Orang Bali di Jakarta Kini |
Menurut legenda sebenarnya orang Bali hanya meminum air tebu sebagai pengganti asupan makanan. Lalu, demi mengangkat manusia dari penderitaan Dewa Wisnu, Sang Maha Pengasih dari Neraka, memutuskan turun ke bumi. Dewa air dan kesuburan yang berjenis kelamin laki-laki ini datang dengan sembunyi-sembunyi untuk menganugerahkan makanan yang lebih layak.
Dewa Wisnu menghamili Ibu Pertiwi hingga akhirnya melahirkan padi. Ia pun dikenal sebagai Sanghyang Ibu Pertiwi atau Dewi Kasih Sayang, Wisnu kemudian berperang melawan Batara Indra, Dewa Surga. Ia menuntut Sang Dewa mengajarkan manusia cara menanam padi. Jadi, padi yang merupakan sumber utama kehidupan dan kemakmuran; juga sebagai hadiah dari para dewa; dilahirkan dari proses penyatuan kosmik di alam semesta -- kekuatan dewa-dewi -- dalam perwujudan bumi dan air.
Selain beras putih, ada juga varietas beras merah (gaga) dan beras hitam (injin). Hal ini sesuai dengan gagasan simbolik orang Bali tentang hubungan antara warna dan arah mata angin. Benih disediakan Sanghyang Kesuhum Kidul (Brahma), pelindung arah selatan. Brahma bertugas mengirimkan empat Merpati yang membawa serta benih dari empat warna utama yaitu putih, merah, kuning dan hitam. Karena tidak ada beras berwarna kuning maka benih berwarna kuning digantikan kunyit, bumbu rempah istimewa.
Elemen yang paling mencolok dalam pemandangan alam Bali adalah areal persawahannya, sebidang tanah yang dialiri air dan dibatasi pematang-pematang. Hampir setiap lahan bisa diairi, bahkan dataran tinggi pun bisa dimanfaatkan sebagai areal persawahan. Terasering alias sengkedan buatan manusia terlihat seperti sebuah tangga raksasa, menyelimuti perbukitan dan tersebar hampir di seluruh lereng dan dataran.
Semua hal diatas menggambarkan keadaan Bali dahulu yang ditulis oleh Miguel Covarrubias -- artikel ini dari buku Bali Tempo Doeloe - Adrian Vickers --
OPINI : Persawahan di Bali seperti dahulu perlu dipertahankan, walaupun telah banyak yang berganti alih fungsi menjadi tempat tinggal, hotel, bungalow, restoran, art-shop, rumah makan, mall, penginapan, yang kesemua itu hanya untuk membangun pariwisata di Bali.
Persawahan yang beralih fungsi dapat disebabkan oleh :
- Masyarakat yang sudah tidak peduli lagi dengan pekerjaan sebagai petani, lebih berfikir menjadi 'pelayan' pariwisata, toh juga mencari uang untuk kehidupan, pola pikir ini tidak dapat disalahkan. Namun hal ini hanya bersifat sementara, kenapa demikian? Terasa saat hari tua, keinginan untuk selalu beraktivitas pada orang Bali sangat tinggi, salah satunya pasti keinginan untuk bercocok tanam. Lalu bagaimana jadinya bila persawahan sudah habis dijual ke investor ?
- Persawahan yang sulit mendapatkan air untuk kelangsungan hidup tanaman, air diatur untuk pariwisata seperti buka tutup bendungan untuk wisata air, pembangunan yang menyebabkan tertutupnya saluran air, serta tumpang tindihnya pembangunan rumah tinggal sehingga tidak adalagi air yang mengalir di salurannya.
- Persawahan sebagai objek wisata yang bisa dinikmati dari baru bangun pagi hingga mau tidur, atau sambil menyantap makan siang, sehingga ada lahan persawahan produktif disekitarnya harus dikorbankan untuk restoran atau hotel.
- Persawahan yang kini nyata-nyata sudah semakin sedikit, namun tetap saja ada orang Bali yang menjual tanah persawahannya untuk pariwisata. Konflik Internal yang memang diharapkan Investor terjadi di masyarakat, "Cai pidan dadi ngadep tanah, adi Cang jani sing dadi ?" atau "Tanah Cang ne, kadung adep Cang" atau "Cai cara Dewa ngatur Cang ..." atau "Pang karuan uug gumi Baline, jeg lakar adep" atau dan lain sebagainya. Baca Alangkah Lucu Orang Bali.
(RANBB)