Selasa, 22 Januari 2019

Tanya Jawab Agama Hindu : Bersembahyang Dan Berdoa

Hindu Balu
Bersembahyang Pitra
Om Swastiastu, Astungkara pada kesempatan ini, Rare Angon NakBaliBlog akan menyampaikan hal Bersembahyang dan Berdoa menurut agama Hindu. Topik ini merupakan bentuk Tanya-Jawab yang bersumber dari sastra-sastra dan buku-buku Hindu yang kami miliki. Judul Bukunya Klik Disini. Artikel ini dapat digunakan sebagai skrip dialog dalam Mimbar Agama Hindu baik untuk siaran televisi maupun radio. Semoga dialog ini bisa bermanfaat bagi kita, dalam peningkatan Sradha dan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Mengetahui.
 

Tanya :
Apakah ada perbedaan antara bersembahyang dan berdoa. Mohon penjelasannya.
 

Jawab :  
Sembahyang atau bisa disebut puja, artinya menyembah atau memuja Tuhan, Ida SangHyang Widhi Wasa, yang disampaikan dengan mantra, baik itu mantra dalam bahasa Sanskerta ataupun bahasa daerah kita, kemudian dilakukan dengan sikap tubuh tertentu, seperti duduk bersila untuk laki-laki dan duduk bersimpuh untuk perempuan serta dengan sikap tangan tertentu.
Sedangkan berdoa, doa berasal dari bahasa Arab yang artinya memohon, bisa dilakukan dengan bebas, tidak perlu bahasa khusus atau sikap khusus. Ada yang hanya dengan menengadahkan tangan saja atau menundukkan kepala.
 


Tanya :
Apakah bisa diuraikan arti kata Sembahyang ?
 

Jawab :  
Sebutan “Sembahyang” berasal dari dua kata yaitu sembah dan hyang .
Sembah adalah memberikan dengan tulus ikhlas rasa hormat atau menyajikan dengan hati yang bersih tanpa meminta imbalan. Tata krama bersembah merupakan laku layan atas dasar pengabdian. Sama sekali tidak ada unsur paksaan atau dibawah tekanan dan ancaman apapun karena laku sembah merupakan kesadaran tertinggi.
Hyang ( eyang, biyang, moyang ) adalah bibit-bibit (cikal bakal) atau inti segala sumber. Pada pengertian yang lebih luah-mendalam maknanya ialah yang menyebabkan terjadinya sesuatu keberadaan dan keadaan atau sebagai sebab atas segala kejadian.
Maka Ber-Sembahyang  adalah menyediakan atau memberikan diri secara tulus penuh kepasrahan (sukarela) untuk dihidupkan oleh Hyang Maha Kuasa (sebagai sumber inti dari segala keberadaan dan keadaan).
 

Tanya :
Lalu benarkah bersembahyang itu lama ? Dan kenapa harus didahului dengan ber-Trisandya.
 

Jawab :   
Bersembahyang itu tidak lama. Segala sesuatu yang kita lakukan dengan penuh keyakinan dan ketulusan, tidak ada waktu yang relatif lama. Duduk di hadapan Hyang Widhi seharusnya kita berbahagia, gembira dan tenang, karena waktu kita memang untuk Hyang Widhi. Lalu kenapa kita dahului dengan ber-Trisandya ?
Ber-Trisandya termasuk dalam bersembahyang harian, karena dalam agama kita ada waktu-waktu tertentu dalam bersembahyang, yang pertama pada hari raya umum, seperi Galungan dan Kuningan, Saraswati, Siwaratri dan lain sebagainya. Kemudian yang kedua kita bersembahyang pada saat ada upacara-upacara Panca Yadnya, yang ketiga secara berkala, seperti Purnama-Tilem, Tumpek, atau Rerainan. Dan Tri Sandya dikatagorikan dalam bersembahyang harian, rutin, Nitya Karma Puja yang dilakukan tiga kali sehari yang menurut petunjuk Kitab Suci Rg Weda Mandala V sukta 54 mantra 6 dan Rg Weda Mandala VIII sukta 31 mantra 1. Ini disebut Tri Sandya  (Tiga Peralihan Waktu)
Petunjuk tentang Tri Sandya terdapat dalam Veda dan di dalam Taittiriya Upanisad bahwa pelaksanaan sembahyang waktunya adalah pada saat sandya (peralihan waktu, yaitu pagi, tengah hari dan menjelang malam). Demikian juga petunjuk di dalam Chandogya Upanisad; prapataka II, canda 24, mantra 1, ketiga waktu sembahyang itu disebut dengan istilah Pratah Savanam (pagi), Madyandina Savanam (tengah hari) dan Trtiya Savanam atau disebut juga Sandya Savanam (menjelang malam).
 

Tanya :
Apakah Mantra itu ? Mohon pencerahannya.
Jawab    :
Salah satu kata yang paling luas dipergunakan dalam teks keagamaan yang berbahasa Sanskerta adalah Mantra. Secara etimologi Mantra didefinisikan sebagai “Itu yang melindungi” . TRA ; Melindungi, to protect, ketika diucapkan secara berulang dan direnungkan. MAN ; berpikir, merenung, to think, to reflect.
Kata Mantra mempunyai dua arti; bagian-bagian yang berbentuk puisi dari Veda dan nama-nama dan suku kata yang digunakan untuk mengidentifikasikan atau mengambil hati para Dewa. Yang pertama bersifat Veda dan yang kedua bersifat Tantrik.
 

Tanya :
Selain dengan cara Bersembahyang, kegiatan apa lagi yang merupakan bagian dari ibadah Umat Hindu ?
 

Jawab :
Dalam agama Hindu, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan bisa dalam bentuk Yadnya dan Yoga. Pemujaan kepada Tuhan dengan penuh cinta;
Bhajan, atau bhajana , dari akar bhaj = mencintai, memuja, memuji, kidung, japa bhakti secara individu atau kelompok untuk memuja Yang Suci.
Kirtana atau kirtanam = menyanyikanpujian kepada Tuhan, Japa, salah satu dari sembilan bentuk bhakti. Kidung-kidung yang indah itu adalah ekspresi rasa cinta dan keindahan kita kepada Tuhan, dalam aspek Saguna Brahman.
Sembahyang sebenarnya adalah bentuk dari Bhakti Yoga. Sedangkan Jnana Yoga dan Raja Yoga, meditasi (Dhyana Yoga) adalah bentuk hubungan kita dengan Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman.
 

Tanya :
Apa perbedaan masing-masing sembah pada sembahyang Panca Sembah ? mohon pencerahannya
 

Jawab   :
Sembah pertama itu adalah penyucian atman, sembah kedua memohon agar Siwa Raditya berkenan sebagai saksi. Sembah ketiga, pemujaan untuk Brahman atau Istadewata, termasuk para leluhur yang setingkat dengan dewata. Sembah keempat permohonan anugrah, dan ke lima ucapan terima kasih.
 

Tanya :
Setelah bersembahyang kita mendapat Tirtha dan Bija, mohon pencerahannya Apa manfaat Tirtha dan Bija ?
 

Jawab    :
Di dalam Veda disebutkan manfaat tirtha sebagai berikut :
“Bersihkan, Air, apapun dosaku, kesalahanku apapun yang telah kulakukan, kutukan apapun yang telah kukatakan, dan kebohongan apapun yang telah kuucapkan”
Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu; Pertama dengan cara memohon dihadapan pelinggih Ida Bhatara melalui upacara tertentu. Yang kedua dengan cara membuat (ngareka) yang dilakukan dengan mengucapkan puja-mantra tertentu, tentunya hanya oleh orang yang sudah berwenang, yaitu seorang Jawab, Pedanda, Sulinggih lainnya. Kemudian Bija, mebija dilakukan setelah metirtha merupakan rangkaian terakhir dari suatu upacara persembahyangan. Bija atau Wija adalah lambang dari Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Mabija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri manusia.
 

Renungan :
Umat Hindu yang berbahagia, demikian uraian yang telah disampaikan sudah sangat jelas dan mencerahkan. Mari kita senantiasa melaksanakan persembahyangan rutin, yaitu ber-Trisandya, kemudian dilanjutkan dengan Panca Sembah, pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Sedangkan berdoa, dapat kita lakukan kapan saja, setiap saat, setiap akan memulai aktifitas, belajar, bekerja atau saat kita akan beristirahat malam.
 

Umat Hindu Sedharma, semoga kita senantiasa dalam lindungan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Om Santih-Santih-Santih Om

Selasa, 15 Januari 2019

Cara Untuk Mendapat Moksa

Rare Angon
Rare Angon Nak Bali Belog
Cerita seekor burung dari khasanah puisi Persia menarik untuk direnungkan. Prof. Sharma mencatatnya dalam konteks pembicaraan  tentang sthitaprajna dan jiwanmukti. Kisah singkatnya sebagai berikut : Seorang  saudagar bangsa Persia seringkali melakukan perjalanan dagang ke India. Pada suatu hari ketika ia kembali ke negerinya ia membawa seekor burung Kakatua India. Burung ini lalu dipeliharanya dalam sangkar emas, diberikan makanan yang paling enak, dan akhirnya ia menjadi sahabat burung itu.

Baca Juga : Cerita Tiga (3) Perampok Di Jalan

Burung itu ternyata dapat berkata-kata seperti manusia, dan dapat pula membicarakan ajaran-ajaran agama dengan saudagar itu yang kebetulan juga seorang yang saleh. Ketika saudagar itu berangkat kembali ke India, si burung Kakatua meminta kepadanya supaya membawakan sebuah hadiah : "Cara-cara untuk mendapat moksa ". Burung Kakatua itu berkata, "Saya sangat berterima kasih karena anda telah memberikan saya sangkar terbuat dari emas, makanan enak dan perhatian yang paling akrab. Tetapi saya tidak punya kemerdekaan. Oleh karena itu tolong usahakan menghimpun dari burung-burung Kakatua India yang lain, yang mungkin terbang bebas, bagaimana saya bisa mendapatkan kebebasan bagi diri saya sendiri". 



Baca Juga : Sastra Jawa Kuna : Kawin Paksa

Saudagar itu ketika menjelang kembali dari India sempat bertemu dengan segerombolan Kakatua. Segera ia menceritakan keadaan burung yang sekarang sedang terkungkung, dan minta diberitahukan bagaimana agar ia itu dapat bebas. Mendengar cerita itu salah seekor burung itu lalu tiba-tiba terjatuh dan mati. Sang saudagar berkesimpulan bahwa burung yang baru mati itu adalah pasangan tercinta burung Kakatuanya yang mati kesedihan.

Saudagar itu tidak berhasil mendapatkan "Cara-cara untuk mendapatkan Moksa/ kemerdekaan". Ketika ia sampai di rumahnya, dan ketika si burung Kakatua peliharaannya mendesak menanyakan tentang cara mendapatkan kebebasan, dengan berat hati diceritakan oleh saudagar itu tentang kejadian yang ditemuinya : betapa seekor burung Kakatua telah mati seketika ketika ia menanyakan hal itu kepadanya. 

Baca Juga : Cerita Rakyat Bali : Kutukan Ekalaya

Sementara sang saudagar melanjutkan ceritanya, si burung yang berada dalam sangkar emas itu lalu terdiam, pingsan dan akhirnya mati. Sang Saudagar menyesali kekeliruannya, dan berjanji tidak akan mengurung burung lagi, dan dengan tujuan memberikan kebebasan kepada burungnya,setidak-tidaknya setelah burung itu mati, lalu ia membuka sangkarnya dan melemparkan bangkai burung itu ke suatu tanah lapang.

Seketika burung itu terbang dan hinggap diatas rumah saudagar itu.Ia berterima kasih kepada saudagar itu karena benar-benar membawakan "Cara untuk mendapatkan Moksa / kebebasan" sebagai oleh-oleh dari India, dan menawarkan untuk memberinya pelajaran terpenting tentang kerokhanian dengan mengatakan bahwa burung yang mati di India setelah mendengarkan cerita saudagar itu dengan sangat cerdiknya menyampaikan kepada Kakatua di Persia, bahwa untuk mendapatkan kebebasan iapun harus mati. Demikianlah maka Kakatua di Persia juga mati setelah mendengar kisah saudagar itu dan akhirnya mendapatkan kebebasannya dari kurungan.

Renungan Cerita Burung Kakatua

Kisah ini memang perlu direnungkan. Ada dua segi yang menarik dari cerita ini : segi akal dan segi spiritual. Tentang segi akal yang pertama sudah jelas bagi kita, namun tentang segi yang kedua disebutkan bahwa "agar mendapatkan emansipasi spiritual seseorang harus mati sebelum kematian yang sebenarnya menimpanya" . Bagaimana kita memberi makna pada kata "mati: itu . Mari kita renungkan kembali cerita bermakna ini !! 

Dikutip dari buku Wija Kasawur Ki Nirdon

Baca Juga : 


 

Minggu, 06 Januari 2019

Durian Baduy Jero 'Dalam' Cikeusik Banten

Baduy Dalam Banten
Baduy Jero Cikeusik
 Baduy, Gunung Ulah Dilebur, Lebak Ulah Dirusak. Inilah Mottonya, bagi kami mereka adalah Pelestari Alam Sejati. Kali kedua berkesempatan untuk bermalam dirumah mereka, bersama-sama menikmati gelapnya malam, dinginnya udara pegunungan, beningnya air sungai, dan hijaunya alam. Dan yang tidak kalah dari semua itu, ranum, manis dan legitnya Durian Baduy. Desa ini adalah Desa Kanekes, kecamatan Leiwidamar, Lebak Banten. Catatan Perjalanan kali ini berbagi mengenai perjalanan kami 'berburu' Durian Baduy ke Baduy Jero (Baduy Dalam) di Cikeusik. Perjalanan kali ini bersamaan dengan Hari Raya Siwaratri, Malam Siwa ...

Baca Juga : Catatan Perjalanan Melali Ke Baduy Dalam

Perjalanan dari Tangerang Selatan menuju Desa Keboncau (atau Cijahe, dari obrolan yang kami dengar) sekitar 3 jam-an. Melalui toll Serang keluar di Ciujung/Kragilan terus menuju ke Petir dan Rangkasbitung, dari Rangkasbitung ke arah Bojongmanik dan tiba di di Desa Keboncau. Setelah bersua teman dari Rangkasbitung yang merupakan 'guide' sekaligus temen gowes, kami belanja terlebih dahulu untuk 'tuan rumah' kami bermalam. Biasanya para pengunjung yang akan menginap membawa Beras, Gula, Kopi, Minyak Goreng, Telor, Garam, Cabe, dan bahan makanan lain. Semua Sembako ini tidak semata-mata untuk mereka, tetapi juga untuk kita makan malam dan sarapan. Kita masak sama-sama, makan sama-sama, asik kan ... Perjalanan ke Rangkasbitung mengingatkan pada kegiatan Gobar Gowes Bareng ke Labuan ...

Baca Juga : Gowes Menjadi Happy : Manajemen Perjalanan




Cikeusik Durian
Durian Baduy
Perjalanan kali ini memang berbeda dengan yang dulu pernah kami jalani, kali ini menuju Baduy Dalam dengan 'misi' berburu Durian, buah yang sangat terkenal enak, lezat ini telah 'mengundang' kami untuk menikmatinya. Bulan ini (Januari/Februari) merupakan musim buah Durian. Beda banget rasanya Durian Baduy ini. Tiba di desa terakhir untuk memarkir kendaraan kami melanjutkan untuk tracking, mengingat kedatangan kami sudah petang, perjalanan tracking dilaksanakan pada malam hari. Berbeda dengan perjalanan ke Baduy Dalam Cibeo (lihat disni), tracking di Cikeusik dari Cijahe (Keboncau) hanya sekitar 2 km saja (30-40 menit). Setelah melewati perladangan, dan hutan, akhirnya kami tiba di 'tuan rumah'. Malam itu pula kami disuguhi Durian yang lesat. Waw nikmatnya luar biasa ... satu, dua, tiga, empat buah Durian yang disuguhkan kami nikmati .... Setelah itu kami bertukar cerita, dan akhirnya malam yang gelap, sunyi dan udara yang dingin menidurkan kami ...

Keesokan harinya, kami dibangunkan oleh kokok ayam yang sudah sangat jarang kami dengar di kota,  pagi udara segar tanpa polusi udara, air pegunungan tempat kami membersihkan badan yang dingin dan jernih. Setelah berjalan-jalan disekitar perumahan kami membantu 'tuan rumah' untuk masak makan sarapan. Menikmati sarapan dengan daun "Megibung" (Bhs Bali) sangat nikmat, semua nasi lauk ikan di tata dengan rapi, kemudian kami duduk melingkar dan menikmati sarapan penuh suka dan persahabatan. Sesuai Adat Aturan Tata Krama Baduy Dalam bahwasanya tidak melakukan kegiatan fotografy (foto-foto) atau selfie di lingkungan Baduy Dalam, demikian pula kami selama di antara mereka, selama di lingkungan Baduy Dalam kami tidak memiliki foto dokumentasi apapun.

Baca Juga : Tri Hita Karana ; Alam Universitas Abadi

Baduy Jero
Ciboleger
Setelah menikmati sarapan, kami memilih-milih Durian Baduy, dan kembali kami menikmati beberapa buah Durian yang lesat ini. Perjalanan kembali ke Tangerang Selatan dari Baduy Dalam sekitar pukul 13.00. Kami menyempatkan diri ke Ciboleger yang merupakan ikon (pintu masuk) ke Baduy Dalam Cibeo. Menikmati perjalanan yang mengasikkan, menikmati Durian yang enak dan lezat ini menjadikan sebuah pengalaman baru.... Bagi para pecinta Durian belum lengkap rasanya bila tidak menikmati lezatnya Durian Baduy. Marilah datang ke mereka, membeli Duriannya baik untuk dinikmati sendiri ataupun untuk kegiatan bisnis .. hehe hehe ...

Sepanjang jalan baik menuju Cikeusik ataupun Ciboleger kami menjumpai banyak sekali Durian yang ranum-ranum. Membeli langsung ke mereka akan meningkatkan kesejahteraan, dan alampun semakin terjaga, karena akan timbul tunas-tunas pohon Durian baru setiap tahunnya ... mari membeli Durian Baduy sekaligus menikmati indahnya alam Ciboleger ataupun Banten yang kita cintai bersama ...
postby : Rare Angon Nakbalibelog