-apa. Sutra Pingala Chandala dari abad ke 2 menjelaskan angka nol. Terpisah dari itu satu inskripsi dari nol diatas piring tembaga sankheda ditemukan di Gujarat India tertanggal 585-586 M.

2. Pi - adalah sumbangan India kepada dunia - satu teks Sanskrit bernama Baudhayana Shulba Sutra dari abad ke 6 menyusun nilai Pi sebagai 3. Aryabharata dalam tahun 499 M menjelaskan nilai Pi adalah 3.1416 pada tahun 825 M seorang mathematikus Arab bernama Mohammad Ibn Musa mengatakan : Nilai ini telah diberikan oleh orang Hindu ( India ). Sekarang nilai Pi adalah 3.1428571.

3. Geometry - percaya atau tidak kata "geometry" berasal dari kata Sanskrit "gyaamiti" yang artinya mengukur bumi. Kata "Trigonometry" berasal dari kata "Trikonamiti" yang artinya mengukur bentuk-bentuk triangular (tiga sudut). Dunia sains mengajarkan bahwa Euclides menemukan geometry pada tahun 300 SM. Kenyataannya adalah "geometry" merupakan bagian tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan India ribuan tahun sebelum Euclides.
4. Seluruh altar api Hindu adalah bentuk-bentuk kompleks dari bentuk Geometrical. Semua Mandala dan Yantra Buddhist dan Hindu bentukbentuk kompleks dari bentuk Geometrical. Tulisan-tulisan dari Rsi Surya Siddhanta dari abad ke 4 SM menjelaskan detil yang mengagumkan mengenai trigonometry, yang diperkenalkan ke Eropa oleh Briggs pada abad ke 16.

5. Pythagoras' Theorem - bertahun-tahun sebelum Pythagoras, Baudhayana dalam Baudhayana Sulba Sutra menyusun theoremnya. Dia menulis dalam bukunya; luas yang dihasilkan oleh diagonal daru satu bujur sangkar (rectangle) adalah sama dengan jumlah dari luas yang dihasilkan oleh kedua sisinya. 

6. Sistem Decimal - baca saja apa yang La Place seorang dari arsitek kalkulus katakan mengenai penemuan sistem Decimal oleh India. La Place menulis : adalah India yang memberikan kepada kita metode sederhana untuk menyatakan semua nomor dengan cara sepuluh simbol [decimal system]... satu eide yang sangat mendalam dan penting yang luput dari kejeniusan Archimedes dan Apollonius, dua manusia terbesar yang dihasilkan oelh sejarah.

7. Revolusi Bumi - Copernicus menerbitkan Teori Revolusi Buminya ( The Theory of Revolution of Earth ) pada tahun 1543. Seribu tahun sebelum dia, aryabhata pada abad ke 5 SM menyatakan bumi bergerak di sekeliling matahari... dalam risalahnya, Aryabhata menulis :

Bumi bundar. Ia berputar pada porosnya.... dia mengorbit di sekeliling matahari... ia menggantung di ruang, Gerhana bulan dan matahari disebabkan oleh saling pengaruhi antar matahari, bulan dan bumi ( Lunar and solar eclipses are due to interplay of sun, moon & earth )

8. Hukum Gravitasi - pada tahun 1687, Sir Isaac Newton menemukan KEMBALI Hukum Gravitasi. Bertahun-tahun sebelum dia seorang Astronom India Kuno, Bhaskaracharya menulis dalam bukunya, Surya Siddanta bahwa benda-benda jatuh ke bumi karena satu kekuatan daya tarik bumi. Oleh karenanya, bumi, planet-planet, rangkaian bintang-bintang (constellations), bulan dan matahari dijaga dalam orbitnya karena gaya tari itu.

9. Waktu dan Kalender, dewasa ini kita menggunakan Kalender Julius Caesar yang oleh Paus Gregory dikonversi menjadi Tahun Tuhan ( The Year Of The Lord ). Sementara sekitar 1500 tahun sebelumnya di India, Bhaskaracharya menghitung waktu yang digunakan oleh bumi untuk mengorbit di sekeliling matahari kepada sembilan tempat-tempat decimal ( to 9 decimalplace ). Tahun Bhaskaracharya - 365.25875684 hari dari tahun Kalender Modern - 365.2596 hari. Beda antara kelua kalender ini 0.00085 hari.

10. Pengukuran Waktu ( Time Measurements) - India memberikan ukuran terkecil dari waktu sebagai krati - se per 34,000 detik. India memberikan ukuran waktu terbesar sebagai - 4.32 milyar tahun.

11. Bedah ( Surgery & Plastik Surgery ) - di India Shushruta [600SM] dikenal sebagai Bapak Bedah ( Father of Surgery). Dikatakan bahwa ia menggunakan kulit pipi untuk melakukan bedah plastik untuk mengembalikan bentuk hidung, telinga dan bibir dengan hasil sulit dipercaya. Dia menggunakan 125 macam alat bedah, yang meliputi, pisau bedah (Scalpels), Lancets, Jarum, Catheters, dan Rectal Speculum. Dia telah melakukan 300 jenis operasi seperti mencabut badan yang padat (extracting solid bodies), penyelidikan (probing), pemotongan (excision), torehan, irisan (incision), tusukan (puncturing), memindahkan cairan (evacuatingliuids), jahit bedah (suturing). Orang India kuno juga yang pertama melakukan amputasi, bedah caesar dan bedah carnivak. Detil tentang kelahiran anak-anak Gandhari dari epik Mahabharata memberi tanda orang India kuno tahu mengenai bayi tabung.
12. Universitas Pertama di Dunia - Universitas dunia yang pertama disebut Taxila atau Universitas Takshashila, terletak di wilayah Baratdaya India. Usia minimum untuk masuk adalah 16 tahun dan suatu kali Universitas ini mempunyai 10,500 mahasiswa. Silabusnya mempunyai 68 subjek yang berbeda. Mahasiswanya bahkan datang dari Babylon, Yunani, Syria dan china untuk kuliah di universitas ini.

Kamis, 06 Oktober 2011

POLENG POLENG BALI

POLENG BALI
Poleng, or chessboard pattern of alternating black and white squares is surely the most distinguished motif of Balinese cloth. One can hardly miss the presence of a poleng cloth around him due to the striking contrast of colors used in the motif. But poleng is not made for attracting attention of the onlookers, it express Balinese point of view towards life.

Since Poleng is the national color of Bali, it can be found virtually everywhere in the island. Poleng clothes are usually wound round big tree trunks, big rocks, statues and shrines. Banners, flags, and umbrellas that are used in a procession of the ceremony sometimes made of poleng clothes. Poleng clothes are also used by the Balinese traditional security forces (pecalang),
poleng cloth is considered to be an obligatory part of pecalang outfits. There is also a warrior dance (baris) which is called Baris Poleng. As its name suggests, the dancers’ apparels consist predominantly of poleng clothes.



Poleng cloth is always associated in a way or another to the realm of netherworld. Shrine that is decorated with poleng cloth is usually the shrine dedicated to the spirit of the place where the shrine located, not for gods. Rangda, the personification of negative force of the universe, queen of evil, wears a poleng shawl and when Rangda mask is kept in the box, it is wrapped with poleng cloth. 

The giant paper doll, ogoh-ogoh, which depicts the evil spirit, is usually dressed with poleng cloth. Stone temple guardians which stand to the left and right of the entrance door of the temples are also wrapped with poleng clothes.

But, what is the significance of poleng cloth? The chessboard pattern of alternating black and white squares of poleng signifies Balinese concept of rwa bhineda, a Balinese view of mutual dualism that make up the whole world. In other word, it is about two opposite thing that depend on each other to exist, such as day and night, low and high, dry and rainy season, bitter and sweet, black and white, etc. Balinese believe that the balance of this mutual dualism will brings prosperity and peacefulness to the mankind. This concept of balance is expressed perfectly by the poleng cloth – the number of white square is always equal with the black one.

Original Post : Bali With Poleng Color

Jumat, 23 September 2011

Pitra Yadnya Ngaben : Bade | Nagabandha

pitra yadnya ngaben
Nagabandha
Bade adalah sarana Pitra Yajnya dan tidak tergolong bangunan suci, namun bangunan tersebut beserta perlengkapannya mengandung makna simbolis yang dalam. Bangunan lainnya adalah Bade, Wadah, Petulangan sarana upacara ngaben, Bukur atau Madhya digunakan pada upacara Nyekah, Mamukur, Maligya atau Ngeroras.

Bade bentuknya menyerupai Meru, namun terbuat dari kayu dan dilapisi dengan kertas warna-warni utamanya kertas emas. Seperti halnya Meru, maka Bade menggunakan atap tumpang, yakni yang tertinggi beratap tumpang 11 ( Solas ), atap tumpang 9 ( Sanga ), atap tumpang 7 ( Pitu ), atap tumpang 5 ( Lima ), atap tumpang 3 ( Telu ) dan atap tumpang 1 ( terdiri dari 2 atap tumpang ).
Bade adalah lambang " Bhuwana Agung " dengan puncak-puncak gunung yang disimbolkan dengan atap tumpang tersebut. Dengan ditempatkannya jenasah pada menara yang disebut Bade ini, diharapkan Roh ( Atma ) orang yang diupacarakan Ngaben tersebut segera mencapai alam Sorga ( Kadevataan )

Nagabandha. Berkaitan dengan upacara Ngaben dalam tingkatan yang besar (uttama) dan umumnya digunakan bagi para raja ( mantan raja ) dan juga pandita Hindu dari warga Brahmana Budha ( Budakeling ) adalah Nagabandha.


Nagabandha dibuat dari kain dengan panjang 1700 depa ( sekitar 1.500 meter ) merupakan simbol dari keterikatan badan jasmani terhadap objek-objek duniawi, oleh karena itu pada saat upacara Ngaben, Nagabandha tersebut di "ENTAS" dengan panah kalepasan oleh seorang pandita yang memimpin upacara Ngaben tersebut. 

Dalam lontar Tattwa Bhattara Astapaka diuraikan " .... Huwus lah yeki ingaranan Nagabandha, penuntn sang wibhuh muliheng Haribhawana. Sadela setahun rong tahun cili muliheng Haribhawana, munggah ring bale-reragi. Kewala kawenangan kulawangsa sangulun juga angatera, yan tan kulawangsa hulun kawenang, tatan prasidha sang hyang pitra muiheng Haribhawana
Terjemahannya:

".... Inilah yang bernama Nagabandha, yang akan menuntun seorang raja mencapai sorga ( Haribhawana ). Kiranya tidak akan lama lagi Tuanku ( Cili Bali ) akan pulang ke alam sorga, ditempatkan di balai raragi ( kematian). Dan yang patut menyelesaikan ( memimpin upacara ) adalah keturunan hamba ( Mpu Danghyang Astapaka ) sajalah, bila tidak dari keturunan hamba, tidak akan mendapat sorga arwah yang meninggal dunia ".

sejarah Nagabandha dalam Lontar Tattwa Bhatara Astapaka, yang merupakan babad (silsilah) keluarga Brahmana Buddha di Bali, yang dimaksud adalah Mpu Katarangan yang identik dengan Mpu Astapaka, putra Mpu Angcoka, kakak dari Danghyang Nirartha seorang pandita istana dari raja Dalem Waturenggong yang memerintah Bali pada tahun 1460-1550 Masehi dan beristana di Puri Linggarsapura ( Gelgel ), Kabupaten Klungkung.

 Dalam Babad tersebut diuraikan bahwa Mpu Katarangan datang ke Bali karena diminta oleh Dalem Waturenggong untuk memimpin upacara "Homayajna". Setelah beliau tiba di Bali, sebelum sampai di istana Gelgel, Raja Dalem Waturenggong ingin menguji kesaktian Mpu Katarangan. Upaya yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong adalah membuat lubang di bawah lantai pertemuan, selanjutnya di dalam lubang dimasukkan seekor angsa kemudian diberi rongga udara dan ditutup dengan gedeg dari atas. 

Pada saat Mpu Katarangan tiba di istana ( balai pertemuan ), beliau disambut dengan meriah, dihadiri oleh seluruh pejabat istana dan para pandita, demikian juga masyarakat disekitar puri. Ketika sidang berlangsung tiba-tiba angsa dalam lubang berbunyi. Dalem Waturenggong pura-pura tidak mengetahui suara tersebut dan menanyai hal ini kepada Mpu Katarangan

Merasa bahwa dirinya diuji oleh Dalem Waturenggong, Mpu Katarangan menjawab bahwa suara tersebut ternyata seekor naga yang sangat besar, yang langsung dipangku oleh Mpu Katarangan. Dalem Waturenggong menanyakan tentang naga tersebut, Mpu Katarangan menjelaskan bahwa naga ini bernama Nagabandha, merupakan penuntun bagi sang raja untuk mencapai Visnuloka

Selanjutnya Mpu Katarangan atau Danghyang Astapaka meninggalkan Gekgel pergi ke arah timur dan membuat asrama serta menetap di Budakeling Karangasem.

Jumat, 16 September 2011

Dharma Wacana : DOA bertentangan dengan KARMA?

Dharma Wacana : dalam kegagalan kita tetap punya harga diri dalam keberhasilan kita tetap rendah hati
Doa dan Karma
Tetapi bukankah di dalam agama Hindu, hidup kita sepenuhnya ditentukan oleh perbuatan kita atau KARMA ? Andaikata kita mengajukan permohonan kepada Tuhan, dan Tuhan mengabulkan permohonan kita, bukankah ini berarti Tuhan campur tangan atau bahkan melanggar HUKUM KARMA yang diciptakannya ?. Mari kita lihat dulu manfaat Meditasi Sembahyang .



  1. Ketenangan Pikiran
  2. Mengetahui Tujuan
  3. Isi Ulang Energi
  4. Terhubung dengan Diri yang Lebih Luas
  5. Membuat Kita Rendah Hati
  6. Harapan Tanpa Kecemasan


1. Ketenangan Pikiran. Sejak kita masuk halaman pura kita sudah mulai berupaya menenangkan pikiran. Suara genta, mantra Pandita/Pinandita, bau harum dupa, kidung, pranayama, trisandya, panca sembah, dan siraman tirta, membuat pikiran dan hati kita tenang dan damai. Pikiran yang tenang dan damai membuat lingkungan tenang dan damai. Belum pernah terjadi orang pulang dari pura lalu demo sambil berteriak-teriak merusak milik orang.

2. Mengetahui Tujuan. Ketika pikiran tenang kita dapat mengetahui dengan jelas apa yang kita inginkan dalam hidup ini. Keinginan ini penting, karena, "seperti keinginannya demikianlah tindakannya; seperti tindakannya demikian manusia jadinya". Kadang-kadang kita berpikir, Tuhan tahu apa yang kita inginkan. Betul ! Tetapi kita sering kali tidak tahu apa yang kita inginkan, lalu bagaimana kita dapat melakukan sesuatu ? Atau keinginan kita terlalu banyak, sehingga tidak tahu mana yang harus direalisasikan terlebih dulu. Keinginan itu mengarahkan tindakan kita.

3. Isi Ulang Energi. Seperti hp yang dipergunakan sepanjang hari, baterenya pasti lemah. Demikian juga dengan diri kita. Tuhan adalah sumber listrik atau energi kita. Ketika diri kita, tepatnya jiwa, pikiran dan hati kita terhubung dengan Tuhan, hidup kita menjadi kuat dan segar kembali.

4. Terhubung dengan Diri yang Lebih Luas. Bayangkan kita ada dalam satu kamar sempit, dirumah kita. Mata kita hanya melihat ruang yang sempit,. Hati kita menjadi cupet dan ini bisa membuat pikiran kita rusuh. Lalu kita pergi piknik ke persawahan yang luas. Kita menyaksikan pemandangan yang luas dan indah. Hati dan Pikiran kita menjadi luas, lega dan bahagia, seolah-olah kita lepas dari kurungan. Ketika dalam keadaan itu, kita tidak hanya memikirkan diri kita sendiri, tetapi juga memikirkan orang lain, serta alam di mana dan dengan siapa kita hidup. Tindakan-tindakan kita mengikuti pikiran itu. Demikianlah halnya diri kita, jiwa kita yang dibatasi oleh badan, ketika terhubung dengan sumber dan asalnya, Tuhan, Jiwa Semesta, menjadi luas tak terbatas.

5. Membuat Kita Rendah Hati. Ketika kita telah berupaya dan berdoa, maka tahap berikutnya adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. " Kewajibanmu hanyalah bekerja, sedangkan hasilnya Aku yang menentukan " demikian dikatakan oleh Bhagawad Gita. Itulah hukum moralnya. Pada sloka lain Bhagawad Gita menjamin. " Tidak ada pengorbanan yang sia-sia ." Dengan mengikuti hukum ini kita akan sanggup bekerja keras, tetapi pikiran dan hati kita tetap tenang. Kepasrahan, setelah berupaya keras, merupakan bagian penting dari sembahyang kita. Dengan kata lain, sembahyang membuat kita rendah hati.

6. Harapan Tanpa Kecemasan. Masa depan memberi harapan. Tetapi juga kecemasan bahkan ketakutan (bila harapan tidak menjadi kenyataan). Dapatkah kita memiliki harapan tanpa kecemasan atau ketakutan ? Ada yang memberi nasehat agar kita tidak memikirkan masa lalu dan masa depan. Hanya memusatkan perhatian pada masa kini. Ini satu nasehat yang baik, tapi mungkin tidak banyak orang dapat mengikutinya. Jadi tidak mungkin berharap tanpa cemas dan takut ? Mengapa tidak ? Melalui doa atau sembahyang, kita menyerahkan masa depan kepada Tuhan.

Keenam manfaat sembahyang diatas sudah menjawab bahwa sembahyang sebenarnya adalah untuk diri kita. Bukan untuk Tuhan (agar Dia tidak marah). Tidak selalu doa kita dikabulkan Tuhan. Dan karena itu sering juga orang kehilangan kepercayaan kepada-Nya. Penolakan oleh Tuhan atas permohonan kita membuat kita lebih kuat, bila kita memahami maksudnya; dalam kegagalan kita tetap punya harga diri, dalam keberhasilan kita tetap rendah hati. Lagi pula Tuhan bukanlah pelayan rumah tangga kita.

Referensi "TUHAN AGAMA & NEGARA" Oleh Ngakan Made Madrasuta, penerbit MediaHindu, diposting oleh Rare Angon Nak Bali Belog.

Rabu, 07 September 2011

Vahana Devata | Binatang Suci Hindu

brahma wisnu siwa
Visnu - Garuda
Dalam kitab suci Veda kita jumpai informasi tentang binatang suci seperti garuda, angsa, naga dan lain-lain. Binatang-binatang tersebut ada yang merupakan gambaran perwujudan-Nya, ada juga yang berfungsi sebagai Vahana para devata.

Vahana Devata dapat berupa binatang dan burung, dimana para Dewa dan Dewi duduk mengendarainya, seperti Visnu diatas garuda, Brahma diatas angsa, Devi Durga di atas seekor singa, Kartikeya atau Kumara menggunakan burung merak sebagai kendaraannya, Ganapati kendaraannya seekor tikus, Indra atau Sasta di atas gajah (Airavata), Sani berupa burung merak, Yama berupa seekor kerbau, Dewi Ganga kendaraannya seekor buaya, Yamuna seekor kura-kura, Vayu kendaraannya seekor kijang, Surya keretanya ditarik oleh 7 ekor kuda, Dewi Candi kendaraannya seekor harimau, Nirrti kendaraannya seekor anjing, Varaha seekor ular, Rati, burung kakak tua, Gauri seekor biawak, Kubera kendaraannya manusia dan Revanta seekor kuda.

Beberapa Devata menggunakan benda-benda mati sebagai kendaraannya, antara lain seperti Sankhanidhi terompet kerang, Kurukulla perahu, Yoganidra pelbet, Kubera mahkota, Usnisavijaya petir dan lain-lain ( Ramachandra, II,1992:115)

Binatang-binatang dan burung-burung yang digunakan sebagai kendaraan para dewa, mengandung  makna filosofis tertentu dalam bingkai konseptual dan identifikasi, seperti burung garuda dengan energi matahari, lembu jantan dengan dharma, angsa dan Gunasattvam, merak dengan api dan lain-lain. Menurut Kalika Purana (57) Vahana-vahana tersebut hanya transformasi dari para devata tersebut " murtyantaram krtva vahanatvam gatah " yang merespon sesuatu yang menjadi penyebab.

Kitab Vamana Purana (9) memuat sebuah daftar tentang vahana-devata sebagai berikut; gajah besar bernama Airavata, putih warna kulitnya, lahir dari telapak tangan dewa Rudra adalah vahana untuk dewa Indra, kerbau yang ganas bernama Paundraka, warna tubuhnya hitam lahir dari keberanian dewa Siva untuk dewa Yama, Simsumara, binatang air berwarna biru yang muncul dari pikiran dewa Indra dan sebagai simbol lautan untuk dewa Varuna.

Manusia yang tinggi besar dan wajahnya menyeramkan, yang lahir dari kaki dewi Durga dan yang matanya seperti roda kereta untuk dewa Kubera; ular naga besar dan sangat galak, anjing berbulu putih dan lembu jantan yang larinya sangat cepat untuk Ekadasa Rudra; kereta dengan 500 angsa yang menariknya untuk dewi Candra, kereta yang ditarik oleh 12 ekor kuda yang digabungkan sedemikian rupa untuk dewa-dewa Aditya, gajah untuk Astavasu, manusia untuk yaksa, ular naga untuk para Kinnara, kuda untuk dewa-dewa Asvina, kijang bertanduk tanpa cabang untuk para Maruta.

Selama upacara tahunan pada pura-pura yang besar, yang disebut Rathotsava, yang berlangsung sampai 9 hari atau lebih, banyak dihiasi vahana-vahana devata dengan aneka bentuk seperti gaja (gajah), vrsabha (lembu jantan), asva (kuda), sesa (ular naga), sbika (joli emas), hamsa (angsa), ravi-mandala (bola matahari), candra-prabha (gambar bulan), simha (singa), puspa-pitha (sthana dari bunga), Meru (gunung mahameru), kalpavrksa (pohon kahyangan yang memenuhi keinginan umat-Nya), Hanuman, Garuda, dan ratha (kereta).

Banyak devata yang bersifat Tanrik, khususnya pantheon Vajrayana, digambarkan mengendarai mayat manusia (preta-vahana) dan dalam praktek magic seperti Khatvanga (Ramachandra, 1992: 115).