Bhagawan Drona |
Bhagawan Wraspati mempunyai putra bernama Baradwaja yang pernah memerintah di Negeri Antasangin. Tatkala memasuki masa wanaprastha ia melaksanakan tapa sebagai Brahmana Pandita di tengah hutan, berita ini terdengar oleh sahabatnya, Raja Pancala. Ia begitu terharu, karena ia tahu, sahabatnya masih mempunyai putra yang masih bocah bernama Kanwa dan Kumbayana.
Akhirnya, ia putuskan untuk menitipkan putra mahkotanya, Sucitra, yang juga masih usia kanak-kanak padanya. Untuk diberikan pendidikan ilmu kawisesan. Sucitra, sangat senang berguru pada Rsi Baradwaja. Di mata Sucitra, Baradwaja adalah sosok ayah yang penuh perhatian. Begitu pula Kanwa dan Kumbayana sahabat kecilnya, selalu mengalah dan memanjakannya. Terlebih-lebih Kumbayana, ia merasakan adanya rasa melebihi sosok saudara.
Sucitra mewarisi ilmu kepemimpinan dari Baradwaja. Sedangkan Kumbayana yang rajin berlatih kanuragan mewarisi ilmu memanah dari orangtuanya. Sekian tahun, mereka bersama. Akhirnya, tiba saatnya mereka berpisah. Raja Pancala menjemput putranya.
Kedua remaja itu berpelukan. Tak tahan, airmata mereka menetes, meliuk membuat sungai kecil di pipi. Mengharukan sekali. Sucitra kemudian membuat usulan. Kumbayana membisu. Ia tak bisa menolak ajakan Sucitra.
“Baiklah, ku takbisa memaksa, kelak ketika dewasa datanglah ke istanaku, kita kendalikan bersama kerajaan Pancala. Aku janji, demi Dewata, ku takakan menyia-nyiakan kamu….datanglah ke istanaku.”
“Baiklah, Sucitra. Aku percaya padamu. Aku janji, suatu hari nanti kuakan mencarimu.”
Hidup semakin redup sejak Sucitra pergi. Keceriaan Kumbayana berubah, ia tak lagi senang bermain kesana-kemari. Ia lebih senang diam di pertapaan, membaca sastra menemani Rsi Baradwaja.
Seiring waktu bertambah sekian jilid buku dilahapnya. Vedanta yang paling sulitpun dipelajarinya. Akhirnya, di masa dewasa ia tumbuh menjadi pemuda cerdas. Selain sakti mandraguna, ia sangat tahan uji, dan menjungjung tinggi nilai-nilai satyawacana (setia pada janji). Ia sangat membenci pada moral orang yang senang ingkar pada janji. Karena, ingkar pada janji akan menyebabkan kepribadian orang terpuruk pada lembah yang paling nista. Keyakinan itu, membawa Kumbayana pada keinginan yang menggebu-gebu utnuk menemui sahabatnya Sucitra.
Rsi Baradwaja, yang mengetahui keinginan putranya, rela hati melepaskannya. Apalagi secara nyata, Kumbayana mampu menunjukkan kemampuan menguasai ilmu filsafat Vedanta dan strategi perang yang tertinggi. “Pergilah, Nanda. Temui sahabatmu Sucitra, kurestui perjalananmu. Kini namamu Drona, yang berarti engkau telah lulus dalam upaya mencapai kepribadian tertinggi.”
Pagi cerah, mentari melumuri pepohonan dengan sinarnya yang sejuk. Perjalanan yang cukup jauh, sampai akhirnya ia harus tertambat pada laut yang luas. Ia berdiri dibatu karang. Ombak menghantam garang. Drona kecewa. Supaya mencapai Pancala. Ia sedapat mungkin, harus mampu berenang melintasi luasnya samudra.
Ia menggeleng, pasrah. Pupus harapan bertemu sahabat lama. Dalam hati ia merutuki nasibnya. Berhari-hari ia tak makan, merenung melaksanakan darana, dyana, semadhi. Mulutnya kering, hanya air laut yang dikirim buih lidah ombak melumuri celah bibirnya. Ia bertekad, kalau tak mampu mencari solusi, biar saja, ia terkubur bersama keinginannya yang menggebu. Akhirnya di puncak ketiadaberdayaan, ia pun bersumpah.
“kalau saja ada yang mampu menyebrangkan diriku, andaikan lelaki akan kujadikan saudara tertua dan menghormatinya seumur hidup. Jika wanita kuperistri….” Sumpahnya.
Sumpah Drona didengar Hyang Guru di Swarga Loka. Beliau, lantas mengutus seorang bidadari bernama Dewi Wilutama. Turun ke dunia untuk menggoda Drona. Dewi Wilutama menyamar menjadi seekor kuda betina.
Saat Drona sedang berusaha menekan keinginan bertemu dengan Sucitra, seekor kuda betina menghampirinya. Uniknya, kuda itu tidak seliar kuda lainnya. Ia datang, lalu mengendus dan menjilati punggung Drona. Saat mata sang kuda bertemu mata Drona. Terjadilah keajaiban, dalam pikiran Drona terangkai kata-kata yang indah. Dan ia terpesona. “Siapakah yang merangkai kata-kata ini ?”
“Aku ? “
Drona celingukan mencari-cari orang yang berkata dalam pikirannya.
“Tataplah mata kuda dihadapanmu. Dan, mohonlah sesuatu.”
“Tak mungkin, aku mengulang suatu permintaan. Pernah kunyatakan, siapaun yang mampu menyebrangkan aku je Negeri Pancala maka kalau ia lelaki akan kuangkat saudara, kalau perempuan kujadikan istri.”
“Ya, aku mampu menyebrangkan dirimu menuju Pancala. Naiklah ke punggungku.”
Drona yang putus asa, akhirnya menunggang punggung kuda betina. Dan, ajaib, kuda itu melesat tanpa rasa takut menyebrangi laut yang luas. Lawaknya, ia mengendarai kuda di darat. Sehari, semalam. Kuda berenang. Sampai akhirnya mereka menemukan daratan.
Awalnya, mata Drona menangkap puncak-puncak karang bermunculan pertanda daratan tak jauh lagi. Saat kaki mereka menginjak pasir. Drona nampak murung, ia teringat kata-katanya. Terbayang sumpahnya. Ia harus menepati semua janji-janjinya. Itulah, naursot (penebus janji) yang harus dilaksanakan. Ia harus mengawini kuda betina itu, untuk menebus janji-janjinya. Karena, kuda itulah yang mampu menyebrangkan dirinya. Di tengah hati yang membuncah, galau. Drona hanya bisa diam merenung. Sementara, ia tak melanjutkan perjalanan.
Ia hanya duduk menghabiskan hari di pantai itu, menjawab pertanyaan yang memenuhi ruang logikanya. “Akankan aku harus mempersunting kuda ? Gila, adakah moral dimataku ! Aku bernama Drona, Vedanta tertinggi telah kuraih !! Alhasil. Semua pertanyaan sulit mampu kujawab. Siapapun ahli Vedanta di pelosok negeri akan menyerah padaku….
Kenyataannya kuharus mempersunting kuda. Mengawini layaknya anak manusia. Ah! Lalu aku harus bagaimana ? Andaikata seorang yang diinisiasi menguasai Weda tidak satyawacana. Tidak menepati janjinya ? Kematian yang pantas dipersembahkan padanya ? Atau ia harus dipermalukan seumur hidupnya.
Pertanyaan-pertanyaan Drona mengalir bagaikan air bah menghantam sendi-sendi kepasrahannya. Ia harus segera memutuskan, mana yang harus dipilih. Menghindar ? atau menebus janjinya (naursot). Akhirnya, ia memilih mengawini kuda betina itu. Langit pun terasa aneh, menyaksikan pernikahan unik yang tak lazim.
Berbulan-bulan mereka menghabiskan hari di pantai Pancala. Kuda betina itu hamil. Semakin hari, semakin nampak buntingnya. Drona semakin setress. Saat ia berjalan, tanpa sengaja seorang nelayan memergokinya. Rupanya, dari dulu, ia sudah diamati. Hanya tak berani menegur.
Karena dianggapnya Drona manusia gila. Bagaimana tidak ? Seorang manusia bermesraan dengan seekor kuda. Manakala Drona sendirian, baru nelayan itu berani menyapa. Diajaknya Drona ke pondoknya, diberinya makan serta pakaian layak. Drona tersentuh dan tiada sengaja ia curahkan seluruh isi hatinya. Mengenai perjalanannya menuju Pancala, sampai akhirnya harus menikahi seekor kuda betina. Nelayan itu, manggut-manggut. Ia tak mampu meringankan beban penderitaan Drona. Ia hanya bisa prihatin.
Dari sinilah, cerita ini berawal. Penderitaan Drona, sampai ke telinga Patih Gandamana, lalu ke telinga Sucitra, yang kini bernama Drupada.“Beristri kuda ?”“Ya, Tuan……”
“Dimana moral manusia seperti itu ? Perbuatan salahtimpal hukumannya berat. Perbuatan asusila yang mencemari desa. Harus diadakan ruwat dengan upacara kurban kalau masyarakat nelayan itu mau selamat, “ kata Drupada, penuh kemuakan.
Suatu hari, Drona sangat panik. Tiba-tiba saja, kuda betina itu rebah. Mengerang, menahan sakit. Rupanya hendak melahirkan. Tiada lama, terdengarlah suara menyayat hati. Tangisan seorang bayi. Drona memungut lalu memangku orok yang terdampar di tumpukan ilalang. Dirangkulnya Drona, bayi itu menangis sejadi-jadinya. Drona hanya bisa bingung. Setelah diperhatikan ternyata si jabang bay sangat mirip dengannya. Lantas, mulut bayi didekatkan pada tetek kuda yang sedang rebah. Bayi itu pun menyusu.
Semakin hari bertambah, bayi itu semakin montok dan sehat. Kemana-mana Drona pergi, kuda itu menyertai. Pada suatu hari, ia hendak menghadap ke istana Sucitra. Kendati dilarang, kuda itu justru membangkang mau ikut jua. Akhirnya, Drona putus asa. Ia mengambil anak panahnya.
Dan, membentangkan pada busurnya. Rencananya, sih menakut-nakuti, namun setan apa yang menyebabkan tangannya lalai, anak panah melesat. Prash..!! Tepat menembus jantung kuda betina. Saat sekarat, meregang nyawa, kuda itu lenyap. Dan, berubah menjadi sosok seorang Dewi yang cantik sekali.
“Wahai Drona, namaku Dewi Wilutama ,” katanya
“Aku seorang bidadari. Aku diutus Hyang Guru untuk menggodamu. Kini, pengabdianku telah berakhir. Aku akan kembali ke Swarga Loka. Namun, sebelum aku pergi. Kutitip anak kita padamu. Rawatlah anak kita, agar menjadi manusia berguna. Anak ini, tadinya belum punya nama. Maka, kuberi nama Aswatama.”
Setelah menyerahkan Aswatama, Dewi Wilutama kembali ke kahyangan. Hanya tinggal Drona dan Aswatama yang merana diguyur sunyi.
Akhirnya, ia putuskan untuk menitipkan putra mahkotanya, Sucitra, yang juga masih usia kanak-kanak padanya. Untuk diberikan pendidikan ilmu kawisesan. Sucitra, sangat senang berguru pada Rsi Baradwaja. Di mata Sucitra, Baradwaja adalah sosok ayah yang penuh perhatian. Begitu pula Kanwa dan Kumbayana sahabat kecilnya, selalu mengalah dan memanjakannya. Terlebih-lebih Kumbayana, ia merasakan adanya rasa melebihi sosok saudara.
Sucitra mewarisi ilmu kepemimpinan dari Baradwaja. Sedangkan Kumbayana yang rajin berlatih kanuragan mewarisi ilmu memanah dari orangtuanya. Sekian tahun, mereka bersama. Akhirnya, tiba saatnya mereka berpisah. Raja Pancala menjemput putranya.
Kedua remaja itu berpelukan. Tak tahan, airmata mereka menetes, meliuk membuat sungai kecil di pipi. Mengharukan sekali. Sucitra kemudian membuat usulan. Kumbayana membisu. Ia tak bisa menolak ajakan Sucitra.
“Baiklah, ku takbisa memaksa, kelak ketika dewasa datanglah ke istanaku, kita kendalikan bersama kerajaan Pancala. Aku janji, demi Dewata, ku takakan menyia-nyiakan kamu….datanglah ke istanaku.”
“Baiklah, Sucitra. Aku percaya padamu. Aku janji, suatu hari nanti kuakan mencarimu.”
Hidup semakin redup sejak Sucitra pergi. Keceriaan Kumbayana berubah, ia tak lagi senang bermain kesana-kemari. Ia lebih senang diam di pertapaan, membaca sastra menemani Rsi Baradwaja.
Seiring waktu bertambah sekian jilid buku dilahapnya. Vedanta yang paling sulitpun dipelajarinya. Akhirnya, di masa dewasa ia tumbuh menjadi pemuda cerdas. Selain sakti mandraguna, ia sangat tahan uji, dan menjungjung tinggi nilai-nilai satyawacana (setia pada janji). Ia sangat membenci pada moral orang yang senang ingkar pada janji. Karena, ingkar pada janji akan menyebabkan kepribadian orang terpuruk pada lembah yang paling nista. Keyakinan itu, membawa Kumbayana pada keinginan yang menggebu-gebu utnuk menemui sahabatnya Sucitra.
Rsi Baradwaja, yang mengetahui keinginan putranya, rela hati melepaskannya. Apalagi secara nyata, Kumbayana mampu menunjukkan kemampuan menguasai ilmu filsafat Vedanta dan strategi perang yang tertinggi. “Pergilah, Nanda. Temui sahabatmu Sucitra, kurestui perjalananmu. Kini namamu Drona, yang berarti engkau telah lulus dalam upaya mencapai kepribadian tertinggi.”
Pagi cerah, mentari melumuri pepohonan dengan sinarnya yang sejuk. Perjalanan yang cukup jauh, sampai akhirnya ia harus tertambat pada laut yang luas. Ia berdiri dibatu karang. Ombak menghantam garang. Drona kecewa. Supaya mencapai Pancala. Ia sedapat mungkin, harus mampu berenang melintasi luasnya samudra.
Ia menggeleng, pasrah. Pupus harapan bertemu sahabat lama. Dalam hati ia merutuki nasibnya. Berhari-hari ia tak makan, merenung melaksanakan darana, dyana, semadhi. Mulutnya kering, hanya air laut yang dikirim buih lidah ombak melumuri celah bibirnya. Ia bertekad, kalau tak mampu mencari solusi, biar saja, ia terkubur bersama keinginannya yang menggebu. Akhirnya di puncak ketiadaberdayaan, ia pun bersumpah.
“kalau saja ada yang mampu menyebrangkan diriku, andaikan lelaki akan kujadikan saudara tertua dan menghormatinya seumur hidup. Jika wanita kuperistri….” Sumpahnya.
Sumpah Drona didengar Hyang Guru di Swarga Loka. Beliau, lantas mengutus seorang bidadari bernama Dewi Wilutama. Turun ke dunia untuk menggoda Drona. Dewi Wilutama menyamar menjadi seekor kuda betina.
Saat Drona sedang berusaha menekan keinginan bertemu dengan Sucitra, seekor kuda betina menghampirinya. Uniknya, kuda itu tidak seliar kuda lainnya. Ia datang, lalu mengendus dan menjilati punggung Drona. Saat mata sang kuda bertemu mata Drona. Terjadilah keajaiban, dalam pikiran Drona terangkai kata-kata yang indah. Dan ia terpesona. “Siapakah yang merangkai kata-kata ini ?”
“Aku ? “
Drona celingukan mencari-cari orang yang berkata dalam pikirannya.
“Tataplah mata kuda dihadapanmu. Dan, mohonlah sesuatu.”
“Tak mungkin, aku mengulang suatu permintaan. Pernah kunyatakan, siapaun yang mampu menyebrangkan aku je Negeri Pancala maka kalau ia lelaki akan kuangkat saudara, kalau perempuan kujadikan istri.”
“Ya, aku mampu menyebrangkan dirimu menuju Pancala. Naiklah ke punggungku.”
Drona yang putus asa, akhirnya menunggang punggung kuda betina. Dan, ajaib, kuda itu melesat tanpa rasa takut menyebrangi laut yang luas. Lawaknya, ia mengendarai kuda di darat. Sehari, semalam. Kuda berenang. Sampai akhirnya mereka menemukan daratan.
Awalnya, mata Drona menangkap puncak-puncak karang bermunculan pertanda daratan tak jauh lagi. Saat kaki mereka menginjak pasir. Drona nampak murung, ia teringat kata-katanya. Terbayang sumpahnya. Ia harus menepati semua janji-janjinya. Itulah, naursot (penebus janji) yang harus dilaksanakan. Ia harus mengawini kuda betina itu, untuk menebus janji-janjinya. Karena, kuda itulah yang mampu menyebrangkan dirinya. Di tengah hati yang membuncah, galau. Drona hanya bisa diam merenung. Sementara, ia tak melanjutkan perjalanan.
Ia hanya duduk menghabiskan hari di pantai itu, menjawab pertanyaan yang memenuhi ruang logikanya. “Akankan aku harus mempersunting kuda ? Gila, adakah moral dimataku ! Aku bernama Drona, Vedanta tertinggi telah kuraih !! Alhasil. Semua pertanyaan sulit mampu kujawab. Siapapun ahli Vedanta di pelosok negeri akan menyerah padaku….
Kenyataannya kuharus mempersunting kuda. Mengawini layaknya anak manusia. Ah! Lalu aku harus bagaimana ? Andaikata seorang yang diinisiasi menguasai Weda tidak satyawacana. Tidak menepati janjinya ? Kematian yang pantas dipersembahkan padanya ? Atau ia harus dipermalukan seumur hidupnya.
Pertanyaan-pertanyaan Drona mengalir bagaikan air bah menghantam sendi-sendi kepasrahannya. Ia harus segera memutuskan, mana yang harus dipilih. Menghindar ? atau menebus janjinya (naursot). Akhirnya, ia memilih mengawini kuda betina itu. Langit pun terasa aneh, menyaksikan pernikahan unik yang tak lazim.
Berbulan-bulan mereka menghabiskan hari di pantai Pancala. Kuda betina itu hamil. Semakin hari, semakin nampak buntingnya. Drona semakin setress. Saat ia berjalan, tanpa sengaja seorang nelayan memergokinya. Rupanya, dari dulu, ia sudah diamati. Hanya tak berani menegur.
Karena dianggapnya Drona manusia gila. Bagaimana tidak ? Seorang manusia bermesraan dengan seekor kuda. Manakala Drona sendirian, baru nelayan itu berani menyapa. Diajaknya Drona ke pondoknya, diberinya makan serta pakaian layak. Drona tersentuh dan tiada sengaja ia curahkan seluruh isi hatinya. Mengenai perjalanannya menuju Pancala, sampai akhirnya harus menikahi seekor kuda betina. Nelayan itu, manggut-manggut. Ia tak mampu meringankan beban penderitaan Drona. Ia hanya bisa prihatin.
Dari sinilah, cerita ini berawal. Penderitaan Drona, sampai ke telinga Patih Gandamana, lalu ke telinga Sucitra, yang kini bernama Drupada.“Beristri kuda ?”“Ya, Tuan……”
“Dimana moral manusia seperti itu ? Perbuatan salahtimpal hukumannya berat. Perbuatan asusila yang mencemari desa. Harus diadakan ruwat dengan upacara kurban kalau masyarakat nelayan itu mau selamat, “ kata Drupada, penuh kemuakan.
Suatu hari, Drona sangat panik. Tiba-tiba saja, kuda betina itu rebah. Mengerang, menahan sakit. Rupanya hendak melahirkan. Tiada lama, terdengarlah suara menyayat hati. Tangisan seorang bayi. Drona memungut lalu memangku orok yang terdampar di tumpukan ilalang. Dirangkulnya Drona, bayi itu menangis sejadi-jadinya. Drona hanya bisa bingung. Setelah diperhatikan ternyata si jabang bay sangat mirip dengannya. Lantas, mulut bayi didekatkan pada tetek kuda yang sedang rebah. Bayi itu pun menyusu.
Semakin hari bertambah, bayi itu semakin montok dan sehat. Kemana-mana Drona pergi, kuda itu menyertai. Pada suatu hari, ia hendak menghadap ke istana Sucitra. Kendati dilarang, kuda itu justru membangkang mau ikut jua. Akhirnya, Drona putus asa. Ia mengambil anak panahnya.
Dan, membentangkan pada busurnya. Rencananya, sih menakut-nakuti, namun setan apa yang menyebabkan tangannya lalai, anak panah melesat. Prash..!! Tepat menembus jantung kuda betina. Saat sekarat, meregang nyawa, kuda itu lenyap. Dan, berubah menjadi sosok seorang Dewi yang cantik sekali.
“Wahai Drona, namaku Dewi Wilutama ,” katanya
“Aku seorang bidadari. Aku diutus Hyang Guru untuk menggodamu. Kini, pengabdianku telah berakhir. Aku akan kembali ke Swarga Loka. Namun, sebelum aku pergi. Kutitip anak kita padamu. Rawatlah anak kita, agar menjadi manusia berguna. Anak ini, tadinya belum punya nama. Maka, kuberi nama Aswatama.”
Setelah menyerahkan Aswatama, Dewi Wilutama kembali ke kahyangan. Hanya tinggal Drona dan Aswatama yang merana diguyur sunyi.
Kumpulan Dongeng Hindu olih Putu Sugih Arta