Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Translate

Sabtu, 18 Desember 2010

BALI ; SEBUAH PASRAMAN

Hana ta pasraman Mandalakawi, gurukula singgihing adri
Mwang nayaka siràdi rakawi, ikang wihikan ing asing kawya
Inider wana, wana manggalya, mwang gangga kaliku halëp
Marutàngilir silir-sumilir, halêpnya kadi sinwam sakeng basanta. (1)
tari bali indah
Bali Sebuah Pasraman

Sebait puisi Jawa Kuno di atas adalah kawya karangan saya, yang rencananya akan saya pergunakan sebagai bahan tambahan dalam novel karangan saya (kini belum selesai). Novel itu berjudul Rakawi, yang terinspirasi dari kejayaan kerajaan Majapahit pada abad XIII-XIV. Ketika itu, saya sangat takjub mendengar komentar dari banyak teman tentang novel Harry Potter. Ketika kami berdiskusi bersama tentang novel itu, kami mendapat kesimpulan bahwa JK Rowling (penulisnya) adalah seorang yang mengerti tentang budaya negaranya. 

Mengapa? Kebanyakan cerita dalam novel terlaris di dunia tersebut bercerita tentang dunia sihir. Sihir memang sangat populer di Inggris pada abad pertengahan. Ketika itu, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap para penyihir wanita di negara itu, lantaran diduga mempopulerkan ajaran sesat (pemujaan setan). Kami menduga Rowling terinspirasi dari kisah-kisah Inggris masa silam.

Jika orang Inggris saja bisa membuat karya sastra berdasarkan folklore negerinya sendiri, mengapa kita tidak? Indonesia memiliki ribuan cerita rakyat yang kalau dikumpulkan tebalnya dapat menyamai KBBI, bahkan lebih. Kita memiliki kebanggaan sebagai negeri yang pernah jaya di masa lalu, Majapahit. Sebuah negeri pusat peradaban, ekonomi, sosial, politik, dan ekonomi Asia Tenggara. Jika kita mau berimajinasi sedikit, kita bisa membuat karya fantasi seperti Harry Potter dengan mengambil setting di Majapahit. Majapahit bukanlah khayalan, namun nyata dan sisa-sisa peradabannya yang adiluhung masih banyak terkubur di tanah Trowulan, Jawa Timur.

Sejak saat itu, saya yang senang ‘main api’ dengan sastra, mulai tertarik dengan budaya Majapahit. Kebetulan, ajik (bapak) saya seorang peminat kekawin (prosa Jawa Kuno) yang handal. Beliau menguasai banyak wirama dengan baik, dan kosakata bahasa Kawinya cukup banyak. Permainan api saya pun dimulai. Saya mulai memborong buku-buku tentang Jawa Kuno dari lemari ajik, termasuk kamus tebal dan tata bahasanya. Saat itu saya berencana menyusun sebuah novel yang judulnya saya pikirkan secara tidak sengaja, Rakawi

Ambisi saya memang menggebu-gebu saat itu, dan kebetulan sedang libur setelah ujian nasional, seperti api yang baru tersiram bensin, semangat pun timbul. Saya buka komputer, dan mulai menulis.

Novel Rakawi bercerita tentang kehidupan di kota Trowulan pada zaman sekarang. Disebutkan pada masa kejayaan Sri Jayanegara (raja Majapahit kedua), terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Rakryan Kuti. Pemberontakan itu berhasil menggusur raja dari singgasana. Kemudian, atas kecerdikan Gajah Mada, raja pun akhirnya dapat menduduki singgasana kembali dan Kuti dihukum mati.


Sebelum kematiannya, Rakryan Kuti mengucapkan sebuah pesan, bahwa sampai mati pun rohnya akan terus menghantui keluarga keraton, dan hal itu terjadi dua belas hari setelah kematiannya. Banyak anggota keluarga kerajaan yang meninggal tanpa sebab, sakit-sakitan, dan gila. Akhirnya, raja Jayanegara meminta Dang Dharmadyaksa (pemimpin keagamaan) untuk melakukan sesuatu. Dang Dharmadyaksa lalu mengupacarai abu kremasi Kuti dan memenjarakan rohnya dalam sebuah candi bernama Mayakala. 

Kunci dari candi itu berbentuk seperti uang kepeng (Bali: pis bolong) yang bergambar ular menggigit ekornya sendiri. Uang kepeng itu bernama Bangsalpala. Bangsalpala kemudian dititipkan kepada raja untuk menjaganya, namun, uang kepeng itu dicuri oleh Rakryan Tanca, seorang tabib kerajaan yang menguasai ilmu hitam. Ia ingin memperoleh kekuatan dari roh Kuti untuk merebut kerajaan dan menguasai Tanah Jawa.


Tanca kemudian meracuni raja Jayanegara (ini ada dalam buku sejarah SMA kelas 2). Peristiwa itu dikenal dengan Patanca. Tanca dibunuh oleh Gajah Mada, namun sebelum ajal menjemputnya, Tanca sempat menghanguskan bangsalpala yang dicurinya dengan kesaktiannya. Akhirnya, legenda bangsalpala lenyap samasekali, hingga beberapa abad kemudian Majapahit runtuh dan peradaban baru berkembang. 

Akan tetapi, candi Mayakala hanya dapat dibuka dengan sebuah mantra. Mantra itu hanya Dang Rakawi (pemimpin ahli sastra kerajaan) yang mengetahui. Kelak, ia akan bereinkarnasi menjadi lima orang anak, lima ratus tahun setelah beliau meninggal. Kelima orang anak inilah yang otomatis akan tahu mantranya.

Lima ratus tahun kemudian, bencana yang bertubi-tubi tiba-tiba menerjang. Gejala pertama adalah panas membara selama beberapa minggu. Kota Trowulan menjadi gersang. Diikuti dengan gempa bumi. Gempa ini menyebabkan beberapa situs purbakala peninggalan Majapahit ambruk, namun, secara misterius, muncul candi-candi dan patung-patung baru. Candi-candi itu sebagian muncul di tengah jalan raya, atau di tengah hamparan sawah. Candi Mayakala sendiri muncul di dalam areal situs Trowulan. Gempa bumi beranjak menjadi gunung meletus. Gunung Merapi yang selama itu tenang tiba-tiba mengamuk.

Dalam pada itu, sekelompok arkeolog melakukan penelitian mengenai kemunculan candi-candi misterius itu. Beberapa di antara mereka adalah keturunan Dang Rakawi. Salah satunya bernama Hari Wijaya, sang pemimpin proyek. Ia mempunyai anak bernama Andika, seorang murid SMA. Andika adalah salah satu dari kelima anak reinkarnasi Dang Rakawi, yang dapat membuka candi. 

Ketika proyek diadakan, seorang arkeolog menemukan sebongkah uang kepeng kuno. Penemuannya dikaitkan dengan peristiwa hilangnya bangsalpala lima ratus tahun silam. Arkeolog itu yakin bahwa bangsalpala ternyata masih ada. Ia menyembunyikan uang kepeng itu, lalu diberikan pada anaknya, Widi.

 Suatu hari, ia berniat meneliti candi Mayakala yang saat itu oleh para arkeolog disebut candi Paras Pranaya (yang kemudian jika disusun terbalik menjadi ‘sarpa anyarap’ atau ‘ular menggigit’). Namun, ketika pintu dibuka, muncul ratusan ular berbisa, yang menewaskan beberapa arkeolog, termasuk ayah Widi. Proyek pun terancam mandeg.

Di lain cerita, Andika yang mendapat tugas semester mencari keterangan tentang Majapahit, bertemu dengan seorang kakek agen koran. Kakek itu memiliki seorang cucu laki-laki satu-satunya bernama Rangga. 

Sang kakek membantu Andika menyelesaikan tugas semesternya, lantaran beliau memang seorang mantan guru sejarah SMA. Ketika itu, Andika bersama dua temannya, Widi dan Utari, serta cucu sang kakek diberikan empat lembar tiket untuk berkunjung ke lokasi situs Trowulan. Sang kakek berkata, situs itu akan lebih menarik saat malam hari. Di lembaran tiket yang tidak lazim itu tercantum hanya tempat, tanggal, dan waktu,— tidak ada penjelasan acaranya.

Keempat anak SMA itu akhirnya mengunjungi situs Trowulan pukul 7 malam pada bulan purnama. Ketika mereka tiba, ternyata banyak anak sebaya mereka yang berhamburan di sekitar situs. Beberapa saat kemudian, dari peninggalan gapura Waringin Lawang, muncul sinar, dan dari dalam sinar terbang banyak kereta kuda, diikuti pasukan Bhayangkara bersenjata dan berpakaian lengkap. Panji-panji Majapahit berkibar di depan arakan. 

Ternyata, di tempat itu akan diadakan seleksi tahunan bagi para keturunan Rakawi untuk mengikuti pasraman di Majapahit. Majapahit ternyata masih ada, namun sementara berada di alam Sahastha, alam yang sehasta lebih tinggi dari bumi, alam niskala. Ramalan Rakawi menunjukkan bahwa tanda-tanda alam yang buruk yang saat itu melanda Trowulan adalah pertanda akan bangkitnya Kuti sang separator.

Andika dan tiga temannya yang tak tahu apa-apa akhirnya sepakat mengikuti seleksi itu, dan mereka lulus. Seleksi dilakukan dengan tes kadar Aksamahi dalam darah. Kakak Andika,— Raka, adalah mantan siswa pasraman Majapahit, yang juga hadir di sana. Raka mewakili orang tua Andika merelakan keberangkatan keempat anak itu, bersama puluhan lainnya yang lulus seleksi.

Pintu gerbang Waringin Lawang yang tinggi terbuka, dan calon sisya berangkat diiringi pasukan Bhayangkari lengkap, menembus dimensi lain. Ketika mereka tiba di Santanaraja, Trowulan (Majapahit di Sahastaloka), mereka berbelok ke barat laut, menuju bukit Mandalagiri, lokasi Pasraman. Pasraman yang dipimpin oleh seorang Dang Rakawi itu bernama Mandalakawi.
Sebait sajak di atas adalah bagian pertama dari Kawyamandala, sejenis mars untuk pasraman itu. Mars tersebut saya susun dengan susah payah, apalagi kosakata Kawi saya sangat terbatas. 

Pertama saya tentukan jumlah suku kata tiap bait, yaitu 40 suku kata. Setelah itu, saya buat iramanya. Irama kawyamandala ini terinspirasi dari alunan sekar rare, di mana anak-anak bermain gembira di tengah hutan yang subur dan bersahaja. Akhirnya, tibalah saat menyusun kata-katanya. Beruntung sekali banyak kosakata bahasa Kawi (nama lain bahasa Jawa Kuno, sebagai bahasanya para rakawi) yang serupa dengan bahasa Bali. 

Seperti ketika saya menyusun kawyamandala bait III, ada kata ‘...gumupta sarira ni sor kamala...’ ‘menyembunyikan diri di bawah teratai...’. Saya bingung mencari kata ‘di bawah’ dalam bahasa Kawi. Saya ingat bahasa Balinya, yaitu ‘di batan’. Kemudian saya cari kata ‘batan’ dalam kamus Kawi-Indonesia yang tidak ada entri Indonesia-Kawi-nya itu, namun tak saya temukan. Sesaat saya merenung, dan saya kembali menemukan kata bahasa Bali ‘sor’ yang artinya ‘bawah’. Saya buka entri S dan akhirnya saya temukan kata ‘sor’ dalam bahasa Kawi.

Penyusunan kawyamandala ini saya lakukan berdasarkan inspirasi alam. Saya bukan pencipta kawyamandala, melainkan alamlah yang memberikan kekuatan kosmis kepada saya dan saya mengembalikan seluruh nada itu kepada alam. Hal tersulit kedua adalah mencari kata-kata agar menempati jumlah suku kata yang pas dalam sebait kawyamandala. Saya harus memutar otak dan mengerahkan seluruh imajinasi saya. Biasanya saya sering mendapat inspirasi malam hari (Bali: tengai lemeng).

Sementara itu, yang terjadi malah kebalikannya. Main api dengan sastra ternyata memang membakar otak saya. Kawyamandala selesai tiga bait, namun novel tak tentu kabarnya. Otak saya mumet, apalagi disertai libur tiga bulanan menunggu hari pertama kuliah di IKIP Singaraja. Saya mengambil jurusan keguruan Bahasa Inggris.

Suatu sore, saya berniat jalan-jalan ke tapal batas desa. Teman-teman di banjar mengenal saya sebagai seorang yang hobi naik sepeda. 

Ketika saya SD kami sering bersepeda bersama, mandi di sungai (tapi saya tak pernah mau mandi di sungai, malu), mencuri buah nanas di tegalan, menyusuri petak-petak sawah, sampai memporak-porandakan kebun tebu milik seorang warga. Sungguh masa kecil yang menyenangkan. Saya sering dimarah ajik jika terlambat pulang. Kulit saya jadi hitam sampai sekarang karena main layangan. Sungguh menyenangkan sekali.

Namun kini semuanya berubah. Kami mulai terpisah karena harus melanjutkan sekolah. Kami sering bertemu di warung dekat balai banjar, saya pun tidak pernah lagi naik sepeda bersama mereka, lantaran semuanya sekarang sudah dibelikan sepeda motor. Ke warung dekat rumah saja harus menggeber gas.

Saya kangen pada masa kecil kami. Setiap akan ke warung, saya selalu naik sepeda, menyusuri gang gelap tanpa lampu. Teman-teman pasti tahu saya ada di warung karena melihat sepeda federal berumur belasan tahun terparkir di sana,— satu-satunya sepeda tanpa mesin.

Sore itupun, saya berniat naik sepeda. Sudah lama tidak naik sepeda ke batas utara desa. Desa Tegal Darmasaba, nama desa kelahiran saya. Di sebelah utaranya terbentang areal sawah yang luas, dan di ujung utara berdiri sebuah bangunan pura, Pura Kaja, demikian istilah populer untuk Pura Enteg Gana stana Ida Ratu Agung Kaja. Saya mendengar penuturan orang tua, perwujudan Beliau berupa arca Ganesa yang malinggih di sebuah gedong tinggi. Dahulu arca itu berukuran kecil, namun secara misterius berangsur-angsur membesar sehingga kini sulit dibawa pada saat melasti. 

Di sebelah timur pura, terdapat lembah sungai. Di timurnya terbentang tegalan yang nyaris seperti hutan hujan tropis. Di ujung timur bentangan tegalan, ada lembah sungai lagi, dan di tepinya terdapat sebuah gua bernama Goa Peteng

Menurut kisah lama, desa kami sekarang dahulu berlokasi di daerah sekitar Pura Kaja. Karena serangan semut-semut yang besar (semut-semut itu berasal dari bangkai raksasa yang konon bertempat tinggal di Goa Peteng), masyarakat kemudian menggali sungai dan memindahkan lokasi desa ke seberang selatan sungai, sehingga aman dari semut-semut itu. Karena itu, desa kami memiliki dua Kahyangan Tiga, dua setra, dan dua Pura Prajapati.

Sore itu pun saya naik sepeda terus ke utara pura. Kebetulan saat itu hari Kajeng Kliwon, banyak yang maaturan ke Pura Kaja. Setelah beberapa ratus meter ke utara, udara mulai terasa sejuk. Saya menyusuri jalan aspal di tepi sungai, yang disebut Tanah Putih. Kemudian berbelok ke timur melewati turunan dan tanjakan. Saya harus mengerahkan seluruh kekuatan otot kaki untuk mengayuh di tanjakan yang berkelok itu. Setelah tanjakan berakhir, saya melepas pandang di hamparan semak ilalang yang hijau. 

Angin mendadak menyambut saya, menghilangkan keringat di pakaian. Sewaktu saya kelas dua SMA, saya bertugas sebagai pembawa ‘sesirat’ (alat untuk memercikkan tirtha) ke sekolah setiap minggu. Untuk membuatnya, saya harus mencari ilalang di areal itu. Setelah saya kelas tiga, dan berhenti dari kepengurusan OSIS, saya kadang-kadang mencari ilalang untuk membuat karawista, ikat kepala dari ilalang saat upacara tertentu. Niang (nenek) saya adalah seorang tukang banten, dan beliau selalu mengupah saya dan ibu untuk membuat ratusan karawista.

Saat kelas dua SMA merupakan puncak religiusitas saya. Saya banyak membaca buku agama, terutama tentang Hindu masa kini. Puisi-puisi religius juga banyak saya tulis, dan ilalang adalah salah satu sumber inspirasi saya. Sebuah puisi berjudul ‘Ziarah Peri Ilalang’ saya tulis sebagai kenangan pada hamparan semak ilalang itu:


Tapi perlahan larih-larih tembang mulai menyurut,
Ilalang mendekam dalam ringkikan malam
Akankah ada lagi musim berikutnya?
Adakah tempatku menziarahi prasasti?
Gerih, hanya desa ziarah bagi peri-peri hijau mungil,
Yang memunguti bunga ilalang
Dan dijadikannya bulan

Seorang peri
Menenun tikar ilalang
Untuk malam yang merintih.
                   
                    (Ziarah Peri Ilalang, 2004)


Bait puisi di atas mengungkapkan kekecewaan saya. Suatu hari saya berniat mencari ilalang untuk sesirat, namun setibanya saya di hamparan ilalang di desa Gerih itu, saya terkejut karena hampir semuanya telah dibabat habis. 

Saat saya naik sepeda sore itu pun, beberapa petak tanah yang ditumbuhi ilalang telah gundul. Sayangnya lagi, petak-petak tanah itu adalah tanah kavling yang dikelola seseorang yang namanya tercantum di sebuah papan yang dipajang di pinggir jalan. Hati saya berontak, ingin menyerukan sesuatu pada orang itu. Saya ingat sebuah fragmen yang pernah saya tonton di TV. 

Fragmen itu bercerita tentang seseorang bernama Cupak, yang membunuh adiknya sendiri, Grantang karena kerakusannya memakan tanah. Dia memiliki banyak anak buah, yang tiap hari membawakannya spesimen tanah dari seluruh penjuru Bali. Ada tanah dari Bukit Jimbaran, tanah dari Kuta, dan banyak tempat lain. Dengan rakusnya, si Cupak melahap satu demi satu sampel tanah itu, dan mengatakan enak. 

Akhirnya, Cupak memakan habis tanah Bali. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, arwah Grantang yang mati penasaran hidup kembali. Roh itu menghantui Cupak. Roh Grantang saya tafsirkan sebagai spiritnya pulau Bali, yang bakal menghantui siapa pun yang menjual tanah leluhur kita ini kepada orang luar. Kalau terus begini, Bali akan menjadi seperti Hawaii, di mana tanah leluhurnya dikuasai orang-orang asing, yang tidak masuk daftar panjak Bhattara Kahyangan Tiga.


Ibu, aku tak mau bicara tentang peradaban
Sebab peradaban masih jauh untuk kita bicarakan, bahkan untuk kita pikirkan
Yang terpenting bagaimana membangun benteng dari tanah tipe C
Atau bagaimana konversi harus berhasil
Peradaban hanyalah sisa-sisa prasasti, seperti beliung persegi
Peradaban hanyalah milik masa lalu
Yang kini kita perjual-belikan
Lalu apa yang kita bawa ke masa depan?
Kecuali selembar kain untuk menutupi aurat
Dan tanpa latar belakang yang jelas....
(Pertiwi; Sebuah Realita Tak Pasti, 2005)



Saya yakin banyak Cupak-Cupak yang bertebaran di pulau ini, yang seharusnya perlu diberikan program diet.

Perjalanan saya lanjutkan ke timur. Di timur hamparan ilalang, terdapat tikungan ke utara, yang nantinya jalan itu tembus ke daerah Latu, sebelah utara desa Mambal. Di tikungan itu, saya berbelok menyusuri jalan dari kerikil yang menuju selatan. Jalan itu rencananya akan menjadi jalan utama perumahan baru yang tidak lama lagi akan mengusir hamparan padang ilalang dan tegalan yang hijau. 

Dengan terusirnya kehijauan dan keasrian padang ilalang, maka semakin berkurang pula energi positif alam yang dihasilkan dari kealamian daerah itu, artinya spirit daerah itu juga akan musnah. Saya ingat ceramah ibu Luh Kartini ketika saya menghadiri bedah buku di rumah Dinas Gubernur. Ibu spesialis pertanian yang saya juluki sebagai ‘ibu cacing’ ini berkomentar tentang energi positif yang dihasilkan oleh alam. 

Disela-sela diskusi, beliau selalu sempat membicarakan tentang cacing tanah. Beliau mengatakan, tanah Bali saat ini telah tercemar. Ketika menghaturkan banten, kita mengambil hasil alam dari tanah yang telah tercemar pestisida dan pupuk buatan, sehingga aturan kita beracun. Bhattara tidak dapat memberikan anugerah karena energi positif yang berasal dari alam yang hijau dan asri sudah tidak ada lagi, digantikan tanaman beton yang menjulang tinggi.

Saya setuju dengan hal itu. Saya sangat terkesima menyimak komentar beliau. Hal mengenai energi positif dari alam yang semakin pudar kini mulai melanda tempat favorit saya untuk menghirup udara desa yang segar.

Leluhur kita telah menanamkan konsep Tri Hita Karana, tiga penyebab kebahagiaan. Pertama Kahyangan, hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep ber-kahyangan saya kira sudah cukup baik di pualu Bali. Setiap umat beragama sudah menjalankan kewajibannya terhadap Tuhan dengan baik. Demikian pula khususnya umat Hindu


Kita melakukan persembahyangan purnama-tilem, mecaru, podalan, hingga karya-karya besar seperti Ngusaba Desa, Ngenteg Linggih, dan lainnya. Semua itu mencerminkan hubungan kita sebagai manusia dengan Tuhan sudah dapat dikatan ‘lancar’. Akan tetapi perlu diingat bahwa konsep beragama bukan hanya dilihat dari besar-kecilnya jumlah banten dan biaya yang dikeluarkan, namun lebih dari itu, apakah kita tulus atau tidak. Tuhan tidak memakan banten dan sesari, namun Beliau memberikan pahala sesuai dengan ketulusan hati orang yang melakukan yadnya.




Kini agama sesari dari canang tanpa sari
Berkuntum-kuntum bunga
Ikat-ikat janur
Kuambil hanya keping-keping logam
Yang ditaruh di atasnya

Cakupan tanganmu
Akankah hormat batinmu?
Kini agama cakupan tangan tanpa nama
Pejaman mata tanpa arah

(Metamorfosis 2; 2004)


Dewasa ini banyak orang beryadnya hanya untuk kepentingan prestise semata. Hal yang paling kentara adalah ketika ngaben

Tingginya bade dan besarnya lembu tidak akan menjamin sang mendiang mendapatkan kebahagiaan. Surga, naraka, atau moksa/nirwana hanya dihitung dari alam perbuatan seseorang. Banten atiwa-tiwa hanyalah sebagai simbol/permohonan bagi seseorang telah meninggal, agar mencapai kesempurnaan, bersatu dengan Yang Kuasa, Sangkan Paraning Dumadi. Sedangkan hasil yang diterima sang roh tetap Tuhan yang mengkalkulasi, apakah roh itu pantas masuk surga atau neraka. 

Nirwana hanya dapat dicapai jika seseorang ‘tidak mati’, dalam artian mampu melepaskan dirinya sendiri dari belenggu duniawi. Setiap yang mati tujuannya hanya dua, surga atau neraka saja. Setelah itu ia akan kembali menjelma sesuai dengan perbuatannya di masa lalu. Inilah hukum kausal dalam Hindu yang kita kenal dengan Karmaphala.

Kedua pawongan, hubungan manusia denga sesamanya. Masalah mulai timbul di pawongan. Salah satunya adalah perselisihan antardesa. Mengenai pawongan akan saya bahas dalam satu artikel. Demikian pula Palemahan, hubungan manusia dengan lingkungan, yang di dalamnya terkandung butir-butir konsep Sad Kertih

Terus terang, saya mempunyai cita-cita membangun sebuah pasraman. Pasraman itu akan saya beri nama sesuai dengan pasraman di Majapahit, Mandalakawi. Lokasinya, tentu harus di puncak bukit. Ketika saya melanjutkan perjalanan bersepeda ke selatan, saya melihat pemandangan yang begitu indah. Di sisi barat saya lihat deretan pohon kelapa, menyembul di sela-sela rimbunnya tegalan. 

Di samping tegalan ada sebuah lembah sungai, dan angin kembali menyapu wajah saya. Saya jadi ingat bait pertama kawyamandala: ‘...marutangilir, silir sumilir...’ dan suasana di tempat itu persis seperti arti bait pertama kawyamandala.


Saya mulai mengkhayal. Seandainya tanah di sini bisa saya beli, saya akan membangun sebuah pasraman yang besar. Pasraman itu akan menampung anak-anak di desa saya untuk belajar ilmu kerohanian. Mereka akan mengisi waktu luang di pasraman, dengan belajar membuat sarana upakara, makidung, mawirama, serta meditasi dan yogasana. Pemandangan alam yang asri akan membuat mereka lebih dekat dengan alam sekaligus berperan aktif mencintai dan melestarikannya. 

Pasraman akan dibangun dengan gaya arsitektur Bali asli. Saya akan menyediakan lahan yang luas untuk ditanami aneka tanaman upakara yadnya, sehingga mereka tidak punah, dan kita tidak perlu mengimpor janur dari Banyuwangi. Sisya-sisya pasraman akan diajarkan bagaimana cara merawat lingkungan, berbahasa Bali yang benar, serta belajar mencintai tanah kelahirannya.

Khayalan boleh-boleh saja. Tidak harus saya yang membangun pasraman itu. Saya adalah seorang pengkhayal yang luar biasa luas daya khayalnya. Saya dapat seperti meninggalkan raga ini kalau sedang mengkhayal,— begitu jauh. Tentang pasraman, bisa diwujudkan oleh siapa saja, saya akan mendukungnya, asalkan ia mempunyai konsep yang jelas dan tujuan yang pasti,— menjadikan generasi muda sebagai tiang utama penjaga Bali ke depan, dengan berorientasi pada konsep Tri Hita Karana.

Mengapa buku ini saya tulis, lantaran saya sangat terinspirasi dari hamparan ilalang di utara desa saya. Judul buku ini sebelumnya adalah ‘Lingkaran dan Yang lainnya’, sebuah judul yang abstrak. Lalu ketika saya mengunjungi tempat favorit saya itu, dan merenung dalam kesendirian sambil memandang pemandangan alam yang sulit digambarkan dengan ucapan, seolah-olah pohon-pohon perdu di samping jalan memberi saya bisikan halus. Mereka seperti berbicara pada saya. Mereka takut. 

Saya merasakan hal yang serupa, sebab pembangunan perumahan sebentar lagi akan menggilas mereka ke dalam tanah. Saya ingat tahun 2003 saya mencari bunga ilalang di ujung jalan sebelah selatan. Di sana pada waktu itu terhampar padang ilalang yang hijau penuh bunganya yang putih. Namun kini..., berganti menjadi perumahan kavling untuk orang-orang kelas menengah. Saya jadi takut sewaktu-waktu perumahan di tepi jurang itu bisa longsor.

Saya menyentuh sebatang tanaman dengan iba. Ia menyambut saya dengan tetesan air. Seekor kupu-kupu menemani saya ketika menyusuri jalan setapak di antara semak. Di mana kupu-kupu ini akan hinggap jika padang ini berganti menjadi perumahan mewah? Kemana udara segar akan pergi? Tanaman-tanaman perdu yang menangis.

Begitu merananya palemahan kita di Bali. Saya tidak akan mau ke padang ilalang itu tiga atau empat tahun lagi. Saya takut melihat roh-roh ilalang yang siap membalas dendam.

Kemudian saya sadar sepenuhnya. Bali ternyata adalah sebuah pasraman yang universal. Pasraman Mandalakawi yang saya cita-citakan ternyata sudah berdiri ribuan tauhn yang lalu, dan kini sedang dalam tahap renovasi, atau rekonstruksi, atau regresi.

Mengapa Bali saya katakan sebagai pasraman Mandalakawi yang universal? Ada tiga alasan.


Pertama. Sebuah pasraman tempo dulu, adalah sekolah yang berbasis spiritual. Ketika murid-murid diinisiasi, mereka diupacarai dengan upacara agama sehingga terbentuk bibit awal karakter orang yang religius. Maka dari itu, pendidikan pasraman dimulai sedini mungkin. Ketika menjalani pendidikan di pasraman, seorang sisya didekatkan sedekat mungkin dengan alam, agar terbentuk mental serasi dan harmonis dengan lingkungan. 

Itulah sebabnya, dahulu sebuah pasraman pasti berlokasi di pegunungan, dan jauh dari pemukiman penduduk. Dalam konsep pawongan, aktivitas pasraman selalu berjalan harmonis dengan eratnya hubungan antara guru dan murid, murid dengan guru, serta murid dengan murid. Guru dalam sebuah pasraman adalah seorang guru spiritual, guru yang telah melepaskan semua ikatan duniawi. Guru pasraman adalah ayah bagi murid-muridnya, sehingga sang murid dapat menyatakan keluh-kesah dan persoalan hidup pada gurunya.

 Setiap malam, murid tidur di bangsal yang sama, di lantai yang sama, dan tikar yang sama, menunjukkan kesederajatan manusia. Demikian juga hubungan semua aspek yang berada di pulau Bali dan mendukung tegaknya sistem sosio-kultural Bali. Makhluk hidup, mulai dari manusia, hewan, tumbuhan, hingga makhluk halus yang tidak terlihat adalah sisya dari pasraman Bali Mandalakawi. Sedangkan ketika setiap makhluk terlahir, ia diupacarai dengan upacara keagamaan. Untuk manusia, kita melakukan setidaknya tiga belas rentetan upacara dari lahir hingga meninggal. 

Hewan dan tumbuhan mempunyai hari otonan, yaitu Tumpek Wariga (Tumpek Uduh/Tumpek Pengatag/Tumpek Bubuh) untuk tumbuh-tumbuhan, dan Tumpek Uye untuk hewan. Kita dapat melihat, ada beberapa jenis hewan yang disucikan. Jangan dianggap bahwa orang Bali menganut totemisme, memuja hewan tertentu. Penyucian terhadap hewan tertentu merupakan satu langkah untuk menghargai dan menghormati hewan sebagai satu keluarga besar dengan kita, sesama sisya dalam pasraman Bali Mandalakawi.

Tumbuhan yang besar, seperti beringin kita berikan saput poleng, maknanya tiada lain untuk menghargai si tumbuhan karena dengan badannya yang besar, setiap orang bisa berteduh di bawah rimbun dedaunannya, dan akarnya yang kokoh dan menjalar kemana-mana dapat menyuplai air di musim kemarau. Kita seharusnya sadar bahwa Bali sudah mulai dilanda kekeringan akibat hutan di Bali Barat khususnya, rusak ditebangi.

Sedangkan guru dari pasraman Bali Mandalakawi adalah Hyang Widhi sendiri. Beliau adalah Sang Guru Utama, yang memanifestasikan diriNya menjadi ribuan Bhattara di setiap sudut pulau ini, melindungi dan mengayomi panjak-panjak-Nya. Tak heran, kalau ada banyak sekali sebutan Bhattara di Bali. Semua itu adalah cerminan dari Yang Satu. Tak heran pula setiap jengkal tanah di Bali adalah tenget (keramat).


Kedua. Bali adalah tempat moksa/nirwana bagi orang-orang suci zaman dahulu. Nama Rsi Markandeya tentu tak asing lagi bagi kita, terutama bagi penduduk desa Taro, Gianyar. Beliau diyakini sebagai orang suci pertama yang berkunjung ke Bali, serta berhasil menanam panca dhatu di Basukihan (Besakih). Beliau diyakini pula yang memprakarsai sistem irigasi dan desa di Bali. 

Dilanjutkan dengan kedatangan Mpu Kuturan, Dang Hyang Astapaka (Buddha), Sang Kul Putih, dan yang lain, yang berjasa menambah vibrasi kesucian pualu Bali. Orang suci terakhir adalah Beliau yang memprakarsai konsep bangunan Padmasana, yaitu Dang Hyang Dwijendra. Beliau datang ke pulau Bali saat Majapahit mulai runtuh akibat serangan kerajaan Demak. Beliau menyayangkan banyak umat Dharma telah meninggalkan agama leluhur mereka di kala itu. 

Beliau kemudian memilih Bali sebagai pusat spiritual, karena pasraman-pasraman di Jawa sudah hampir semua tidak berfungsi lagi. Perjalanan Beliau mengikuti pantai, dan membangun banyak tempat suci di sepanjang pantai Bali, sebagai benteng spiritual bagi masyarakat Bali. Dengan adanya pura, maka akan ada pangempon. 

Pangempon akan menjunjung tinggi keberadaan pura, sekaligus menjunjung tinggi agama leluhur mereka. Jika dikaitkan dengan Bali sebagai Mandalakawi, maka kedatangan orang-orang suci tersebut adalah sebagai ‘guru bantu’ yang diutus Hyang Widhi bagi keberlangsungan pendidikan pasraman.

Ketiga, Bali adalah tempat di mana kebudayaan-kebudayaan Jawa diungsikan (akibat serangan kebudayaan baru seiring runtuhnya Majapahit), diselamatkan, diakulturasikan, dan difungsikan kembali dalam upacara-upacara Hindu Bali. 

Mandalakawi berasal dari kata bahasa Kawi ‘mandala’ berarti tempat, lapangan, wilayah; sedangkan ‘kawi’ berari puisi,— yang merujuk pada hasil kebudayaan Jawa Kuno, terutama karya sastranya. Bali, sebagai pulau tempat kebudayaan Jawa diselamatkan adalah sebuah Mandalakawi (tempatnya sastra). Hingga kini, bahasa, syair, kidung, kakawin, mantra-mantra, dan cerita-cerita Jawa Kuno masih terpelihara dan menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali. 


Setiap upacara agama, para pendeta menguncarkan mantra berbahasa Jawa Kuno, para anggota sekaa kidung menyanyikan syair kidung berbahasa campuran antara Bali Tengahan dengan bahasa Kawi, dan para anggota Sekaa Santi secara berpasangan menyanyikan kakawin dalam bahasa Kawi, dan menjelaskan artinya dalam bahasa Bali halus.

Bali memang menjadi sebuah pasraman yang mahaluas. Pasraman asal katanya ‘asrama’ yang artinya tingkatan hidup. Dalam agama Hindu kita mengenal Catur Asrama, yaitu empat tingkatan hidup manusia, yaitu Brahmacari (masa menuntut ilmu), Grhasta (masa berumah tangga), Wanaprastha (masa mulai melepaskan diri dari keduniawian), Sannyasin/Bhiksuka (masa terlepas dari keduniawian).

Keempat proses tersebut di Bali dilambangkan dengan 13 rentetan upacara dari bayi dalam kandungan hingga meninggal dunia. Selain itu, banyak orang yang ingin menghabiskan masa tua (Wanaprastin, Sannyasin) di pulau Dewata ini. Mereka ingin mati di Bali, yang katanya sebagai surga terakhir. 

Jika kita renungkan bersama, ternyata pulau Bali memang merupakan sebuah pasraman. Bali Mandalakawi, judul buku ini saya ambil dari kenyataan yang saya tangkap bahwa Bali adalah sebuah pasraman universal, di mana seisi pulau adalah siswa, tanah pulau adalah mandala pasraman, dan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa adalah guru spiritual pasraman. Tinggal kini bagaimana kita sebagai penyangga pulau ini, menilai, apakah Bali saat ini sedang dalam tahap renovasi, rekonstruksi, ataukah regresi. Jika ternyata Bali sedang dalam tahap regresi, mari kita perbaiki bersama. 

Jadikan Bali seperti Bali Mandalakawi.

Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba

Mandalakawi Virtual Ashram, santikatmaka ring asing kawya
Griya Kanginan Baler Pasar Tegal Darmasaba
Abiansemal, Badung, Bali 80352
mandalakawi.googlepages.com
Photo Tari Rejang by photopocket.deviantart.com (koleksi pribadi)

5 komentar:

  1. Postngannya menginspirasi sy utnuk mulai menulis buku yang akan mengalahkn harry pottr.., ! hehehehe

    BalasHapus
  2. Wah bener tuh... musti ada penulis dari indonesia, dimana sumber inspirasi disini sangata banyak

    BalasHapus
  3. shukor terimaksih isi nya bagus 2 senag bacanya ...membagi ilmu yang bermaanfaat mengukir suatu “keabadian”.bersama datang sang bagaspati
    Aku bersandar di bahu dewi surga.
    Yang menjadi pelita Penuh makna. kita hidup tak lama,
    antara syurga dan neraka salam dari jogja mks

    BalasHapus
  4. Bli,kalo bukunya sudah sudah launching,kirim kabar ke email saya nggih, kadeksakawati@gmail.com
    tiang pesan 1, suksma

    BalasHapus
  5. inggih suksma antuh sapengrawuh semeton ring blog tityang

    admin blog lagi nyamar

    BalasHapus

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive