Pinandita Pura |
"Adalah pohon kayu yang condong bengkok dan tidak subur hidupnya, dimakan ulat-ulat kayu, lagi dijadikan rumah oleh semut, dirongrong oleh anai-anai, luka dan hangus, tumbuhnya di atas kerikil, maka batangnya tak bergetah karena tumbuh di tempat yang gersang. Demikianlah keadaan pohon kayu itu sangat merana, namun demikian masih lebih baik keadaannya dibandingkan kedukaan si miskin (duhkhaning daridra) yang senantiasa bersusah hati mengharap-harapkan sesuatu, apalagi ia sampai menjadi budak dalam mengharapkan sesuatu pemberian ", demikian tersurat dalam kitab Sarasamuccaya.
Kitab ini yang merupakan intisari dari Kitab Mahabharata (sara-sara sang hyang asatadasaparwa) ada memberikan kita uraian yang dapat dijadikan renungan tentang Sukha dan Dhuka. Uraian yang sangat mengesankan kita itu dapat dijadikan pegangan dan landasan dalam berfikir, berkata dan bertingkah laku ; Apan ikang sukha dukha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung kalobhan sangkanika, ikang kalobhan punggung sangkanika, matangnyan punggung sangkaning sangsara ".
"Sebab suka-duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan, kebodohan ditimbulkan oleh loba, sedang loba itu kebodohanlah asalnya, oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu "
Punggung atau kebodohan adalah penyebab adanya kesengsaraan atau Dukha. Maka hilangnya kapunggungan adalah tujuan hidup manusia yang terpenting. Karena punggung menyebabkan ahangkarajnana (pikiran yang mengaku-aku dan lobha) maka hal itu pertama-tama harus dilenyapkan untuk dapat terlepas dari kesengsaraan.
Maka tujuan hidup menjadi manusia yang sesungguhnya begitu sulit didapat adalah kesempatan untuk mencapai alam yang lebih tinggi, untuk menolong diri kita tidak jatuh ke lembah sangsara : "Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, karena ia dapat menolong dirinya dari sengsara dengan jalan berbuat baik (makasadhanang subhakarma), demikianlah keutamaan menjelma menjadi manusia ", demikian disuratkan dalam Sarasamuccaya.
Subha-karma itulah jalan untuk membebaskan diri dari sengsara atau dukha, jalan untuk mencapai sukha. Bila dalam hidup ini seseorang tidak melakukan subha-karma, ia diumpamakan seorang sakit yang pergi ke suatu tempat yang tidak ada obat-obatan (wang alara mara ring desa katunan tamba). Kitab suci ini juga menyuratkan bahwa di antara semua mahluk, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik maupun buruk (gumawayaken subhasubhakarma), adapun gunanya menjadi manusia adalah untuk "melebur" perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik (panentasakena ring subhakarma juga ikang asubhakarma).
Itulah keutamaan menjadi manusia, yaitu dapat melaksanakan subhakarma, lalu melebur asubhakarma dengan subhakarma itu. Subha-asubhakarma juga dinyatakan akan menuntun kita ke akhirat, ke sorga atau neraka (gawenya subha-asubha juga sahayanta anuntunakena ri peno dlaha). Subhakarma menuntun ke sorga, asubhakarma menuntun ke neraka, subha karma menyebabkan menemui sukha, asubha karma menyebabkan menemui duhka.
Dalam kitab ini juga ditegaskan bahwa ada beberapa tindakan kongkrit yang dapat menuntun orang ke alam sorga (sukha) terutama bagi para pemimpin yaitu membuat berbagai fasilitas umum, yang dapat menyenangkan masyarakat luas, beberapa di antaranya ialah; membuat sumber air, balai masyarakat untuk hiburan, balai musyawarah, jalan dan pasar, bendungan atau waduk, dll. Inilah subha-karma, baik bagi masyarakat maupun sang pemimpin. Namun bila sang pemimpin dicekoki oleh ahangkarajnana, oleh kelobaan maka dukha yang ditemuinya.Sumber bacaan buku Wija Kasawur (2) Ki Nirdon. (RANBB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu