Jumat, 19 Mei 2017

STATUS DAN KEDUDUKAN DIKSITA

STATUS DAN KEDUDUKAN DIKSITA
jagatkartta bogor
Parahyangan Agung Jagatkartta Gunung Salak
Seseorang  yang telah di Diksa diberi status dan kedudukan sebagai seorang Sulinggih di masyarakat. Sulinggih berarti mendapat kedudukan dan status yang mulia di masyarakat. Umat Hindu sangat menghormati seorang Sulinggih karena dia telah mencapai kesucian diri lahir bathin ( DwiJati ) dan tidak lagi berstatur Walaka melainkan sudah berstatus Sadhaka.
Upacara Mediksa selain bertujuan meningkatkan kesucian diri pada tingkatan Dwi Jati juga mempunyai nilai sosiologis karena yang Mediksa itu berubah status sosialnya di masyarakat yaitu dari Walaka menjadi Sadhaka.



Pada Upacara Mediksa ini seseorang akan berubah nama yang disebut Amarih Aran, berubah wujud dan penampilan serta atribut yang disebut Amarih Wesa dan juga berubah aktivitas kehidupan sehari-hari yang disebut Amarih Wisaya. Perubahan Jati Diri itu menyebabkan terjadi perubahan sikap, pandangan dan perilaku masyarakat Hindu terhadapnya sebagai suatu konsekwensi logis dari pengakuan dan penghormatan masyarakat Hindu terhadap status dan kedudukan Sulinggih.

Kedudukan, status Diksita atau Sulinggih telah melembaga pada masyarakat Hindu sejak jaman dahulu dan terus berlanjut sampai sekarang. Karena itu ada tata krama yang berlaku bagi seorang Diksita atau Sulinggih. Tata krama itu haruslah ditegakkan di dalam masyarakat. Jika tidak maka tata titi atau tata kemasyarakatan Hindu dan tata keagamaan Hindu akan memudar. Pudarnya tata kemasyarakatan Hindu akan menyebabkan tidak tertibnya kehidupan masyarakat. Juga pudarnya tata keagamaan akan mendorong munculnya sekularisme dan profanisasi dalam agama. Ini jelas merupakan titik awal dari pudarnya kehidupan agama itu sendiri.

Sebaliknya bukan masyarakat Hindu saja yang dituntut menegakkan kemasyarakatan dan tata keagamaan dalam kontek hubungan Umat dengan seorang Diksita atau Sulinggih. Tetapi juga terhadap para Diksita atau Sulinggih itu sendiri dituntut juga keteguhan dalam melaksanakan Dharmaning Kepanditan dan taat terhadap Sasana Kawikon. Sasana Kawikon harus ditaati dan jangan s ekali-sekali  Wiku  melanggar  sesananya. Ini akan berakibat fatal.  ( Asing angelung sasana ngawetuaken sanghara bumi ).

Menurut Pustaka Tutur Kamoksan bahwa Diksita atau Sulinggih itu adalah paragayan Sanghyang Dharma. Beliau adalah lambang kebenaran dan beliau pula penegak Dharma di bumi ini. Karena itulah beliau membawa tongkat (Teteken) sebagai simbul dari pada Dandha Astra dari Bhatara Brahma. Selain ini juga beliau telah meninggalkan kehidupan Grahasta yang penuh dengan dinamika kehidupan duniawi. Karena beliau merupakan paragayan Sanghyang Dharma maka beliau menjadi panutan Umat Hindu.

Mengenai tugas dan fungsi setelah menjadi Wiku ada persepsi yang keliru. Karena Ngeloka Pala Sraya itu dianggap muput karya saja, sehingga tujuan Mediksa itu adalah untuk muput karya saja. Tugas dan fungsi Wiku sebenarnya adalah :
1.    Wiku bertugas dan berfungsi memimpin Umat Hindu dalam upaya mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan baik jasmani maupun rohani.
2.    Wiku melaksanakan tugas dan fungsinya untuk Ngeloka Pala Sraya.
Loka artinya masyarakat. Pala artinya tempat bersandar masyarakat dan Sraya artinya tempat berlindung. Ini artinya Wiku menjadikan dirinya tempat bertanya bagi masyarakat mengenai hal-hal keagamaan maupun kerohanian juga Sastra. Memberi tuntunan bidang rohani dan memberi petunjuk dan bimbingan dalam hal keagamaan, muput upacara Yadnya atas permintaan masyarakat. Wiku tidak diperbolehkan meminta agar dirinya sendiri disuruh Muput Karya.

Pengertian tentang Diksita, Wiku atau Sadhaka

            Menurut Pustaka Bhuwana Kosa bahwa kata sepadan dengan Diksita atau Sadhaka itu adalah Wiku. Wiku guna menunjukkan kewajiban dalam memelihara kesucian hati. Rsi mencerminkan kewajiban dalam memelihara sinar suci dalam dirinya. Yogiswara menunjukkan bahwa dia mampu menghubungkan diri yaitu Atma dengan Paramatma dalam hidupnya untuk mencapai Moksa. Pandita lebih menyatakan bahwa kewajibannya untuk meningkatkan pengetahuan suci dalam hidupnya. Sedangkan Sadhaka sendiri mencerminkan bahwa dia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan sadana dalam menempuh kehidupannya.

Dalam Pustaka Widhi Sastra RogaSanghara muncul istilah Bujangga sama dengan pengertian Sadhaka. Bujangga mencerminkan sebagai kewajibannya sebagai pemuja Ananta Bhoga pada wilayah Sapta Patala soring Hari Bhawana.

Dalam Pustaka Raja Purana timbul istilah Siwa, Bhoda, Sengguhu, Dukuh. Siwa mengisyaratkan bahwa Sadhaka itu sebagai pemuja Siwa dan Bhoda sebagai pemuja Bhuda. Sengguhu sebagai Sadhaka yang menjalankan kewajiban sebagai pembina masyarakat. Sedangkan Dukuh  menekankan pada kehidupan yang cendrung kepada kesunyatan. Sementara Siwa, Sogata, dan Rsi menunjuk kepada kelompok Sadhaka dalam kesatuan tiga yang populer dengan sebutan Tri Sadhaka.

Menurut Babad Dalem muncul istilah Pandhya, Mpu dan Danghyang. Selain istilah-istilah yang sudah dikenal. Dengan Pandhya dimaksudkan sebagai Sadhaka yang menguasai pengetahuan kerohanian. Mpu menekankan pada kedudukannya sebagai pengemban masyarakat. Sedangkan Danghyang dimaksudkan sebagai Sadhaka yang punya kedudukan terhormat berkat penguasaan tentang kerohanian yang tinggi.

Dalam Pustaka Dwijendra Tatwa timbul istilah Padanda dan Bhagawan disamping yang lainnya. Dengan Padanda dimaksudkan Sadhaka yang bertongkatkan Sastra. Sedangkan Bhagawan dimaksudkan sebagai Sadhaka yang mampu mencapai kebahagiaan berkat penguasaan kerohanian yang tinggi.


sumber :Makalah Ida Padanda Nabe Gede Putra Sidemen Dharma Upapati Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Banten.