Sejarah Siwa Budha di Bali.
Oleh: Ida Bagus Partawijaya.
Di Bali Siwa, Budha dan Waisnawa dilebur menjadi
agama Hindu Dharma yang ada sekarang di Bali oleh Mpu Kuturan.
Sementara sejarah keagamaan orang Bali sama
dengan orang Tibet. Sebelum masuk agama Budha orang Tibet memiliki agama Bon.
Agama Budha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa Budha di Bali.
RIG WEDA |
Penyatuan itu terjadi pada masa pemerintahan
raja suami istri Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali.
Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga/ orang Bali
asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali. Jadi ada orang Bali
Aga dan orang Bali. Banyak sekali sekte-sekte yang ada pada saat itu yang dalam
pelaksanaan pemujaan terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan itu akhirnya
menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya sehingga
menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa di dalam tubuh masyarakat Bali
aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. akibat yang bersifat negatif ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur. Kemudian sepakat untuk mendatangkan Panca Dewata ini atau lima orang Brahmana suci keturunan Hyang Bhatara Guru Geni Jaya Sakti atau Hyang Geni Jaya, yaitu: Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah.
Kelima Brahmana ini lazim disebut Panca Dewata,
Panca Tirta, Panca Pandita karena Beliau telah melaksanakan upacara wijati
yaitu menjalankan dharma kebrahmanan. Dari kelima Mpu di atas Mpu Kuturan
adalah yang paling berjasa dalam menata pemerintahan pulau Bali pada khususnya
dan Nusantara pada umumnya.
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat di
ketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu
kuturan di Bali berpangkat Senopati dan prasasti itu kini berada di:
Di desa Srai, kecamatan Kintamani.
Di desa Batur, kecamatan Kintamani
Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula Kabupaten
Buleleng
Di desa Batuan, kecamatan Sukawati
Di desa Ujung, Kabupaten Karangasem
Di desa Kehen Bangli, Kabupaten Bangli
Di desa Buahan, Kecamatan Kintamani.
Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai senopati di Bali. Dalam isi prasasti-prasasti tersebut adalah sabda raja-raja yang berkuasa pada saat itu dan memberi tahukan kepada masyarakat luas bahwa Ida Mpu Kuturan adalah yang berjasa di bumi Bali ini dalam mempersatukan sekte-sekte yang ada di Bali. Raja-raja yangg bertahta di Bali pada saat itu:
Raja Gunaprya Dharmapatni/ Udayana Warmadewa
yang menerbitkan prasasti pertama dan kedua.
Sri Adnyadani yang menerbitkan prasasti ketiga
Sri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano
Tunggadewa, yang menerbitkan prasasti keempat sampai ketujuh.
Ida Mpu Kuturan mengatakan kepada saya ada 3
sebab Beliau menetap di Bali.
Memenuhi permintaan raja suami istri yang
disebut di atas, yang memerlukan keahlian Beliau dalam bidang adat dan agama,
untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketegangan-ketegangan dalam
tubuh masyarakat Bali Aga.
Karena bertentangan dengan istri Beliau yang menguasai black magic dan oleh sebab itu istri Beliau ditinggalkan di Jawa yang kemudian dijuluki Walu Nateng Girah atau Rangda Nateng Girah (jandanya raja girah)
Sebagai bhiksuka atau sanyasa, Beliau lebih
mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi.
Kesempatan yang baik itu Beliau pergunakan untuk datang ke Bali, juga karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain menjadi senopati, Beliau juga diangkat sebagai Ketua Majelis dan diberi gelar; Pakira kiran i jero makabehan. Dalam suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar (Selanjutnya dibangun pura yang sekarang dikenal dengan pura Samuan Tiga, desa Bedulu Gianyar) yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu yaitu:
Dari pihak Budha diwakili oleh Mpu Kuturan yang
juga sebagai ketua sidang
Dari pihak Siwa diwakili oleh pemuka Siwa dari
Jawa
Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali
Aga.
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan
membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali yang terdiri dari berbagai
aliran. Tatkala itu, semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti
untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan layak dianggap sebagai perwujudan atau
manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kesepakatan yang tercapai pada waktu itu menjadi
keputusan pemerintah kerajaan, di mana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali
ditampung dalam satu wadah yang disebut Siwa Budha sebagai persenyawaan Siwa
dan Budha. Semenjak itu penganut Siwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan
suci (pura) untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya
masing-masing yang bernama:
Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan
Bhatara Brahma.
Pura Puseh untuk memuja kemuliaan Bhatara Wisnu.
Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatara Siwa.
Ketiga pura tersebut disebut pura Khayangan Tiga
yang menjadi lambang persatuan umat Siwa Budha di Bali. Dalam samuan tiga juga
dilahirkan suatu organisasi desa pakraman yang lebih dikenal sebagai desa adat
dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam
bidang politik, sosial dan spiritual.
Mpu Kuturan berkata kepada saya di Bali, salah
satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Budha
ada istilah Sunyata. Tahun baru di Bali (hari raya nyepi) dirayakan dengan
sunyi (sunyata). Di Bali selatan, ada pura Sakenan, sementara Sakenan berasal
dari kata Sakyamuni/ Buddha. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama. Jadi kebanyakan
konsep-konsep pemujaan di Bali diambil dari Budha. Suatu contoh, bentuk meru,
Mpu Kuturan mengambilnya dari bentuk pagoda Cina yang umum sebagai bentuk
bangunan pemujaan agama Budha.
Dan Ida Mpu Kuturan sendiri menjelaskan bahwa
konsep padmasana diambil dari Buddha Mahayana, padmasana berarti padma: bunga
padma, sana: sikap duduk. Jadi padmasana berarti duduk di atas bunga padma.
Sang Budha-lah yang duduk di atas bunga padma karena sang Budha adalah Awatara
Wisnu yang sempurna dan yang tidak membunuh. Yang hanya memberikan kasih sayang
kepada seluruh umat manusia. Kenapa harus Sang Budha ? Karena di Nusantara ini
konteksnya adalah Siwa Budha, Jadi Budha bisa juga diartikan sebagai
ibu/predhana, jadi pada hakekatnya Siwa Budha adalah: Sama satu manunggal.
Ida Mpu Kuturan memberikan sebuah bait suci
dimana kegaiban dan keajaiban adalah sifat wujud Tuhan yang kasat mata.
Ya iku senguh tanakku sira ta nunggalaken
bhuwana ngarania, nihan ta upamanta sira waneh, kalinganya kadyangganing manuk
sang manon, mur tan pahelar, meleset tan pacikara, manon ndatanpamata,
mangrengo tan patalingan, mangambu tan pagrana, magamelan tan patangan, lumaku
tan pasuku, rumasa rasa tan paiden tan paparus ya jana prawriti, tatan panak
yaya wrddhi, tan paweteng yaya membekan, tatan pecangkem yaya amangan, tatan
pailat yaya mangrasani.
Artinya:
Tuhan
bagaikan burung terbang dengan tiada bersayap, kian kemari dengan tiada
berkepala, melihat tiada dengan bermata, mendengar dengan tiada bertelinga,
membaui dengan tiada berhidung, memegang dengan tiada bertangan, bergerak
dengan tiada berkaki, merasakan rasa dengan tiada berperasaan, melahirkan
dengan tiada bertanda jantan atau betina, tiada bermulut namun ia dapat
menikmati, tidak berlidah tetapi dapat
merasakan.
Ida Mpu
Kuturan
Jadi semua sifat Tuhan tiada batasnya.
Om santi santi santi Om.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buku Tamu