Alam Setelah Kematian |
Misteri kematian selalu menjadi topik menarik untuk dibicarakan oleh manusia yang hidup, oleh mereka yang memiliki rasa ingin tahu tentang apa yang akan dialami setelah kematian datang menjemput. Sebagian orang beranggapan bahwa mati adalah akhir dari segalanya, bagaikan keadaan ketika tidur lelap yang tanpa mimpi, sang diri lenyap tanpa sisa. Sebagian lainnya percaya bahwa akan ada kehidupan baru dalam bentuk berbeda yang akan dialami oleh roh setelah datangnya kematian.
Menurut teks Agastya Parwa, hidup ini sesungguhnya tidak pernah akan berakhir, kematian bukanlah akhir dari segalanya, seperti pendapat dari sebagian orang di atas. Hidup ini terus berlanjut dan roh tidak pernah akan mati. Kematian hanya terjadi pada badan fisik, dimana perolehan kualitas badan rohani setelah melewati kematian sangat tergantung pada perbuatan sang roh itu sendiri.
Misteri kematian disajikan dengan gamblang dalam teks ini, dimana sesaat setelah kematiannya, roh dinyatakan akan keluar dari badan kasarnya, pada keadaan ini roh masih memiliki badan halus yang bentuknya menyerupai badan kasarnya dulu, sang roh masih berwajah dan memiliki bentuk tubuh yang sama persis saat hidupnya di bumi, namun badan ini sangatlah halus, hingga tidak mampu ditangkap oleh mata fisik kasar yang normal.
Selanjutnya roh akan tergiring utnuk memasuki alam yang bernama Mahasiraya, di alam Mahasiraya inilah kemudian badan halus masing-masing roh akan menyesuaikan bentuknya dengan perbuatannya di bumi. "Sarupa nikang pinaranya, yata pinaka sarira ning atma".
Artinya : "Badan tersebut masih menyerupai wujud fisik roh semasa hidupnya (dibumi)". Badan halus hasil penyesuaian ini dinamakan dengan badan atiwahika. Atiwahika orang jahat akan menjadi mengerikan, sedangkan yang bijak akan menjadi rupawan dan bercahaya.
Dari bentuk Atiwahika inilah orang-orang yang memiliki kepekaan intuisi, dapat membedakan mana roh yang semasa hidupnya gemar melakukan kejahatan. Mereka yang gemar melakukan kejahatan, walau masih bisa dikenali dengan cara melihat fisik terutama wajahnya, namun fisik mereka sangatlah mengerikan, keadaannya bagaikan hantu-hantu yang gentayangan. Sedangkan mereka yang semasa hidupnya gemar melakukan kebajikan dapat dikenali dengan badan halusnya yang sangat rupawan, bersinar-sinar bagaikan penampakan para Dewa.
Agastya Parwa adalah teks tua yang awalnya ditulis di India, teks ini kemudian dialih aksarakan dan ditransliterasi (alih bahasa) kedalam bahasa Jawa Kuna pada masa-masa kepemerintahan raja-raja besar di Jawa. Agastya Parwa ini pada zamannya adalah salah satu teks yang dipakai pegangan dan petunjuk untuk memahami alam lain setelah kematian.
Artikel Terkait Kematian
- KEMATIAN DAN TIDUR
- KEMATIAN PERJALANAN KEMBALI KE ASAL
- APA PERBEDAAN TIDUR, TAK SADARKAN DIRI DAN KEMATIAN
- MENYADARI DATANGNYA KEMATIAN
- KEMATIAN KARENA USIA TUA
- ALAM SETELAH KEMATIAN
- PERALATAN DAN SESAJEN UNTUK MEMANDIKAN JENASAH
Menurut teks Agastya Parwa, hidup ini sesungguhnya tidak pernah akan berakhir, kematian bukanlah akhir dari segalanya, seperti pendapat dari sebagian orang di atas. Hidup ini terus berlanjut dan roh tidak pernah akan mati. Kematian hanya terjadi pada badan fisik, dimana perolehan kualitas badan rohani setelah melewati kematian sangat tergantung pada perbuatan sang roh itu sendiri.
Misteri kematian disajikan dengan gamblang dalam teks ini, dimana sesaat setelah kematiannya, roh dinyatakan akan keluar dari badan kasarnya, pada keadaan ini roh masih memiliki badan halus yang bentuknya menyerupai badan kasarnya dulu, sang roh masih berwajah dan memiliki bentuk tubuh yang sama persis saat hidupnya di bumi, namun badan ini sangatlah halus, hingga tidak mampu ditangkap oleh mata fisik kasar yang normal.
Selanjutnya roh akan tergiring utnuk memasuki alam yang bernama Mahasiraya, di alam Mahasiraya inilah kemudian badan halus masing-masing roh akan menyesuaikan bentuknya dengan perbuatannya di bumi. "Sarupa nikang pinaranya, yata pinaka sarira ning atma".
Artinya : "Badan tersebut masih menyerupai wujud fisik roh semasa hidupnya (dibumi)". Badan halus hasil penyesuaian ini dinamakan dengan badan atiwahika. Atiwahika orang jahat akan menjadi mengerikan, sedangkan yang bijak akan menjadi rupawan dan bercahaya.
Dari bentuk Atiwahika inilah orang-orang yang memiliki kepekaan intuisi, dapat membedakan mana roh yang semasa hidupnya gemar melakukan kejahatan. Mereka yang gemar melakukan kejahatan, walau masih bisa dikenali dengan cara melihat fisik terutama wajahnya, namun fisik mereka sangatlah mengerikan, keadaannya bagaikan hantu-hantu yang gentayangan. Sedangkan mereka yang semasa hidupnya gemar melakukan kebajikan dapat dikenali dengan badan halusnya yang sangat rupawan, bersinar-sinar bagaikan penampakan para Dewa.
Yan pareng swarga, diwaya sarira sulaksana, kadi Dewata sarirannya. Yan pareng neraka ya, tucita masalina sarira ikang pinawaknya.
Artinya:
Jika memperoleh surga, mereka akan memperoleh badan yang sangat baik, seperti Dewa wujud fisiknya. Jika ia (roh) memperoleh neraka, tubuh yang sangat hina dan mengerikan akan didapatkannya.
Badan halus Atiwahika ini berguna untuk mengantarkan roh menuju alam surga ataukah neraka. Mahasiraya adalah alam tengah, alam diantara surga dan neraka. Alam ini juga dianggap sebagai alam pengadilan bagi para roh. Dari alam inilah roh-roh yang telah berbadankan Atiwahika bergerak menuju surga ataukah neraka, lalu menikmati pahala dan karma dari perbuatannya di bumi semasa hidup.
Badan halus Atiwahika ini berguna untuk mengantarkan roh menuju alam surga ataukah neraka. Mahasiraya adalah alam tengah, alam diantara surga dan neraka. Alam ini juga dianggap sebagai alam pengadilan bagi para roh. Dari alam inilah roh-roh yang telah berbadankan Atiwahika bergerak menuju surga ataukah neraka, lalu menikmati pahala dan karma dari perbuatannya di bumi semasa hidup.
Atma Prasangsa olih IB Putra Manik Aryana, SS, M.Si