Selasa, 31 Juli 2012

Inilah Hindu Indonesia

senthong pemujaan hindu
***Senthong***
Inilah Hindu Indonesia. Rare Angon Nak Bali Belog dalam posting kali ini menuliskan kumpulan singkat hal-hal yang berkaitan dengan Budaya Agama Hindu yang ada di Indonesia. Hindu Indonesia dikenal dengan sebutan Hindu Bali, Hindu Toraja, Hindu Pedukuhan Gunung Lawu, Hindu Kaharingan, Hindu Tengger, Hindu Dayak Maratus dan lainnya yang mana akan sangat "memiskinkan" keberadaan Hindu itu sendiri. 

Kenapa demikian karena Bali yang dulu mayoritas Hindu berkembang sangat pesat dan saat ini sudah menyebar keseluruh pelosok Indonesia, nama Bali menjadi pisau bermata dua, satu sisi bisa membanggakan tetapi disisi lain bisa memiskinkan, bisa menyebabkan Hindu seolah-olah hanya di Bali dan budaya Bali adalah cerminan Hindu di Indonesia, tentunya ini tidak akan mendukung keberadaan Agama Hindu di daerah yang lain. 



Penyebutan yang berbeda-beda berdasarkan daerah menyebabkan Hindu terkotak-kotak, oleh karena itu sudah saatnya Kejayaan Agama Hindu Indonesia untuk kembali bangkit dan berkembang baik secara kwantitas dan kwalitas dalam pemahaman Ajaran Weda ( Tattwa, Susila dan Upakara ) serta dapat membawa Indonesia segera menjadi negara yang maju dan sejahtera.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.(wikipedia) memang berbeda dengan Agama, budaya ( budi dan daya ) lahir dari pemikiran manusia untuk dapat beradaptasi dengan alam dan penciptanya. Pemakaian budaya yang sama pada agama yang berbeda tentunya sah-sah saja, seperti penggunaan Pupuh, Macapat, Wayang dan tradisi penyucian diri saat menghadapi sebuah hari besar keagamaan. 

Dengan demikian betapa besarnya nilai-nilai budaya tersebut sehingga fungsi dan maknanya dapat diterima oleh semua agama. Inilah Budaya Indonesia, yang segera musti disadari oleh pemeluk agama, tidak usahlah kita berebut, fanatisme agama hendaknya tidak merembet pada egoisme budaya. 
Berikut adalah budaya-budaya yang dilaksanakan oleh pemeluk dan masyarakat Hindu di Indonesia.

Tawur dan Nyepi di Lawu, Beras Tawur Pengusir Hama.
Satu-satunya pedukuhan di seputaran Gunung Lawu dengan mayoritas beragama Hindu, mereka hidup rukun dalam kebersamaan; semua itu karena mereka umumnya hidup njawani. Acara Tawur yang digelar sangat sederhana di perlimaan ( bukan perempatan ) jalan di tengah-tengah pedukuhan, menghadap ke timur. 

Umat yang hadir membawa dua wadah untuk tirtha ( Penglukatan dan Amertha ) dan satu lagi untuk beras tawur. Sebuah lubang tepat di perlimaan jalan telah siap, di sebelahnya beberapa jenis sesaji Jawa telah juga siap dan bayang-bayang seekor ayam brumbun, yang dagingnya telah diolah, serta beberapa tumpeng kecil, cok bakal, beberapa jenis kembang dan juga beberapa jenis tirtha dari beberapa Pura, Puncak Lawu, Banyukuwung, Sendang Cempaka Mulya dan Prambanan.

Acara dimulai dengan puja Pemangku diiringi kidung Jawa, diteruskan dengan menanam ayam dan sesaji lainnya dan diperciki semua tirtha yang ada. Setelah itu dilanjutkan dengan kramaning sembah dengan cakupan tangan mengarah ke bawah. Acara ditutup dengan puja diiringi kidung penutup. Malam itu juga ketiga sarana tadi digunakan untuk areal rumah dan juga kebun. Setelah tawur dilaksanakan Penyepian dan Ngembak Geni di belasan pura di seputaran Lawu. Umat Hindu di jawa memang umumnya sangat gemar mendengarkan Dharma Wacana. ( edisi 100 - Juni 2012 )

Nenek Sando di Desa Tia'tang Toraja
Di Desa Tia'tang, desa terpencil di Tana Toraja ini sangatlah unik, dimana peradaban Hindu Toraja tumbuh dan masih berkembang. Di Desa Tia'tang terdapat 20 KK warga beragama Hindu asli Toraja, agama nenek moyang yang sampai saat ini masih mereka pertahankan, baik agama maupun semua ritual Hindu tradisi Toraja. Pura yang di desa ini berbeda dengan di Bali, bentuknya berupa bangunan rumah. Seorang pemangku adat/ tetua adat disebut dengan Nenek Sando. 

Nenek Sando adalah seorang pria tua atau lazim dipanggil nenek, pemberian nama ini merupakan nama Kebesaran atau nama kehormatan buat seorang pemangku adat. Kondisi umat Hindu masih tertinggal di desa ini, namun mereka berkomitmen untuk terus mempertahankan Hindu sebagai agama mereka. Pemakaman bagi mereka yang meninggal berada di goa-goa, namun untuk bayi yang baru lahir akan dikuburkan di dalam pohon-pohon. Dari Kunjungan KMHDI ke Toraja ( edisi 89 - Juli 2011 )

Senthong, Tempat Pemujaan Kawitan Masyarakat Hindu Jawa
Rumah adat Jawa terbagi dalam ruangan-ruangan dengan fungsinya masing-masing. Salah satunya Senthong atau Nepen atau Petanen atau Patangaring atau Kerobogan mempunyai landasan filosofis Agama Hindu untuk pemujaan terhadap para leluhur. Senthong memiliki arti tempat yang hening atau suwung, sengat bagus buat meditasi/nepi. 

Senthong mempunyai karakter yang ditentukan oelh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis keturunan, sehingga Senthong merupakan tempat memuja para leluhur yang telah disucikan dari masing-masing kelompok kerabatan. Senthong dilihat dari bentuknya terdiri dari tiga pintu, pintu yang besar berada di tengah-tengah sehingga mirip rong tiga pada sanggah kemulan di Bali. Hal tersebut menunjukkan pemujaan dalam 3 (tiga) aspek yaitu sebagai penciptaan, pemeliharaan dan memprelina atau sabda, bayu dan idep. Secara fisik terdapat burung Garuda wahana Dewa Wisnu, adanya pedaringan untuk memuja Dewi Sri dan gundukan kemenyan untuk memuja Hyang Ciwa.

Dalam Serat Kawruh Kalang disebutkan bahwa Senthong merupakan Sanggar pemujaan bagi keluarga Hindu di Jawa, dalam keluarga batih/keluarga inti yang terdiri dari Bapak, Ibu dan Anak diwajibkan membuat rumah jawa yang dilengkapi dengan Senthong sebagai tempat suci untuk memuja leluhur dan para Dewa, sedangkang dalam masyarakat besar diwajibkan membuat Candi ( secara nasional tempat sembahyang Agama Hindu disebut Pura ) (edisi 90 - Agustus 2011 )

Suku Borneo Mempraktikan Jenis Hindunya Sendiri.
Hindu Kaharingan adalah suatu agama untuk orang Dayak dari Kalimantan Tengah, salah satu dari empat propinsi yang menjadi bagian Kalimantan. Sudah 30 an tahun usia Agama Hindu Kaharingan, diatur oleh birokrasi Hindu di Indonesia yang resmi. Dalam Sidang Agung Hindu Kaharingan ( Hindu Kaharingan's Grand Council ) di Palangkaraya, kepala badan penasihat agama Hindu Kaharingan, Lewis Koebek Dandan Ranying menyatakan bahwa orang-orang Dayak adalah orang-orang Hindu selama berabad-abad, mereka hanya tidak tahu saja. 

Kepercayaan dari berbagai suku-suku Dayak, katanya, turun dari Kerajaan Kutai, di Kalimantan Timur dari abad keempat yang agamanya dari India. Aturan-aturan pemerintah mensyaratkan satu agama resmi untuk mempunyai satu kitab suci, maka pemimpin Dayak di Kalimantan Tengah menciptakan satu kitab suci, Panaturan. Suatu pendeta diperlukan, tempat upacara pemujaan disebut Balai Basarah. Agama Hindu telah menjadi bagian dari kepercayaan lokal, dan Hindu Kaharingan bukanlah "agama yang dibuat-buat" . ( edisi 95 - Januari 2012 )

Upacara Aruh Baduduk Umat Hindu Dayak Meratus
Desa Labuhan kecamatan Batang Alai Selatan Kab. Hulu Sungai Tengah, Kalimantas Selatan penduduknya beragama Hindu yang sebelumnya disebut dengan Kaharingan. Di desa ini dilaksanakan persembahyangan bersama setiap purnama dan tilem maupun hari raya Hindu lainnya di Balai ( tempat suci umat Hindu etnis Dayak Meratus ) yang dipimpin oleh seorang pinandita asli keturunan Labuhan. Salah satu budaya yang dipertahankan dan tetap dijalankan adalah Aruh Baduduk. Aruh berasal dari kata upacara roh ( a-roh; Yang Esa/Nining Bahataral )

Sedangkan Baduduk berasal dari kata "duduk" yang dalam bahasa Labuhan ditambah dengan "ba" yang berarti berduduk. Aruh Baduduk adalah suatu persembahan suci atau perwujudan rasa terima kasih dari manusia kepada Nining Bahataral ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ) setelah selesai kegiatan  panen padi, dengan mempersembahkan upcara selengkapnya yang dipimpin para Balian. ( edisi 99 - Mei 2012 )

Rare Angon Nak Bali Belog mengucapkan terima kasih atas perhatiannya pada artikel singkat ini yang tentunya sangat jauh dari sempurna. Marilah kita gali budaya-budaya Hindu Indonesia, semakin banyak yang kita ketahui tentunya akan memperkaya khasanah budaya nasional. Mohon pembaca untuk dapat melengkapi artikel ini. Sumber artikel dari Media Hindu dalam berbagai edisi dan tahun penerbitan.

Senin, 23 Juli 2012

Orang Bali Bekerja Sambilan

3d visualizer di jakarta selatan
****3D Artist Impressions****
Tentang bekerja, orang Bali dikenal punya falsafah unik. Mereka dikenal masyarakat yang mencintai pekerjaannya, tekun, dan setia. Maka orang-orang berkomentar; orang Bali memandang hidup itu sendiri adalah kerja. Bhagawadgitha, buku suci mereka, mengajarkan agar manusia bekerja terus sepanjang hidup. 

Dalam bekerja, mereka diharapkan tidak memandang imbalan sebagai tujuan utama. Bekerja bagi orang Bali, seperti diisyaratkan oleh buku suci mereka, adalah kewajiban. Tidak karena untuk mencukupi kebutuhan hidup seseorang harus bekerja, tapi karena kerja itu merupakan bakti. Bumi akan terus berputar kalau orang bekerja. Dunia akan luluh lantak jika manusia berhenti bekerja.
Memang, alangkah hebatnya falsafah kerja bagi orang Bali. Bekerja dianggap sebagai satu cara menghaturkan sujud kepada Hyang Widhi. Karena itu menganggur, tidak bekerja, tidur leha-leha, duduk ongkang-ongkang, sebenarnya tabu dan bisa-bisa dianggap dosa. Karena itu, bersyukurlah manusia Bali, karena bukan Cuma untuk memenuhi kebutuhan perut mereka bekerja, tapi juga demi Agama Hindu.

Di Zaman dulu, tatkala hampir semua penghuni Pulau Surga ini hidup dari hasil pertanian, tujuan bekerja demi bakti, bukan masalah. Hasil bumi untuk di makan, demi upacara dan dihaturkan kepada Sang Pencipta. Lambat laun banyak kebutuhan mendesak karena perkembangan zaman. Badan tak cukup menyantap hasil bumi, juga menuntut kemanjaan untuk dipersolek. Orang perlu banyak uang untuk membeli bedak, gincu, shampo, arlogi, radio, kemeja, dasi, sepatu atau mobil. Maka bekerja pun punya tujuan bercabang kesana-sini, berbiak ke mana-mana. Bekerja tak hanya untuk menghasilkan uang buat beli makanan. Bekerja tak lagi hanya untuk bakti, tak lagi untuk melulu beribadah.

Orang Bali, untuk memenuhi kebutuhannya, meresa tak mendapat cukup uang jika mereka bekerja seperti petani. Mereka sadar, waktu yang terbatas harus dimanfaatkan untuk menghasilkan banyak uang. Atau mereka merasa bekerja beberapa jam tak cukup banyak menghasilkan uang. Yang sering bikin pusing adalah, sudah bekerja 18 jam sehari, masih saja kurang uang. Karena itu banyak orang kemudian mengambil pekerjaan sambilan.

Pertanyaan kemudian adalah, apakah orang Bali terbiasa mengambil banyak jenis pekerjaan ? Ada yang berpendapat, orang Bali itu sebenarnya gampang mengambil beberapa pekerjaan. Hal begini tampak sejak lama. Tatkala pariwisata berkembang pesat, tak sulit mencari petani yang bisa diajak menjadi seniman untuk berkarya memenuhi pesanan turis.
Pelukis yang menghasilkan banyak karya yang disukai turis adalah kaum petani. Di Ubud, para pelukis itu membagi waktu mereka dengan sangat baik dan manajerial. Pagi buta mereka ke sawah, ketika istirahat siang mereka pulang dan melukis. Sore mereka ke sawah lagi. Di Malam hari mereka menari cak atau menabuh gamelan buat tontonan turis.

Industri pariwisata selalu menuntut terus. Petani itu diminta melukis banyak. Maka mustahil mereka bekerja rangkap. Mereka harus memilih. Karena melukis mendatangkan jauh lebih banyak uang, sawahpun merekaa tinggalkan. Di Ubud, sekarang sulit mencari anak muda yang petani. Mereka lebih senang jadi perajin. Yang dulu sambilan, kini jadi utama.

Tapi tak semua orang Bali hidup dari melukis. Banyak guru yang gajinya kecil, harus bekerja sambilan, mengajar di banyak sekolah. Itu masih bisa dimaklumi. Ada guru bekerja sambilan sebagai tukang ojek. Belakangan, tak sedikit orang Bali yang jadi pegawai negeri bekerja sambilan sebagai pemandu wisata. Yang mereka pandu biasanya turis domestik. Tak perlu susah-susah belajar bahasa asing. Mereka kadang menganggap, mengantar tamu itu juga sebagai refreshing. Tapi bagaimanapun yang mereka lakukan adalah bekerjasambilan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka harus pintar berakrobat.

Soal orang Bali bekerja sambilan, tak beda jauh dengan orang Indonesia lainnya. Tapi ada pendapat, jika memang ingin bekerja sambilan, sebaiknya tinggal di Bali. Seorang pegawai apotek, pekerja bengkel,tukang las, di Bali, mudah sekali bekerja sambilan menjadi calo sepeda motor. Di Bali, tukang cukur enteng sekali kerja sambilan menjadi calo tanah.

Turisme membuat orang-orang Bali semakin pintar memanfaatkan waktu untuk bekerja sambilan. Ada seorang guru yang kerja sambilan menjual minuman dingin atau menjadi pedagang acung di obyek wisata. Bagi orang Bali, falsafah bekerja telah berkembang, tak lagi sepenuhnya seperti disabdakan dalam Bhagawadgitha. 

Basa Basi Bali oleh Gde Aryantha Soethama, posting oleh Rare Angon Nak Bali Belog.

Sabtu, 07 Juli 2012

Pertemuan Dua Sungai - Dviveni atau Tiga Sungai - Triveni

Kesucian Pura
Kini tempat-tempat yang indah dan menawan itu, tidak saja menjadi obyek wisata yang banyak diekspoitasi, yang mengakibatkan getaran kesucian kawasan itu semakin redup karena terjadi pencemaran spiritual.  

Pertemuan dua sungai - Dviveni dan tiga sungai - Triveni dipandang sebagai tempat yang sangat suci  baik di India maupun di Bali. Pertemuan dua atau tiga sungai sangat baik dijadikan tempat untuk menyucikan diri ( Prayascitta  atau melukat atau mebayuh ) dan merupakan tempat para devata untuk bercengkrama, tempat yang disenangi oleh para dewa dan roh-roh suci.

"Para Dewa selalu bercengkrama di danau-danau, sinar matahari tidak terlalu panas karena dipayungi oleh awan-awan berbentuk daun teratai, dan jalannya air yang dibuat oleh angsa-angsa, yang disusui oleh lenggokan bunga teratai putih ke sana dan ke mari, tempat angsa-angsa dan bebek-bebek, suara burung-burung padi terdengar dan binatang-binatang beristirahat tinggal di dekatnya di bawah lindungan bayangan pohon-pohon Nikula yang tumbuh di tepi sungai "

"Para Dewa senantiasa bercengkrama di mana sungai-sungai berkelok-kelok dan suara-suara burung-burung berterbangan dan suara-suara percakapan angsa-angsa, air sebagai bhusananya, sejenis ikan gurami yang berseliweran sebagai wilayahnya,
daun-daun pohon-pohonan sebagai hiasan telinga (anting-antingnya), pertemuan dua atau lebih sungai sebagai pinggulnya, pasir yang gembur sebagai buah dadanya dan bulu-bulu angsa sebagai mantel mereka"

"Para Dewa senantiasa bercengkrama pada semak-semak, (yang tumbuh subur) di tepi sungai-sungai, gunung-gunung, dan mata air dan dikota-kota dengan taman-tamannya yang menyenangkan "

(Brhat Samhita, LV.4-8, Bhavisya Purana I.CXXX. 11-15)

"Pada tempat-tempat seperti tersebut diatas disenangi oleh para dewa dan tinggal di tempat itu "
(Brhat Samhita 8)
"Dimanakah para dewa kelihatan bercengkrama, di semua tempat dan Tuhan Yang Maha Esa senantiasa dalam krida-Nya yang abadi ( eko devo nityalilanurakta) "
(Radha Upanisad IV.3)

Lila atau cengkrama Tuhan Yang Maha Esa dan para devata merupakan
mode, yang sesungguhnya merupakan penampilan dari Suprema Spirit di dunia yang nampak ini. Dalam gerakan yang nampak tidak bertenaga dan dalam kesempurnaan yang berhubungan dengan bentuknya. Tiada alasan lain untuk penampilannya di dunia ini sebagai wujud dari Brahman sendiri. Kehadiran-Nya ( Brahman dan dewa-dewa ) meyakinkan di tempat-tempat tertentu. Penuh keindahan; tidak lain adalah kebijaksanaan kedewataan, para dewa yang menghubungkan antara umat manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, ada tempat dan penggambaran-Nya (na, prayo-janavatta; lokavat tu lilakaivalyam)
(brahma Sutra II.1.32-33)

"Aktivitas kreatip Brahma dijalankan melalui jalan yang diperlukan pada bagiannya, tetapi secara sederhana melalui lila (permainan), dalam pengertian umum di dunia ini "
(Kramrisch, 1991:4)

Demikianlah, dalam pandangan metafisik, segala sesuatu ciptaan dan kreasi-Nya adalah semata-mata permainan (lila)-Nya, kehadiran-Nya di dunia adalah dalam cinta-Nya kepada umat yang bhakti kepada-Nya.


Tepi Pantai dan Puncak-Puncak Gunung

Dalam kaitannya dengan kawasan suci, tidak hanya mata air atau tepi sungai dan danau yang dianggap suci sebagai tempat para dewa turun dan tinggal di tempat itu, oleh karenanya dipandang suci, tetapi juga tepi-tepi pantai dan puncak-puncak gunung. Berikut kitab suci Veda menjelaskan :

"Di tempat-tempat yang tergolong hening, digunung-gunung, pada pertemuan dua sungai (campuhan), di sanalah para maharsi mendapat inspirasi (pikiran) yang jernih "
(Rgveda VIII.6.28)

"Sejumlah besar air, bersama dengan air-air yang lainnya berkumpul menjadi sungai yang mengalir bersama-sama menuju ke laut (penampungan). Air yang murni, baik dari mata air maupun laut, mempunyai kekuatan yang mensucikan diri "
(Rgveda II.35.3)

Lebih jauh di dalam kitab Tantra Samuccaya dinyatakan :
"Para dewa tidak hanya berkenan untuk turun dan tinggal di Tirtha (Patirthan), di tepi sungai dan danau, tetapi juga di tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai, dan kuala (muara sungai), di puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, di hutan, di semak belukar dan kebun atau taman-taman, dekat tempat-tempat yang dirahmati atau pertapaan, di desa-desa, kota-kota dan di tempat-tempat lain yang membahagiakan " (1.1.28)

Demikianlah kita warisi tempat-tempat atau kawasan yang dipandang suci baik di India, Jawa maupun Bali yang masih terpelihara. Tepi sungai suci (ghat) seperti di Haridvar, Benares dan lain-lain. Pertemuan sungai Ganga dan Yamuna di Prayaga ( kini Allahabad ), pertemuan air sungai Ganga dan samudra India di pantai Timur Calcuta disebut Gangamahasagara dipandang suci oleh umat Hindu di India. 


Demikian pula puncak-puncak pegunungan Mahameru yang nampak melingkar seperti daun bunga padma, sangat menakjubkan, memberikan getaran spiritual yang tinggi merupakan sthana Tuhan Yang Maha Esa dan para Devata. Hal yang sama kita temukan di Indonesia dan Bali, tepi pantai tertentu di Bali dan hampir semua puncak pegunungan dan bukit-bukit di Bali juga diyakini sebagai sthana para devata, bahkan digambarkan sebagai "PADMADALA" kelopak daun bunga teratai yang menurut kitab Wrhaspati Tattwa merupakan sthana Sang Hyang Sadasiva.

Kini tempat-tempat yang indah dan menawan itu, tidak saja menjadi obyek wisata yang banyak diekspoitasi, yang mengakibatkan getaran kesucian kawasan itu semakin redup karena terjadi pencemaran spiritual.
  
Di masa yang silam peranan para pandita atau Samnyasin ( sannyasin ) sangat besar untuk menentukan suatu kawasan yang dipandang suci, karena persyaratan seperti disebutkan dalam kitab suci Veda maupun susastra Hindu tersebut di atas, tetapi juga melalui kekuatan spiritual, dengan membau tanah tersebut apakah harum atau busuk. Bila harum dan tanahnya tiris, maka kawasan tersebut sangat bagus dijadikan kawasan suci dan terlebih lagi di tempat tersebut kelihatan gunung-gunung dan lautan atau danau yang luas. Tempat yang demikian sering disebut Hyang-Hyang Ning Sagara Giri atau Sagara - Giri Adumukha.

Demikian pula halnya dengan pembangunan tempat-tempat seperti pura, maka tempat-tempat ideal seperti yang telah disebutkan diatas hendaknya menjadi pilihan dan prioritas yang utama, oleh karena itu wajarlah Pura-pura di Bali tempatnya senantiasa menawan dan dapat menggetarkan kehidupan spiritual seseorang.

Dari Buku Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu oleh I Made Titib, halaman 84, posting oleh rare angon nak bali belog.