Trie Utami & Nyanyian Dharma |
Dapat email dari sahabat lama, sahabat waktu di SMA Negeri Gianyar, yang isinya sebuah berita. Berita tentang Sunda Wiwitan, dimana Mbak Trie Utami sebagai pembicara dalam Seminar Nasional Budaya Sunda Wiwitan Program Pascasarjana IHDN Denpasar. Sebuah email yang merupakan berita bagi Rare Angon Nak Bali Belog dan perlu untuk disebarluaskan, melalui blog ini pula email itu Rare Angon posting, semoga dapat bermanfaat bagi sahabat dan pengunjung blog ini.
Penyanyi Trie Utami mengungkapkan harapan dan keinginanya agar
Bali dan Sunda jadi satu. Ungkapan itu disampaikan ketika
ia memberi makalah dalam “Seminar Nasional Budaya Sunda Wiwitan Program
Pascasarjana IHDN Denpasar,” baru-baru ini.
Dalam seminar yang dipandu oleh I Gusti Ngurah
Artha dari perguruan spiritual Sandhimurti itu, Trie Utami mengatakan:
“Saya menginginkan Sunda dan Bali mesikian
[jadi satu]”
Iie panggilan akrab Trie Utami yang pernah berkolaborasi dengan Dewa Budjana dalam album “Nyanyian Dharma” itu pun menjelaskan mengapa ia
berpendapat bahwa Bali dan Sunda disatukan.
Alasan utamanya, menurut Ibu mungil yang
mengaku sedang asik mendalami sejarah Nusantara ini, karena antara Sunda dan
Bali memiliki banyak kemiripan, dan sepertinya memiliki akar yang sama. Ia
mencontohkan:
“Di Bali masih gampang kita melihat orang
melaksanakan ritual, sebuah rangkaian upacara, pemujaan dan lain sebagainya. Sedangkan
di Sunda ada juga ajaran murni leluhur yang tidak jauh berbeda dengan di Bali,
hanya situasinya berbeda.”
Belakangan ini, menurut Iie, ada gejala dimana
orang kita masih ragu menunjukan jati diri, di negerinya sendiri. Sementara
sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk di wariskan ke anak-cucu, selain budaya
dan ajaran-ajaran leluhur. Ia menjelaskan:
“Bayangkan, negara yang kita tempati sudah
dimiliki orang asing; laut, pertambangan, lari ke luar negeri, mereka telah
mengontrak puluhan tahun, apa yang bisa kita wariskan kepada anak cucu kita
nanti.”
Hal sama juga diungkapkan oleh pembicara
lainnya, yakni Kang Uci, seorang tokoh Sunda Wiwitan yang sehari-harinya
sebagai dosen di Institut Harapan Bandung.
Menurut Kang Uci, Sunda dan Bali memiliki keterkaitan
yang erat di masa lalu. Hanya saja, sejarah itu telah diputarbalik, sehingga
kita tidak mampu lagi mengenali siapa diri kita sesungguhnya. Ia menjelaskan:
“Makanya kita ini telah dicacah
[dipisah-pisahkan] sekitar 400 tahun lamanya, jadilah sebuah negara yang kini
sudah tidak terasa berada di negeri sendiri, mulai bahasa, ajaran luhur kita
sudah dirampas dan dimusnahkan, hanya itu karakter penjajah dalam melumpuhkan
sebuah negara.”
Mengawali makalahnya, Kang Uci yang mengaku
pemuja Sang Hyang Ciwa itu membacakan sebuah mantra yang diiringi dengan sebuah
alat musik. Mantra itu, menurutnya, dimaksudkan untuk keselamatan dan
menyebarkan energy positif. Sedangkan alat musik yang ia gunakan bernama
‘Karinding’. Kang Uci menjelaskan:
“Ini namanya Karinding, sebuah alat musik
yang terbuat dari bambu, ‘ka’ berarti kepada, ‘ari’ arti bhatari, ‘ding’ itu
sanding menyertai.”
Sehingga secara keseluruhan “Karinding”
artinya “kepada para bhatara dan bhatari semoga bisa menyertai kita,”
papar Kang Uci.
Dalam sambutannya, Rektor IHDN Prof. Dr I Made
Titib mengungkapkan seminar itu penting artinya untuk menambah wawasan.
Menurutnya, ada banyak kemiripan pemujaan yang
dilakukan antara kepercayaan Bali dan Sunda Wiwitan. Ia mencontohkan:
“Seperti Sunda Upasunda, yang selama ini
cukup dikenal di Bali, kemudian pemuja Sanghyang ciwa, dikenal bathara guru,
ternyata di Sunda akarnya adalah budaya dengan memiliki ajaran yang mulia.”
Sehingga Prof Titib mengkonfirmasikan apa yang
diungkapkan oleh Trie Utami dan Kang Uci; ada keterkaitan atau hubungan erat
antara Sunda, Jawa dan Bali.
Catatan: Video di bawah ini adalah “Mantram
Gayatri” disertai arti dan menggunakan melodi Sunda, Trie Utami dan Dewa Budjana yang juga tampil di album “Nyanyian Dharma” (1998). Direkam
di Babakan, Siliwangi, Bandung ,
17 Desember 2011.
Suksma buat I B G W.
Semoga Hindu Jaya... Om Awighnamastu...
BalasHapusOm Awighnamastu...
BalasHapussemoga secara kwalitas umat semakin memahami Tattwa, Susila dan Upakara, tidak hanya bertingkah laku berkarya berdasarkan tradisi, sudah saatnya umat belajar, belajar dari lingkungan dan sejarah...