Selasa, 21 Oktober 2014

PAMANCANGAH DALEM KRAMAS (BENDESA MAS)

Putih Kuning
TEDUNG JAGAT
Sri Aji Dalem Kramas yang berkuasa di wilayah Kramas adalah keturunan Sri Dalem Wira Kesari, ksatria dari Kediri. Beliau berputra I Dewa Kramas yang kemudian pindah dan menetap di desa Taro. Beristrikan putri Pangeran Bandesa Taro, yang kemudian melahirkan tiga orang putra dan putri. Yang sulung bernama Pangeran Gading Warni, menjadi pemuka desa di desa Gading Wani, adiknya bernama Pangeran Bandesa Mas menjadi penguasa di desa Mas, dan si bungsu bernama Ni Luh Ayu Rukmi yang diperistri oleh Ki Gusti Pasek Pasar Badung dan berputrakan Ki Pangeran Bandesa Manikan dan I Gusti Pasek Manik Mas. 


Diceritakan desa Gading Wani tertimpa wabah penyakit, kemudian ditolong oleh seorang pendeta dari Jawa yang bernama Dang Hyang Dwijendra dengan kunyahan sirih dan percikan tirtha. Akhirnya seluruh masyarakat Gading Wani yang tertimpa wabah menjadi waras, sehat seperti sedia kala. Selanjutnya Ki Bandesa Gading Wani mohon ditasbihkan menjadi seorang pendeta. Berita ini kemudian tersebar sampai ke desa Mas. Lalu Sang Pendeta diundang ke Desa Mas oleh Pangeran Bandesa Mas. 

Setelah Sang Pendeta berada di desa Mas, lalu Beliau membangun sebuah permandian yang bernama Taman Pule. Setelah lama Beliau berada di desa Mas, kemudian Pangeran Bandesa Mas mohon agar disucikan menjadi seorang pendeta. Permohonan Pangeran Bandesa Mas dikabulkan dan selanjutnya disucikan dan diberikan wejangan-wejangan dan anugrah. Membalas kebaikan Sang Pendeta, Pangeran bandesa Mas lalu mempersembahkan putrinya yang bernama Ni Gusti Luh Ayu Kencana, dan selanjutnya diperistri oleh Sang Pendeta dengan upacara widi widana. 

Selanjutnya mereka melahirkan putra yang tampan dan pintar, setelah disucikan bernama Mpu Kidul atau Batara Sakti Buk Cabe, yang juga disebut Brahmana Mas. Juga ada anugrah Dang Hyang Dwijendra kepada Pangeran Bandesa Mas, diperkenankan maprawerti, mengumandangkan weda, diantaranya Weda Sulambang Geni, Weda Pasupati Racana, serta Canting Mas. Pada saat melaksanakan Pitra Yadnya dibenarkan memakai beberapa hiasan. Diceritakan setelah keturunan Pangeran Bandesa Mas menjadi banyak, mengabdi pada Batara Sakti Buk Cabe di desa Mas. 

Suatu hari, ladang Batara Sakti Buk Cabe dirusak oleh seekor kuda milik Anglurah Mambal. Kuda tersebut lalu dilempari batu hingga mati. Itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran antara Batara Sakti Buk Cabe dengan Anglurah Mambal. Pada saat terjadinya pertempuran, Batara Sakti buk Cabe ditinggal oleh sanak saudara Bandesa Mas dan Bandesa Pamajengan, sehingga Beliau bertempur sendirian. Bandesa Mas dan Bandesa Pamajengan lalu dikutuk oleh Beliau supaya tidak ada Bandesa Mas dan Bandesa Pamajengan di desa Mas. 

Sri Dalem Wijaya Tanu yang berkuasa di Sukawati mendengar berita bahwa Ki Pangeran Mas mempunyai hiasan kepala berisi permata Nawaratna yang didapat pada seekor ikan nyalian. Beliau berkeinginan untuk melihat permata tersebut. Karena kutukan dari Batara Sakti Buk Cabe, maka diserbulah desa Mas oleh Sri Wijaya Tanu, yang menyebabkan keturunan Bandesa Mas dan Bandesa Pamajengan mengungsi ke desa-desa seluruh Bali. Yang masih tinggal di desa Mas berganti nama menjadi Bandesa Besang, Bandesa Kliki, dan bandesa Poh Gading



Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html
 

Selasa, 14 Oktober 2014

Mengapa Kita Perlu Sorga ?

misteri kematian
Mengungkap Misteri Kematian
 Sorga. "Di surga sama sekali tidak ada ketakutan. Engkau, O Kematian, tidak di sana. Di tempat itu pikiran menjadi tua tidak membuat gemetar. Di sana, bebas dari lapar dan haus, jauh dari jangkauan kesedihan, semua bahagia dan gembira"

Teks diatas dengan jelas menyatakan Sorga itu bersifat rohani. Yang hidup di Sorga adalah Jiwa, tanpa badan. Jiwa itu kekal, tidak menjadi tua, mati. Tidak lapar atau haus. Tidak sedih. Karena Jiwa adalah kenyataan, kesadaran dan kebahagiaan murni. Jiwa mencukupi dirinya sendiri (subsistent spirit), ia tidak memerlukan apapun dari luar dirinya, dan tidak apapun dari luar dirinya yang mempengaruhinya. Jadi Sorga Hindu bukanlah tempat untuk memperoleh semua kenikmatan badan tanpa batas. Baca Aku Hanya Minta Kwangen


Mengapa kita perlu Sorga ?

Mengapa kita memerlukan Surga? Untuk memenuhi rasa keadilan. Di dunia ini kita melihat orang-orang baik menderita; orang-orang tidak baik sejahtera. Pengadilan dunia ini tidak dapat sepenuhnya memberi keadilan. Orang-orang berkuasa, karena kekuasaan politik, uang atau kepintarannya, sering dapat lolos dari hukuman, bahkan tidak pernah diadili. Jadi kita mengharapkan ada pengadilan sesudah kematian, suatu pengadilan yang tidak dapat dihindari oleh siapapun.




Hukum Karma, tidak seperti pengadilan akhir, berjalan sepanjang waktu, meliputi kehidupan kita sekarang, maupun kehidupan nanti, setelah kematian atau dalam kelahiran kembali.
Dalam setiap penghakiman, prinsip keadilan adalah intinya. Seseorang dihukum atau diberi hadiah, sesuai dengan perbuatannya. Penghukuman atau pemberian hadiah sepanjang masa (abadi), hanya atas hidup yang singkat di dunia ini, tidak sejalan dengan prinsip keadilan.

Apakah Sorga Tempat atau Keadaan ?

Sering ada pertanyaan, apakah Sorga tempat atau keadaan/sifat? Apakah Sorga satu keadaan pengalaman bathin atau satu dunia sesungguhnya ke mana Jiwa yang dibebaskan kembali? Kebanyakan Upanisad secara praktis sedikit sekali atau tidak mengandung rincian. Chandogya menjelaskannya sebagai satu dunia, ketiga dari dunia ini, di dalamnya ada dua danau besar disebut Ara dan Nya.

Di sana juga ada penampungan air yang lebih kecil yang beris makanan-jus disebut Airammadya. Somasavana, sebatang pohon peepul dan satu kota disebut Aparajita, disana juga ada satu ruang besar keemasan. Memberikan penjelasan yang lebih berwarna dengan menambahkan satu sungai Viraja, dua penjaga pintu (Indra dan Prajapati), satu singgasana disebut Vicaksana dan satu kereta yang diberi nama Amitaujas. Lima ratus peri/bidadari menyambut Jiwa yang terbebaskan dan memujanya. Keharuman dan rasa Brahma memasukinya pada keadaan yang tepat ketika dia masuk.

Seseorang yang mencapai Brahmaloka tidak akan kembali kepada keberadaan dunia ini. 
Dari penjelasan di atas Sorga adalah tempat, tetapi dalam dunia rohani, bukan dunia fenomena atau dunia materi. Lebih lengkap dalam buku Mengungkap Misteri Kematian karya Ngakan Made Madrasuta penerbit Media Hindu. (RANBB)

Sabtu, 11 Oktober 2014

Sastra Jawa Kuno : Tutur Bhuwana Mareka

TUTUR BHUWANA MAREKA 

dupa
Bunga Dupa dan Tirtha
Tutur Bhuwana Mareka adalah lontar yang memuat ajaran tentang Siwa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa campuran antara Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Sansekerta yang disajikan dalam bentuk sloka. Adapun materi pokok yang diajarkan dalam Lontar Bhuwana Mareka ini adalah pengetahuan tentang “ilmu kadyatmikan” yang dapat dijadikan oleh para yogi atau para jnanin untuk mencapai kalepasan/kamoksan. 


Sang Hyang Mareka sesungguhnya adalah awal dan akhir segala yang ada. Ia adalah Sunya, pokok ajaran Bhuwana Mareka. Ia adalah Sang Hyang Utama yang sesungguhnya tidak diketahui oleh siapapun. Rahasia diantara yang rahasia. Ia yang misteri ini selalu dirindukan oleh orang-orang suci, maka selalu direnungkan dalam sanubari. Ialah tujuan dan hakekat ajaran kamoksan. 



Artikel Terkait :

Sesungguhnya Ia esa dan suci, ada di mana-mana, ada pada segala, inti alam semesta. Ialah yang disebut dengan berbagai nama menurut kedudukan, fungsi dan harapan pemuja-Nya. Dalam rangka kamoksan dan kadyatmikan, Ia yang dimohon hadir berwujud Istadewata dalam meditasi penghayatnya. Untuk mencapai penghayatan sebagai yang diharapkan, ada sadana yang harus ditaati oleh si penghayat, sebagai yang tertuang dalam berbagai Kaputusan sebagai yang diajarkan dalam teks ini. 

TUTUR BRAHMOKTA WIDHISASTRA 

Brahmokta Widhisastra adalah sebuah lontar yang cukup tua. Uraian di dalam lontar ini ditulis dalam bentuk sloka dengan menggunakan bahasa Sansekerta, sedangkan penjelasannya menggunakan bahasa Jawa Kuna. Lontar ini menguraikan ajaran Kalepasan yang bersifat Siwaistik, diantaranya menjelaskan tentang hakekat Sanghyang Pranawa (Om). 

Semesta alam dan badan (manusia) adalah perwujudannya yang sekaligus pula sebagai jiwanya. Ia adalah obyek tertinggi kalepasan. Menjelaskan manfaat pranayama. Pranayama yang benar akan dapat membakar habis semua pennyakit, termasuk pula papa, dosa-dosa, triguna, dasendriya, sadripu, sehingga orang terbebas dari penyakit. Orang yang bebas dari penyakit akan panjang umur. Selain itu, lontar ini juga menjelaskan tentang Catur Dasaksara (empat belas aksara).

Keempat belas aksara itu memiliki kadar kesucian yang sama dan pahala sorga dan kamoksan yang sama pula, karena keempat belas aksara itu adalah merupakan badan Tuhan atau perwujudan Siwa yang disebut Catur Dasa Siwa (empat belas Siwa), yang merupakan obyek kalepasan dalam arti untuk mencapai kalepasan, maka keempat belas tempat Siwa itu bisa dituju sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. 

Om adalah kalepasan tertinggi. Aksara mana yang dapat dipusatkan dalam pikiran kala kematian menjelang, maka ke sanalah ia menuju ke salah satu tempat Siwa. Orang yang telah mencapai tempat Siwa akan menikmati kesenangan dan tidak akan kembali duka karena itu disebut Siwa atau Sadasiwa. Ia juga disebut Iswara karena ia adalah pemilik keempat belas istana itu. Lontar ini juga berisi himbauan kepada guru agar di dalam mengajarkan mutiara ajaran Siwasiddhanta tertinggi ini tidak pada sembarang siswa, dan lain-lain. 

TUTUR MEDANG KEMULAN 

Medang Kemulan merupakan salah satu dari sekian banyak lontar tutur yang memuat tentang ajaran Siwa. Secara garis besarnya, lontar ini menguraikan tentang percakapan Sang Hyang Dharma Siddhi dengan Sang Hyang Siddhi Mantra, tentang asal muasal aksara semua, tentang Catur Dasa Manu dan pemerintahannya, tentang keberadaan kitab-kitab sastra serta pengarangnya, begitu juga tentang Catur Wariga yang dikaitkan dengan kelahiran Sang Watugunung. 

• Tentang asal mula aksara berkaitan dengan pemerintahan Sang Hyang Catur Dasa Manu di Negeri Giridwipa Aikalaya. Dalam melaksanakan pemerintahannya, Beliau didampingi oleh dua orang pendeta utama yaitu Dang Hyang Romaharsana dan Bhagawan Baradwaja. Dari kedua orang suci inilah Sang Catur Dasa Manu mendapatkan berbagai pengetahuan, terutama pengetahuan mengenai silsilah para manu yang jumlahnya 14 dan pusat pemerintahannya. 

• Mengenai kitab-kitab sastra dan pengarangnya; Kitab Brahmanda Purana, menguraikan tentang asal mula para Brahmana yang diciptakan oleh Bhatara Siwa; Kitab Rajaniti yang berisi tentang ilmu pemerintahan; Aksara, Samuscayakreti, Adigama, Tretagama, yang memuat tentang ajaran susila disusun oleh Bhagawan Romaharsana. Tatwajnana menguraikan tentang ajaran filasafat untuk menuju kalepasan diciptakan oleh Bhatara Brahma. Kitab Asta Dasa Parwa yang dimulai dari Adi Parwa sampai dengan Aswameda Parwa, serta segala kitab yang berbentuk sloka dan sruti diciptakan oleh Bhagawan Biasa.

• Mengenai terciptanya Wariga dengan Catur Wariganya sebagai penentuan hari baik dan buruk diciptakan oleh Bhatara Gana. Penciptaan Wariga ini merupakan perintah dari bhatara Siwa kepada Bhatara Gana, setelah Beliau mengutuk Watugunung agar dikalahkan oleh Sang Hyang Hari Bhuwana. 

Artikel Terkait :

 

Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html

Sabtu, 04 Oktober 2014

BABAD BULELENG, BABAD ARYA GAJAH PARA, BABAD KI TAMBYAK

sidhakarya
Topeng Sidhakarya
BABAD BULELENG, BABAD ARYA GAJAH PARA, BABAD KI TAMBYAK

TEKS DAN TERJEMAHAN (2000)


Diceritakan setelah kalahnya Raja Bedahulu di Bali, akhirnya keadaan Bali pada saat itu menjadi tenang, sedangkan Patih Nirada Mada menjadi tidak senang. Disebutkan ada seorang pendeta yang sangat sempurna bernama Dang Hyang Kepakisan. Beliau berputra tiga orang laki-laki dan seorang wanita. Salah satunya dimohon menjadi raja oleh Gajah Mada di Bangsul (Bali) bernama SriDalem Kresna Kepakisan. Baginda beristana di Samprangan, dan setelah beberapa generasi terakhir digantikan oleh Dalem Sagening. Diceritakan pula Arya Kepakisan menjadi mahapatih di daerah Bali. Beliau berputra dua orang yaitu Arya Nyuh Aya dan Arya Asak. 




Diceritakan Si Luh Pasek Panji dari desa Panji, ia mengabdi kepada Sri Aji Dalem Sagening. Setelah ia menginjak dewasa, suatu ketika Sri Aji Dalem Sagening secara tidak sengaja menginjak tanah bekas air kencing Si Luh Pasek yang terasa panas. Demikianlah akhirnya Si Luh Pasek berhasil digauli oleh Sri Aji Dalem Sagening, dan tak berapa lama maka hamillah Si Luh Pasek.

Suatu ketika, Sri Aji Dalem Sagening ingin menghadiahkan sesuatu kepada Ki Gusti Ngurah Jarantik atas pengabdiannya, maka diserahkanlah Si Luh Pasek Panji. Tidak diceritakan maka lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ki Gusti Barak Panji. Setelah dewasa, berdasarkan pertimbangan keamanan, Ki Gusti Barak Panji meninggalkan istana disertai oleh ibunya Si Luh Pasek Panji diiringi oleh Ki Dumpyung, Ki Dosot, beserta sejumlah pengiring abdinya berjumlah tiga puluh orang. Akhirnya tibalah Beliau di desa Panji. Saat itu desa Panji dikuasai oleh Ki Pungakan Gendis. Berkat kesaktian keris Ki Semang akhirnya Ki Pungakan Gendis tewas tanpa diketahui siapa pembunuhnya.

Diceritakan ada perahu milik Ki Empung Awang yang terdampar di pesisir desa Panimbangan. Perahu itu sarat dengan barang bawaan. Barang siapa yang dapat mendorong perahu tersebut akan dihadiahkan semua isi perahu. Dengan bantuan keris Ki Semang akhirnya Ki Gusti Panji berhasil menyelamatkan perahu itu. Begitulah Ki Gusti Ngurah Panji dengan bantuan keris Ki Semang serta didukung oleh pribadinya yang welas asih akhirnya berhasil memimpin masyarakat desa Gendis. Selanjutnya beliau dinobatkan dan bergelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, karena kesaktiannya yang luar biasa, dan Beliau menetap di Istana Sukasada.
Setelah beberapa lama pemerintahan Sri Panji Sakti, tidak ada yang berani menentang perintah Beliau dan tetap tinggal di Istana Sukasada. Akhirnya Beliau menurunkan beberapa keturunan. Setelah Beliau wafat digantikan oleh putranya yang tertua yang bernama Ki Gusti Ngurah Panji Gede. Demikianlah putra-putra Beliau yang lain, semua berada di Singaraja. 


Diceritakan Bali telah menjadi kekuasaan Majapahit. Walaupun demikian, di belahan Bali Timur terus terjadi gejolak penentangan. Untuk meredam gejolak tersebut, diutuslah Sirarya Gajah Para dan Sirarya Getas. Akhirnya kedua arya tersebut tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, dan menurunkan beberapa keturunan. Selanjutnya Sirarya Getas diutus untuk mengadakan penyerangan ke Selaparang, dan Beliau pun akhirnya menetap di sana (Praya).

Diceritakan Sirarya Gajah Para telah wafat. Setelah wafatnya Sirarya Gajah Para, maka terjadilah pertikaian antara cucu-cucunya yang berakibat cukup fatal. Dua bersaudara meninggal dalam perkelahian. Dua orang janda beserta putranya masing-masing meninggalkan Toya Anyar, ada ke Tanggawisia, dan ada yang ke Gelgel. Setelah peristiwa itu, keturunan Arya Gajah Para tersebar di desa-desa di Bali serta mengembangkan keturunannya masing-masing.



Ki Tambyak adalah putra dari Begawan Maya Cakru. Semenjak lahir ia ditinggal oleh orang tuanya dan akhirnya ia dijadikan anak angkat oleh Kebayan Panarajon. Ia kemudian tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan berilmu sehingga disegani masyarakat lingkungannya, bahkan raja Bedahulu pun mengangkatnya sebagai seorang patih.
Pada suatu saat diceritakan Ki Tambyak bertemu dengan Arya Notor Waringin. Dalam pertemuan tersebut mereka berdua sepakat untuk bersemedi. Dengan ketekunan semadinya akhirnya mereka dianugrahi daerah kekuasaan, yang mana daerah tersebut pada akhirnya disebut daerah Badung. Di daerah inilah mereka menjalankan roda pemerintahan. Lama- kelamaan Ki Tambyak ingkar dengan kepercayaan yang telah dibangunnya sehingga ia diusir ke daerah Pecatu. Demikian seterusnya ia beserta keluarganya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Sumber : http://baliculturegov.com/2009-10-06-09-01-33/konsep-konsep-budaya.html