Gemar Membaca |
Orang Bali tampaknya tak begitu gemar membaca. Banyak ilmu tua yang diwariskan turun-temurun, tidak lewat bahan-bahan tertulis, namun cukup dilisankan saja. Ajaran-ajaran Agama Hindu, falsafah hidup, ditularkan lewat seni pertunjukan wayang , topeng, drama gong atau arja. Maka siapa saja yang suka nonton kesenian tradisional itu walau tidak gemar membaca, pasti kaya cerita yang bisa dengan bagus diramu menjadi pegangan hidup sehari-hari.
Tak seorang pun orang Bali yang keberatan kalau ilmu-ilmu tradisi, filsafat, diturunkan lewat cerita lisan dari mulut ke bibir. Memang ada banyak lontar, tapi yang gemar membaca dan paham betul soal aksara Bali (apalagi yang kuno), hanya orang tertentu. Jika ingin tahu yang tersirat di lontar, mereka bisa masuk kelompok pesantian, ikut mendengarkan wiracerita yang sarat pegangan hidup.
Penularan ilmu tentang banten (sajen) pun lewat lisan, tidak melalui gemar membaca dan praktek langsung. Seorang juru banten akan memberitahu langsung segala hal ihwal sesaji pada orang lain ketika si juru banten sedang metanding. Tak selembar pun ada catatan sehingga tidak ada yang gemar membaca. Penurunan ilmu itu semuanya berjalan mulus, tanpa cacat dan cela.
Orang Bali memang bangga cara menurunkan ilmu lisan atau tidak melalui membaca. Mereka seolah-olah merasa punya kelebihan, tanpa lewat gemar membaca dan lewat catatan tertulis sanggup mewarisi ilmu yang rumit. Secara lisan saja mereka bisa tukar menukar ilmu, apalagi kalau gemar membaca lewat pustaka.
Namun cara menurunkan ilmu lisan punya banyak kelemahan. Misalnya, banyak ragam variasi yang bisa muncul untuk ilmu tertentu. Tengoklah adat-istiadat atau tata cara membuat sesaji. Di desa yang berbeda, bisa beda bentuknya, padahal tujuannya sama.
Karena tidak ada catatan dan tidak gemar membaca, lambat laun orang-orang yang hendak belajar adat-istiadat, tata krama, bentuk-bentuk dan nilai-nilai falsafah sesaji, tidak punya pegangan pasti. Jika orang-orang berdebat kenapa ada perbedaan-perbedaan, sungguh tak mudah jalan keluarnya karena memang tak gemar membaca, tak ditemukan bukti tertulis buat pegangan. Akhirnya, semuanya bisa saja salah, tapi bisa juga seluruhnya benar. Atau, tak jelas mana yang keliru, mana pula yang patut.
Mari mulai gemar membaca....!!!
Tak seorang pun orang Bali yang keberatan kalau ilmu-ilmu tradisi, filsafat, diturunkan lewat cerita lisan dari mulut ke bibir. Memang ada banyak lontar, tapi yang gemar membaca dan paham betul soal aksara Bali (apalagi yang kuno), hanya orang tertentu. Jika ingin tahu yang tersirat di lontar, mereka bisa masuk kelompok pesantian, ikut mendengarkan wiracerita yang sarat pegangan hidup.
Penularan ilmu tentang banten (sajen) pun lewat lisan, tidak melalui gemar membaca dan praktek langsung. Seorang juru banten akan memberitahu langsung segala hal ihwal sesaji pada orang lain ketika si juru banten sedang metanding. Tak selembar pun ada catatan sehingga tidak ada yang gemar membaca. Penurunan ilmu itu semuanya berjalan mulus, tanpa cacat dan cela.
Orang Bali memang bangga cara menurunkan ilmu lisan atau tidak melalui membaca. Mereka seolah-olah merasa punya kelebihan, tanpa lewat gemar membaca dan lewat catatan tertulis sanggup mewarisi ilmu yang rumit. Secara lisan saja mereka bisa tukar menukar ilmu, apalagi kalau gemar membaca lewat pustaka.
Namun cara menurunkan ilmu lisan punya banyak kelemahan. Misalnya, banyak ragam variasi yang bisa muncul untuk ilmu tertentu. Tengoklah adat-istiadat atau tata cara membuat sesaji. Di desa yang berbeda, bisa beda bentuknya, padahal tujuannya sama.
Karena tidak ada catatan dan tidak gemar membaca, lambat laun orang-orang yang hendak belajar adat-istiadat, tata krama, bentuk-bentuk dan nilai-nilai falsafah sesaji, tidak punya pegangan pasti. Jika orang-orang berdebat kenapa ada perbedaan-perbedaan, sungguh tak mudah jalan keluarnya karena memang tak gemar membaca, tak ditemukan bukti tertulis buat pegangan. Akhirnya, semuanya bisa saja salah, tapi bisa juga seluruhnya benar. Atau, tak jelas mana yang keliru, mana pula yang patut.
Mari mulai gemar membaca....!!!
suksma ring Gde Aryantha Soethama dalam buku Basa Basi Bali
di posting kembali olih rare-angon
Ilustrasi Rare Angon olih adipurba.deviantart.com