Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Senin, 30 Januari 2023

MULANG PEKELEM KE LAUT

 MULANG PEKELEM KE LAUT


Umat Hindu membuang “Sampah” ke laut, itulah petikan kalimat yang saya dengar saat selesai upacara Melasti di Tanjung Pasir Tangerang Provinsi Banten dalam rangkaian Hari Raya Nyepi awal tahun kemarin. Dalam hati kecil saya, saya jawab “Itu bukan sampah, tetapi upacara/sesajen yang bertujuan untuk keselamatan kita bersama”. Tetapi, saya merasa akan sia-sia untuk memberi jawaban sesingkat itu kepada masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan, dimana keyakinan kita berbeda, tentu membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam.

Masalah sampah sisa persembahyangan yang muncul di media sosial semakin mengganggu kita sebagai umat Hindu. Walaupun sebenarnya dari dahulu juga sudah ada sampah, sisa Kwangen atau  Canang Sari, dan lain-lain. Masih sangat jelas dalam ingatan saya, saat masih usia anak-anak di desa, setiap piodalan selalu berebut untuk mencari sisa kwangen atau canang sari, barangkali ada sesari yang luput diambil oleh pemangku. Dapat terkumpul hingga 100 rupiah sangatlah  besar pada tahun 70-an. Lalu kenapa setelah informasi global seperti saat ini, sampah tersebut menjadi sangat mengganggu ?

Dua hal diatas memiliki kesamaan permasalahan, sama-sama membutuhkan pemahaman secara interen maupun ektern. Walaupun dalam ajaran agama kita sudah sangat jelas disampaikan mengenai Tri Hita Karana, dan semua sudah memahaminya. Termasuk pula lembaga-lembaga keumatan kita seperti Parisada, Bimas Hindu yang berperan dalam menyampaikan fungsi upakara kepada masyarakat di luar kita atau ekstern.

Dalam kesempatan ini, saya selaku umat berpandangan bahwa upacara Melasti disaat Mulang Pekelem dan Ngamet Tirtha Katengahing Segara, tidak harus semua upakara itu dihanyutkan ke laut, setelah upacara meatur-atur yang dilakukan oleh pemangku, cukup yang dihanyutkan adalah hal-hal yang bersifat cepat hancur atau segera tenggelam, seperti buah-buahan, telor, beras, sedangkan janur, slepan dan hal keras lainnya, kembali di bawa ke darat  serta dibakar di tepi pantai.

Lalu mengenai sampah sisa upakara secara umum, dapat saya sampaikan pandangan bahwa harus ada gerakan yang terpadu dan berkesinambungan yang memberikan pemahaman bahwa membuang sisa upakara adalah hal yang tidak terpuji. Perlu ada suatu hal yang dapat menyentuh hati umat secara mendalam dan mudah diingat. Saya berpendapat, buatlah tulisan “KEBERSIHAN ADALAH BAGIAN DARI KARMA BAIK” yang dipasang didepan candi bentar sebelum para pemedek untuk melakukan persembahyangan.

Dengan adanya penekanan bahwa Kebersihan bagian dari sebuah Karma baik, tentunya akan memberi efek yang sangat baik pula. Kita ketahui bersama bahwa, umat Hindu sangat percaya dengan Hukum Karma, baik yang kita lakukan, baik pula yang akan kita terima, demikian sebaliknya. Hukum Karma menjadi suatu hal yang perlu mendapatkan peningkatan pemahaman dan penerapan di lapangan, lebih-lebih kita sudah memahami tentang TRI HITA KARANA. (admin blog)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive