Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Translate

Sabtu, 07 Juli 2012

Pertemuan Dua Sungai - Dviveni atau Tiga Sungai - Triveni

Kesucian Pura
Kini tempat-tempat yang indah dan menawan itu, tidak saja menjadi obyek wisata yang banyak diekspoitasi, yang mengakibatkan getaran kesucian kawasan itu semakin redup karena terjadi pencemaran spiritual.  

Pertemuan dua sungai - Dviveni dan tiga sungai - Triveni dipandang sebagai tempat yang sangat suci  baik di India maupun di Bali. Pertemuan dua atau tiga sungai sangat baik dijadikan tempat untuk menyucikan diri ( Prayascitta  atau melukat atau mebayuh ) dan merupakan tempat para devata untuk bercengkrama, tempat yang disenangi oleh para dewa dan roh-roh suci.

"Para Dewa selalu bercengkrama di danau-danau, sinar matahari tidak terlalu panas karena dipayungi oleh awan-awan berbentuk daun teratai, dan jalannya air yang dibuat oleh angsa-angsa, yang disusui oleh lenggokan bunga teratai putih ke sana dan ke mari, tempat angsa-angsa dan bebek-bebek, suara burung-burung padi terdengar dan binatang-binatang beristirahat tinggal di dekatnya di bawah lindungan bayangan pohon-pohon Nikula yang tumbuh di tepi sungai "

"Para Dewa senantiasa bercengkrama di mana sungai-sungai berkelok-kelok dan suara-suara burung-burung berterbangan dan suara-suara percakapan angsa-angsa, air sebagai bhusananya, sejenis ikan gurami yang berseliweran sebagai wilayahnya,
daun-daun pohon-pohonan sebagai hiasan telinga (anting-antingnya), pertemuan dua atau lebih sungai sebagai pinggulnya, pasir yang gembur sebagai buah dadanya dan bulu-bulu angsa sebagai mantel mereka"

"Para Dewa senantiasa bercengkrama pada semak-semak, (yang tumbuh subur) di tepi sungai-sungai, gunung-gunung, dan mata air dan dikota-kota dengan taman-tamannya yang menyenangkan "

(Brhat Samhita, LV.4-8, Bhavisya Purana I.CXXX. 11-15)

"Pada tempat-tempat seperti tersebut diatas disenangi oleh para dewa dan tinggal di tempat itu "
(Brhat Samhita 8)
"Dimanakah para dewa kelihatan bercengkrama, di semua tempat dan Tuhan Yang Maha Esa senantiasa dalam krida-Nya yang abadi ( eko devo nityalilanurakta) "
(Radha Upanisad IV.3)

Lila atau cengkrama Tuhan Yang Maha Esa dan para devata merupakan
mode, yang sesungguhnya merupakan penampilan dari Suprema Spirit di dunia yang nampak ini. Dalam gerakan yang nampak tidak bertenaga dan dalam kesempurnaan yang berhubungan dengan bentuknya. Tiada alasan lain untuk penampilannya di dunia ini sebagai wujud dari Brahman sendiri. Kehadiran-Nya ( Brahman dan dewa-dewa ) meyakinkan di tempat-tempat tertentu. Penuh keindahan; tidak lain adalah kebijaksanaan kedewataan, para dewa yang menghubungkan antara umat manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, ada tempat dan penggambaran-Nya (na, prayo-janavatta; lokavat tu lilakaivalyam)
(brahma Sutra II.1.32-33)

"Aktivitas kreatip Brahma dijalankan melalui jalan yang diperlukan pada bagiannya, tetapi secara sederhana melalui lila (permainan), dalam pengertian umum di dunia ini "
(Kramrisch, 1991:4)

Demikianlah, dalam pandangan metafisik, segala sesuatu ciptaan dan kreasi-Nya adalah semata-mata permainan (lila)-Nya, kehadiran-Nya di dunia adalah dalam cinta-Nya kepada umat yang bhakti kepada-Nya.


Tepi Pantai dan Puncak-Puncak Gunung

Dalam kaitannya dengan kawasan suci, tidak hanya mata air atau tepi sungai dan danau yang dianggap suci sebagai tempat para dewa turun dan tinggal di tempat itu, oleh karenanya dipandang suci, tetapi juga tepi-tepi pantai dan puncak-puncak gunung. Berikut kitab suci Veda menjelaskan :

"Di tempat-tempat yang tergolong hening, digunung-gunung, pada pertemuan dua sungai (campuhan), di sanalah para maharsi mendapat inspirasi (pikiran) yang jernih "
(Rgveda VIII.6.28)

"Sejumlah besar air, bersama dengan air-air yang lainnya berkumpul menjadi sungai yang mengalir bersama-sama menuju ke laut (penampungan). Air yang murni, baik dari mata air maupun laut, mempunyai kekuatan yang mensucikan diri "
(Rgveda II.35.3)

Lebih jauh di dalam kitab Tantra Samuccaya dinyatakan :
"Para dewa tidak hanya berkenan untuk turun dan tinggal di Tirtha (Patirthan), di tepi sungai dan danau, tetapi juga di tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai, dan kuala (muara sungai), di puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, di hutan, di semak belukar dan kebun atau taman-taman, dekat tempat-tempat yang dirahmati atau pertapaan, di desa-desa, kota-kota dan di tempat-tempat lain yang membahagiakan " (1.1.28)

Demikianlah kita warisi tempat-tempat atau kawasan yang dipandang suci baik di India, Jawa maupun Bali yang masih terpelihara. Tepi sungai suci (ghat) seperti di Haridvar, Benares dan lain-lain. Pertemuan sungai Ganga dan Yamuna di Prayaga ( kini Allahabad ), pertemuan air sungai Ganga dan samudra India di pantai Timur Calcuta disebut Gangamahasagara dipandang suci oleh umat Hindu di India. 


Demikian pula puncak-puncak pegunungan Mahameru yang nampak melingkar seperti daun bunga padma, sangat menakjubkan, memberikan getaran spiritual yang tinggi merupakan sthana Tuhan Yang Maha Esa dan para Devata. Hal yang sama kita temukan di Indonesia dan Bali, tepi pantai tertentu di Bali dan hampir semua puncak pegunungan dan bukit-bukit di Bali juga diyakini sebagai sthana para devata, bahkan digambarkan sebagai "PADMADALA" kelopak daun bunga teratai yang menurut kitab Wrhaspati Tattwa merupakan sthana Sang Hyang Sadasiva.

Kini tempat-tempat yang indah dan menawan itu, tidak saja menjadi obyek wisata yang banyak diekspoitasi, yang mengakibatkan getaran kesucian kawasan itu semakin redup karena terjadi pencemaran spiritual.
  
Di masa yang silam peranan para pandita atau Samnyasin ( sannyasin ) sangat besar untuk menentukan suatu kawasan yang dipandang suci, karena persyaratan seperti disebutkan dalam kitab suci Veda maupun susastra Hindu tersebut di atas, tetapi juga melalui kekuatan spiritual, dengan membau tanah tersebut apakah harum atau busuk. Bila harum dan tanahnya tiris, maka kawasan tersebut sangat bagus dijadikan kawasan suci dan terlebih lagi di tempat tersebut kelihatan gunung-gunung dan lautan atau danau yang luas. Tempat yang demikian sering disebut Hyang-Hyang Ning Sagara Giri atau Sagara - Giri Adumukha.

Demikian pula halnya dengan pembangunan tempat-tempat seperti pura, maka tempat-tempat ideal seperti yang telah disebutkan diatas hendaknya menjadi pilihan dan prioritas yang utama, oleh karena itu wajarlah Pura-pura di Bali tempatnya senantiasa menawan dan dapat menggetarkan kehidupan spiritual seseorang.

Dari Buku Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu oleh I Made Titib, halaman 84, posting oleh rare angon nak bali belog.





3 komentar:

  1. nice info sobat.. lagi follow back. btw tukar link???

    BalasHapus
  2. SEMUA ARTIKEL DISINI MEMBUAT TIANG MENJADI FRUSTRASI DENGAN KEHIDUPAN YG TIDAK KEKAL INI, SEMOGA INI MENJADI KEHIDUPAN TERAKHIR BAGI HAMBA DI DUNIA INI YA.. TUHAN SHRI HARI KRSNA, HAMBA INGIN BERTEMU DENGANMU SETELAH KEMATIAN MENJELANG DAN MENJADI PELAYAN KEKAL ABADIMU...
    SUKSME BAGI YG PUNYA BLOG INI, YG TELAH MEMBUKA JALAN PIKIRAN TIANG...
    OSSSO

    BalasHapus
  3. Manggalam Astu, dumogi prasida kapolihang sane keaptiyang, titiang naler nunas mangdane idup titiyang galah mangkin pinaka sane paling ungkur, uusan piniki dumogi sampun prasida matunggilan sareng Ida Hyang Widhi, manunggalin Kawula Gusti ...

    BalasHapus

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive