Rabu, 30 Juli 2014

Tanjung Lesung Catatan Perjalanan

Kano
Main Kano Tanjung Lesung
CATATAN PERJALANAN

Catatan Perjalanan kami ke Tanjung Lesung. Pantai Tanjung Lesung di Pandeglang Propinsi Banten sudah terkenal sejak dulu, informasi keindahan Tanjung Lesung sudah sering menggugah keinginan untuk menikmatinya. Walaupun demikian cita-cita untuk berlibur ke Tanjung Lesung baru bisa terlaksana kemarin, 29 Juli 2014. Perjalanan kami sekeluarga ke Tanjung Lesung sangat menyenangkan, sekaligus menegangkan. Baru kali ini kami nyetir sendiri mobil kebanggaan keluarga kecil kami ke Tanjung Lesung. Ada rasa bangga kami pada anak-anak, kerja keras kami dapat mereka nikmati dan demikian pula anak-anak merasa senang bisa berlibur bersama keluarga di Tanjung Lesung. Lihat Foto-Foto Kami.

Pantai Banten
Pantai Tanjung Lesung
Berikut catatan perjalanan sehari kami sekeluarga bermain di Pantai Tanjung Lesung. Jalan yang kami lalui, Tol Jakarta Merak, Pintu Tol Cilegon Timur, Jalan Raya Cilegon, Jalan Letjen R. Suprato, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Raya Anyer, Jalan Raya Carita, Jalan Raya Labuan - Pandeglang, Jalan Raya Kepenimbangan, Jalan Nasional 3 trus ke Tanjung Lesung. semoga dapat memberikan gambaran kepada pengunjung yang ingin ke Tanjung Lesung.
  • Berangkat dari rumah Bintaro pukul 06.00 WIB, menjemput Nenek di Kebayoran terus ke pintu Tol Kebon Jeruk. Pagi itu jalan tol Jakarta Merak cukup sepi, maklum hari Raya Idul Fitri H+2. Perjalanan ke Tanjung Lesung kami tempuh selama 4 jam 15 menit kami tiba di Tanjung Lesung. Selama perjalanan tol Jakarta Merak, keluar Cibinong Timur, masuk jalan Raya Cilegon Kota Cilegon, kemudian masuk jalan Letjen R. Suprapto. Kami sempat berhenti sejenak, merapikan barang di bagasi belakang, dan ambil rantang sarapan pagi. Perjalanan ke Tanjung Lesung dilanjutkan. Melewati kawasan pabrik di Cilegon, lalu masuk jalan Brigjen Katamso. Suasana menyenangkan beberapa saat setelah itu, pantai sebelah kanan kami terlihat, heee... ada pantai, tapi bukan Tanjung Lesung .... Selanjutnya perjalanan melewati Pantai Anyer, dengan banyak sekali lokasi untuk bermain di pantainya, banyak sekali pengunjungnya, maklum hari raya. Papan baliho menunjukkan Pantai Tanjung Lesung 70 KM, membuat ciut hati kami. mampukah nyetir sejauh itu ?
     
  • Sepanjang jalan raya Anyer, kami melewati lokasi demi lokasi pantai untuk berlibur di pantai Anyer ini, membuat semangat untuk segera sampai di Pantai Tanjung Lesung. Jalanan mulai sepi, kanan-kiri hanya tumbuhan dan pohon-pohon besar yang hijau. Kami berhenti sejenak, ganti sopir, bergantian sama mantan pacar. Perjalanan dilanjutkan ke Tanjung Lesung yang melewati Pantai Carita. Tidak jauh beda dengan jalan raya Anyer, sepanjang jalan pantai Carita banyak terdapat lokasi bermain di pantai Carita.
  • Kembali kami melihat baliho reklame, Tanjung Lesung 50 KM. Waduh jauh juga ya ... begitu pikir kami. Perjalanan dilanjutkan dengan pantai terlihat jelas disebelah kanan kami, sebagian tertidur. Muncul kembali keragu-raguan. Kembali bertanya pada penduduk. "Pak, Tanjung Lesung benar ya jalan ini." Setelah mendapat keyakinan yang katanya Tanjung Lesung tinggal 15 KM membuat kami semangat kembali.


  • Jalanan sedikit sepi, lalu ketemu pantai dan pasar Labuan. Pasar ini cukup ramai sehingga perjalanan tersendat. Beberapa kilometer dari pasar kami tiba di pertigaan Tanjung Lesung dan Pandeglang, ternyata jarak ke Tanjung Lesung tertulis 30 KM. Oh... ternyata yang dimaksud bapak tadi pertigaan ini yang berjarak 15 KM, bukan pantai Tanjung Lesung. Sudah nanggung, seperti kebiasaan waktu mendaki gunung. Semangat kembali muncul untuk menyelesaikan perjalanan ini dan segera menikmati indahnya pantai.

  • Perjalanan 30 KM selalu kami bandingkan dengan di Bali, 30 KM itu Gianyar Denpasar, hanya menghibur hati sendiri saja. Kegembiraan semakin besar, saat melihat gerbang pantai Tanjung Lesung, jalanan sedikit sempit, dan ternyata memasuki kawasan tempat wisata Tanjung Lesung dan resort, jalanan kembali lebar. Masuk jalan berbatu kapur, dan akhirnya sampai di Tanjung Lesung.
Tiba di Tanjung Lesung pukul 10.15 WIB, anak-anak sudah tidak sabar untuk menikati pasir putih Tanjung Lesung, air yang jernih. Pengunjung dan penghuni resort Tanjung Lesung berbaur menikmati indahnya pantai Tanjung Lesung. Aneka permaian dengan biaya sewa terlihat di papan Bar n Restoran. Setelah mencari tempat untuk menggelar tikar, membuka rantang dan makan bersama keluarga. Lalu bermain air sepuasnya di Pantai Tanjung Lesung


Adapun pengeluaran kami ke Tanjung Lesung sebagai gambaran saja, Tol Kebun Jeruk, Pintu tol Karang Tengah Rp.5000, Pintu Tol Cikupa ambil tiket - Tol Cilegon Barat Rp. 35.000. Masuk pos jaga, Rp. 10.000 / mobil , masuk kawasan pantai Rp. 100.000 / mobil. (RANBB

Kamis, 24 Juli 2014

Subha dan Sukha

hindu banten
Pinandita Pura
"Adalah pohon kayu yang condong bengkok dan tidak subur hidupnya, dimakan ulat-ulat kayu, lagi dijadikan rumah oleh semut, dirongrong oleh anai-anai, luka dan hangus, tumbuhnya di atas kerikil, maka batangnya tak bergetah karena tumbuh di tempat yang gersang. Demikianlah keadaan pohon kayu itu sangat merana, namun demikian masih lebih baik keadaannya dibandingkan kedukaan si miskin (duhkhaning daridra) yang senantiasa bersusah hati mengharap-harapkan sesuatu, apalagi ia sampai menjadi budak dalam mengharapkan sesuatu pemberian ", demikian tersurat dalam kitab Sarasamuccaya.




Kitab ini yang merupakan intisari dari Kitab Mahabharata (sara-sara sang hyang asatadasaparwa) ada memberikan kita uraian yang dapat dijadikan renungan tentang Sukha dan Dhuka. Uraian yang sangat mengesankan kita itu dapat dijadikan pegangan dan landasan dalam berfikir, berkata dan bertingkah laku ; Apan ikang sukha dukha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung kalobhan sangkanika, ikang kalobhan punggung sangkanika, matangnyan punggung sangkaning sangsara ". 

"Sebab suka-duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan, kebodohan ditimbulkan oleh loba, sedang loba itu kebodohanlah asalnya, oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu "

Punggung atau kebodohan adalah penyebab adanya kesengsaraan atau Dukha. Maka hilangnya kapunggungan adalah tujuan hidup manusia yang terpenting. Karena punggung menyebabkan ahangkarajnana (pikiran yang mengaku-aku dan lobha) maka hal itu pertama-tama harus dilenyapkan untuk dapat terlepas dari kesengsaraan.

Maka tujuan hidup menjadi manusia yang sesungguhnya begitu sulit didapat adalah kesempatan untuk mencapai alam yang lebih tinggi, untuk menolong diri kita tidak jatuh ke lembah sangsara : "Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, karena ia dapat menolong dirinya dari sengsara dengan jalan berbuat baik (makasadhanang subhakarma), demikianlah keutamaan menjelma menjadi manusia ", demikian disuratkan dalam Sarasamuccaya.

Subha-karma itulah jalan untuk membebaskan diri dari sengsara atau dukha, jalan untuk mencapai sukha. Bila dalam hidup ini seseorang tidak melakukan subha-karma, ia diumpamakan seorang sakit yang pergi ke suatu tempat yang tidak ada obat-obatan (wang alara mara ring desa katunan tamba). Kitab suci ini juga menyuratkan bahwa di antara semua mahluk, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik maupun buruk (gumawayaken subhasubhakarma), adapun gunanya menjadi manusia adalah untuk "melebur" perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik (panentasakena ring subhakarma juga ikang asubhakarma).

Itulah keutamaan menjadi manusia, yaitu dapat melaksanakan subhakarma, lalu melebur asubhakarma dengan subhakarma itu. Subha-asubhakarma juga dinyatakan akan menuntun kita ke akhirat, ke sorga atau neraka (gawenya subha-asubha juga sahayanta anuntunakena ri peno dlaha). Subhakarma menuntun ke sorga, asubhakarma menuntun ke neraka, subha karma menyebabkan menemui sukha, asubha karma menyebabkan menemui duhka.

Dalam kitab ini juga ditegaskan bahwa ada beberapa tindakan kongkrit yang dapat menuntun orang ke alam sorga (sukha) terutama bagi para pemimpin yaitu  membuat berbagai fasilitas umum, yang dapat menyenangkan masyarakat luas, beberapa di antaranya ialah; membuat sumber air, balai masyarakat untuk hiburan, balai musyawarah, jalan dan pasar, bendungan atau waduk, dll. Inilah subha-karma, baik bagi masyarakat maupun sang pemimpin. Namun bila sang pemimpin dicekoki oleh ahangkarajnana, oleh kelobaan maka dukha yang ditemuinya.Sumber bacaan buku Wija Kasawur (2) Ki Nirdon. (RANBB)

Jumat, 11 Juli 2014

Keluar dari Sorga-Neraka

Kelas Inspirasi
Berbahagia bukanlah suatu luapan kegembiraan yang berlangsung terus menerus, melainkan suatu keadaan emosi yang berada di luar kesedihan, ketakutan, kekhawatiran, rasa tertekan dan lain-lainnya. Kegembiraan terus menerus secara non stop bisa meledakkan jantung Anda, sedangkan kesedihan berkepanjangan membuat jantung mengkerut. Orang sering mengatakan kebahagiaan sebagai suatu rasa damai, kasih dan tenang. Namun semua itu tidaklah begitu penting, sebab buat apa definisi, yang penting hidup merasa nyaman itulah yang pokok. Lebih bermanfaat untuk memahami asal muasal sebuah respon pikiran terhadap problema yang tengah berlangsung, sekaligus mengerti sifat dari respon perasaan seperti sedih dan gembira yang seolah-olah begitu otomatis. Respon inilah secara awam digunakan mendiagnosa kehidupannya sendiri apakah sedang susah atau senang. Baca juga Jangan Mengganti Nama Tuhan.




Mungkin ada benarnya respon mental adalah suatu tindakan reflek untuk memberikan peringatan dini akan sesuatu yang sedang dialami. Hal ini bisa diuji pada anak kecil yang menjerit ketakutan saat didekati kecoak, karena secara naluri dia merasa terancam. Meskipun demikian respon mental tidaklah bersifat laten dan langgeng, respon bisa berubah. Bukankah setelah dewasa orang tidak takut kecoak lagi, meskipun ada kasus-kasus tertentu yang menyebabkan trauma masa kecil melekat hingga dewasa. Perubahan respon terjadi berkat proses belajar dan pematangan mental. Baca Artikel Jujur dan Berterus Terang seperti Anak Kecil.

Bukti ini memberi kita jalan keluar, bahwa respon mental bisa dipelajari atau dilatih untuk membentuk daya respon yang menguntungkan tanpa harus mematikan fungsi respon sebagai sebuah tanda bahaya yang patut diperhatikan. Pada sebagian orang mereka bereaksi begitu sensitif terhadap sesuatu, sehingga gampang bersedih, merasa menderita, namun sebaliknya terdapat juga individu yang menunjukkan kekebalan mental berlebihan. Mentallah tempat industri perasaan-perasaan positif maupun negatif, sehingga marilah belajar mengusahakan memproduksi emosi positif, karena akan membuat hidup terasa bergairah.Sumber bacaan buku Bukan Sorga Bukan Neraka Nyoman Putrawan. 

Revolusi Mental, Perubahan mental kita dalam menilai sesuatu sudah saatnya diupgrade. Melihat lebih banyak sisi positif dari sesuatu, perubahan itu terjadi atas kemauan kita sendiri, kesejahteraan hidup keluarga dapat dicapai dengan kenyamanan  berusaha dalam lingkungan masyarakat yang damai. Mewujudkan kedamaian masyarakat dengan melihat perbedaan sebagai kekuatan yang mampu mendukung usaha kita dalam mensejahterakan keluarga. Setiap insan manusia telah ditugasi pekerjaan yang mulia, yang akan berhasil bila dipadukan dengan insan manusia lain dengan pekerjaan yang lain pula. (RANBB)
Insert Picture Kelas Inspirasi by https://www.flickr.com/photos/photopocket/


Kamis, 03 Juli 2014

Mengukur Keberhasilan Tri Hita Karana

Bunga Bali
Kembang Sarana Upacara
TRI HITA KARANA
Sesungguhnya belum waktunya kita berbangga ria melihat penerapan Falsafah hidup Tri Hita Karana dalam bentuk konteks pembangunan di Bali. Karena berbagai ketidak seimbangan dalam berbagai bidang kehidupan masih meraja lela di Bali. Kalau sebatas niat memang patut kita acungkan jempol. Pemda Bali dengan semua jajarannya sangat berniat untuk mewujudkan Tri Hita Karana. Perda dengan berbagai implementasinya pun sudah digelar. Bagaimana hasilnya sebaiknya kita perlu berhati-hati menilainya. 


Ada pejabat mengatakan bahwa Tri Hita Karana di Bali bukan hanya sebatas wacana namun sudah terwujud dari sejak jaman dahulu. Pernyataan seperti itu wajib kita cermati dengan realita yang ada. Pejabat selama menjabat memang sangat cendrung menyatakan berbagai bidang selalu sukses. Tetapi kalau sudah tidak menjabat omongannya pun sering berbalik. Hal itu dilakukan agar ia dapat berbangga ria dengan pernyataan itu. Pernyataan itu hanya untuk menyenang-nyenangkan diri sang pejabat dan orang lain untuk mendapatkan pujian yang sesungguhnya palsu.

Baca Juga  Ajeg Bali Kesejahteraan Semu.




Pernyataan sukses itu sering dijual ke atas, kesamping maupun ke bawah oleh sang pejabat untuk tujuan-tujuan yang sempit. Untuk menilai bahwa Tri Hita Karana sudah terwujud dengan baik dalam masyarakat perlu ditentukan terlebih dahulu tolok ukur yang dijadikan dasar acuan untuk menilainya. Misalnya menilai hubungan manusia dengan Tuhan. Dapatkah hubungan manusia dengan Tuhan dinilai sudah sukses karena banyaknya Pura yang dibangun dan direnovasi. Atau diukur dari banyaknya rakyat mengeluarkan duit untuk kepentingan upacara Agama. Konon di Bali setiap tahun umat Hindu menghabiskan tiga setengah triliun rupian lebih untuk kepentingan upacara Agama.

Mungkin dari segi ekonomi bagus karena banyaknya uang beredar di masyarakat bawah. Namun dari segi pembenahan moral dan mental masyarakat perlu kita telusuri. Sudahkah nilai-nilai Agama yang dikandung oleh upacara Agama itu teraplikasi dalam kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Bahkan nampaknya masih banyak umat tidak mengerti apa makna suatu Upacara Agama dilangsungkan.

Baca Juga Hari Raya Hindu, Bukan Sekedar Seremonial

Pura yang banyak itu sudahkah digunakan dengan tepat untuk membina umat. Kalau Pura hanya digunakan saat ada Odalan atau Hari Raya Agama untuk melangsungkan Upacara belumlah patut kita berbangga ria. Karena fungsi Pura bukan hanya untuk Upacara semata. Pura umumnya memiliki jaba Sisi, Jaba Tengah dan Jeroan Pura. Hal ini belum difungsikan secara benar. Bahkan Jaba Sisi lebih banyak digunakan untuk menggelar judian dalam bentuk sabungan ayam, dan bentuk-bentuk judian lainnya.


Sudahkah sebagian besar umat melakukan hubungan dengan Tuhan sesuai dengan petunjuk Ajaran Agama Hindu yang dianutnya. Seperti Tri Sandhya, sembahyang Purnama-Tilem dan lain-lain. Meskipun mengukur hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak bisa diukur dari hubungan formal seperti itu. Dalamsatu persoalan saja seperti hunungan manusia dengan Tuhan kita akan banyak sekali menemukan sealita yang masih jauh dari idealisme Tri Hita Karana. Oleh karena itu belumlah waktunya kita berbangga-bangga. 

Orang yang mudah berbangga-bangga itu cepat berpuas diri dan ujung-ujungnya sering menjadi sombong. Dari berpuas diri dan sombong kita bisa lengah dan lemah menghadapi berbagai persoalan yang masih membentang di hadapan kita. Kelengahan dan kelemahan ini merupakan awal dari kegagalan. Karena itu bangga yang berlebihan (dambhah) dan sombong (darpah) tergolong sifat-sifat Asura menurut BhagawadGita XVI.4. Membanggakan diri secara berlebihan dapat menimbulkan sikap untuk mengganggap rendah pihak lain. Menganggap orang lain lebih rendah dengan diri merupakan suatu bibit permusuhan yang tersembunyi.

Menurut ajaran Rwa Bhineda semua ciptaan Tuhan di kolong langit ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bentuk kelebihan dan kekurangan itu berbeda-beda. Setiap kita merasa memiliki kelebihan hendaknya juga kita serius meneliti kekurangan kita. Dengan sikap seperti itu kita akan dapat mencegah timbulnya sikap takabur. Karena sikap takabur seperti itu kita bisa mandeg untuk mengembangkan proses perbaikan diri karena sudah menganggap diri berhasil. Oleh karena itu janganlah dulu berbangga ria tentang penerapan Tri Hita Karana di Bali.

Masih banyak bolong-bolongnya. Marilah kita kerja terpadu untuk menutup bolong-bolong itu. Persoalan yang sudah demikian menggejala jangan lalu disebut hanya kasus kecil saja. (seperti Reklamasi Benoa - red). Jangan karena kegiatan Adat dan Agama yang lebih menonjolkan hura-hura itu sudah kita menganggap Tri Hita Karana sudah berjalan mulus. Sumber bacaan buku Mengapa Bali Disebut Bali oleh Drs. I Ketut Wiana. (RANBB).