Senin, 13 April 2015

Pariwisata Bali : Nama dan Alamat Hotel di Bali

reog surabaya
Reog Ponorogo
Hello Gan n Sis, sebentar lagi liburan panjang anak sekolahan, yang lagi UN tetap semangat UN, dan para orangtua segeralah mencari tempat penginapan untuk berlibur nanti, jangan sampai kehabisan. Info Hotel, Bungalow, Resort, Pantai, Discount, Event, dapat dicari disini Hotel Murah di Bali

Berikut nama dan alamat Hotel, Bungalow, Resort :

Alila Jakarta Hotel Jl. Pecenongan Kav 7-17 Jakarta

Alila Manggis Hotel Desa Buitan, Manggis Bali


Jumat, 10 April 2015

6 Peralatan dan Sesajen Untuk Memandikan Jenazah

Memandikan Jenazah
tikar pandan
Tikeh Plasa Pengulungan
 Peralatan dan Sesajen Untuk Memandikan Jenazah. Upacara Pitra-yajna adalah penyucian dan "meralina" serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran agama Hindu. Upacara ini berlandaskan pada ajaran Tri-Rna, khususnya Pitra-Rna yaitu hutang karma kepada orang tua atau Leluhur. Oleh karena itu patut diselenggarakan oleh anak, cucu, para sentana dan keluarga terdekat. 

6 Peralatan dan Sesajen untuk memandikan jenazah.
  1. Pepaga. Sebagai tempat memandikan jenazah dibuatkan sebuah dipan darurat dari bambu; tingginya kira-kira 1 meter, panjang 2 meter dan lebar 75 cm. Dipan ini disebut "Pepaga". Sebagai alas digunakan dua lembar daun pisang yang masih utuh, lengkap dengan ujungnya. Yang dianggap baik untuk maksud ini adalah daun pisang kepok (pisang dangsaba)




  1. Air. Dalam upcara ini digunakan tiga jenis air, yakni : Air Cendana (air bekas gosokan kayu cendana), air yang bersih (yeh anyar) dan air dicampur dengan bunga-bunga yang harum serta minyak wangi, atau yeh kumkuman
  2. Pembersihan. Sesungguhnya yang disebut pembersihan adalah sejenis sesajen berisi peralatan untuk membersihkan gigi, rambut dan badan. Seperti; Ambuh (untuk mencuci rambut) yang terbuat dari daun kembang sepatu atau kelapa yang diparut, minyak wangi, Sisir untuk membersihkan gigi yang terbuat dari jajan yang dibakar sampai gosong, Kekosok (untuk menggosok badan) dibuat dari tepung beras berwarna putih dan kuning, Tepung tawar dibuat dari daun dadap, kunir dan beras ditumbuh menjadi satu, Bija dibuat dari beras, dicuci kemudian dicampur dengan cendana atau bunga yang harum. Peralatan tersebut masing-masing dialasi dengan "tangkih" dilengkapi dengan sisir, cermin dan bunga yang dialasi "sampian payasan"
  3. Menggulung Jenazah. Untuk menggulung jenazah diperlukan satu lembar "Penekep" yaitu kain hitam untuk menutup alat vitalnya (panjang 1 jengkal persegi + 30 - 40 cm), Talin itik-itik yaitu seutas benang putih untuk mengikat menyatukan kedua ibu jari kakinya (panjang cukup untuk 3 kali ikatan). 
  4. Pakaian untuk Wanita. Sinjang yaitu sejenis pakaian dalam berupa selembar kain berbunga-bunga atau polos panjang 1 1/2 meter lebar 90 cm, satu lembar kain panjang batik atau tenunan, Stagtin yaitu ikat pinggang khusus untuk wanita panjang 3 meter, Selendang dibuat dari kain warna polos putih atau kuning, panjang 1 1/2 meter lebar 90 cm. Pakaian untuk Pria, selembar kain panjang tenunan atau batik, ikat pinggang seperti pada wanita, satu lembar kain panjang untuk "kampuh" yaitu satu lembar kain polos atau berbunga panjang 1 1/2 meter, pada salah satu sisinya ditempeli pinggiran khusus yang disebut "tepi". Satu lembar "umpal" atau selendang, satu lembar "destar" batik atau kain putih. 
  5. Kain Putih untuk menggulung jenazah, panjang 2-3 meter sesuai dengan tinggi orang yang meninggal, disebut dengan "kasa pengulungan" . Kain pengulungan ini sedapat mungkin kain putih atau kain kafan. Tikar yang halus dibuat dari daun pandan atau yang sejenis, disebut "Tikeh Plasa Pengulungan". Tali yang sedapat mungkin dibuat dari bambu sesuai adat setempat. Beberapa kain untuk "rurub"
Artikel Terkait 

 Demikian secara singkat mengenai Peralatan dan Sesajen untuk Memandikan Jenazah, lebih lengkap dapat dibaca pada buku Panca Yadnya karya Ny. IGA Mas Mt.Putra. Semoga bermanfaat. (RANBB)


Kamis, 02 April 2015

Bhagawan Abhyasa dan Cacing

hindu damai
Bunga Kehidupan
    Pandangan Hindu tentang hidup dan mati dengan jelas dinyatakan oleh Bhagavad Gita :"Bagi yang lahir,  kematian adalah pasti tentu. Bagi yang mati,  kelahiran adalah pasti ". (BG:II.27). Sebelumnya Bhagavad Gita menyatakan : "Setelah memakai badan ini, dari masa kecil hingga dewasa dan tua, demikian jiwa berpindah ke badan lain ". (BG.II.13)

Mati hanyalah satu babak, satu jarak, satu waktu istirahat dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan. Mahabarata menyampaikan cerita sebagai berikut :


Dahulu kala, ketika Bhagawan Abhyasa sedang berjalan di sepanjang jalan raya tempat ratusan kereta lalu lalang setiap hari, ia melihat seekor cacing menyelinap secara gila. Orang yang sangat bijaksana ini, dengan menggunakan bahasa cacing bertanya :




"Cacing,mengapa terburu-buru? Apa yang ksu takutkan?"
"Takut pada dentang-dentang kereta, Tuan", jawab cacing itu.
"Begitu dekat! Saya dengar itu! Kereta itu akan meremukkan saya. Saya harus lari, harus menghindar. Saya dengar dengus berbau-kerbau penarik kereta itu, Saya dengar cambuk melecut punggung mereka. Hidup sangat berharga, Tuan - saya tidak mau mati jika dapat, dan pergi dari surga kehidupan ke dalam neraka kematian".


"Tapi kau hanya seekor cacing", kata Abhyasa, "Apa yang kau ketahui tentang surga kehidupan? Kesenangan mendengar bunyi, merasakan sentuhan, cita rasa dan bau sedikit artinya bagimu. Kau lebih bahagia kalau kau mati".

"Ya, tuan", kata cacing itu,"meskipun seperti yang Tuan katakan, kebetulan saya menyukai hidup seperti ini. Saya sudah terbiasa dengan hidup ini dan menikmatinya, mungkin sebagai cacing, namun saya mempunyai kesenangan-kesenangan hidup saya sendiri". Kemudian cacing itu menjelaskan kesalahan-kesalahannya (asubha karmanya) dalam kehidupan yang lalu, sehingga ia lahir sebagai cacing. Lalu cacing itu melanjutkan: "Dalam usia tua saya memang menyesali perbuatan-perbuatan di masa muda. Seperti seorang ayah menyesali hilangnya seorang anak yang tercinta. Saya ingat semua itu dengan jelas. Dan saya kira suatu hari saya akan mencapai kebebasan saya, sebagai hasil dari pahala yang saya peroleh dari perbuatan-perbuatan saya yang baik".

"Pembebasan dari asubha karma mu memerlukan jalan yang panjang ", kata Abhyasa. "Kalau pikiranmu condong kepada dharma, kau akan mencapainya lambat atau cepat. Kalau kau mau, aku dapat mengubah keadaanmu sekarang". Baca Siklus Aku



Cacing itu setuju. Pada waktu itu sebuah kereta besar lewat dan salah satu rodanya meremukkan cacing itu. Dengan cepat dilaluinya berbagai penitisan sebagai binatang yang lebih tinggi tingkatannya, lalu sebagai manusia dengan tingkat kemampuan intelek paling rendah, terus meningkat sampai menjadi manusia utama, dengan tingkat intelektual dan moral yang tinggi. Akhirnya cacing itu mencapai moksa, setelah menyelesaikan jalan pembebasannya.

Kisah di atas sebenarnya menjelaskan bahwa melalui reinkarnasi mahluk hidup mengalami evolusi dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi. Sumber bacaan buku Mengungkap Misteri Kematian oleh Ngakan Made Madrasuta, Media Hindu. (RANBB)

Insert Photo https://www.flickr.com/photos/dagang_tuak_bali