NYEPI, DIALOG INSPIRATIF YUDISTIRA DENGAN YAKSA
Ketika Judistira
melihat empat saudaranya tewas, ia bergumam dengan lirih: ”Ya Tuhan, kenapa
empat saudaraku mengalami nasib seperti ini, tewas di tepi danau. Adakah hal
salah telah dilakukannya ? Tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari langit,
yang tidak lain berasal dari Yaksa. “Wahai anakku Judistira, apa yang menimpa
adik-adikmu, akibat perbuatannya sendiri.
Mereka dengan lancangnya mengambil air milikku tanpa terlebih dahulu meminta ijinkku. Siapapun tidak berhak melakukan tindakan seperti itu. Terlebih lagi sebagai Ksatrya, seharusnya lebih paham mengenai peraturan, tentu lebih tidak patut melakukan tindakan itu, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menikmati sesuatu bukan karena hasil kerjanya.
Oleh karena itu,
engkau jangan terlalu bersedih, itu adalah pahala dari karma nya sendiri, hukum
karma-phala sedang berjalan. Duh paduka Yaksa, maafkanlah kesalahan dan
dosa-dosa saudara hamba. Kesalahan yang dilakukannya, bukan semata-mata
kesalahan mereka, melainkan hambalah yang memintanya untuk mencari air yang
akan kami berikan kepada istri hamba, Drupadi.
Hamba saudara berlima
tidak mungkin dipisahkan. Walau hamba berbeda dalam ciri fisik, watak, dan ibu
yang melahirkan, kami tetap bersaudara dalam perbedaan [bina ika tunggal ika].
Bima, tinggi besar, kulitnya rada hitam, tempramental, sementara Arjuna tampan,
kulitnya halus, semampai, dan lembut. Sedangkan adik hamba Nakula dan Sahadewa
si kembar, bawaannya lemah-lembut, seniman, pintar, dan santun. Perbedaan itu
adalah keindahan yang harus hamba pelihara Paduka.
Oleh sebab itu paduka
Yaksa, sekali lagi kami mohon agar adik-adik hamba dapat dihidupan kembali,
agar kami berlima dapat mendarma baktikan hidup kami untuk negeri yang kami
amat cintai. Setelah mendengar motivasi permohonan memelas dari Judistira, maka
Yaksa berkata: ”baiklah Judistira, Aku akan hidupkan saudara-saudaramu, dengan
syarat kamu bisa menjawab tiga plus satu pertanyaanku’. Judistira pun sepakat
“monggo paduka”, Judistira siaaap mengikuti UNBK.
Pertanyaan pertama
Yaksa: “apakah yang lebih tinggi dari langit ? Mendengar pertanyaan itu,
Judistira melongok ke atas melihat langit biru, dan mejawab: maaf paduka, yang
lebih tinggi dari langit, tiada lain adalah akasa, ayah, purusa, lingga. Yaksa
berkata: benar Judistira. Ayah, harus dihormati, ayah-akasa-purusa-lingga
posisinya menjadi pandu bagi anggota lainnya.
Kamu ada, juga karena
benih purusa, lingga, dan ayah. Akan tetapi, perlu engkau ketahui, predikat
ayah yang mulia itu, baru akan kamu pantas sandang, jika engkau bertanggung
jawab, tidak abai terhadap keluargamu. Yaksa kemudian mengajukan pertanyaan
kedua: “apakah yang lebih berat dari bumi” ? Sambil berfikir, Judistira melihat
ke bawah ke tanah yang dipijaknya, sembari menjawab: menurut hemat hamba, yang
lebih berat dari bumi tiada lain ibu, pertiwi, predana, yoni. Bagus Judistira !
Ibu, pertiwi, predana, dan yoni adalah lambang kesuburan. Bibit yang baik,
tidak akan mungkin tumbuh menjadi kehidupan tanpa ditampung oleh wadah yang
subur.
Satu hal yang juga
perlu engkau ketahui Judistira, pertiwi selalu akan memberikan apa yang engkau
tanam. Jikalau engkau menanam jagung, maka engkau akan memetik jagung, tidak
mungkin ketela. Jika engkau berbuat baik, maka engkau akan memperoleh kebaikan,
sebaliknya jika engkau menanam keburukan maka cepat atau lambat engkau akan
memetiknya.
Oleh karena itu wahai
Judistira, rawatlah ibu pertiwi ini dengan sebaik-baiknya, Engkau bisa
menghentikan penjarahan dan eksploitasi alam yang sewenang-wenang. Alam
mengandung percikan jiwa Tuhan, berupa energi [bayu] dan suara [sabda], alam
juga bisa merintih sedih seperti halnya manusia. Orang Jawa, Madura, Bali,
Batak, Minang, Dayak, Ambon, Papua, dan lainnya harus bersama-sama menjaga dan
merawat ibu-pertiwi, vayam raster jagrayama purohitah [setiap orang
berkewajiban melindungi bangsa dan negaranya, Yayurveda IX.23] agar dia tetap cantik-lestari,
tidak bopengbopeng, di manapun engkau berada dan mencari kehidupan.
Yaksa melanjutkan
petuahnya: “Ketahuilah Judistira, tiada energi apapun akan tercipta jika kedua
unsur tadi [akasa dan pertiwi] tidak bersatu. Angin, hujan, petir, dan kamu sendiri
ada karena penyatuan akasa dan pertiwi, karena bersatunya ayah dan ibu, lingga
dengan yoni.
Dapat dibayangkan jika ekskutif dan legislatif tidak harmoni dan tidak bersatu, maka tidak akan ada dinamika pembangunan yang full power. Oleh karena itu Judistira, jangan pernah meremehkan satu di antara kedua unsur tadi. Keduanya harus diberi posisi yang equal dan dihormati.
Dua pertanyaan sudah
dijawab dengan baik oleh Judistira, kemudian Yaksa melanjutkan pertanyaan
ketiga: “apakah yang lebih banyak dari pasir di laut atau rumput di ladang” ?
Waduh, soal UNBK semakin sulit gumam Judistira. Setelah pranayama, menarik
nafas dalam-dalam melalui hidung, menahannya sebentar, dan mengeluarkannya
secara pelan-pelan melalui mulut, Judistira kemudian menjawab: “keinginan”
paduka Yaksa.
Betul Judistira,
keinginan bergerak lebih cepat dari bilangan angka. Ketika kita menyatakan
satu, keinginan langsung menjadi dua, tiga, dan seterusnya. Sudah punya mobil
satu, ingin punya dua, tiga. Sudah punya rumah satu ingin punya rumah dua,
tiga, dan seterusnya. Ayahmu dulu, sudah punya Dewi Kunti, masih juga pingin
punya Dewi Madri, untung jaman itu belum terkenal Dewi........[stop press].
Keinginan yang menggelora dan liar harus dikendalikan Judistira.
Saat Nyepi, ketika
melaksanakan catur berata dengan tidak bersenang-senang [amati lelanguan],
tidak bepergian [amati lelungaan], tidak menyalakan api [amati gni], dan tidak
bekerja [amati karya], itu merupakan usaha manusia mengendalikan diri dari
pengaruh keinginan [ahangkara] dalam wujud rãga [nafsu], lobha [tamak], kroda
[marah], mada [mabuk], irsya [iri hati], dan moho [bingung]. Itulah sebabnya,
saat Nyepi umat Hindu harus melakukan kontemplasi terhadap dirinya, untuk
senantiasa berusaha mengekang pengaruh keinginan [ahangkara] liar ke tingkat
minimal.
Dengan kekuatan budhi
dan wiweka-nya, manusia menimbang betapa mengumbar nafsu, menjadi manusia
tamak, iri hati, dengki, pemarah dan melakukan tindakan kekerasan [krurakarma]
kepada semua makhluk, terlebih dilakukan kepada manusia, tidak akan pernah
menginspirasi manusia mencapai kemuliaan hidup.
Setelah Judistira
menjawab ketiga pertanyaan sesei pertama, Yaksa kemudian bersabda: Wahai
Judistira putra Kunti, engkau telah mampu menjawab ketiga pertanyaanku dengan
baik.
Oleh karena itu, aku
akan memberimu satu poucer untuk menghidupkan satu dari empat saudaramu yang
tewas. Silahkah pilih mana di antara keempat saudaramu yang akan engkau
hidupkan kembali. Dengan sedih Judistira memohon, ‘paduka Yaksa, jika
memungkinkan, hamba mohon keempat saudara hamba dihidupkan kembali, bukan hanya
satu.
Bagaimana mungkin
hamba dan salah satu di antara mereka saja yang hidup, sementara tiga lainnya
tewas. Yaksa dengan berwibawa dan bergeming menjawab, “tidak bisa Judistira”,
silahkan pilih satu di antara saudaramu untuk dihidupkan kembali. Setelah
menimbang-nimbang, akhirnya Judistira menjawab dengan perlahan.
Baik paduka Yaksa,
jika demikian halnya, maka saya mohon yang dihidupkan salah satu di antara
Nakula atau Sahadewa. Begitu mendengar jawaban Judistira, giliran Yaksa yang
terkejut. Apa ? Nakula atau Sahadewa ? Bukankah engkau memerlukan Bima, yang
badannya tinggi-besar-perkasa-ahli menggunakan senjata gada. Apa tidak lebih
baik engkau menghidupkan Arjuna, si tampan, ahli strategi, ahli perang dan juga
ahli dalam menggunakan busur panah ? Bagaimana logikamu Judistira ?
Paduka yang mulia,
hamba ini putra Dewi Kunti sudah hidup seorang, seharusnya putra Dewi Madri
juga hidup satu orang. Jika hamba menggunkan poucer ini untuk menghidupkan
saudara kandung hamba Bima atau Arjuna, maka hamba telah berlaku tidak adil,
hanya memikirkan diri sendiri, memikirkan kerabat seibu sendiri, tanpa pernah
memikirkan saudara lain.
Jika ibu Madri mendengar dan tahu, betapa sedihnya melihat kenyataan ini. Betapa remuk hati seorang ibu Madri, jika keturunannya musnah, sementara keturunan yang berasal dari ibu lainnya hidup. Oleh karena itu Paduka Yaksa, Keadilan tidak ditentukan oleh seberapa banyak produk perundang-undangan serta peraturan yang dibuat dan telah ada, tetapi keadilan itu akan tegak jika pemimpinnya mau bertindak adil dan memiliki good will untuk mewujudkan keadilan.
Mohon ampun paduka
yang mulia, sampurasun...hamba tidak mencoba menggurui paduka, hamba hanya
menjelaskan pikiran hamba yang sederhana ini, kata Judistira. Keadilan tidak
ditentukan oleh jumlah, ciri fisik, watak, Bahasa, ataupun daerah. Yang lebih
banyak jumlahnya, memang seharusnya dapat lebih banyak, tetapi juga tidak boleh
mengabaikan yang kecil. Hitam-kriting-besar ciri fisiknya tidak boleh diabaikan
karena yang putih-bersih-dan semampai. Yang bersih kelihatan bersih, karena ada
yang hitam. Yang besar kelihatan besar, karena ada yang kecil. Barat-Tengah-Timur,
utara-selatan semuanya itu harus dilihat sebagai bagian-bagian yang membuat
negeri ini indah [Bhineka Tunggal Ika].
Itulah yang ada dalam
pikiran hamba yang bodoh ini, maafkan hamba jika paduka tidak berkenan. Bapak
Presiden dan Hadirin yang saya muliakan, Begitu mendengar jawaban Judistira,
Yaksa tersenyum puas dan bersabda: Engkau lulus dengan predikat Summa Cumlaude,
predikat kelulusan tertinggi, dan berhak atas penghargaan serta poucer
tambahan. Lagi pula engkau pantas menjadi Raja yang berkeadilan.
Oleh karena itu, aku
akan hidupkan keempat saudaraku yang tewas, agar kamu bisa mendarma baktikan
hidupmu untuk negeri tercinta ini, sekali lagi Aku tegaskan “untuk mendharma
bhaktikan sisa hidupmu untuk negeri ini, sekalipun engkau sudah tidak menjadi
Raja lagi”.
Sebagai tambahan, Aku
akan memberimu empat pesan penting, yaitu pertama: agar engkau dan saudaramu
tetap dekat dengan rakyatmu, hiduplah selalu di hati rakyat, perilakumu jangan
pernah berubah karena kedudukan.
Jika engkau hidup
rakus, tamak, dan egois dengan mengumbar kemarahan, memaki-maki orang lain, itu
sama artinya engkau memarahi dan menyakiti dirinya sendiri anakku Judistira,
itu bertentangan dengan ajaran tat twam asi.
Pada waktu, hari, dan
bulan yang baik lakukan Japa, meditasi, semadi, dan puasa, sebagai momentum
memuliakan diri dan orang lain sesama anak bangsa dengan cara lebih peka
terhadap kemiskinan yang masih menimpa sebagian anak negeri ini.
Pesan tambahanku yang
kedua, sebagai manusia yang hendak mencapai kemuliaan hidup, engkau harus
semakin menyadari betapa pendidikan menjadi modal untuk mencapai kemuliaan
hidup sebagaimana tersirat dalam sloka vidya dhanam sarvadhana pradhanam
[pengetahuan adalah kekayaan tertinggi]. Ketiga, Manusia Hindu juga diharapkan
dapat memberikan inspirasi bagi hidup damai [shanti] dalam suasana kehidupan
yang multikultural.
Pesan tambahan
terakhir yang ingin Aku sampaikan kepadamu Judistira, setelah melaksanakan
hening satu hari dan setelah jiwa dan raga beristirahat, maka jiwa memiliki
energi baru untuk memulai hidup baru yang lebih berharga bagi keluarga, nusa,
dan bangsa. Salah satu cara memuliakan hidupmu adalah dengan bekerja lebih
keras dengan menganggap kerja itu sendiri bagian dari yadnya, bagian dari jalan
menuju Tuhan. “Tuhan (Prajapati) melakukan kerja untuk dapat menciptakan dunia,
yang bergerak berdasarkan hukum-hukum yang berlaku atas ciptaan-Nya itu yang
disebut Rta (Rg Veda I.22:18; Rg Veda X. 190:1).
Dalam Atharva Veda
(III.24:5); Yajur Veda (20:7) Hindu mengajarkan umatnya bekerja keras dengan
penuh konsentrasi dan disiplin (Yoga Sutra, I.15). Oleh karena itu, engkau
harus bekerja dengan penuh konsentrasi dan disiplin sebagaimana halnya Tuhan
telah memberikan Kamadhuk melalui yadnya-Nya.
Dengan landasan bahwa
kerja adalah yadnya, maka tidak ada alasan yang bagi setiap manusia untuk tidak
melaksanakan pekerjaan dengan penuh rasa tanggung jawab, kerja-kerja-dan kerja.
Dalam Yajur Weda.19.30 disebutkan sebagai berikut.
Pratena
diksam apnoti Diksaya apnoti daksinam Daksina sraddham apnoti Sraddhaya satyam
apyate [Yajur Weda.19.30]
Artinya: Melalui
pengabdian kita memperoleh kesucian, Dengan kesucian kita mendapat kemuliaan
Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan Dan dengan kehormatan kita memperoleh
kebenaran
Menempatkan kerja
sebagai yadnya [tanpa pamrih] juga memungkinkan memperoleh kesucian, hasil yang
suci tak ternoda, energi yang mengalir dalam uang yang diperoleh dengan jalan
suci akan memberikan vibrasi positif bagi seluruh anggota keluarga yang
menikmatinya.
Seluruh keluarga akan
tenang hidupnya, dan dalam kondisi demikian, keluarga itu akan memperoleh
kemuliaan dan kehormatan sebagai keluarga sukhinah bawantu [memperoleh
kemuliaan, kehormatan, dan dipercaya].
Oleh karena itu, mari
kita kerja-kerja-kerja bersama Guru Wisesa [pemerintah], sebagai bagian dari
catur guru bhakti, agar kita semua memperoleh kehormatan dan kebenaran.
Naskah disampaikan
pada acara Dharmasanti Nasional Hari Raya Nyepi Tahun baru Saka 1939 di Mabes
TNI Cilangkap Jakarta, Sabtu 22 April 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu