JENGAH
Dalam konteks budaya Bali, "jengah" memiliki makna
lebih dalam, terkait dengan nilai-nilai agama Hindu dan etos kerja keras untuk
menghindari rasa malu. "Jengah" menjadi dorongan untuk bekerja
keras, bangkit dari keterpurukan, dan menjaga harga diri. Sikap jengah
diyakini sebagai sikap yang mampu memperkuat diri untuk tampil berkualitas.
Jengah itu “bukannya marah”. Begitu banyak nilai-nilai atau
ajaran agama Hindu terekspresi dan menjadi nilai-nilai budaya Bali, salah
satunya adalah jengah, yang dalam bahasa sansekertanya disebut Hrih yang
diartikan sebagai ‘memiliki rasa malu’. Rasa malu itu berkaitan dengan sloka
dalam Bhagavadgitha, ketika Arjuna menolak untuk berperang melawan Kurawa.
Ketika itu Khresna menasehati Arjuna, agar tidak melakukan perbuatan yang
memalukan atau hina, sebagai ksyatria yang menolak berperang. Perang yang akan
dilakukan adalah perang melawan adharma (kebatilan) dalam rangka menegakkan
dharma (kebenaran).
Melakukan jengah analoginya bagaikan melaksanakan perang,
(urip sekadi perang). Keberhasilan dari jengah adalah diraihnya kesuksesan,
direbutnya kemenangan dan diperolehnya jalan dharma serta berujung pada
pemuliaan Tuhan. Dalam konteks budaya, perkataan jengah memiliki konotasi
sebagai semangat guna menumbuhkan inovasi untuk bangkit dari keterpurukan.
Jengah merupakan dasar sifat-sifat dinamik yang menjadi pangkal segala
perubahan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu perang dalam diri sendiri
adalah melawan rasa malas untuk berkegiatan sosial di masyarakat (Ngayah). Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu