Selasa, 25 April 2017

Lirik Lagu Pop Bali Anak - Bapa

Bapa Arinka

Lagu Pop Bali Anak // Bapa - Arinka // Officcial video clip 2017

SIMAK VIDIO2 KEREN DISINI

Cipt. Ary Kencana
Musik. Dek Artha
Vocal. Arinka

Kone…Mara tugas tiang petang bulan
Meme ..Megedi ngalahin tiyang
Meme ne sepantesne ngempu tiyang
Nguda las hati meme megedi
Mulih ke umahe bajang
Ninggalin tiyang ajak I bapa

Mangkin umur tiyang sampun roras tiban
Tusing taen ngrasayang sayang meme
Bapa ne sanget sayang kin tiyang
Kija I bapa luas tiyang milu
Yening bapa sedeng megae
Ditu tiyang gaenange pesirepan



Reff:
Bapa bapa tuah bapa sane ngerunguang tiyang
Dikenkene bapa ngeling nepukin tiyang pas gelem
Pedidi bapa ngencanin
Bapa bapa tuah bapa sane stata sayangan tiyang
Ulian sayange I bapa ngemasin kanti ke jani
Bapa sing ngalih kurenan

Nanging tiyang dot ngrasayang
Cara timpale elenan mekumpul ajak kluarga

Ngelah meme bapa



SIMAK LEBIH BANYAK LAGU-LAGU BALI DISINI

Sabtu, 22 April 2017

Sambutan Presiden RI pada Acara Dharma Santi Nasional

Sambutan Presiden RI pada Acara Dharma Santi Nasional

Jakarta, 22 April 2017

Om Swastyastu
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,

Pada pagi yang cerah ini, saya ingin menyampaikan rasa angayubagya karena bisa ber-simakrama dengan umat Hindu dalam acara Dharma Santi untuk merayakan hari raya Nyepi dan meyambut tahun baru Saka 1939.

Joko Widodo
Presiden Kita 
Teriring salam saya kepada seluruh umat Hindu, di seluruh pelosok tanah air, disertai dengan ucapan selamat hari raya Nyepi, dan juga selamat hari raya Galungan dan Kuningan.

Semoga, perayaan Nyepi yang waktunya berdekatan dengan hari raya Galungan dan Kuningan bisa memberikan keheningan jiwa, rasa Shanti atau kedamaian dan juga Jagadhita atau kesejahteraan bagi kita semua.

Hadirin yang saya hormati,
Hari raya Nyepi memiliki makna yang  sangat penting bagi umat Hindu.
Karena dalam momen Nyepi itulah, Umat Hindu menjalankan catur beratha penyepian sebagai bagian dari upaya pembersihan diri, bhuwana alit dan juga alam semesta atau bhuwana agung.



Dengan menjalankan catur beratha penyepian, umat Hindu menyambut tahun baru Saka dengan semangat yang baru dengan jiwa  yang  damai, yang lebih harmonis sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana.

Dalam Tri Hita Karana, umat Hindu diajarkan bahwa Srada Bhakti pada Tuhan harus juga diwujudkan dengan menjaga keharmonisan dengan sesama serta menjaga hubungan harmonis dengan alam yang semuanya diciptakan oleh Brahman, Penguasa Jagad Raya.
Umat Hindu juga diminta untuk selalu memegang teguh ajaran Wasudewa Kutum Bhakam, kita semua bersaudara, yang menekankan arti penting persaudaraan yang sejati karena kita semua berasal dari sumber yang sama yakni dari Tuhan yang Maha Esa.

joko presiden RI
Presiden Joko Widodo
Tri Hita Karana juga mengajarkan kepada umat Hindu bahwa Srada bhakti pada Tuhan juga harus bisa dimanifestakan dalam tindakan nyata menjaga dan melestarikan alam di sekitar kita. 

Kita telah banyak mengambil dari alam… untuk  dimanfaatkan menjadi sumber kehidupan kita. Dan sudah saatnya kita juga membayarnya kembali dengan cara menjaga dan melestarikan alam. Hanya dengan cara itu kita semua akan mendapatkan kehidupan yang harmonis, Shanti dan Jagadhita.

Hadirin yang saya muliakan,
Membawa kembali kesadaran baru tentang makna   menjaga keharmonisan serta persaudaraan sejati ini sangat penting dalam kehidupan kita, dalam berbangsa dan bernegara. 

Sebagai bangsa yang majemuk, kita memiliki  714 suku, bahkan data BPS menyebutkan sekitar 1.340 suku, kita juga mempunyai beragam ras, beraneka ragam bahasa daerah dan juga berbeda-beda agama.


Perbedaan latar belakang suku…latar belakang agama… latar belakang budaya… bukanlah penghalang bagi kita untuk bersatu…Dan bukan pula penghalang bagi kita untuk hidup dalam keharmonisan, saling menghormati, saling membantu dan membangun solidaritas sosial yang kokoh.

Semua perbedaan itu, tidak harus diseragamkan … tidak juga harus ditiadakan…atau bahkan dilenyapkan.

Semua perbedaan dan keragaman itu justru harus diikat oleh tali-tali persaudaraan, tali-tali kebersamaan dan tali-tali persatuan Indonesia.

Dalam mengelola keragaman, mengelola kemajemukan kita bersyukur…memiliki Pancasila… kita juga bersyukur memiliki Sesanti, Bhinneka Tunggal Ika.

Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan pemersatu kita semua.

Kita juga mempunyai Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pilar kebangsaan yang kokoh… untuk menjaga dan merawat Indonesia yang majemuk ini, pilar kebangsaan untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, harmonis dan damai.

Saya yakin dengan berpegang pada Pancasila dengan menjungjung semangat Bhinneka tunggal Ika, kita akan tetap bersatu.
Dengan bersatu, kita akan maju bersama,… sejahtera bersama… untuk menyongsong masa depan bangsa yang gemilang.
Sekali lagi, selamat Hari raya Nyepi Tahun Saka 1939. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi kita semua.

Terima kasih,
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Jakarta, 22 April 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

Kamis, 20 April 2017

Sejarah Siwa Budha di Bali.

Sejarah Siwa Budha di Bali.

Oleh: Ida Bagus Partawijaya.

Di Bali Siwa, Budha dan Waisnawa dilebur menjadi agama Hindu Dharma yang ada sekarang di Bali oleh Mpu Kuturan.




Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk agama Budha orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Budha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa Budha di Bali.

rgveda cloka
RIG WEDA
Penyatuan itu terjadi pada masa pemerintahan raja suami istri Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali. Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga/ orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali. Jadi ada orang Bali Aga dan orang Bali. Banyak sekali sekte-sekte yang ada pada saat itu yang dalam pelaksanaan pemujaan terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan  itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya sehingga menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa di dalam tubuh masyarakat Bali aga.


Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. akibat yang bersifat negatif ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur. Kemudian sepakat untuk mendatangkan Panca Dewata ini atau lima orang Brahmana suci keturunan Hyang Bhatara Guru Geni Jaya Sakti atau Hyang Geni Jaya, yaitu: Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah.

Kelima Brahmana ini lazim disebut Panca Dewata, Panca Tirta, Panca Pandita karena Beliau telah melaksanakan upacara wijati yaitu menjalankan dharma kebrahmanan. Dari kelima Mpu di atas Mpu Kuturan adalah yang paling berjasa dalam menata pemerintahan pulau Bali pada khususnya dan Nusantara pada umumnya.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat di ketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu kuturan di Bali berpangkat Senopati dan prasasti itu kini berada di:

Di desa Srai, kecamatan Kintamani.
Di desa Batur, kecamatan Kintamani
Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng
Di desa Batuan, kecamatan Sukawati
Di desa Ujung, Kabupaten Karangasem
Di desa Kehen Bangli, Kabupaten Bangli
Di desa Buahan, Kecamatan Kintamani.

Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai senopati di Bali. Dalam isi prasasti-prasasti tersebut adalah sabda raja-raja yang berkuasa pada saat itu dan memberi tahukan kepada masyarakat luas bahwa Ida Mpu Kuturan adalah yang berjasa di bumi Bali ini dalam mempersatukan sekte-sekte yang ada di Bali. Raja-raja yangg bertahta di Bali pada saat itu:

Raja Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa yang menerbitkan prasasti pertama dan kedua.

Sri Adnyadani yang menerbitkan prasasti ketiga
Sri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano Tunggadewa, yang menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh.
Ida Mpu Kuturan mengatakan kepada saya ada 3 sebab Beliau menetap di Bali.

Memenuhi permintaan raja suami istri yang disebut di atas, yang memerlukan keahlian Beliau dalam bidang adat dan agama, untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketegangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Karena bertentangan dengan istri Beliau yang menguasai black magic dan oleh sebab itu istri Beliau ditinggalkan di Jawa yang kemudian dijuluki Walu Nateng Girah atau Rangda Nateng Girah (jandanya raja girah)
Sebagai bhiksuka atau sanyasa, Beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi.

Kesempatan yang baik itu Beliau pergunakan untuk datang ke Bali, juga karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain menjadi senopati, Beliau juga diangkat sebagai Ketua Majelis dan diberi gelar; Pakira kiran i jero makabehan. Dalam suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar (Selanjutnya dibangun pura yang sekarang dikenal dengan pura Samuan Tiga, desa Bedulu Gianyar) yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu yaitu:

Dari pihak Budha diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
Dari pihak Siwa diwakili oleh pemuka Siwa dari Jawa
Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga.
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali yang terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu, semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Kesepakatan yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, di mana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut Siwa Budha sebagai persenyawaan Siwa dan Budha. Semenjak itu penganut Siwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya masing-masing yang bernama:

Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma.
Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Bhatara Wisnu.
Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatara Siwa.
Ketiga pura tersebut disebut pura Khayangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Siwa Budha di Bali. Dalam samuan tiga juga dilahirkan suatu organisasi desa pakraman yang lebih dikenal sebagai desa adat dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, sosial dan spiritual.

Mpu Kuturan berkata kepada saya di Bali, salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Budha ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali (hari raya nyepi) dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali selatan, ada pura Sakenan, sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni/ Buddha. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama. Jadi kebanyakan konsep-konsep pemujaan di Bali diambil dari Budha. Suatu contoh, bentuk meru, Mpu Kuturan mengambilnya dari bentuk pagoda Cina yang umum sebagai bentuk bangunan pemujaan agama Budha.

Dan Ida Mpu Kuturan sendiri menjelaskan bahwa konsep padmasana diambil dari Buddha Mahayana, padmasana berarti padma: bunga padma, sana: sikap duduk. Jadi padmasana berarti duduk di atas bunga padma. Sang Budha-lah yang duduk di atas bunga padma karena sang Budha adalah Awatara Wisnu yang sempurna dan yang tidak membunuh. Yang hanya memberikan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Kenapa harus Sang Budha ? Karena di Nusantara ini konteksnya adalah Siwa Budha, Jadi Budha bisa juga diartikan sebagai ibu/predhana, jadi pada hakekatnya Siwa Budha adalah: Sama satu manunggal.

Ida Mpu Kuturan memberikan sebuah bait suci dimana kegaiban dan keajaiban adalah sifat wujud Tuhan yang kasat mata.

Ya iku senguh tanakku sira ta nunggalaken bhuwana ngarania, nihan ta upamanta sira waneh, kalinganya kadyangganing manuk sang manon, mur tan pahelar, meleset tan pacikara, manon ndatanpamata, mangrengo tan patalingan, mangambu tan pagrana, magamelan tan patangan, lumaku tan pasuku, rumasa rasa tan paiden tan paparus ya jana prawriti, tatan panak yaya wrddhi, tan paweteng yaya membekan, tatan pecangkem yaya amangan, tatan pailat yaya mangrasani.

Artinya:

Tuhan bagaikan burung terbang dengan tiada bersayap, kian kemari dengan tiada berkepala, melihat tiada dengan bermata, mendengar dengan tiada bertelinga, membaui dengan tiada berhidung, memegang dengan tiada bertangan, bergerak dengan tiada berkaki, merasakan rasa dengan tiada berperasaan, melahirkan dengan tiada bertanda jantan atau betina, tiada bermulut namun ia dapat menikmati, tidak berlidah  tetapi dapat merasakan.
Ida Mpu Kuturan
Jadi semua sifat Tuhan tiada batasnya.


Om santi santi santi Om.

Selasa, 04 April 2017

Bhakta Prahlada Penyembah Wisnu

Hiranyakasipu Raja Raksasa


narasinga
Ogoh-Ogoh Narasinga
Hiranyakasipu adalah raja raksasa. Dia melakukan praktek spiritual dengan sangat keras, dan Deva Brahma memberinya anugrah bahwa ia tidak dapat dibunuh oleh manusia atau binatang. Anugrah ini membuatnya sombong, dan dia menteror ke tiga dunia, mengatakan bahwa tidak ada Tuhan lain selain dirinya dan semua orang harus menyembah-Nya.
           
Dia puya seorang putra bernama Prahlada, seorang anak religius yang selalu menyembah Vishnu ini membuat ayahnya sangat marah, ia ingin menghilangkan pemikiran. Vishnu dari pikiran anaknya, sehingga ia menyerahkan anaknya kepada seorang guru yang sangat keras untuk melatih dia agar hanya menyembah Hiranyakasipu sebagai Tuhan dan bukan menyembah Vishnu.
           
Prahlada tidak hanya menolak untuk mendengarkan sang guru, tetapi mulai mengajar siswa lain untuk menyembah Vishnu. Gurunya sangat marah dan melaporkan kepada Raja.
           

Sang Raja berlari ke kamar anaknya, dan berteriak, “Aku mendengar kamu telah menyembah Vishnu!”
            Dengan gemetar, Prahlada berkata pelan, “Ya ayah.”
            “Berjanjilah padaku bahwa kamu tidak akan melakukanya lagi!” kata Raja.
            “Aku tidak bisa menjanjikan ini itu ayah, “Prahlada langsung menjawab.
            “Kalau begitu aku akan membunuhmu, “teriak Raja
            “Tidak bisa, terkecuali diinginkan Deva Vishnu,” jawab si anak.
           
Sang Raja mencoba semua kekuatannya untuk mengubah pikiran Prahlada, tapi tak satupun berhasil.
           
Ia kemudian memerintahkan para pengawal untuk melemparkan Prahlada ke laut, berharap agar Prahlada takut berjanji untuk tidak lagi menyembah Vishnu. Tapi Prahlada tetap setia pada Vishnu dan terus berdoa kepada-Nya dalam hatinya dengan cinta dan kesetiaan. Penjaga mengikatnya ke sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam laut. Atas wara nugraha Tuhan, batu itu terjatuh dan Prahlada mengapung ke permukaan air dan terdampar di pantai dengan selamat. Dia terkejut melihat Vishnu di pantai.
           
Vishnu tersenyum padanya dan berkata, “Mintalah padaku apa saja yang kamu inginkan.”
           
Prahlada menjawab, “Aku tidak ingin kerajaan, kekayaan, surga, atau umur panjang. Aku hanya ingin kekuatan untuk selalu mencintai-Mu dan tidak pernah mengubah pikiranku menjauh dari-Mu.”
           
Vishnu mengabulkan keinginan. Prahlada ke istana ayahnya, raja tertegun melihatnya masih hidup.
            “Siapa yang mengeluarkanmu dari laut?” Raja bertanya.
            “Deva Vishnu,” kata si anak, polos.
            “Jangan sebut nama itu dihadapanku,” teriak ayahnya. “Di mana Deva Vishnu-mu? Tunjukan dia padaku,” ia menantang.
            “Dia di mana-mana,” jawab si anak.
            “Bahkan dalam pilar ini?” tanya Raja.
            “Ya, bahkan di pilar ini!” Jawab Prahlada yakin.
            “Kalau begitu suruh dia muncul di depanku dalam bentuk apapun yang ia inginkan,” seru Hiranyakasipu dan memecahkan pilar itu dengan senjata besinya.
           
Raksasa 
Tiba-tiba melompat keluar dan dalam pilar satu mahluk bernama Narasinga, yang setengah manusia dan setengah singa. Hiranyakasipu, berdiri tak daya di hadapannya. Takut, ia berteriak minta tolong, tetapi tidak ada yang datang menolongnya.
            Narasinga mengangkat Hiranyakasipu dan meletakkannya di pangkuannya, di mana tubuhnya di robek-robek, hingga menemui ajalnya.
           
Tuhan memberkati Prahlada karena kepercayaannya yang mendalam. Setelah kematian. Hiranyakasipu, para raksasa itu hancur, dan Deva mengambil alih dunia sekali lagi dari raksasa.
            Sampai hari ini, nama Prahlada dimasukkan di antara pemuja besar.


          Jalan kesetiaan pada Tuhan sangat mudah dilatih. Jalan ini terdiri dari pemujaan pada para Deva setiap hari, mempersembahkan buah-buahan dan bunga, menyanyikan lagu pujian (Bhajan) untuk memuji kemuliaan Tuhan, Tuhan dan mengembangkan kebiasaaan baik.