Kamis, 28 Februari 2013

Apakah Hindu Tak Bisa Tanpa Ritual Banten ?



Genta Pinandita
   Aku baru 1 tahun beragama Hindu, apa boleh saya sembahyang saja? Soalnya yang saya tahu Cuma Trisandya dan Panca Sembah. Soalnya saya belum bisa mebanten.


Selamat datang ke Jalan Dharma. Trisandya dan Panca Sembah sementara sudah cukup. Soal mebanten nanti bisa dipelajari. Yang penting teruslah tambah pengetahuan mengenai Hindu. Semoga selalu damai dalam Hindu.


Apakah Hindu tak bisa tanpa ritual banten?


Tiga kerangka agama Hindu adalah tatwa, susila (etika) dan upacara (ritual). Ritual disini termasuk sembahyang, trisandya, upawasa. Jelaslah Hindu tidak bisa tanpa ritual. Tiga kerangka agama Hindu dianalogikan sebagai sebutir telur. Tattwa adalah kuningnya, susila adalah putihnya dan ritual adalah kulitnya. Tanpa kulit, telur tidak utuh bahkan bisa rusak. Banten adalah tanda persembahan bhakti kita dalam yadnya. Yadnya sendiri artinya persembahan (korban). Apakah kita hanya datang kepada Tuhan dengan menadahkan tangan (memohon) saja? Bukankah lebih baik kita juga mempersembahkan apa yang kita miliki? Banten yang sederhana merupakan susunan bunga dan buah yang indah, juga merupakan ekspresi rasa keindahan seni dan budaya kita. Kita memuja Tuhan dengan segenap kemampuan kita termasuk kemampuan seni budaya. Kita memuja Tuhan melalui keindahan gerak, suara dan kreasi kita.


Kenapa umat Hindu di Bali berbakti hanya dengan yajna? Kok tidak ada dengan Jnana Yoga misalnya?


Yajna dan yoga adalah dua hal berbeda, yang satu tidak dapat menggantikan yang lain. Keduanya diperlukan. Jnana yoga bukan sekedar jalan pengetahuan biasa. Jnana dalam hal ini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung, atau pengalaman persatuan jiwa dengan Tuhan (anubhawa). Ini disebut pengetahuan yang  lebih tinggi, paravidya. Sedangkan pengetahuan diperoleh dari membaca, termasuk membaca pustaka suci adalah pengetahuan yang lebih rendah, atau apara vidya. Jadi singkatnya, Jnana yoga bukan jalan yang mudah dan karena itu tidak setiap orang dapat melaksanakannya.


Mengapa agama Hindu berbeda-beda? Lain di India lain di Indonesia? Bahkan di Indonesiapun beraneka ragam? (red)


Agama Hindu terdiri dari tiga kerangka; Tattwa yaitu filosofis, susila yaitu etika dan upacara yaitu ritual. Tattwa dan susila sama bagi semua Hindu, apapun sekte,denominasi (sampradaya), dimanapun berada karena bersumber dari pustaka suci Veda.  Bagian upakara atau upacaranya yang berbeda-beda, karena dengan upacara-upacara lokal ini agama Hindu tetap membumi. Agar orang-orang Hindu tetap berakar pada budaya aslinya.  

Sebab jika budaya religius asli itu dihilangkan, maka orang Hindu akan tercerabut dari budaya aslinya. Ia mungkin jadi orang saleh tetapi sekaligus menjadi orang asing. Ini berbahaya. Karena manusia yang tercabut dari budayanya akan gamang, tidak memiliki pegangan. Seperti ilalang kering karena dicabut dari akarnya dan karena itu gampang terbakar.


Rare AngonNak Bali Belog mengambil tanya-jawab diatas dari dua buku HINDU MENJAWAB bagian pertama dan kedua yang disusun oleh Ngakan Made Madrasuta.  Tantangan umat Hindu kedepan berasal dari intern Hindu itu sendiri terutama dalam memahami tattwa yang benar. Inilah Hindu Indonesia. Hal-hal yang mendasar dari pelaksanaan susila dan upakara harus diketahui dengan penafsiran yang benar dan tepat. Tentunya berdasarkan berdasarkan kitab suci, pustaka suci, lontar dan buku-buku agama. Apakah Orang Bali Tidak Gemar Membaca?

Rabu, 20 Februari 2013

Piagam Kesepakatan Bersama Umat Hindu

Kesepakatan Bersama Umat Hindu
Rare Angon Nak Bali Belog dalam rangka penyusunan buku sejarah pura Dharma Sidhi Ciledug tentunya membutuhkan data-data primer dan sekunder. Data primer berasal dari pendiri, sesepuh atau warga dengan wawancara langsung dan dari laporan kegiatan, laporan pertanggungjawaban, proposal serta dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan pura. 

Sedangkan data sekunder berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan agama Hindu, media online dan internet. Salah satu hal yang dijumpai saat mengumpulkan data primer adalah sebuah piagam atau dokumen mengenai kesepakatan bersama antar umat Hindu. 

Berikut petikan dokumen tersebut :

Om Swastiastu,
Om Ano Badrah Kratavo Yantu Visvatah,
Dengan dilandasi  keyakinan akan kebenaran kitab suci Bhagawadgita, yang menyebutkan :
Ye yatha mam prapadyanteTams tathaiva bhajamy ahamMama vartmannuvartanteManusyah partha sarvasah.Bagaimanapun (jalan) manusia mendekatiKu, Aku terima, Wahai Arjuna. Manusia mengikuti pada segala jalan.
(Bhagavadgita, IV:11) 

Dalam pertemuan kekeluargaan yang diprakarsai oleh Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada hari Senin, 5 Nopember 2001 di ruang rapat Ditjen Bimas Hindu dan Budha, kami yang hadir sepakat dengan kebijaksanaan Parisada Hindu Dharma Indonesia selaku Majelis Tertinggi Umat Hindu serta Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha maupun komponen umat Hindu lainnya, untuk senantiasa mempertahankan persatuan dan kesatuan umat Hindu dengan menjaga hubungan yang harmonis satu dengan yang lain, menghormati dan melaksanakan Keputusan Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia yang dilaksanakan tanggal 20 s/d 24 September di Denpasar Bali, khususnya bidang Agama sebagai berikut :
  1. Sepakat untuk saling menghormati tata cara kegiatan kerohanian dan keagamaan masing-masing sampradaya;
  2. Sepakat untuk melaksanakan kegiatan kerohanian dan keagamaan sesuai dengan tata cara yang diyakini masing-masing serta dilaksanakan dalam lingkungan/tempat kegiatannya masing-masing;
  3. Sepakat untuk tidak mencampuri tata cara kegiatan kerohanian dan keagamaan yang dilaksanakan di tempat masing-masing serta menghormati aturan yang berlaku;
  4. Masing-masing menyadari bahwa ajaran agama Hindu merupakan ajaran suci dan sarat makna, karena itu wajib menghargai perbedaan persepsi dan tafsir yang dilaksanakan oleh masing-masing kelompok/sampradaya dengan tidak saling mencela satu dengan yang lain.
Dengan dilandasi ketulusan dan kesucian hati serta semangat kekeluargaan untuk bersama-sama mempertahankan persatuan dan kesatuan sesama umat Hindu, semoga kesepakatan ini dapat disosialisasikan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Om Santih, Santih, Santih.

Jakarta, 5 Nopember 2001. (ditandatangani oleh) Ketua Yayasan Sri Satya Sai Baba Indonesia; Lachman Vaswani, Ketua Dewi Mandir; Kishoo M.S, Acharya Yayasan Keluarga Besar Chinmaya Jakarta; Brahmacari Bhargava Chaitania, Sekretaris Yayasan Radhan Govinda; I Wayan Taler Wardika, SH, Ketua Guru Dwara Sikh Temple; Mohinder Singh, Ketua Paguyuban Majapahid; Pardiyo, Ketua Umum Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, I Nyoman Suwandha, SH dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha; Drs. Wayan Suarjaya, M.Si./NIP:150177471

Ajaran agama Hindu merupakan ajaran suci dan sarat makna, sesuai sloka Bhagavadgita diatas, namun menurut Rare Angon Nak Bali Belog banyak umat Hindu yang berbeda penafsiran sehingga "loncat pagar atau ganti bendera" dikarenakan penafsiran bahwa "jalan" yang dimaksud bisa berarti agama lain. 

Sudah jelas hanya kitab suci agama Hindu Bhagavadgita-lah yang menyatakan hal ini, sehingga tidak dapat digunakan untuk agama lain. Hal lain yang dapat menyebabkan "loncat tembok, ganti bendera, paid bangkung" adalah kesamenisme. silakan lihat disini.

Sebagai umat beragama tentunya sumber kitab suci kita merupakan keyakinan kita secara mendalam dan tidak dapat dikaitkan dengan agama lain. Sudah pasti agama Hindu di Indonesia memang sangat beragam dengan berbagai dasar budaya daerah. INILAH HINDU INDONESIA .Seperti kesepakatan di atas, apapun jalan, cara, budaya, adat istiadat yang melatar-belakangi  umat Hindu dalam melaksanakan kegiatan kerohanian adalah sah dihadapan Tuhan.


Sabtu, 02 Februari 2013

Tawur - Upacara Penyucian

Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali
Tawur - Upacara Penyucian **
Tawur - Upacara Penyucian
Saat kedatangan mereka duduk di atas tandu permata,
Para pelayan dan dayang-dayang yang menemani Sang Putri semua mendekat,
Ketika semua telah berkumpul mereka terlibat seperti sebuah danau penyucian,
Pangeran dan Sang Putri adalah teratai mekar di danau itu.

 

Sekarang tersebutlah semua pejabat yang mondar-mandir ke sana kemari,
tidak pernah diam lama di satu tempat,
Sibuk memberikan petunjuk untuk mengawal tamu ke tempat yang tepat,
Ada wiku tua dan seorang guru spiritual wanita yang ditugaskan untuk melakukan tawur,
Memilih mereka yang memiliki nama baik dan mahir dalam memimpin tawur.

Saat mengerahkan diri dalam melakukan tawur, mereka bergegas bersama,
Diiringi instrumen yang merdu, mengalun pelan mengikuti genta pendeta,
Suara drum dari tawur memberikan elemen keriangan dalam ritual penyucian,
Instrument berhenti pelan-pelan ketika wiku mengakhiri dengan "Mantra Panca Brahma".

Sesuai upacara pembersihan, sucilah areal tanah tempat ritual,
Kapal-kapalan kecil sarawa, kotak air dan tempat duduk semua ditata untuk persiapan upacara,
Mangkuk emas wadah air suci diletakkan di tempatnya,
Semua syarat upacara sudah siap di panggung.

Perintah dari raja dan guru spiritual Sang Putri mengharuskan mereka saling memandikan,
Hati pangeran dan Sang Putri disucikan,
Sekarang setelah mereka selesai mandi, permata perhiasan mereka bersinar,
Seperti kuncup bunga dikuasai musim kering yang mekar pada saat turun hujan pertama.

( Mpu Monaguna, Sumanasantaka 111:4-9, abab ke-13, jawa )

Dua kakawin abad ketigabelas, yakni Sumanasantaka dan Kresnayana mengungkapkan deskripsi tentang upacara penyucian, tawur. Upacara yang dideskripsikan tersebut, bagaimanapun, berbeda pada tiap-tiap karya.  


Tawur, yang nampak seperti upacara penyucian atau upacara pengeluaran mahluk halus, tidak dibatasi sampai hanya pada upacara pernikahan. (Di Bali, tawur masih merupakan bagian dari upacara untuk bhutayadnya - upacara untuk mengambil kekuatan ketidakharmonisan yang ada di dunia. Beberapa ritual yang dilaksanakan dalam pesta pernikahan orang Bali diarahkan pada kekuatan ini). Tawur ini juga dilaksanakan sebagai bagian dari persiapan untuk pertempuran dalam sejumlah karya-karya Jawa Kuna

Dalam Sumanasantaka, tawur merupakan upacara publik yang pertama untuk pengantin perempuan dan laki-laki dan berlangsung segera setelah Indumati menentukan pilihannya pada Aja dalam swayambara tersebut. Itu berlangsung pada paperasan yang berisi permata dimana sepasang pengantin duduk dikelilingi oleh pelayan wanita; pemuka agama mengucapkan doa dengan genta dan simbal. Tanda kebesaran yang digunakan dalam upacara meliputi hidangan, cupu emas yang berisi air suci dan tahta upacara. 

Dekorasi dari padi, yang melambangkan kesuburan, dan peralatan untuk memukul dan pemisah beras ditempatkan di samping paviliun. Fungsi spesifiknya tidaklah dijelaskan. Sedikit banyak malu-malu, pengantin perempuan dan pengantin laki-laki saling memandikan satu sama lain,
dan diberi pakaian baru. 

Dikawal oleh semua yang menjaganya, mereka dituntun menuju pura, tempat pendeta bergabung untuk berdoa dengan mereka. Bagian dari upacara ini dibedakan dengan jelas dari upacara yang kemudian ditampilkan di dalam pura. Upacara memilij nama dan mandi dan menghiasi pengantin perempuan dan laki-laki dilaksanakan oleh perempuan yang dipimpin oleh atau bersama-sama dengan seorang rohaniawan perempuan (acari).
Berlawanan dengan upacara tawur dalam Sumanasantaka, yang ditemukan dalam Kresnayana tidak menyebutkan pasangan pengantin itu. Uraian tersebut hanya satu stanza, yang memandang upacara upacara tersebut dari kaca mata kerumunan lalu-lalang, yang lebih banyak untuk memperhatikan kemegahan hiasan paviliun daripada aspek religius dari upacara tersebut.

Ada orang lain yang melihat tawur upacara agama,
mengerumuninya, memenuhin arca, tersebar di mana-mana,
Tapi mereka tidak datang untuk mendengarkan doa,
bagi mereka kemeriahan upacara yang memikat.
Pendeta bergegas menyelesaikan upacara,
konsentrasinya terganggu karena banyak orang;
Gentanya berbunyi lembut, diikuti mantra.

Pada Khandawawanadahana, pada pernikahan Arjuna dengan putri Citragandha para petapa perempuan diundang untuk bergabung dengan para pendeta istana (purohita) untuk melaksanakan upacara tersebut. Upacara mandi yang serupa seperti diuraikan dalam Sumanasantaka juga dilaksanakan, walaupun bukan diistilahkan dengan tawur

Arjuna dan Citragandha duduk berdampingan pada tahta kembar dan dibasahi oleh semacam air kunyit dan digosokkan dengan salep dan minyak wijen keemasan. Tidak ada detil lebih lanjut yang diberikan, dan pasangan tersebut kemudian diberkati. Acuan untuk para pendeta dan petapa perempuan menunjukkan bahwa upacara penyucian pengantin perempuan dan laki-laki memerlukan masukan dari seorang wanita ahli dalam upacara agatha.
Semua deskripsi kakawin tentang pernikahan mengalihkan pemberkatan sepasang pengantin oleh para rohaniawan dan pendeta-pendeta. 

Bagi masyarakat penikmat dari syair Jawa dan Bali penyebutan sederhana dari detil seperti pengantin perempuan dan laki-laki yang diberkati oleh para pendeta sudah cukup untuk menimbulkan semua doa tertentu dan upacara yang diperlukan pada suatu pernikahan, dan dalam kebanyakan kakawin, pesta pernikahan diuraikan hanya dalam pengertian yang sangat umum ini.

Agar pengetahuan kita lebih lengkap mohon membaca buku "Perempuan Dalam Dunia Kakawin - Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali" karya Helen Creese.