Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna,
terletak di antara kedua alis mata dan memiliki aksara ham dan ksam.
Pimpinannya disebut Sukla Mahakala (waktu agung putih);
pimpinan devinya disebut Hakini.
Suatu hal sesederhana memakai bija pun sesungguhnya memiliki makna yang luas dalam ajaran Veda. Ketika kita bersembahyang dan meminum tirtha, kita akan dibagikan butiran-butiran beras yang kita tempelkan di kening dan di leher yang disebut bija. Tidak hanya di kening dan leher, bahkan banyak orang yang juga memakai bija di atas kepala, di bahu, di balik telinga, bahkan tidak jarang ada yang memakainya di kedua pelipis (lihat artikel Peranti Sembahyang oleh Ida Bhagawan Dwija di situs ini).
Keberadaan bija sangat erat dengan kegiatan beragama Hindu. Bija adalah salah satu bahan yang dipakai di kening ketika seorang Hindu selesai melakukan persembahyangan. Ada bahan-bahan lain yang disebut bhasma, yang terbuat dari pasta cendana.
Bahan-bahan ini dipercaya sebagai bahan yang suci sebagai lambang Tuhan. Bija juga disebut tilaka di tempat lain dengan bahan-bahan seperti abu agnihotra dan pasta merah.
Bija memiliki beberapa makna filosofis yang dikaitkan dengan spiritualisme.
Memakai bija di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara. Hal ini juga berarti konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan. Orang yang memakai bija (tilaka) diharapkan dapat mewujudan perilaku sattvika, pengasih, dan bijaksana. Demikianlah makna kata bija yaitu sebagai kata lain dari Omkara.
Kedua, bija memiliki makna anatomis. Dalam Siva Samhita ditemukan sloka-sloka tentang tujuh cakra (simpul syaraf) utama yang membujur di sepanjang tulang belakang. Ketujuh cakra itu memengaruhi fungsi biologis dan fisiologis tubuh. Salah satu cakra adalah cakra Ajna (baca: adnya) yang terletak di kedua alis. Cakra ajna memiliki daun bunga dua yang dalam masing-masing kelopaknya bertuliskan aksara vam dan ksam.
Siva Samhita juga menyatakan bahwa cakra ini adalah petemuan tiga pembuluh, yaitu ida, pinggala, dan susumna. Pertemuan ketiganya ini disebut Triveni. Pembuluh ida (pembuluh bulan) yang dingin mengalir dari bagian kanan cakra ajna dan berbelok menuju lubang hidung sebelah kiri, semantara pinggala (pembuluh matahari) yang hangat mengalir dari bagian kiri ajna dan berbelok ke lubang hidung kanan. Ida membawa hawa dingin dan aktif pada malam hari, sedangkan pinggala membawa hawa panas yang aktif pada siang hari.
Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akan menghembuskan udara yang agak hangat dari lubang hidung kanannya, sementara dari lubang hidung kirinya akan terhembus udara yang agak dingin. Pembuluh ketiga yaitu susumna adalah jalan keluar-masuk roh. Dalam kaitannya dengan pemakaian bija di kening, kita diharapkan mampu mengaktifkan energi dari ketiga pembuluh tersebut untuk menciptakan kesehatan yang baik. Apalagi jika seseorang mampu berkonsentrasi pada ajna, makhluk-makhluk seperti yaksa, gandharva, kinnara, dan apsara akan mematuhi perintahnya (Siva Samhita 113).
Ketiga, bija memiliki makna benih. Bija terbuat dari beras yang seharusnya lonjong sempurna, bukan butiran-butiran yang terpecah-pecah seperti yang sering kita temui. Beras yang bentuknya sempurna melambangkan lingga, stana Siva Mahadeva. Selain itu, beras yang bentuknya sempurna juga melambangkan alam semesta yang juga berbentuk bulat. Bija adalah benih padi yang berwarna putih yang bermakna hendaknya kita menumbuhkan benih-benih kesucian dalam kehidupan. Kini banyak kita lihat orang-orang yang memakai bija tetapi tidak mampu menumbuhkan benih-benih kesucian dalam dirinya. Apabila semua orang dapat menumbuhkan kesucian dalam dirinya, semua akan dapat memanen hasilnya yaitu padi keharmonisan.
Keempat, bija memiliki makna kesungguhan dan kesadaran karena seseorang yang memakai bija berarti orang yang seharusnya memiliki keyakinan dan kesadaran akan kewajibannya untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan. Orang yang memakai bija akan merasakan bahwa Tuhan berstana dalam dirinya sebagai Paramatman dan merasa terlindungi.
Ia juga akan merasakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk hidup, termasuk kuman-kuman, bakteri, tumbuhan, dan hewan. Dengan demikian, ia akan belajar untuk menghormati eksistensi makhluk lain sebagai bagian dari kekuasaan Tuhan.
Demikianlah makna filosofis dari bija. Banyak yang tidak menyadari hal-hal kecil seperti ini dan menjadikan agama sendiri sebagai bahan olok-olok yang lainnya sebagai agama tahayul. Padahal sebenarnya peradaban Hindu dan Veda bukan hanya sebuah agama tua yang komplit, melainkan juga sebuah jalan pengetahuan tiada batas.
Mandalakawi Virtual Ashram, santikatmaka ring asing kawya Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba
diPosting kembali olih rare angon
Foto Bija dari http://www.balipurnama.com/
Nice blog and post.... mampir kerumah kami ya :)
BalasHapusSaya sesudah sembahyang di pura juga pke bija. Karena saya juga orang Hindu dari Bali.
BalasHapusAdek saya suka makan bijanya, tpi saya ga suka
terima kasih ilmu barunya kawan :)
BalasHapussaya jadi ingin ke Bali lagi . , hehee
Hello Mr Riora, Mr Kelpo dan Ladida, terima kasih banyak atas kunjungan dan commentnya, mari jaga Bali bersama-sama, agar keindahan dan budayanya dapat diketahui anak cucu nanti
BalasHapusom swastiastu,..
BalasHapusmenambah pengetahuan bagi kami,.. like this,.. :)
http://peradah-semarang.blogspot.com/
terimakasih atas kunjungannya, begitulah yang dari dulu kami terima, dan saat ini pengetahuan tentang Bija semakin diketahui umat dan dipahami penggunaannya
BalasHapus