Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Selasa, 15 September 2020

Tanya Jawab Upakara Hari Raya Galungan Dan Kuningan

HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Hari suci Galungan merupakan hari suci yang mengandung makna kemenangan Dharma.

 


Tanya

:

Apa yang menjadi ciri akan datangnya Hari Raya Galungan ?

Jawab

:

Perayaan Tumpek Wariga merupakan ciri akan datangnya Hari Raya Galungan, yaitu 25 hari sebelum Galungan

Tanya

:

Hari suci apa yang menjadi rangkaian pertama Galungan ?

Jawab

:

Hari Suci Sugian adalah merupakan hari persiapan sebelum menyambut Hari Raya Galungan.

Tanya

:

Apa Makna Sugian ?

Jawab

:

Hari Sugian mengandung makna penyucian. Makna ini dapat disimak melalui kosa kata Sugian. Kata Sugian berasal dari Sugi dan Ya. Kata Sugi dapat diartikan Gelang, Bersih, Suci. Sedangkan suku kata Ya artinya Ada, Diadakan. Sehingga Sugian artinya Dibuat supaya suci atau Disucikan

Tanya

:

Apa saja tahapan Sugian

Jawab

:

1.      Hari Sugian Tenten

2.      Hari Sugian Jawa

3.      Hari Sugian Bali

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Hari Suci Sugian Tenten ?

Jawab

:

Rabu (Budha) Pon wuku Sungsang

Tanya

:

Apa itu Hari Suci Sugian Tenten

Jawab

:

Tenten dimaksudkan adalah ‘enten’ atau ngentenin atau mengingatkan kepada umat Hindu bahwa Hari Suci Galungan akan segera tiba, kewajiban apa yang harus dipersiapkan dan dilaksanakan oleh segenap umat Hindu.

Tanya

:

Kegiatan apa yang dilakukan pada Hari Suci Sugian Tenten

Jawab

:

Melaksanakan pembersihan secara komprehensif seperti membersihkan bangunan-bangunan suci, peralatan upacara, wastra-wastra pelinggih dan lain-lain.

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Sugihan Jawa ?

Jawab

:

Kamis (wraspati) Wage wuku Sungsang

Tanya

:

Apa arti Sugian Jawa

Jawab

:

Kata Sugian berarti penyucian, sedangkan kata Jawa berasal dari katanya semula yaitu Jambu Dwipa (Pustaka Usana Jawa) yang mengandung arti Alam Semesta

Tanya

:

Apa itu Makna Sugihan Jawa ?

Jawab

:

Secara sederhana Sugihan Jawa adalah turunnya semua Bhatara ke dunia yang diiringi oleh para Dewa, para roh Suci leluhur untuk menerima persembahan umat. Pada hari ini dilaksanakan upacara pangeresikan, pembersihan, penyucian alam semesta beserta isinya, dengan menghaturkan  canang raka, Arereban, reresik, wangi-wangian dan dupa harum di merajan.

Tanya

:

Apa upakara untuk diri sendiri pada Sugihan Jawa ?

Jawab

:

Upakara untuk diri sendiri adalah Sesayut Tutuan selengkapnya, upakara diayab dan disertai pula dengan renungan yang mendalam berupa yoga samadhi dengan tujuan melepaskan segala kepapaan.

Tanya

:

Apa dasar pustaka Sugian Jawa ?

Jawab

:

Lontar Sundharigama, sebagai berikut :

Ring Rahina Weraspati Wage Wukunia Sungsang, Ngaran Sugi Jawa, Kajari Loke Maharan Jambu Dwipa Ngaran, Bhuwana, Wenang Amelaku Pretista, Yate Pretistan Bhetara Kabeh, Areredoni Ring Sanggar Muang Parihyangan, Meharan Prerebuan, Kaduluri Pangresikan Bethara, Saha Puspa Wangi, Kunang Wang Weruhing Tattwa Jnana, Apasang Yoga, Sang Wiku Angagem Puja, Apan Bethara Tumurun Maring Madiapada, Amuktya  Banten, Anerus Tekeng Galungan, Pakertining Wang, Sesayut Muang Tutuan, Marupa Sudhamalung, Sawung Petak, Beliwis Petak, Silih Sinunggil Wenang, Pangarcana Suka Sukan Arania”

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Sugihan Bali ?

Jawab

:

Jumat (Sukra) Kliwon wuku Sungsang

Tanya

:

Apa itu Sugihan Bali ?

Jawab

:

Secara sederhana Sugihan Bali adalah menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sanskerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Disebutkan “Kalinggania amretista raga tawulan” artinya ..oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing. Dianjurkan pula mohon tirtha penglukatan kepada Sang Maha Murni, untuk penyucian diri agar mala yang ada pada diri menjadi sirna.

Tanya

:

Apa dasar pustaka Sugian Bali ?

Jawab

:

Lontar Sundharigama, sebagai berikut :

“Sukra Kliwon Wuku Sungsang, Mengaran Sugi Bali, Pakenania Amerastitaning Raga Tawulan Riprewatek Maurip, Nanging Yang Menadi Wang Prakerthi Wenang Sira Angelaraken Tapa Brata Yoga Samadhi, Muang Anadaha Tirtha Gocara, Alukata Ring Sang Pandita Siwa Paksa Lan Budha Paksa, Maka Panelasing Letuh Ring Sarira”

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Penyekeban Galungan ?

Jawab

:

Minggu (Redite) Pahing wuku Dunggulan.

Tanya

:

Apa makna Penyekeban Galungan ?

Jawab

:

Pada hari ini dianjurkan “anyekung Jnana” artinya mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Pada Redite Paing wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” Orang yang pikirannya selalu suci, tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Tanya

:

Apa dasar pustaka Penyekeban Galungan ?

Jawab

:

Lontar Sundharigama, sebagai berikut :

“Ikang Dungulan Redite Paing, Turun Sang Hyang Kala Tiga, Manadya Bhuta Galungan, Arep Anadah Anginum Ring Manusa, Pada Matangnian, Sang Wiku Muang Para Sujana Den Pretiaksa Juga Sira, Kumekas Ikang Jnana Nirmala, Nimitania Tan Kesurupan Tekap Sang Bhuta Galungan, Ndah Mangkana Mengaran Penyekeban Kecaping Loke”

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Penyajahan Galungan ?

Jawab

:

Senin (Soma) Pon Wuku Dungulan

Tanya

:

Apa makna Penyajahan Galungan

Jawab

:

Pada hari ini umat Hindu telah mampu mengatasi segala godaan-godaan dari kekuatan Sang Kala Tiga, mampu Anyekung Jnana. Bagi orang yang paham tentang yoga, tapa, brata dan samadhi mampu melakukan pemujaan dengan baik, mampu mempertahankan keheningan pikiran. Sehingga keberhasilan ini yang dimaksudkan dengan Penyajahan (dapat mengatasi)

Tanya

:

Apa dasar pustaka Penyajahan Galungan ?

Jawab

:

Lontar Sundharigama, sebagai berikut :

“Soma Pon Wahyaning Angamong Yoga Samadhi, Yate Pituhu-Tuhun Nyumade, Sadgana Lawan Bethara, Yate Amaweh Jaya Ning Rat, Tegep Ring Jnana Nirmala, Inalaha Sehananing Wigna Sarira, Ika Ingaranan Penyajan Kecaping Loke”

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Penampahan Galungan ?

Jawab

:

Selasa (Anggara) Wage wuku Dungulan

Tanya

:

Apa itu Penampahan Galungan ?

Jawab

:

Inti pokok perayaan penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buthakala) dari diri manusia dan lingkungannya. Umat Hindu melaksanakan Penyomyaan atau menetralisir kekuatan Sang Kala Tiga supaya kembali kesumbernya (menjadi Butha Hita).

Tanya

:

Siapakah Sang Kala Tiga ?

Jawab

:

1.      Butha Galungan

2.      Butha Dungulan

3.      Butha Amangkurat

Tanya

:

Apa dasar pustaka Sang Kala Tiga ?

Jawab

:

Lontar Kala Maya Tattwa, sebagai berikut :

“Ritetrapaning  Wewaran, Ikang Dungulan Menuju Redite, Paing, Rikala Ika Mijil Ikang Kala Bhama Ribungkahing Pertiwi Meharan Sang Kala Galungan, Sang Kala Udha Mijil Ritengahing Windhu, Meharan Sang Kala Dungulan, Sang Kala Maya Mijil Ritelengking Akasa, Meharan Sang Kala Amangkurat, Ika Sami Amintoni Manusa Ring Madyapada, Maweruh Inaggapi Sadnyan Manusa...”

Tanya

:

Jelaskan mengenai Sang Kala Tiga

Jawab

:

Sesungguhnya Sang Kala Tiga ini bersemayam di Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, yaitu Sang Kala Galungan, Sang Kala Dungulan dan Sang Kala Amangkurat, dan masing-masing Kala ini memberikan kekuatannya terhadap Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.

Tanya

:

Jelaskan Sang Kala Tiga di Bhuwana Agung

Jawab

:

Sesuai lontar Kala Maya Tattwa ; Di Bhuwana Agung Sang Kala Galungan memberikan kekuatannya pada Pertiwi (Bhurloka), Sang Kala Dungulan memberikan kekuatannya pada Embang (Bwahloka) sedangkan Sang Kala Amangkurat memberikan kekuatannya pada Langit (Swahloka).

Tanya

:

Jelaskan Sang Kala Tiga di Bhuwana Alit

Jawab

:

Sesuai Lontar Tutur Kediatmikan ; Di Bhuwana Alit Sang Kala Galungan bersemayam di Hati dengan sebutan Sang Kala Sakti, Sang Kala Dungulan bersemayam di Ampru (empedu) dengan sebutan Sang Kala Sidhi, sedangkan Sang Kala Amangkurat bersemayam di Pepusuh (jantung) dengan sebutan Sang Kala Mandhi.

Tanya

:

Apa makna Penampahan Galungan

Jawab

:

Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat pada umumnya hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita.

Tanya

:

Apa arti kata Penampahan

Jawab

:

Kata Penampahan berasal dari kata Nampah, Nampeh, Nampa yang diartikan Persembahan. Nampa berasal dari kata Namya yang artinya sembah. Dengan demikian maksud dari kata Penampahan adalah pengembalian ke sumbernya atau somya.

Tanya

:

Apakah itu Penjor ?

Jawab

:

Penjor, bambu yang dihias dengan janur yang dipancangkan di setiap muka rumah sebagai tanda terima kasih atas kemakmuran yang dilimpahkan Tuhan.

Penjor adalah bambu berhias tinggi melengkung yang merupakan gambaran dari gunung yang tinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan, dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikaruniai Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada kita manusia.

Tanya

:

Mengapa memasang Penjor ?

Jawab

:

Penjor dipasang sebagai simbul pemujaan kehadapan Sang Hyang Siwa Meneng beserta dengan Ista Dewatanya, yang distanakan di pura Besakih

Tanya

:

Apa asal kata Penjor ?

Jawab

:

Kata Penjor berasal dari Peenyor yang diberikan arti Pengajum atau Pengastawa.

Tanya

:

Apa Makna Penjor ?

Jawab

:

Makna Penjor adalah sebagai sarana pengastawa kehadapan Hyang Siwa beserta manifestasinya yang distanakan di pura Besakih.

Tanya

:

Sebutkan unsur-unsur yang ada pada Penjor dan maknanya !

Jawab

:

1.      Kain Putih simbul kekuatan Hyang Iswara

2.      Bambu simbul kekuatan Hyang Mahesora

3.      Jajan simbul kekuatan Hyang Brahma

4.      Kelapa simbul kekuatan Hyang Rudra

5.      Janur simbul kekuatan Hyang Mahadewa

6.      Daun-daunan (Plawa) simbul kekuatan Hyang Sangkara

7.      Pala Bungkah, Pala Gantung simbul kekuatan Hyang Wisnu

8.      Tebu simbul kekuatan Hyang Sambhu

9.      Sanggah Ardha Candra simbul kekuatan Hyang Siwa

10.  Upakaranya simbul kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa

Tanya

:

Apa dasar lontar makna-makna Penjor di atas ?

Jawab

:

Lontar Tutur Dewi Tapeni , sebagai berikut :

“Ndah Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnya, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Makabehan Manadya Saraning Jagat Apan Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhunie”, Sang Hyang Parama Siwa Meraga Nadha, Sang Hyang Iswara Meraga Mertha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalaem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting ......”

Tanya

:

Bagaimana etika saat kita membuat Penjor ?

Jawab

:

Dari petikan lontar Tutur Dewi Tapeni di atas, sangat jelas memberikan petunjuk dan pengertian bahwa Penjor tersebut mengandung makna yang tinggi terhadap pelaksanaan upacara, khususnya pelaksanaan upacara Hari Raya Galungan. Oleh karena demikian, etika pembuatan Penjor perlu diperhatikan, dilaksanakan secara benar, agar tepat sasarannya sesuai dengan petunjuk sastra agama. Seperti sanggah Penjor mempergunakan sanggah Ardha Candra, karena Ardha Candra merupakan simbul kekuatan Hyang Siwa.

Tanya

:

Kapan dan bagaimana pemasangan arah Penjor yang benar ?

Jawab

:

Pemasangan arah Penjor adalah mulut sanggah menghadap ke jalan, karena jalan merupakan simbul “Purwa Desa” dan dibuat setelah melaksanakan Penampahan Galungan (memberi tetebasan) .

Tanya

:

Apa dasar kita membuat Penjor setelah pelaksanaan Penampahan ?

Jawab

:

Lontar Sundharigama, sebagai berikut :

“Riteles Ikang Asuguh Tetebasan Ring Sang Kala Tiga Linuara Dening Sega Sinasah Maring Dengen, Lumarise Sira Tinancebang Penjor, Maharep Purwa Desa”

Tanya

:

Apa itu Hari Raya Galungan

Jawab

:

Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan Dharma atas Adharma .

Tanya

:

Apa nama hari raya di India yang sama seperti Galungan

Jawab

:

Vijaya Dasami

Tanya

:

Apa itu Hari Raya Kuningan

Jawab

:

Hari Raya Kuningan adalah hari penghormatan atas para pejuang Dharma

Tanya

:

Apa manifestasi Sang Hyang Widhi yang dipuja saat Galungan ?

Jawab

:

Pada hari suci Galungan Sang Hyang Widhi turun ke dunia melalui manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Siwa Mahadewa (Hyang Siwa Meneng) bersama para Dewata-dewata, Dewa Pitara untuk memberikan restu kepada umatnya dan kepada sentananya masing-masing.

Tanya

:

Konsep Hari Raya Galungan dan Kuningan berdasarkan apa ?

Jawab

:

Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan Dharma atas Adharma berdasarkan konsep Lontar Sundharigama.

Tanya

:

Kapan Hari Raya Galungan dirayakan ?

Jawab

:

Rabu (Budha) Kliwon Dungulan, setiap 210 hari

Tanya

:

Apa Makna Filosofis Galungan ?

Jawab

:

·         Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari Adharma dan mana dari Budhi Atma yaitu suara kebenaran (Dharma).

·         Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan karaksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad)

·         Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud Dharma dalam diri. Sedangkan kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud Adharma.

Tanya

:

Galungan berasal dari bahasa apa ?

Jawab

:

Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya Menang atau Bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti Menang.

Tanya

:

Apa asal kata Galungan ?

Jawab

:

Galungan berasal dari kata Galungang yang dapat diartikan Tertancapnya Sebuah Panah dan panah disini memiliki maksud adalah Manah atau Hati Sanubari dengan demikian kata tertancapnya sebuah panah mengandung maksud Tercapainya titik tujuan akhir, untuk menuju kecemerlangan atau Dharma.

Tanya

:

Bagaimana sejarah singkat Galungan ?

Jawab

:

Galungan diperkirakan sudah ada pada awal abad XI, berdasarkan Kidung Panji Malat Rasmi dan Pararaton.

Galungan dirayakan kembali pada tahun 1126 ketika Raja Sri Jayakasunu mulai berkuasa menggantikan Raja Sri Dhanadi. Sebelumnya, sejak 1103  ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan perayaan Galungan ditiadakan tanpa dasar pertimbangan yang jelas.

Keterangan ini bisa dilihat pada Lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali, tepatnya di Pura Dalem Puri. Beliau mendapat ‘bisikan religius’ dari Dewi Durgha, bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.

Tanya

:

Cerita apa yang melatar belakangi Hari Raya Galungan di Bali ?

Jawab

:

Cerita Mayadanawa, kisah ini merupakan gabungan antara cerita sejarah dan Mithologis.

Tanya

:

Bagaimana pelaksanaan Hari Raya Galungan di Provinsi Banten ?

Jawab

:

Mengikuti Desa, Kala dan Tattwa yang ada. Menyesuaikan dengan situasi, kondisi yang ada tanpa mengurangi Tattwa yang dimiliki hari raya Galungan. Persembahyangan Galungan, ada yang pagi dan ada juga yang dilaksanakan pada petang hari.

Tanya

:

Bagaimana cerita Mayadanawa ?

Jawab

:

Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadanawa, di daerah Bedulu. Beliau adalah raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana.Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan ke India (Jambudwipa). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang jayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha.

Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya yang bernawa Kala Wong. Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam harinya, Mayadanawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring.

Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tirta Empul, dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadanawa. Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan Desa Manukaya. Bhatara Indra tak bisa dikibuli dan terus mengejar. Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul, kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung, menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong. Batu padas tersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadanawa dan patihnya menemui ajalnya. Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhatara Indra yang isinya,  jika air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan itu berumur 1000 tahun

Kematian Mayadanawa tersebut diperingati sebagai Hari Raya Galungan, sebagai tonggak peringatan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

Tanya

:

Apa makna Hari Raya Galungan & Kuningan ?

Jawab

:

Makna Galungan dan Kuningan merupakan peringatan untuk mengupayakan terpusat dan sinerginya penerapan ilmu pengetahuan untuk memberikan pencerahan jiwa pada masyarakat.

Dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan Galungan itu sebagai upaya untuk : ”patitis ikang jnyana sandhi”.

Kata “patitis” artinya mengarahkan atau memfokuskan. Yang difokuskan adalah Jnyana atau ilmu pengetahuan suci tentunya oleh para ilmuwan. Kata “sandhi” dalam bahasa Jawa Kuno artinya memadukan atau mensinergikan.

Tanya

:

Apa makna Hari Raya Galungan menurut Lontar Sundharigama ?

Jawab

:

Galungan dan Kuningan adalah hari raya untuk mengingatkan para ilmuwan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang disebut Jnyana dengan terfokus dan bersinergi secara harmonis.

Tanya

:

Apa makna Hari Raya Galungan dikaitkan dengan pemasangan Penjor ?

Jawab

:

Hari Raya Galungan juga merupakan pernyataan terima kasih lahir bathin kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan kesejahteraan serta kebahagiaan, ucapan terima kasih ini dinyatakan dengan pemasangan penjor.

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Manis Galungan ?

Jawab

:

Kamis (Wraspati) Umanis wuku Dungulan

Tanya

:

Apa makna Manis Galungan

Jawab

:

Pada hari ini umat melaksanakan upacara kecil yaitu menghaturkan banten soda pada tiap-tiap bangunan suci, melaksanakan persembahyangan, mohon tirtha dan wija, selanjutnya ngayab banten Galungan (nyurud).

Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan Dharma. Pada umumnya umat mengunjungi tempat hiburan, rekreasi dan mengunjungi sanak keluarga.

Tanya

:

Sebutkan Macam-macam Galungan

Jawab

:

1.      Galungan

2.      Galungan Nadi

3.      Galungan Nara Mangsa

Tanya

:

Apa yang dimaksud Galungan Nadi ?

Jawab

:

Hari Raya Galungan yang bertepatan dengan bulan Purnama

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Hari Pamaridan Guru ?

Jawab

:

Sabtu (Saniscara) Pon wuku Dungulan

Tanya

:

Apa makna Hari Pamaridan Guru

Jawab

:

Pada hari ini dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Hari Suci Ulihan

Jawab

:

Minggu (Redite) Wage wuku Kuningan

Tanya

:

Apa makna Hari suci Ulihan ?

Jawab

:

Kata Ulihan berarti Kembali, yang maksudnya Kembalinya para Dewata menuju Kahyangan.

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Hari Pamacekan Agung ?

Jawab

:

Senin (Soma) Kliwon Kuningan, setiap 210 hari

Tanya

:

Apa makna Hari Pamacekan Agung

Jawab

:

Hari ini dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi/Sang Hyang Prameswara dengan menghaturkan upacara memohon keselamatan. Sore hari (sandikala) dilakukan upacara segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan.

Tanya

:

Apa arti kata Pemacekan Agung

Jawab

:

Kata Pemacekan berasal dari kata Pacek yang artinya Tapa, sedangkan Agung berarti Kuat atau Teguh. Sehingga Pemacekan Agung  adalah karena telah kuat tapanya para umat Hindu, terhadap godaan dari Sang Kala Tiga, sehingga Sang Kala Tiga kembali ke sumber-Nya.

Tanya

:

Bagaimana upacara atau banten Pemacekan Agung ?

Jawab

:

Umat melaksanakan upacara dengan banten soda pada masing-masing pelinggih dan melaksanakan persembahyangan dan metirtha. Tirtha juga digunakan untuk pekarangan rumah dengan “ngider kiwa” kemudian menghaturkan segehan Agung di lebuh disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem.

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Penampa Kuningan ?

Jawab

:

Jumat (Sukra) Wage wuku Kuningan

Tanya

:

Apa makna Penampa Kuningan

Jawab

:

Pada hari ini dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar Sundarigama disebutkan “Sapuhakena malaning Jnyana” Lenyapkanlah kekotoran pikiran.

Tanya

:

Mengapa dinamakan hari Penampa bukan Penampahan ?

Jawab

:

Dinamakan hari Penampa Kuningan karena pada hari ini memiliki magis (kekuatan) sebagai pemagpag kala dari Tumpek Kuningan, oleh karena itu, pada hari ini tidak ada kegiatan persembahyangan hanya kegiatan phisik untuk mempersiapkan perlaksanaan upacara hari Suci Kuningan.

Tanya

:

Apa dasar lontar hari Penampa Kuningan

Jawab

:

Lontar Sundharigama sebagai berikut :

“Sukra Wage Wara Kuningan, Ngaraning Penampa Kuningan, Sawetaning Enjangnia Tumpek Kuningan, Rahina Mapag Kala Ngaran, Tan Wenang Angelaraken Puja, Nirgawe’ya Tan Hana Puspa, Kewala Gaweakna Sopecaraning Gen Engjangnia....”

Tanya

:

Apa arti nya ?

Jawab

:

Pada hari Jumat Wage Wuku Kuningan, disebut hari Penampa Kuningan, karena besoknya disebut Tumpek Kuningan, dikatakan sebagai hari mapag kala, tidak boleh memuja, akan sia-sia, tidak boleh melaksanakan persembahyangan, tetapi bisa mempersiapkan segala keperluan untuk kebutuhan pelaksanaan upacara Kuningan pada esok harinya.

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Hari Raya Kuningan ?

Jawab

:

Sabtu (Saniscara) Kliwon wuku Kuningan, setiap 210 hari

Tanya

:

Apa arti  Kata Kuningan

Jawab

:

Kuningan berasal dari kata Kuning yang dapat diartikan selain warna, ialah berarti Amertha. Dari sudut pandang berbeda, Kata Kuningan berasal dari kata Keuningan  yang dapat diartikan sebagai Kepradnyanan.

Tanya

:

Apa Makna Hari Raya Kuningan

Jawab

:

Makna pelaksanaan Hari Raya Kuningan adalah segenap umat Hindu memohon Amertha, berupa kepradnyanan kehadapan Sang Hyang Widhi, dengan manifestasi_Nya sebagai Sang Hyang Mahadewa yang disertai para leluhur (Dewata-Dewati)

Tanya

:

Apa dasar lontar Hari Raya Kuningan

Jawab

:

Lontar Sundharigama, sebagai berikut :

“Saniscara Keliwon Wara Kuningan Payoganira Bethara Mahadewa Tumuruna Pepareng Para Dewata Muang Sang Dewa Pitara, Inanggapa Bhaktin Manusa, Amaweha Waranugeraha Amertha Kahuripan Rijanapada, Asuci Laksana, Neher Memukti, Bebanten Sege Selangi, Tebog, Saha Raka Dane Sangkep Saha Gegantungan Tamiang Kulem, Endongsara, Maka Pralingga, Aja Sira Ngarcana Lepasing Dauh Ro, Apan Riteles Ikan Dauh, Prewateking Dewata Mantuk Maring Sunia Taya, Hana Muah Pengaci Ning Janma Manusa, Sesayut Pryascita, Penek Kuning Iwak Itik Putih Maukem-Ukem...”

Tanya

:

Menurut Lontar Sundharigama di atas pukul berapa waktu yang tepat melaksanakan Upacara Hari Raya Kuningan ?

Jawab

:

Waktu pelaksanaan Hari Suci Kuningan jangan sampai lewat dari pukul 12.00 siang, karena lewat dari itu para Dewata telah kembali ke Kahyangan. “..... Aja Sira Ngarcana Lepasing Dauh Ro, Apan Riteles Ikan Dauh, Prewateking Dewata Mantuk Maring Sunia Taya.......”

Tanya

:

Apakah kita bisa melaksanakan Hari Suci Kuningan pada malam hari ?

Jawab

:

Melihat Sastra di atas, telah memberikan tuntunan kepada umat mengenai Tattwa, etika dan Upacara/Upakara hari Suci Kuningan, hanya kebanyakan umat Hindu melaksanakannya masih secara Desa Dresta atau Loka Dresta (sesuai keadaan setempat). Oleh karena itulah umat Hindu perlu meningkatkan diri dalam hal pemahamannya tentang nilai-nilai luhur ajaran agama yang terkandung di dalam pelaksanaan upacara Hari Suci Galungan.

Tanya

:

Apa makna Uparengga Hari Raya Kuningan

Jawab

:

1.      Tamiang sebagai simbul senjata Cakra ; kekuatan Sang Hyang Wisnu

2.      Endong sebagai simbul senjata Moksala ; kekuatan Sang Hyang Sangkara

3.      Panah (Sara) sebagai simbul senjata Nagapasa ; kekuatan Sang Hyang Mahadewa.

Tanya

:

Bagaimana cara membuat Tebog ?

Jawab

:

Ambil sebuah wakul Tebog, didalamnya diisi nasi kuning secukupnya, diatas nasi dibubuhi saur, kacang botor, daging calon, caling-calingan dari kelapa yang digoreng, diisi dua helai daun intaran. Ditancapkan wayang-wayangan dari buah gedang mentah atau dari janur sebanyak 5 buah wayang dengan posisi nyatur desa (kanan, kiri, muka, belakang dan di tengah)

Tanya

:

Apa makna simbul pada Tebog ?

Jawab

:

1.      Nasi sebagai simbul Amertha

2.      Kacang botor sebagai simbul Tapa

3.      Daun Intaran sebagai lambang kemakmuran

4.      Caling-caling sebagai simbul kepradnyanan

5.      Daging Calon sebagai simbul kewibawaan (kharisma)

6.      Wayang-wayangan sebagai simbul manifestasi Hyang Widhi

Tanya

:

Pada upacara Hari Raya Kuningan kita menghaturkan Selangi, apa makna simbul pada Selangi ?

Jawab

:

Selangi adalah merupakan simbul dari kekuatan Sang Hyang Tri Purusa, yang memiliki sifat, Satyam, Siwam dan Sundharam. Keteguhan Iman, Kesucian, dan Kemakmuran kepada umat manusia.

Tanya

:

Kapan dilaksanakan Hari Suci Pegat Wakan

Jawab

:

Rabu (Budha) Keliwon wuku Pahang, setiap 210 hari

Tanya

:

Mengapa dikatakan Pegat Wakan ?

Jawab

:

Tiga puluh (30) hari setelah hari Suci Galungan disebut hari Suci Pegat Wakan. Dikatakan Pegat Wakan karena merupakan batas akhir dari Tapa pelaksanaan upacara Hari Suci Galungan.

Tanya

:

Apa makna Hari Suci Pegat Wakan

Jawab

:

Makna hari Suci Pegat Wakan adalah dalam 30 hari (sebulan) lamanya umat Hindu Anyekung Puja Mantra, tidak diperkenankan anibakang pedewasaan untuk melaksanakan upacara lain, selain melaksanakan reruntutan upacara Galungan.

Tanya

:

Apa arti kata Pegat Wakan

Jawab

:

Kata Pegat artinya Putus, kata Putus ini mengandung maksud Pelepasan (pengelebaran), sedangkan Wakan berasal dari kata Wakya yang artinya Sabda atau Anyekung Puja Mantra.

Dengan demikian pada hari Pegat Wakan  inilah kita melepaskan Tapa dan Anyekung Puja Mantra, dan diperkenakan untuk nibakang padewasan untuk pelaksanaan upacara-upacara.

Tanya

:

Apa kegiatan Umat Hindu pada saat Hari Suci Pegat Wakan

Jawab

:

Pelaksanaan upacara Pegat Wakan dengan upacara kecil berupa menghaturkan banten soda pada setiap pelinggih, serta persembahyangan. Menghaturkan segehan pada setiap pelinggih, dan kemudian melepaskan sampian-sampian pada pelinggih, bale, penjor beserta hiasan, dikumpulkan dipekarangan rumah, diperciki tirtha dan dibakar. Kemudian abunya ditanam di pekarangan rumah. Dengan upacara pembakaran sampian tersebut selesailah pelaksanaan hari suci Pagat Wakan.

Tanya

:

Apakah yang dimaksud dengan Uncal Balung ?

Jawab

:

Uncal Balung berasal dari Nguncal berarti melepas atau membuang, Balung berarti tulang. Secara filosofis mengandung makna sebagai suatu masa atau periode untuk melepas atau membuang segala energi negatif yang berasal dari Sang Kala Tiga.

Tanya

:

Kapan Periode Uncal Balung ?

Jawab

:

Masa uncal balung dimulai satu minggu sebelum Galungan sampai Budha Kliwon Pahang, selama 43 hari.

Tanya

:

Apa yang dimaksud dengan Galungan sebagai Pawedalan Jagat

Jawab

:

Galungan adalah Pawedalan Jagat, pemujaan bahwa telah terciptanya jagat dengan segala isinya oleh Sang Hyang Widhi. Galungan juga untuk menyatakan terima kasih dan rasa bahagia atas kemurahan Sang Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun diiringi oleh para Dewa-Dewa dan Pitara-Pitara ke dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive