Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Translate

Selasa, 07 November 2023

Canang - Makna Simbol dalam Upakara Banten

 Makna Simbol dalam Upakara Banten; Canang

 


Om Swastiastu;

Om Anobhadrah krtavoyanthu visvatah ; semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

 

Pinandita Lanang Istri yang sudah disucikan yang saya hormati

Yang saya hormati; Sesepuh dan Penasehat Banjar

Yang saya hormati; Ketua dan Pengurus Banjar Ciledug

Yang saya hormati; ketua dan Pengurus Tempek se Banjar Ciledug

Dan Umat Sedharma yang berbahagia.

 

Pada hari ini saya ……………….. akan membawakan Dharma Wacana yang berjudul Makna Simbol dalam Upakara Banten; yaitu Canang

 

Pertama-tama saya menghaturkan rasa puja dan puji syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Sesuhunan Yang Melinggih di Pura Dharma Sidhi karena atas asung kerta waranugraha-Nya lah saya dan kita semua dapat hadir dalam persembahyangan ini dalam keadaan sehat walafiat.

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Kata ”Canang” berasal dari bahasa Jawa kuno yang mulanya berarti sirih yang dihidangkan kepada para tamu yang sangat dihormati. Kebiasaan makan sirih jaman dulu merupakan tradisi yang sangat terhormat

 

Dalam Kekawin Nitisastra menjelaskan :

 

 Masepi tikang waktra tan amucang wang

 

Artinya

” Sepi rasanya bila mulut kita tidak makan sirih”

 

Jadi Sirih merupakan sarana yang benar-benar memiliki nilai tinggi, apalagi dengan banyak penelitian mengenai  manfaat daun sirih bagi pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.

 

Kebiasaan makan sirih kiranya sudah membudaya  diseluruh Nusantara, terbukti bila ada upacara adat pasti ada suguhan makan sirih (kinang untuk bahasa Jawa).

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Dalam persembahyangan untuk di Jawa ada sesaji yang bernama Gedang Ayu Suruh Ayu  Kembang wangi ( Bahasa Jawa, artinya Pisang yang cantih, sirih yang cantih dan bunga harum). Setelah Agama Hindu berkembang  di Bali, daun sirih menjadi unsur penting dalam setiap sesajian, yang menjadi unsur pokok dalam apa yang disebut  banten canang.

 

Rangkaian sirih itu kemudian disebut porosan.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Kami mencoba menguraikan Bahan Banten Canang yang terdiri atas :

 

Porosan

Porosan dibuat dari daun sirih, kapur dan buah pinang (jambe dalam Bahasa Jawa) dijepit atau dibungkus dengan potongan janur dibentuk lancip  Porosan dimaknai pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Tri Murti  (buah pinang sebagai lambang Brahma, sirih sebagai lambang Wisnu, dan kapur sebagai lambang Siwa.

 

Manusia tidak terlepas dari Lahir (Brahma), Hidup (Wisnu) dan Pralina (Iswara). Sehingga Arti Makna dari Porosan  adalah memohon tuntunan dan kekuatan Tuhan (Tri Murti) agar diberikan tuntunan (sesuatu yang lahir dari hati), kekuatan pikiran yang hening dan suci (pemeliharaan jiwa) serta dapat menghilangkan (Pralina) segala bentuk pengaruh buruk duniawi agar tercapainya hidup yang bahagia dan sejahtera.

 

Plawa

Plawa adalam daun dari tumbuh-tumbuhan. Berdasar lontar Yajna Prakerti bahwa plawa melambangkan tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, maksudnya dalam memuja Hyang Wdhi hendaknya berusaha dengan pikiran hening dan suci.

 

Bunga

Bunga dalam canang melambangkan keihklasan. Memuja Tuhan Yang Maha Esa berlandaskan keihklasan

 

Dalam Bhagawadgita, VII.1 disebutkan :

 

Sribhagavan uvacha : mayy asaktamanah partha, yogam yunjan

madarasyah, asamsayam samagram mam, yatha jnasyasi tach chhrinu

 

Artinya

 

Dengarkan kini oh Partha, melaksanakan yoga, Dengan pikiranmu terpaku kepadaku, Dengan aku sebagai pelindungmu, Tanpa ragu kau akan mengenal Aku sepenuhnya. Manusia yang tidak mengihklaskan hidupnya akan selalu mengalami keresahan dalam hidupnya. Seseorang yang resah tidak pernah memiliki perasaan tenang apalagi hening dan suci.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Berikutnya ada berupa Tetuesaan, Reringgitan dan jejahitan

 

Tetuesan, reringgitan dan jejahitan melambangkan keteguhan hati untuk menuju kebaikan dan kebenaran

 

Bahan Banten Canang selanjutnya ada Urassari

Urassari  dibuat dari jejahitan, tetuesan dan reringgitan pertama dibuat garis silang menyerupai tapak dara yaitu bentuk sederhana dari Swastika. Kemudian disusun sedemikian rupa menjadi bentuk lingkaran yang menyerupai  Padma Astadala, lambang stana Hyang Widhi dengan delapan penjuru mata anginnya

 

Berdasarkan ajaran Agama Hindu penciptaan alam semesta ini oleh Hyang Widhi melalui  tiga proses

 

1.   Srasti   adalah proses penciptaan alam semesta beserta isinya melalui evolusi dua unsur purusa dan perdana

 

2.   Swastika adalah proses ketika alam semesta seisinya mencapai puncak keseombangan yang bersifat dinamis, kondisi ini dilambangkan dengan jejahitan dengan bentuk tapak dara dan kemudian menjadi Padma Astadala Padma Astadala adalah lambang perputaran alam yang dinamis dan seimbang sebagai sumber kebahagiaan.

 

3.   Pralaya  adalah proses alam semesta lebur keeembali keasalnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Dalam Kitab  Bhagawadgita  III.24 menyebutkan

 

Utsideyur ime loka na kuryam karma ched aham

samkarasya cha karta syamupahanyam imah prajah

 

Artinya

 

Jika Aku berhenti bekerja, dunia akan hancur lebur dan

Aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan manusia ini semu

 

Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Selanjutnya kami sampaikan Makna Canang :

 

·         Lambang perjuangan hidup manusia dengan memohon perlindungannya

·         Lambang menumbuhkan keteguhan, kelanggengan dan kesucian pikiran manusia berlandaskan yajna kehadapan Hyang Widhi

·         Sebagai lambang suatu usaha umat manusia untuk mevisualisasikan ajaran Agama

·         Hindu  dalam bentuk banten memberi keterangan dan arti dan makna hidup ini

 

Bapak-Ibu Umat Sedharma yang berbahagia;

 

Harapan saya dari apa yang telah  saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua, Jika ada kekurangan dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia yang sempurna, tiada gading yang tak retak. Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.

Om Santih, Santih, Santih Om...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive