Minggu, 29 Agustus 2010

Umat Hindu Pemuja Arca, ataukah Penyembah Berhala ?

Sembahyang Umat Hindu
Konsep pemujaan terhadap murti atau arca Tuhan dan berbagai penjelmaan-Nya merupakan ciri pokok cara sembahyang dalam agama Hindu. Sebaliknya, dalam ajaran agama lain cara tersebut dipandang sebagai sebuah jalan kesesatan. Cara sembahyang Hindu  dituduh sebagai pemujaan berhala. Celakanya, pemujaan terhadap berhala inilah yang sering dijadikan sebagai alasan untuk "menyelamatkan" orang-orang Hindu.

Berbagai pertanyaan memang mencuat ketika orang melihat cara orang Hindu memuja Tuhan mereka. Masak sih, Tuhan seperti batu? Tidakkah berarti kita membatasi Tuhan kalau Tuhan kita puja dalam wujud tertentu? Apakah bukan pelecehan besar kalau kita mempersamakan Tuhan dengan benda-benda ciptaan-Nya? 

Apakah Tuhan orang Hindu terus-menerus lapar, hingga tiap hari harus disuguhi aneka makanan? 

Apalagi kalau mereka melihat banten-banten di Bali yang diselipi Coca Cola atau Sprite serta buah-buahan serba impor. Maka komentar miring seperti "Wah, tinggi juga selera Tuhan orang Hindu, ya?" tak terelakkan. Lalu muncullah berbagai pertanyaan teologis yang acapkali memojokkan.


Kata Arca asalnya dari bahasa Sansekerta yang sudah diserap kedalam bahasa Indonesia. Nama lain arca adalah murti atau pratima. Dalam bukunya Darshan : Seeing the Divine Image in India, Profesor Diana Eck dari Harvard University, Amerika menuliskan sebagai berikut :

"Seperti halnya istilah ikon menunjukkan makna 'keserupaan' begitu pula kata-kata pratikrti dan pratima dalam bahasa Sansekerta mengandung makna 'keserupaan' antara gambar atau patung dengan dewata yang dilambangkannya. Namun kata yang umun digunakan untuk menyebut patung seperti itu adalah murti yang didefinisikan sebagai 'segala sesuatu yang memiliki bentuk dan batas tertentu,' 'suatu bentuk, badan, atau figur, ' ' sebuah perwujudan, penjelmaan, pengejewantahan.' Jadi murti lebih dari sekedar 'keserupaan', melainkan dewata sendiri yang telah mewujud,....Pemakaian kata murti dalam berbagai Upanisad dan "Bhagavad-gita" menunjukkan bahwa bentuk atau wujud itu adalah hakekat atau esensinya. Nyala api adalah murti dari api, dan sebagainya...."
 
Sayangnya, setelah diserap dalam bahasa Indonesia, kata arca kemudian dimaknai identik dengan kata patung atau berhala, dan sering berkonotasi negatif. Sembahyang umat Hindu kepada Tuhan dengan penggunaan sarana arca, dicap sebagai kegiatan pemujaan terhadap berhala, dan penghinaan kepada Tuhan.


Tuhan tidak berwujud, tidak terpikirkan, tidak terbayangkan, diluar segala sifat yang dapat diterapkan pada diri manusia. Tuhan disebut Acintya, tak terpikirkan. Bagaimana mengatasi keterbatasan panca indera ini? Padahal, kalau mau jujur, kita tidak pernah bisa bersembahyang pada kekosongan.
Saat berdoa, bersembahyang, ataupun melalukan pemujaan, pastilah pikiran kita membayangkan sesuatu figur, sosok, bentuk, wujud, konsep, atau gambaran tertentu, yang kita jadikan sebagai obyek untuk pemusatan pikiran. Bukankan demikian ? Entah itu berupa "Cahaya menyilaukan", "orang tua yang agung", "omkara" dan lain sebagainya. 

Kesimpulannya, arca atau murti berbeda dengan berhala. Umat Hindu tidak menyembah berhala. Umat Hindu lebih jujur, karena berani terang-terangan memvisualisasikan Tuhan sesuai dengan pemaparan dalam Weda. Orang lain melakukan hal yang sama, tapi mereka tidak mengakui bahkan tidak menyadarinya. Jadi pada dasarnya, tidak ada salah dengan cara pemujaan umat Hindu. Karena itu, banggalah menjadi Hindu.

 Hindu dibalik Tuduhan dan Prasangka olih Suryanto, M.pd
Balinese Prayer by haneefazeksa.deviantart.com

Selasa, 24 Agustus 2010

5 Yadnya Prawretti Agama Hindu

Yadnya Praretti
Yan Pacang mawosang indik yadnya, janten mategep-tegep pisan patut indikang luir kadi toya segara tan keni winilang antuk makweh warna-warni marupa bhineka kahanan ipun nanging tunggal pangaptine inggih punika Dharma Prawretti. Munggwing pepalihan yadnya puniki wenten limang paos minkadi ring sor puniki :   

1. Dewa Yadnya
Inggih punika yadnya sane katur mantuka ring  para Dewa (boya ring Ida Sanghyang Widhi). Ngelaksanayang Yadnya dados swadharma sakwehing pengagem Agama Hindune di Bali.

2. Bhuta Yadnya
Yadnya sane katur ring  Bhutakala. Sane kabawos bhutakala boya raksasa, boya pisaca, nanging sekancan sarwa kahananing pituduh Wighi minakadi, Tanah, Api, Angin, Sarwa sato, sarwa tumuwuh miwah sekancan punika. 


Ipun I Bhutakala midep pacang mapitulung ring I Manusa minakadi Api, Toya prasida angge nulek / nyakan miwah akweh ngicenin pikenoh ring kahuripan. Nanging yen iwang antuk, ipun musih, mamighna saha ngeseng saluiring kahanan ipun i manusa, Punika mawinan katurin "Yadnya" mangda prasida mapitulung ngicenin karahajengan ring sang mayadnya.

3. Pitra Yadnya
Inggih punika Yadnya katur ring sang Pitara utawi leluhur, taler pamargine ngupakara mantuka ring sang padem jantos sinengguh sampun polih genah ring Dewata bhuwana kabawos Pitra Yadnya.

4. Manusa Yadnya
Upakara yadnya sane kalaksanayang mantuka ring panumadian ipun i manusa ngawit saking kantun sajeroning garba nyantos budal ke anangga bhuwana.

5. Rsi Yadnya
Upakara Yadnya mantuka ring Ida sang maraga suci, ri antuk majalaran Ida Sang utawi Ida Pedanda Suci prasida ngarepang pawisik sane ngranayang sukerta santa damuh Ida sajroning angen.

Kadi sampun kasinahang rig ajeng mungguwing sane pacang sinurat iriki wantah upakara / upacara manut sima Krama sane sampun ketah linaksana dening wong makweh.
Dresta Sima Agama olih I Gst Agung Oka, 1994

Minggu, 15 Agustus 2010

Basa Basi Bali : Orang Bali Merdeka

Icon Pulau Bali
Pulau Bali
Orang Bali merdeka tidak sama dengan  Bali merdeka. Jika Bali merdeka lebih menuju pada kebebasan menentukan arah politik. Lalu, apa itu orang Bali merdeka? Apakah mungkin orang Bali merdeka? Di Bulan Agustus orang selalu berbincang tentang kemerdekaan. 

Bung Karno dengan jitu mengidentifikasi apa itu kemerdekaan. Ia menyebut kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kemakmuran, setiap orang harus membangun jembatan itu, mesti menciptakannya, karena setiap orang ingin sejahtera.

Dalam urusan apakah orang Bali merdeka? Dalam hal apa orang Bali memiliki sesuatu yang paling mahal itu ? Ada yang berkomentar dulu orang Bali jauh lebih merdeka dibanding kini. Dulu itu kapan? 


Pokoknya dulu, ketika mereka bebas menaruh padi di tepi jalan tak ada orang yang mencuri. Ketika ibu-ibu belanja kepasar, menggenggam uang, dan tak ada copet. Ketika pintu rumah dan mobil tak perlu dikunci, dan tak sepotong barang pun diambil orang.

Pemeluk Hindu diberi keyakinan, kalau ingin merdeka hendaklah menuju pada kehidupan tertinggi; jadilah seorang sanyasin, bebas dari ikatan duniawi. 

Rabindranath Tagore, pujangga India itu, menulis sebuah drama pendek yang sangat memikat dan menakjubkan, tentang seorang sanyasin yang hidup meminta-minta, berbekal kau-kau, mendatangi rumah ke rumah, meminta nasi dan lauk pauk untuk makan sehari-hari. Masyarakat modern masa kini tentu menyebutnya sebagai puncak kemelaratan hidup. Namun seorang sanyasin justru mengidamkannya, karena itulah kebahagiaan tertinggi, kebebasan dan kemerdekaan yang sempurna.

Agama mengajarkan, orang yang merdeka itu adalah mereka yang sudah mati, ketika senang tak lagi bisa dikecap, dan susah tak lagi terasakan. Orang Bali menyebutnya Moksa, ketika badan kasar tak lagi dikendalikan oleh atman, karena jasad sangat sementara, begitu cepat tiada. 

Tubuh inilah yang membuat hidup terjajah, karena ia mengajukan begitu banyak tuntutan kenikmatan duniawi. Maka semasa hidup, siapapun sebenarnya tak pernah merdeka.
Basa Basi Bali Olih Gde Aryantha Soethama

Senin, 09 Agustus 2010

Dharma Wacana : Hinduism, Yoga Dan Meditasi

Balinese Hinduism

Agama Hindu melayani keperluan setiap orang. Ialah satu-satunya yang memiliki keluasan dan kedalaman seperti itu. Agama Hindu mengandung Dewa-dewa, Pura-Pura yang suci, pengetahuan isoterik dari inti kesadaran, yoga dan desiplin meditasi. Ia memiliki kasih yang tulus dan toleransi dan apresiasi yang murni terhadap agama-agama lain. Ia tidak dogmatik dan terbuka untuk di uji. Ia percaya dengan sebuah dunia yang adil dimana setiap jiwa dibimbing oleh karma kepada tujuan akhir dari persatuan jiwa dengan Tuhan atau moksha, bebas dari kelahiran kembali. 


Ia puas akan pengetahuan tentang asal suci dari jiwa, jalannya melalui satu kehidupan dan kehidupan lainnya sampai kedewasaan dicapainya. Ia menawarkan bimbingan kepada semua orang yang datang meminta perlindungan kepadanya, dari orang yang tidak percaya sampai kepada maharesi yang sudah maju. 


Ia memiliki gudang terbesar yang berisi kitab-kitab suci dan philsafat yang ada di atas Bumi ini, dan yang paling tua pula. Ia dianugrahi dengan sebuah tradisi tentang para orang suci dan maharesi, orang-orang yang telah tercerahkan, yang tak tertandingi di atas Bumi ini. Ia merupakan kumpulan dari semua itu, dan lebih lagi, yang membuat aku dengan tegas menyatakan bahwa agama Hindu adalah agama terbesar di dunia. 
 
Demikian dikatakan oleh Satguru Sivaya Subramuniyaswami dalam tulisannya di majalah Hinduism Today edisi February/Maret/April 2000 dengan judul "Hinduism, the Greatest Religion in the World."


Agama-agama yang berdasarkan dharma tidak tidak memiliki ambisi untuk menaklukkan dan menguasai, karena tujuan agama bukan untuk menjadi imperialisme politik dan budaya, tapi untuk memberikan kesadaran diri dan pencerahan spiritual kepada setiap orang.

 Agama-agama ini dapat menerima kebenaran darimanapun datangnya. Ia bersifat terbuka dan toleran. Itulah agama universal yang sesungguhnya.
Hindu Agama Terbesar di Dunia editor Ngakan Made Madrasuta
 Sesajen oleh lucasphotography.deviantart.com

Jumat, 06 Agustus 2010

MOKSA, SORGA DAN NERAKA

MOKSHA

Orang Bali sangat yakin ada kehidupan di alam sana. Surga, Neraka, Akhirat adalah alam sana, yang oleh orang Bali disebut di keditu-an. Banyak yang menata hidup, meniti hari demi hari sangat hati-hati, untuk kehidupan hari nanti. Jika sekarang menabung banyak kebajkan, hidup di hari nanti akan lebih nyaman.

Di kedituan pun orang Bali termasuk Julia Robert

yakin harus pula berbuat baik, karena atman, roh, badan halus, akan menitis kembali. Punarbawa, samsara, kelahiran berulang-ulang, akan dialami atman. 

"Julia Roberts berharap kelak akan bereinkarnasi
menjadi orang yang memiliki hidup lebih tenang"

Karena itu setiap orang Bali sebenarnya dituntut terus untuk berbuat baik, entah itu di alam sini atau di alam sana.  Namun agama Hindu yang dipeluk oleh orang Bali tujuan utamanya tidaklah semata untuk berbuat baik. Perbuatan mulia hanyalah sarana untuk tujuan akhir, yakni MOKSA.

Moksa sering juga disebut nirwana, berarti pembebasan, saat  atman lepas dari ikatan punarbawa atau samsara. Karena itu seseorang yang bisa mencapai moksa tak akan lagi menitis ke bumi, atmannya sudah menyatu dengan Hyang Tunggal.


 
Para rohaniawan kemudian mengajarkan, untuk mencapai moksa, pembebasan abadi, orang Bali harus melepaskan diri dari segala tetek bengek duniawi. Seseorang harus benar-benar bebas, tak punya harta sepotong pun, karena harta itu, kenikmatan dunia, justru menarik atmannya kembali ke dunia.

 
Kelahiran dipercaya oleh orang Bali sebagai kesempatan mengurangi dosa, sehingga perlahan-lahan kelak mereka bisa mencapai moksa. Celakanya, banyak orang menyia-nyiakan hidup, tidak untuk berbuat baik agar mengurangi dosa, justru suka berbuat jahat.


Bagi orang-orang Bali ada tiga moksa,  yakni pembebasan yang masih meninggalkan badan kasar (jasmani) ketika mati, moksa yang tidak lagi meninggalkan jasad, namun cuma menyisakan abu, dan moksa yang tidak menyisakan apa pun, hilang sirna tak berbekas. Jenis moksa terakhir ini konon hanya bisa dilakukan oleh orang-orang suci, seperti dialami Rsi Danghyang Nirartha, peletak dasar agama Hindu di Bali.
 
Ketika hidup di dunia seseorang bisa mencapai moksa. yakni ketika ia mengalami keseimbangan kesejahteraan lahir bathin berdasarkan dharma, yang sering disebut dengan Moksartham jagaditha ya ca ici dharmah.
Basa Basi Bali olih Gde Aryantha Soethama
Gambar Shiva Lingga Yantra 
ajimat yang dipakai pemuja dewa Shiva yang berkhasiat
sebagai pembebas jiwa/moksa

Minggu, 01 Agustus 2010

Tumpek Kandang

Perayaan Tumpek Uye ini di selenggarakan pada hari Sabtu Keliwon wuku Uye (31 juli 2010). Uye adalah urutan wuku yang ke 22 dari jumlah wuku yang banyaknya 30 dalam kurun waktu selama 6 bulan itu. Tumpek Uye merupakan Tumpek yang ke 5 dari 6 jenis Tumpek yang ada.  

Tumpek Uye juga dikenal dengan nama Tumpek Kandang, Tumpek Celeng, merupakan sebagai peringatan terhadap hari lahirnya segala jenis binatang-binatang teman hidup manusia di bumi ini, yang banyak membantu kelangsungan hidupnya. 

Pemujaan pada Tumpek Uye ini di tujukan kehadapan Sang Hyang Rare Angon sebagai manifestasi Hyang Widhi Wasa yaitu dewanya binatang-binatang, terutama yang hidupnya dikandangkan. Sebutan Tumpek Celeng ( yang berarti Babi ), untuk mudah mengingatkan karena setiap keluarga Hindu di Bali pada umumnya senang memelihara babi, agar selalu ingat memohonkan keselamatan kehadapan Hyang Widhi Wasa. 

Dipakai Celeng sebagai sebutan adalah untuk mewakilinya, sebagaimanapun miskinnya orang Hindu yang hidup di desa sebagai salah satu ukurannya, minimal mempunyai mata pencaharian memelihara babi sebagai dasar untuk menyalurkan sisa-sisa makanan (tatakan - banyu).
 
Binatang merupakan teman hidup manusia dan merupakan saudara sesama ciptaan Hyang Widhi sebagai makhluk hidup. Kehidupan manusia banyak dibantu oleh binatang terutama dalam kebutuhan akan pangan, tenaga kerja, upacara dan ekonominya. Untuk kelestarian hidupnya binatang-binatang tersebut, manusia memohonkan kehadapan Hyang Widhi Wasa selaku sumbernya melalui suatu upacara yaitu Tumpek Uye, agar diberikan keselamatan secara lahir dan batin. 


Secara lahir dilaksanakan dengan memelihara, merawat dan secara batin dengan membuatkan upacara peringatan sebagai oton untuk dimohonkan dengan sarana upacara dan upakara. 

Melalui upacara tersebut dimohonkan dengan doa puja mantra memakai sarana banten ditujukan kehadapan Sang Hyang Rare Angon yaitu Dewa Siwa sebagai pengembala ternak, yang juga disebut Pasupati (Raja Binatang).
 
Pelaksanaan upacaranya diselenggarakan di Sanggah atau pamerajan dan juga pada tempat dimana binatang itu dikandangkan, dengan terlebih dahulu membuat sebuah asagan atau tempat untuk mempersembahkan dan meletakkan banten guna memohon keselamatan. Setelah selesai melaksanakan upacaranya, maka sisa persembahan itu dimohon kemudian diberikan kepada binatang yang diupacarai untuk dimakannya.

 
Mengenai pengertian dan tata upacara serta upakaranya, pustaka suci Rontal Sundarigama menyebutkan sebagai berikut :


"Pada hari Sabtu uku Uye disebut Tumpek Kandang, saat yang baik untuk memohonkan keselamatan terhadap para jenis burung yang tidak terbang, ikan, burung yang terbang di udara, binatang yang tidak memiliki lima jari boleh dibunuh dan binatang yang kakinya bersuku empat.  Upacara upakaranya terdiri dari Suci, Daksina, Peras, Penek, Ajuman, Sodan putih kuning, Canang lenga wangi burat wangi, penyeneng, pesucian, dipersembahkan di sanggah atau Pemerajan, pemujaannya ditujukan kehadapan Sanghyang Rare Angon. 

Adapun kepada binatang yang bersuku empat yang boleh dibunuh, mengenai upacara upakaranya seperti untuk sapi dan kerbau terdiri dari Tumpeng Sasayut satu tanding, penyeneng, pebersihan, Jerimpen Canang Raka, apabila untuk babi yang betina terdiri dari ketupak Belekok, untuk sejenis burung, itik, angsa, puter, titiran, semua jenis ketupat Sida Purna, Ketupat Bagia, Ketupat Pandawa dilengkapi dengan Penyeneng  Tetebus, Kembang Payas, semuanya itu oleh manusia dapat dimohonkan kehadapan Sanghyang Rare Angon".


Hari Raya Tumpek olih Ni Made Sri Arwati