Senin, 30 Januari 2023

MULANG PEKELEM KE LAUT

 MULANG PEKELEM KE LAUT


Umat Hindu membuang “Sampah” ke laut, itulah petikan kalimat yang saya dengar saat selesai upacara Melasti di Tanjung Pasir Tangerang Provinsi Banten dalam rangkaian Hari Raya Nyepi awal tahun kemarin. Dalam hati kecil saya, saya jawab “Itu bukan sampah, tetapi upacara/sesajen yang bertujuan untuk keselamatan kita bersama”. Tetapi, saya merasa akan sia-sia untuk memberi jawaban sesingkat itu kepada masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan, dimana keyakinan kita berbeda, tentu membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam.

Masalah sampah sisa persembahyangan yang muncul di media sosial semakin mengganggu kita sebagai umat Hindu. Walaupun sebenarnya dari dahulu juga sudah ada sampah, sisa Kwangen atau  Canang Sari, dan lain-lain. Masih sangat jelas dalam ingatan saya, saat masih usia anak-anak di desa, setiap piodalan selalu berebut untuk mencari sisa kwangen atau canang sari, barangkali ada sesari yang luput diambil oleh pemangku. Dapat terkumpul hingga 100 rupiah sangatlah  besar pada tahun 70-an. Lalu kenapa setelah informasi global seperti saat ini, sampah tersebut menjadi sangat mengganggu ?

Dua hal diatas memiliki kesamaan permasalahan, sama-sama membutuhkan pemahaman secara interen maupun ektern. Walaupun dalam ajaran agama kita sudah sangat jelas disampaikan mengenai Tri Hita Karana, dan semua sudah memahaminya. Termasuk pula lembaga-lembaga keumatan kita seperti Parisada, Bimas Hindu yang berperan dalam menyampaikan fungsi upakara kepada masyarakat di luar kita atau ekstern.

Dalam kesempatan ini, saya selaku umat berpandangan bahwa upacara Melasti disaat Mulang Pekelem dan Ngamet Tirtha Katengahing Segara, tidak harus semua upakara itu dihanyutkan ke laut, setelah upacara meatur-atur yang dilakukan oleh pemangku, cukup yang dihanyutkan adalah hal-hal yang bersifat cepat hancur atau segera tenggelam, seperti buah-buahan, telor, beras, sedangkan janur, slepan dan hal keras lainnya, kembali di bawa ke darat  serta dibakar di tepi pantai.

Lalu mengenai sampah sisa upakara secara umum, dapat saya sampaikan pandangan bahwa harus ada gerakan yang terpadu dan berkesinambungan yang memberikan pemahaman bahwa membuang sisa upakara adalah hal yang tidak terpuji. Perlu ada suatu hal yang dapat menyentuh hati umat secara mendalam dan mudah diingat. Saya berpendapat, buatlah tulisan “KEBERSIHAN ADALAH BAGIAN DARI KARMA BAIK” yang dipasang didepan candi bentar sebelum para pemedek untuk melakukan persembahyangan.

Dengan adanya penekanan bahwa Kebersihan bagian dari sebuah Karma baik, tentunya akan memberi efek yang sangat baik pula. Kita ketahui bersama bahwa, umat Hindu sangat percaya dengan Hukum Karma, baik yang kita lakukan, baik pula yang akan kita terima, demikian sebaliknya. Hukum Karma menjadi suatu hal yang perlu mendapatkan peningkatan pemahaman dan penerapan di lapangan, lebih-lebih kita sudah memahami tentang TRI HITA KARANA. (admin blog)


Kamis, 26 Januari 2023

Tabuh Chopin Larung Gargita Swara

 Tabuh Chopin Larung Gargita Swara

Gargita Swara adalah Sekaha Gong Umat Hindu Banjar Ciledug Tangerang Banten. 



Mohon di SUBSCRIBE n LIKE, Terima Kasih

SIMAK VIDEONYA PADA LINK DIBAWAH INI !!

Tabuh Bebarongan Sekaha Gong PEWA Banjar Serang Banten https://youtu.be/TtHx3WC1daw

Tabuh Tari Rejang Sari Sekaa Gong Banjar PEWA Serang Banten https://youtu.be/BqAa-CNHcpY

KEREN ! Baleganjur Muda Mudi Hindu Tangerang Selatan https://youtu.be/4NMH9oMGxUc

Belajar Tabuh Tari Rebong Puspa Mekar https://youtu.be/dpPGTs4myf0

Baleganjur Permuditha Muda-Mudi Tangerang https://youtu.be/POztTk4fK-Y

Belajar Calung Tabuh Tari Rejang Dewa https://youtu.be/wjeEmnksS-E



Sekaha Gong artinya perkumpulan pemain musik Bali, berupa Gamelan Gong. Kami umat Hindu Banten selalu guyub dalam melaksanakan Panca Yadnya. Sekeha gong Bali di Ciledug Tangerang Banten bernama Gargita Swara yaitu grup sekeha gong bapak-bapak, sedangkan Dharma Gita grup sekeha gong ibu-ibu yang selalu mengiringi kegiatan-kegiatan tabuh upacara Yadnya, baik itu tabuh Dewa Yadnya, tabuh Pitra Yadnya, tabuh Rsi Yadnya, tabuh Manusa Yadnya, tabuh Butha Yadnya.

PLEASE SUBSCRIBE - LIKE - COMMENT – SHARE

Tabuh Terbaik Sekeha Gong Gargita Swara Banjar Ciledug Tangerang:


post by : http://rare-angon.blogspot.com #tabuhlelambatan #gargitaswara #kuningan

Selasa, 24 Januari 2023

HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM

 HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM

Berbicara mengenai hubungan manusia dengan alam, sudah tidak asing lagi bagi telinga kita, bahkan dalam keseharian, kita telah melaksanakan hubungan baik dengan alam ini. Ini berkat pengetahuan kita tentang alam, berkat didikan agama kita, agama Hindu tentang Tri Hita Karana yang sudah sangat kita pahami bersama.

sloka bhagawadgita

Seperti seorang yang menggali sumur, memang akan sangat membahagiakan saat air kita temukan pertama kali. Sama halnya dalam belajar, saat kita menemukan sesuatu yang kita cari alangkah bahagia dan bangganya. Namun sebenarnya masih banyak pengetahuan yang patut kita pelajari lebih dalam, atau kita perlu menggali sumur yang lebih dalam demi memperoleh kemurnian air. Walaupun tattwa mengenai Tri Hita Karana sudah kita pahami, perlu kiranya kita perdalam lagi, sebab dalam Weda ilmu pengetahuan itu sangat luas dan dalam, tergantung dari kita untuk mempelajarinya.

Dalam Canakhya Nitisastra menyebutkan istilah Triji Ratna Permata yang artinya ada tiga ratna permata bumi yaitu air, tumbuh-tumbuhan dan kata-kata bijak. Dalam kitab Atharwaveda XVIII.1.17 ada disebutkan Trimi Chandra yang bermakna ada tiga yang indah bersinar di bumi ini yaitu air, udara dan tumbuh-tumbuhan bahan makanan serta obat-obatan sebagai tiga yang membuat bumi ini indah dan bersinar sejuk. Baca juga TRI Dalam Agama Hindu

Dari kedua pengetahuan diatas, Tri Hita Karana khususnya mengenai Hubungan Manusia dengan Alam menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan tindakan nyata. Manusia sebagai sentral dari masalah pelestarian alam lingkungan, baik atau rusaknya alam sangat tergantung daripada perilaku manusia itu sendiri. Manusia Hindu dalam tindakan nyatanya untuk pelestarian alam melalui upaya ritual keagamaan  yaitu upacara Yadnya yang telah   pula   menjangkau   aspek   supra-empiris.

            Dalam setiap kegiatan upacara Yadnya selalu terkait dengan air, tumbuh-tumbuhan dan kata-kata bijak (wacika parisudha) dan upakara Yadnya pula sebagai wujud hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkungan.

Menilik berita kerusakan alam saat ini memang sangat memprihatinkan, dalam setiap berita kita sering mendengar kualitas lingkungan hidup kita yang telah rusak, hutan-hutan berganti fungsinya, pencemaran air dimana-mana, dan ke semua itu akan mempengaruhi kualitas sumber daya alam itu sendiri. Kerusakan lapisan ozon yang melindungi bumi dari sinar ultra violet matahari, terkurasnya sumber daya mineral, minyak dan gas dari perut bumi akibat usaha pertambangan yang terjadi di seluruh dunia. Kerusakan demi kerusakan ini akan mengancam peradaban dan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup serta melestarikannya.

            Pelestarian alam seharusnya dapat diwujudkan dengan perbuatan nyata, seperti dalam RgVeda III.51.5 menyebutkan : “Lindungilah sumber-sumber kekayaan alam seperti atmosfir, tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat, sungai, sumber-sumber air dan hutan-hutan belantara “.  Sangat jelas dinyatakan dalam kitab suci kita, sehingga pelaksanaannya menjadi keharusan dengan tindakan nyata. 

            Manusia dan alam harus saling beryadnya, keduanya tidak dapat dipisahkan. Alam beryadnya kepada manusia, manusiapun wajib beryadnya kepada alam. Kitab Bhagawadgita III.16 menyatakan : “Barang siapa yang tidak memutar Cakra Yadnya ini sesungguhnya ia adalah penjahat “ Maknanya dalam hubungan antara manusia dengan alam agar adanya kesadaran manusia, bahwa tanpa yadnya dari alam, manusia tidak dapat mewujudkan tujuan hidupnya. 

Ditulis Oleh : Admin Blog

Rabu, 18 Januari 2023

Tabuh Hudjan Mas Sekaha Gong Gargita Swara

Tabuh Hudjan Mas Sekaha Gong Gargita Swara

Gargita Swara adalah Sekaha Gong Umat Hindu Banjar Ciledug Tangerang Banten. Sekaha Gong artinya perkumpulan pemain musik Bali, berupa Gamelan Gong. Kami umat Hindu Banten selalu guyub dalam melaksanakan Panca Yadnya. Sekeha gong Bali di Ciledug Tangerang Banten bernama Gargita Swara yaitu grup sekeha gong bapak-bapak, sedangkan Dharma Gita grup sekeha gong ibu-ibu yang selalu mengiringi kegiatan-kegiatan tabuh upacara Yadnya, baik itu tabuh Dewa Yadnya, tabuh Pitra Yadnya, tabuh Rsi Yadnya, tabuh Manusa Yadnya, tabuh Butha Yadnya.



PLEASE SUBSCRIBE - LIKE - COMMENT – SHARE

Mohon di SUBSCRIBE n LIKE, Terima Kasih

SIMAK VIDEONYA PADA LINK DIBAWAH INI !!

Tabuh Bebarongan Sekaha Gong PEWA Banjar Serang Banten https://youtu.be/TtHx3WC1daw

Tabuh Tari Rejang Sari Sekaa Gong Banjar PEWA Serang Banten https://youtu.be/BqAa-CNHcpY

KEREN ! Baleganjur Muda Mudi Hindu Tangerang Selatan https://youtu.be/4NMH9oMGxUc

Belajar Tabuh Tari Rebong Puspa Mekar https://youtu.be/dpPGTs4myf0

Baleganjur Permuditha Muda-Mudi Tangerang https://youtu.be/POztTk4fK-Y

Belajar Calung Tabuh Tari Rejang Dewa https://youtu.be/wjeEmnksS-E

Tabuh Terbaik Sekeha Gong Gargita Swara Banjar Ciledug Tangerang:


post by : http://rare-angon.blogspot.com #tabuhlelambatan #gargitaswara #kuningan



Selasa, 17 Januari 2023

Malam Ciwa, Malam Penebusan Dosa, Pemujaan terhadap Ciwa

Malam Ciwa, Malam Penebusan Dosa, Pemujaan terhadap Ciwa

Kapan dilaksanakan Hari Suci Siwaratri ?

Purwaning Tilem Kapitu atau Panglong 14 Tilem Kepitu, setahun sekali

Apa makna Hari Suci Siwaratri ?

Hari Suci Siwaratri diperingati sebagai hari permohonan kekuatan pengendalian diri kehadapan Sang Hyang Siwa, merupakan hari malam Siwa atau Siwaratri.

Apa arti kata Siwaratri ?


Kata Siwa berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya Baik Hati, Suka Memaafkan, Memberi Harapan, dan Membahagiakan. Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diberi nama Dewa Siwa, dalam fungsi Beliau sebagai pamrelina atau pelebur segala yang patut dilebur untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan untuk bahagia.

Kata Ratri artinya Malam, Malam disini juga dimaksudkan kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur atau mem-prelina (melenyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang.

Apa arti hari Catur Dasi Krsnapaksa ?

Panglong ping 14 sasih Kapitu. Sehari sebelum bulan mati pada bulan Magha (kepitu), yaitu malam hari yang paling gelap di dalam satu tahun.

Bagaimana petunjuk sastra agama mengenai Hari Siwaratri ?

Menurut petunjuk dari isi sastra-sastra agama Hindu, hari Siwaratri adalah merupakan pengaplikasian dari ajaran Weda yang bersifat nyata karena pelaksanaannya sungguh-sungguh tercermin adanya nilai-nilai ajaran Samkhya Yoga, sebagai fundament dari ajaran Raja Yoga.

Apa Tujuan pelaksanaan hari Siwaratri ?

Untuk menuntun spiritual umat Hindu, agar setiap saat mampu berintrospeksi diri sehingga dapat memacu meningkatkan pengendalian diri, dapat menggugah kesadaran (Cetana) umat akan dirinya bahwa hidup di dunia adalah berada dalam belenggu kekuatan Samsara.

Apa yang dimaksud dengan Brata Siwaratri ?

Brata dalam bahasa Sanskerta berarti Janji, Sumpah, Pandangan, Kewajiban, Laku Utama, Keteguhan Hati. Jadi disini dapat disimpulkan bahwa Brata Siwaratri artinya kewajiban sebagai laku utama atau janji untuk teguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri.

Apa saja Brata Siwaratri yang utama ?

1. Upawasa

2. Monobrata

3. Jagra

 

Bagaimana adat budaya Bali mengenai Brata Siwaratri ?

1. Upawasa artinya berpuasa tidak makan dan minum dari pukul 06.00 pagi pada pangelong ping 14 sampai pukul 18.00 Tileming sasih Kepitu atau selama 36 jam. Sebelum Upawasa melaksanakan penyucian diri (mesuci laksana), menghaturkan banten, bersembahyang dan metirtha.

2. Monobrata artinya pantang bicara atau berdiam diri tanpa bicara, lamanya sama dengan Upawasa.

3. Jagra artinya berjaga, bangkit, maksudnya tidak tidur selama 36 jam sama dengan Upawasa.

 

Bagaimana tatanan pelaksanaan Hari Suci Siwaratri

Sekitar pukul 04.00 dauh Biomantara melaksanakan mesuci laksana, menghaturkan banten Pejati ring Kemulan Rong Tengah (nyejer), bersembahyang, metirtha dan mebija. Selanjutnya melaksanakan Brata Siwaratri bisa di Merajan atau Pura Kahyangan. Malam Siwa dimulai pukul 19.00 dauh Dewa, dengan persembahyangan “Utpheti Bhakti”, metirtha dan mebija. Brata Jagra dapat dilaksanakan dengan kegiatan Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma Santhi hingga pukul 02.00 dauh Yoga. Kemudian melaksanakan persembahyangan “Stiti Bhakti”, inilah yang disebut Dauh Penciptaan. Dengan sarana daun Bila yang kemudian dimasukkan ke Toya Pengajum untuk Tirtha Siwaratri, setelah metirtha umat melaksanakan Yoga Samadhi. Selesai Yoga Semadhi dilaksanakan persembahyangan “Pralina Bhakti” pukul 19.00 sebagai akhir atau pengelebaran Brata Siwaratri.

Benarkah Hari Siwaratri untuk melebur atau menebus dosa ?

Sesungguhnya pengertian yang demikian adalah keliru, namun makna dan tujuannya adalah sebagai tonggak hari perenungan atau introspeksi diri atas perbuatan-perbuatan yang telah lalu apakah perbuatannya itu lebih banyak kebajikan atau keburukan, hal itulah yang menjadi neraca renungan tersebut. Pada malam Siwa ini kita memerlukan tuntunan dan waranugraha Dewa Siwa sebagai pemrelina segala sesuatu yang menghalangi tujuan suci.

Apakah dasar sastra Siwaratri bukan menebus dosa ?

Dalam Padmapurana maupun dalam Siwaratrikalpa si pemburu dinyatakan sebagai orang yang papa (tidak dengan kata dosa) dan dengan melaksanakan Brata Siwaratri segala papa-nya menjadi sirna. “ Sapapa niki nasa de nikin atanghi manuju Siwaratri kottama

Bagaimana seorang yang papa dapat terlepas dari papa naraka ?

Dalam kaitannya dengan Siwaratri disebutkan “ yan matutur ikang atma ri jatinya “ yaitu tercapainya Kesadaran akan Sang Diri.

Apa dasar sastra agama mengenai Hari Siwaratri ?

Purana yaitu Padma Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Garuda Purana, menguraikan tentang Siwaratri, upacaranya, sekaligus si pemburunya yang naik sorga yaitu anugrah Siwa di Siwa Loka. (lebih lengkap mengenai purana disampaikan pada akhir bahasan Siwaratri)

Sastra agama yang bersifat Epos yaitu Lubdhaka Tattwa atau Lontar Kekawin Lubdhaka (Siwaratrikalpa) karya Mpu Tanakung merupakan yang terkenal di Bali

Apa makna kata Lubdhaka ?

Kata Lubdhaka (Sanskerta) berarti ‘Pemburu’ . Pemburu adalah orang yang selalu mengejar dan mencari sesuatu. Yang diburunya adalah binatang, nama lain binatang adalah Sattwa. Kata Sattwa berasal dari kata Sat yang berarti ‘inti yang mulia atau hakikat’ . Kata Twa berarti ‘sifat’ . Jadi kata Sattwa berarti ‘bersifat inti atau bersifat hakikat’. Dengan demikian yang bernama Lubdhaka itu adalah pelukisan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakikat yang mulia.

Apa makna si Lubdhaka bertempat tinggak di puncak gunung yang indah ?

.... sthiyangher i puncak nikang acala sobhatyanta ramyalango ....

Di dalam bahasa Sanskerta, gunung itu disebut acala yang artinya tidak bergerak. Gunung juga disebut lingga-acala artinya lingga yang tidak bergerak atau tetap. Si Lubdhaka bertempat tinggal di puncak gunung adalah melukiskan orang yang taat dan tekun memuja Dewa Siwa (Siwa-Lingga) sebagai manifestasi Hyang Widhi Wasa, juga melukiskan seorang Yogi (Samkhya-Yoga yang disebut Siwatattwa).

Apa makna kata Panglong pada Kekawin Lubdhaka ?

Kata Panglong berasal dari suku kata Pang yang artinya Supaya (bhs.Bali) dan suku kata Long yang artinya Berkurang, dengan demikian kata Panglong dapat diartikan Supaya Cepat Berkurang.

Apa makna kata Empat Belas pada Kekawin Lubdhaka ?

Kata Empat artinya Yang Menyumbat, kata Belas (bhs.Bali) artinya Terlepas. Jadi kata Empat Belas mengandung maksud Agar penyebab dari kegelapan hatnya (awidya) secepatnya musnah sehingga berubah menjadi Widya.

Apa makna Si Lubdhaka Pergi Ke Hutan pada Kekawin Lubdhaka ?

Si Lubdhaka pergi ke hutan atau Alas mengandung maksud Alas diarikan Dasar, di dalam hutan banyak pohon-pohonan, kata pohon memiliki nama lain Kayu, dari kata Kayu menjadi Kayun. Sehingga Pergi Ke Hutan mengandung maksud Banyak Menimba Ilmu Pengetahuan.

Apa makna kalimat “Mamating Wek, Mong, Gajah dan Warak (Badak)” pada Kekawin Lubdhaka ?

Kata Mamating berarti Memati-mati, kata dasarnya Pati, akar katanya Pat yang memiliki arti Sumber. Kata Wek (Babi Hutan) dalam bahasa Jawa Kuna menjadi kata Wraha yang diartikan Wahyu atau Anugerah. Kata Mong (Macan) dalam bahasa Jawa Kuna adalah Wyagra, berasal dari kata Wi dan Yagra, kemudian kata Yagra menjadi Jagra, yang dapat diartikan Tidak Tidur, mengandung tujuan kebenaran adalah Kesadaran Mutlak atau Cetana.

Binatang Gajah dalam bahasa Sanskerta adalah disebut Asti, dijadikan kata ulang menjadilah Astiti yang memiliki arti Yasa Kerthi atau Berbhakti.

Kata Warak (Badak) adalah termasuk binatang suci menurut keyakinan dan kepercayaan Hindu seperti dituliskan dalam Lontar Empulutuk banten Bahem Warak artinya Darah Badak biasanya dipakai tetandingan banten. Oleh karena itu Kata Warak mengandung makna Kesucian.

Apa makna Ada Sebuah Telaga pada Kekawin Lubdhaka ?

Simbul Bathiniah

Apa makna Waktu Si Lubdhaka Menuju Hutan Hingga Kembali Ke Rumah pada Kekawin Lubdhaka ?

Simbul pelaksanaan Brata Siwaratri selama 36 jam

Apa makna Munculnya Sebuah Linggam dari Telaga pada Kekawin Lubdhaka ?

Merupakan simbul keberhasilan seorang Yogi, melihat kekuatan Sang Hyang Widhi secara Spiritual

Apa makna si Lubdhaka naik ke pohon Bila ?

....irika tikang nisada mamenek pang ing maja....

Mengandung arti simbolik yang menggambarkan bahwa ia adalah bertumpu pada atau berpangkal tolak dari keteguhan hati atau ketekunan.

Apa makna Pohon Bila (Maja) pada Kekawin Lubdhaka ?

Kata Bila mengalami perubahan menurut hukum perubahan bunyi pbw atau drl sehingga menjadi Wira yang artinya Teguh, Tapa atau Satya.

Apa makna Memetik Daun Bila 108 pada Kekawin Lubdhaka ?

Melaksanakan introspeksi diri, mencari pengetahuan yang tiada henti hingga mencapai titik kesucian ( Yoga 108, bila dijumlahkan = 9 ). Angka 9 adalah angka terbesar, sebagai simbolik dari perbuatan baik si Lubdhaka yang didasari oleh keteguhan hati atau ketekunan memuja Dewa Siwa adalah telah mencapai puncaknya.

Apa makna Peperangan Laskar Sang Hyang Siwa Dengan Sang Hyang Yamadipati pada Kekawin Lubdhaka ?

Merupakan simbul akan selalu ada “pertempuran” dalam diri manusia, diantara Subhakarma dengan Asubhakarma.

Apa yang dapat disimpulkan dari Lontar Kekawin Lubdhaka ?

Bahwa Siwa Ratri bertitik berat pada latihan bathin sebenarnya, bukan pada upacara. Secara mythologi, secara kedewaan dinyatakan bahwa pada Purwaning Tilem Kepitu, Sang Hyang Ciwa melakukan yoganya, selama semalam penuh. Yoga Sang Hyang Ciwa atau kehendak suci dari Ida Sang Hyang Widhi untuk berhubungan dengan Jiwa-atma dari manusia, hanya akan berhasil bilamana mendapat reaksi dari umat-Nya. Umat hendaklah mempunyai kesiapan bathin untuk menyongsong serta menampung tibanya pengestu pada dirinya masing-masing yang dipancarkan oleh Hyang Ciwa dalam yoganya pada malam itu.

Bagaimana kita menyongsong Siwaratri ?

Dimulai pada pagi hari panglong ping 14 melaksanakan suci laksana, kemudian puasa, latihan bathin. Dilanjutkan dengan melaksanakan Bhatara Siwaratri Sambang yaitu duduk dalam samadhi, menenangkan hati semalam suntuk. Atau dapat pula dilakukan dengan hiburan suci; mapepawosan, membaca lontar, pustaka, Dharma Sastra, Itihasa sehingga selama 12 jam (1 malam) itu benar-benar kita tidak tidur.


Kamis, 12 Januari 2023

PELAKSANAAN NIWRTTI MARGA DAN PRAWRTTI MARGA

NASKAH DIALOG : MIMBAR AGAMA HINDU

TEMA 3 : PELAKSANAAN NIWRTTI MARGA DAN PRAWRTTI MARGA

Ditulis untuk kegiatan BPH (Badan Penyiaran Hindu) Provinsi Banten oleh Admin Blog.

 


Prolog – Durasi 5 Menit

Menceritakan kegiatan umat Hindu

1.      Kegiatan Karawitan diiringi gambelan Geguntangan.

2.      Dibuka oleh presenter

3.      Dilanjutkan dengan dialog (sesuai skrip)




Dialog – durasi 15 Menit

Presenter & Narasumber : Om Swastiastu,

Presenter : Bapak Ibu se dharma yang berbahagia, pada Mimbar Agama Hindu kali ini telah hadir narasumber dihadapan kita, Ida Pandita Dharma Putra Paseban, Beliau akan memberikan pencerahan mengenai Niwrtti Marga Dan Prawrtti Marga.

 

Presenter : Apa yang disebut Prawrtti dan Niwrtti itu Ratu Pandita..

Pandita   : Pemirsa televisi yang berbahagia, Secara sederhana Prawrtti Marga dan Niwrtti Marga dapat disebutkan sebagai berikut.

                   Prawrtti Marga adalah suatu jalan atau cara yang utama untuk mewujudkan rasa bakti ke hadapan Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa dengan tekun melakukan Tapa, Yajna dan Kirti.

                   Niwrtti Marga adalah suatu jalan atau cara yang utama untuk mewujudkan rasa bakti ke hadapan Sang Hyang Widhi dengan tekun melaksanakan yoga dan semadhi.

 

Presenter : Ratu Pandita, dari kedua jalan tersebut mana yang lebih baik ?

Pandita  :  Pemirsa yang budiman dan umat Hindu yang berbahagia. Dalam ajaran agama kita dijelaskan “Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku-terima dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku, Oh Parta”

                   Berdasarkan bunyi sloka Bhagawad Gita IV. 11 tersebut menyatakan betapa Sang Hyang Widhi menemui tiap orang yang memohon karunia-Nya dan menerima mereka menempuh jalan-Nya. Beliau tidak menghapus harapan setiap orang yang tumbuh menurut kodratnya dan Beliau tidak berat sebelah atau pilih kasih.

                   Agama kita mengajarkan dengan jalan upacara, jalan sembahyang, jalan falsafah dan jalan meditasi untuk berhubungan dengan-Nya

                   Dalam kitab Agastya parwa menyebutkan cara-cara umat Hindu untuk berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

                   “… lewih tekan tapa saking yajna, lewih tekan yajna saking kirti, ikan tigan siki prawrtti-kadharman ngaran ika, kunan ikan yoga yeka niwrtti kadharma ngaranya..”

                   Artinya :” … adapun keutamaan daripada tapa atau pengendalian diri munculnya dari Yajna, sedangkan keutamaan daripada yajna munculnya dari kirti atau pengabdian, demikianlah ketiganya itu disatukan yang disebut prawrtti, tetapi mengenai ajaran yoga itu disebut dengan niwrtti-kadharman “

 

Presenter : Ratu Pandita, dalam kehidupan sehari-hari kita lihat dimasyarakat ada perbedaan pandangan tentang ke-Hindu-an, ada yang merasa paling Hindu. Bagaimana pandandang Ratu Pandita ?

Pandita     : Pemirsa yang budiman. Dari kedua jalan utama, Niwrtti Marga Dan Prawrtti Marga, tentunya kita jabarkan ke dalam kehidupan kita sehari-hari, kita diberikan kebebasan  atau keluwesan untuk memilih dan melaksanakannya. Jadi tidak ada yang merasa paling Hindu.

                   Niwrtti Marga dapat dilaksanakan dengan menekuni ajaran yoga marga, pelaksanaan yoga merupakan sadhana dalam mewujudkan semadhi yaitu penyatuan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kitab Bhagawad Gita VI. 4 disebutkan sebagai berikut :

                   “Bila ia merasa bebas sungguh dari ikatan objek panca indria dan kerja, dan membuang segala maksud atau keinginan, maka ia dikatakan mencapai yoga”

                   Mencapai yoga disebut sebagai yogin, seseorang yang tekun melakukan yoga dengan penuh keyakinan, desiplin dan dapat menyatukan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa.

 

Presenter : Setelah memahami Niwrtti Marga, lalu apa yang dimaksud dengan Prawrtti Marga Ratu Pandita

Pandita    : Umat sedharma yang berbahagia. Prawrtti Marga adalah cara atau jalan yang utama untuk mewujudkan rasa bakti ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dengan tekun melaksanakan tapa, Yajna dan Kirti.  Akan kami jelaskan satu persatu :

1.      Tapa, kata Tapa berarti pengendalian diri untuk memuja Sang Hyang Widhi. Setiap umat Hindu memiliki kewajiban untuk melakukan pengendalian diri. Pelaksanaan Tapa mengikuti ajaran Yama dan Nyama Brata.

Kitab Manusmrti ( Manawa Dharma Sastra V. 109) menyebutkan sebagai berikut :

“Adhir gatrani cuddhyanti, manah satyena cuddhayati, widyo tapobhyam bhutatma, buddhir jnanena cuddhyati “

Artinya : “Tubuh dibersihkan dengan air, Pikiran dibersihkan dengan kejujuran, Roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, Akal dibersihkan dengan kebijaksanaan “

2.      Yajna, yang dimaksud dengan Yajna adalah suatu persembahan yang dilaksanakan oleh umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya yang dilandasi dengan rasa bakti dan ketulusan hati. Pelaksanaan Yajna disesuaikan dengan Desa, Kala dan Patra.

 

3.      Kirti, Kirti adalah suatu usaha, kerja (karma) dan pengabdian yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk menghubungkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta dengan manifestasi-Nya. Kirti adalah wujud kerja umat Hindu dalam rangka melaksanakan swadharmanya, baik dharma negara maupun dharma agama.

 

Presenter : Ratu Pandita, mohon pencerahan mengenai Yajna.

Pandita : Secara umum kita telah mengenal Panca Yadnya, sudah sering kita melaksanakannya. Kalau dari waktu pelaksanaannya ada yang namanya Nitya Karma yaitu pelaksanaan yajna setia hari, seperti ber-Trisandya sebanyak 3 kali dalam sehari, pagi, siang dan sore. Ada yadnya sesa atau banten saiban yang dilakukan selesai memasak, merupakan penyampaian rasa syukur ke  hadapan Sang Hyang Widhi atas waranugraha-Nya yang akan kita nikmati.

                   Dalam Bhagawad Gita III.13 disebutkan

                   Yang baik makan setelah upacara bhakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat bagi diri sendiri ini sesungguhnya makan dosa.

                   Yang ketiga ada Yajna berdasarkan hari-hari tertentu yang disebut dengan Naimitika karma. Pelaksanaan yajna ini mengikuti waktu-waktu tertentu, Wariga, Panca Wara, Sapta Wara, dan Wuku. Seperti Hari Raya Saraswati, Siwaratri, Galungan dan Kuningan, perayaan Nyepi dan lain-lain.

 

Presenter : Ratu Pandita telah menjelaskan mengenai Kirti, yang merupakan bagian dari Prawrtti Marga. Bagaimana wujud dari pelaksanaan Kirti dimasyarakat ?  mohon pencerahannya

Pandita     : Kirti mengajarkan kita pada hidup damai dalam kerja. Bila setiap umat dapat bekerja berdasarkan kirti maka tidak akan terjadi perselisihan di antara pekerja-pekerja. Berikut kami contohkan kegiatan Kirti di masyarakat.

a.      Membangun dan memelihara tempat suci (pura)

b.      Memberikan dana punia kepada orang suci atau orang lain yang sangat membutuhkan.

c.       Membuat dan mempersiapkan sarana upacara dalam rangka pemujaan atau pujawali

d.     Melaksanakan aktivitas kerja bhakti (ngayah) pada tempat-tempat suci

e.      Kegiatan lain yang berhubungan dengan aktivitas agama

 

Presenter : Dengan telah dijelaskannya tentang Niwrtti Marga Dan Prawrtti Marga dengan sangat jelas. Dapat kita pahami bersama, dalam Hindu tidak ada yang merasa paling Hindu, semua dihadapan Tuhan adalah sama, tergantung pada pengabdian dan rasa tulus ikhlas kita. Sang Hyang Widhi menemui tiap orang yang memohon karunia-Nya dan menerima mereka menempuh jalan-Nya. Beliau tidak menghapus harapan setiap orang yang tumbuh menurut kodratnya dan Beliau tidak berat sebelah atau pilih kasih.

Umat Hindu Sedharma, demikianlah acara Mimbar Agama Hindu pada hari ini, semoga kita senantiasa dalam lindungan Ida Sanghyang Widhi Wasa.

 

Presenter & Narasumber : Om Santih-Santih-Santih Om

Selasa, 10 Januari 2023

Gargita Swara Sekeha gong Bali di Ciledug Tangerang Banten

Gargita Swara Sekeha gong Bali di Ciledug Tangerang Banten 

Kami umat Hindu Banten selalu guyub dalam melaksanakan Panca Yadnya. Sekeha gong Bali di Ciledug Tangerang Banten bernama Gargita Swara yaitu grup sekeha gong bapak-bapak, sedangkan Dharma Gita grup sekeha gong ibu-ibu yang selalu mengiringi kegiatan-kegiatan tabuh upacara Yadnya, baik itu tabuh Dewa Yadnya, tabuh Pitra Yadnya, tabuh Rsi Yadnya, tabuh Manusa Yadnya, tabuh Butha Yadnya.





Mohon di SUBSCRIBE n LIKE, Terima Kasih

SIMAK VIDEONYA PADA LINK DIBAWAH INI !!

Tabuh Bebarongan Sekaha Gong PEWA Banjar Serang Banten https://youtu.be/TtHx3WC1daw

Tabuh Tari Rejang Sari Sekaa Gong Banjar PEWA Serang Banten https://youtu.be/BqAa-CNHcpY

KEREN ! Baleganjur Muda Mudi Hindu Tangerang Selatan https://youtu.be/4NMH9oMGxUc

Belajar Tabuh Tari Rebong Puspa Mekar https://youtu.be/dpPGTs4myf0

Baleganjur Permuditha Muda-Mudi Tangerang https://youtu.be/POztTk4fK-Y

Belajar Calung Tabuh Tari Rejang Dewa https://youtu.be/wjeEmnksS-E


Kegiatan pujawali pura dharma sidhi selalu diiringi Panca Gita dan Topeng wali dengan penabuh sekeha Gargita Swara dan Sekeha Dharma Gita. Tabuh Terbaik, Sekeha Gong Gargita Swara, Banjar Ciledug Tangerang, Tabuh Lelambatan Telu, Tabuh Gari, Tabuh Gilak Penutup, Tabuh Bebarongan, Tabuh Gesuri,Tabuh Chopin Larung, Tabuh Hujan Mas

Tari Palawakya, Tari Cendrawasih, Tari Sekar Jagat, Tari Topeng Tua, Tari Arsa Wijaya, Tari Topeng Sidhakarya, Tabuh Penasar, Tari Rejang Dewa, Tari Rejang Renteng, Tari Dang Cita Utsawa, , , , Tabuh Gilak Penutup, Tabuh Tetangisan, tabuh werda lumaku, tabuh bapang penasar, tabuh gending jaran sirig, tabuh penyida karyan

Rangkaian Tari Topeng Wali

Topeng Keras - tabuh gilak

Topeng Tua - tabuh werda lumaku

Topeng Penasar Kelihan - tabuh bapang penasar

Topeng Penasar Cenikan (Kartala) - tabuh bapang penasar

Topeng Dalem Arsa Wijaya - tabuh gending jaran sirig

Topeng Peranda

Topeng Bebondresan

Topeng Sidakarya - tabuh penyida karyan


Senin, 09 Januari 2023

ESSAY : STRATEGI MENANGANI SAMPAH SISA UPAKARA

ESSAY : STRATEGI MENANGANI SAMPAH SISA UPAKARA


Masalah sampah sisa persembahyangan yang muncul di media sosial semakin mengganggu kita sebagai umat Hindu. Tak peduli pura sebesar dan semegah Pura Kita, juga tidak luput dari sampah dari pemedek, yang berupa Canang Sari, kwangen, kulit tipat, kulit buah jeruk ataupun gelas plastik minuman. Terkadang adapula kulit daksina, kelapa, ceper, tamas, taledan yang berserakan disudut-sudut pura. Walaupun sebenarnya dari dahulu juga sudah ada sampah, sisa Kwangen atau  Canang Sari, dan lain-lain. Masih sangat jelas dalam ingatan saya, saat masih usia anak-anak di desa, setiap piodalan selalu berebut untuk mencari sisa kwangen atau canang sari, barangkali ada sesari yang luput diambil oleh pemangku. Dapat terkumpul hingga 100 rupiah sangatlah  besar pada tahun 70-an. Lalu kenapa setelah informasi global seperti saat ini, sampah tersebut menjadi sangat mengganggu ?

Yang manakah sampah upakara dan yang mana pula sisa upakara ?  terlebih dahulu harus kita sepakati bersama antara sampah dan sisa upakara, walau dari segi bentuk rupa kedua hal ini sama. Sisa Upakara adalah Upakara yang telah dihaturkan kepada Tuhan dan segala manifestasiNya termasuk kepada sang Bhutakala, terletak pada tempat-tempat tertentu. Seperti di pelinggih dan di sor pelinggih, ada pula di tengah-tengah pemedal, kori agung atau candi bentar.

Seperti kita ketahui, salah satu fungsi Upakara adalah sebagai alat konsentrasi dan sebagai persembahan kurban suci. Dengan melihat upakara, pikiran manusia sudah teringat dan terarah pada yang dihadirkan untuk dipuja. Teringat akan sang Bhutakala atau mahluk lain yang berada diantara kita, yang patut kita persembahkan kurban suci agar mereka selalu senang, tenang, tentram sehingga tidak mengganggu kegiatan kita. Sisa persembahan atau upakara ini tidak langsung dipindahkan atau dibersihkan, sebagai tanda prosesi upacara sudah berlangsung.

Setelah kita memahami sisa upakara, sekarang kita kembali ke sampah. Sampah adalah sesuatu yang dibuang, yang telah tidak berguna. Sampah pada umumnya tidak berada di tempat-tempat tertentu seperti pelinggih atau pintu masuk/pemedal. Di lingkungan pura, sampah yang walau bentuknya sama dengan sisa upakara ini dapat dijumpai pada tempat-tempat umum, seperti lapangan parkir kendaraan atau tempat teduh dibawah pohon yang rindang.

Strategi menangani sampah dan sisa upakara tentunya dengan cara yang berbeda, karena kedua hal tersebut memang berbeda. Sisa upakara akan dibersihkan setelah kegiatan selesai atau Nyineb, semua akan dilungsur kemudian dinikmati sebagai prasadam. Dipilah-pilah kembali, mana buah, tumpeng, dan mana yang janur, bunga dan lainnya yang tidak bisa dimakan. Kegiatan ini sudah berlangsung secara turun-temurun pada setiap perhelatan pujawali atau piodalan. Semua berlengsung dengan baik, sehingga sampah yang dihasilkan tidak akan mengganggu keindahan lingkungan pura. 

Kemudian masalah sampah perlu penanganan secara fisik maupun mental. Fisik, berupa kegiatan pembersihan langsung oleh petugas kebersihan, dengan menyapu secara berkala dan menyediakan tempat-tempat sampah ditempat-tempat umum. Membuat papan peringatan, agar umat menjaga kebersihan, salah satunya seperti “KEBERSIHAN ADALAH BAGIAN DARI KARMA BAIK”. Papan peringatan dengan menyentuh hati umat, bahwa kebersihan adalah bagian dari karma baik, dimana hukum karma yang sangat dipercaya oleh umat kita. Sehingga selain secara fisik, ini pula merupakan cara penanganan secara mental.

Satu hal yang dapat kita kerjakan sebagai pemedek adalah dengan menyiakan plastik kantong kresek sendiri saat akan nangkil. Bila diperlukan adanya upaya Panitia piodalan untuk menyediakan kantong kresek gratis bagi umat yang akan melaksanakan persembayangan sehingga ada rasa tanggungjawab, bahwasanya selain melaksanakan persembahyangan juga melaksanakan karma baik dengan tidak membuang atau meninggalkan sampahnya di lingkungan pura.

Dengan adanya penekanan bahwa Kebersihan bagian dari sebuah Karma baik, tentunya akan memberi efek yang sangat baik pula. Kita ketahui bersama bahwa, umat Hindu sangat percaya dengan Hukum Karma, baik yang kita lakukan, baik pula yang akan kita terima, demikian sebaliknya. Hukum Karma menjadi suatu hal yang perlu mendapatkan peningkatan pemahaman dan penerapan di lapangan, lebih-lebih kita sudah memahami tentang TRI HITA KARANA.

Penulis : Admin Blog


Sabtu, 07 Januari 2023

Dana Punia Sarassamuscaya Sloka 174

Dana Punia Sarassamuscaya Sloka 174


arthavanarthsmarthibiyo na dadatyatra kogunah, ekaiva gatirarthasya danamanya vipattayah.

 

dana punia sloka

Kuneng, an wwangujar sang sugih maweh dana ring kasyasih, tan padon ika, apan kewala tunggal doning mas, danakena juga karih, len sangkerika donya, lara katiwasan ngaranika.

 

Artinya

Akan tetapi, jika menggembar-gemborkan orang yang kaya memberi sedekah kepada orang yang patut dikasihani, sebenarnya tiadalah gunanya itu, sebab hanya satu saja gunanya kekayaan, yaitu untuk disedekahkan, jika lain dari pada itu kegunaannya disebut menimbulkan duka kemiskinan.

 

Ulasan

Apa yang menjadikan pembicaraan bahwa apabila mereka memberikan sedekah dengan memberitahukan kepada orang lain itu tidaklah baik dilakukan, karena kalau sudah mau memberi dana punia atau sedekah hendaklah jangan diketahui orang banyal.

Oleh karena itu mepunia harus berdasarkan keikhlasan hati sehingga akan betdampak pada bagaimana kehidupan dalam masyarakat saat ini.

Jumat, 06 Januari 2023

Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan

Cara Berkomunikasi Dengan Tuhan 

Dalam susastra Hindu disebutkan, cara berkomunikasi dengan Tuhan lewat pemujaan ada empat. Ke-empat-nya itu adalah Puja, Prathana, Japa dan mantram.     

   

Puja adalah pengucapan mantram yang sudah baku untuk memuja kebesaran Tuhan. Dalam Puja ini kita bisa memohon suatu anugrah kepada Tuhan lewat Istadewata. Melakukan Puja Trisandya dan Karamaning Sembah adalah contoh dari melakukan puja ini. Ritual ini bisa dilakukan bersama-sama, tetapi ada aturannya baik dberupa cara duduk, mau pun sarana. Kapan sembahyang memakai bunga, kapan memakai kuangen, kapan tangan kosong, misalnya.

Prathana adalah berdoa yang sebenarnya. Kita berdoa melakukan permohonan kepada Tuhan, tetapi tidak dibatasi oleh sikap tubuh maupun sarana. Mantram pun tak harus baku, bahkan bisa bebas dengan dengan bahasa sehari-hari. Juga bisa tak terucapkan, hanya di dalam hati. Misalnya, ketika mendengar ada seorang yang meninggal dunia, kita langsung memberikan doa. Atau ada rintangan di jalan. Apakah saat itu kita sedang menyetir mobil atau minum kopi di ruang tamu. Karena begitu bebasnya dan sifatnya pun pribadi, berdoa cara ini tak harus bersama-sama.

Japa adalah pengucapan nama suci Tuhan secara berulang-ulang, baik dihitung dengan sarana genitri atau japamala, mau pun tak terbatas. Japa selain itu mendekatkan diri pada Tuhan juga bagus untuk mendisiplinkan pikiran. Japa bisa dilakukan bersama-sama, tetapi karena tujuan sering tidak sama, begitu pula berapa lama japa tidak sama, maka lebih baik dilakukan sendiri.

Mantram adalah doa yang diucapkan dengan kata-kata yang sudah baku yang diambil dari kitab Weda. Tujuannya jelas, cara pengucapannyapun baku, meski iramanya bisa mengikuti budaya setempat. Mantram ini yang biasa dilakukan oleh seorang sulinggih dalam mempin ritual sebelum mengajak umat sembahyang bersama. Tidaklah mungkin mantram dilantunkan bersama-sama, kecuali Puja Trisandhya yang sesungguhnya adalah enam bait mantram  dari berbagai sumber disatukan. Puja Trisandhya adalah kearifan Hindu Nusantara agar kita punya sarana untuk berdoa bersama. Di luar Bali, terutama umat Hindu etnis Jawa, seringkali melakukan Panca Sembah juga dengan melantunkan bersama-sama. Karena mereka taat dengan pedoman baku yang sudah disusun dan disebarkan. Namun di Bali agak sulit, karena sulinggih atau pemangku seringkali melantunkan mantram yang berbeda dari yang sudah dijadikan pedoman dalam buku. Misalnya, mantram kedua Panca Sembah tatkala memuja Hyang Raditya untuk “memohon kesaksian”. Ada banyak jenis mantram untuk memuja Raditya, kalau ternyata umat dan sulinggih saling beda mengambil sumber, bisa kacau dan selesainya pun tak bersama. Karena itu umat cukup diam saja menunggu mantram sulinggih.

Ke-empat cara berkomunikasi dengan Tuhan penting untuk dibedakan agar ritual yadnyanya lebih rapi dan khusyuk. (Sumber Kutipan Dharma Wacana : Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda )