Nagabandha |
Bade bentuknya menyerupai Meru, namun terbuat dari kayu dan dilapisi dengan kertas warna-warni utamanya kertas emas. Seperti halnya Meru, maka Bade menggunakan atap tumpang, yakni yang tertinggi beratap tumpang 11 ( Solas ), atap tumpang 9 ( Sanga ), atap tumpang 7 ( Pitu ), atap tumpang 5 ( Lima ), atap tumpang 3 ( Telu ) dan atap tumpang 1 ( terdiri dari 2 atap tumpang ).
Bade adalah lambang " Bhuwana Agung " dengan puncak-puncak gunung yang disimbolkan dengan atap tumpang tersebut. Dengan ditempatkannya jenasah pada menara yang disebut Bade ini, diharapkan Roh ( Atma ) orang yang diupacarakan Ngaben tersebut segera mencapai alam Sorga ( Kadevataan )
Nagabandha. Berkaitan dengan upacara Ngaben dalam tingkatan yang besar (uttama) dan umumnya digunakan bagi para raja ( mantan raja ) dan juga pandita Hindu dari warga Brahmana Budha ( Budakeling ) adalah Nagabandha.
Nagabandha dibuat dari kain dengan panjang 1700 depa ( sekitar 1.500 meter ) merupakan simbol dari keterikatan badan jasmani terhadap objek-objek duniawi, oleh karena itu pada saat upacara Ngaben, Nagabandha tersebut di "ENTAS" dengan panah kalepasan oleh seorang pandita yang memimpin upacara Ngaben tersebut.
Nagabandha dibuat dari kain dengan panjang 1700 depa ( sekitar 1.500 meter ) merupakan simbol dari keterikatan badan jasmani terhadap objek-objek duniawi, oleh karena itu pada saat upacara Ngaben, Nagabandha tersebut di "ENTAS" dengan panah kalepasan oleh seorang pandita yang memimpin upacara Ngaben tersebut.
Dalam lontar Tattwa Bhattara Astapaka diuraikan " .... Huwus lah yeki ingaranan Nagabandha, penuntn sang wibhuh muliheng Haribhawana. Sadela setahun rong tahun cili muliheng Haribhawana, munggah ring bale-reragi. Kewala kawenangan kulawangsa sangulun juga angatera, yan tan kulawangsa hulun kawenang, tatan prasidha sang hyang pitra muiheng Haribhawana"
Terjemahannya:
".... Inilah yang bernama Nagabandha, yang akan menuntun seorang raja mencapai sorga ( Haribhawana ). Kiranya tidak akan lama lagi Tuanku ( Cili Bali ) akan pulang ke alam sorga, ditempatkan di balai raragi ( kematian). Dan yang patut menyelesaikan ( memimpin upacara ) adalah keturunan hamba ( Mpu Danghyang Astapaka ) sajalah, bila tidak dari keturunan hamba, tidak akan mendapat sorga arwah yang meninggal dunia ".
sejarah Nagabandha dalam Lontar Tattwa Bhatara Astapaka, yang merupakan babad (silsilah) keluarga Brahmana Buddha di Bali, yang dimaksud adalah Mpu Katarangan yang identik dengan Mpu Astapaka, putra Mpu Angcoka, kakak dari Danghyang Nirartha seorang pandita istana dari raja Dalem Waturenggong yang memerintah Bali pada tahun 1460-1550 Masehi dan beristana di Puri Linggarsapura ( Gelgel ), Kabupaten Klungkung.
Dalam Babad tersebut diuraikan bahwa Mpu Katarangan datang ke Bali karena diminta oleh Dalem Waturenggong untuk memimpin upacara "Homayajna". Setelah beliau tiba di Bali, sebelum sampai di istana Gelgel, Raja Dalem Waturenggong ingin menguji kesaktian Mpu Katarangan. Upaya yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong adalah membuat lubang di bawah lantai pertemuan, selanjutnya di dalam lubang dimasukkan seekor angsa kemudian diberi rongga udara dan ditutup dengan gedeg dari atas.
Pada saat Mpu Katarangan tiba di istana ( balai pertemuan ), beliau disambut dengan meriah, dihadiri oleh seluruh pejabat istana dan para pandita, demikian juga masyarakat disekitar puri. Ketika sidang berlangsung tiba-tiba angsa dalam lubang berbunyi. Dalem Waturenggong pura-pura tidak mengetahui suara tersebut dan menanyai hal ini kepada Mpu Katarangan.
Merasa bahwa dirinya diuji oleh Dalem Waturenggong, Mpu Katarangan menjawab bahwa suara tersebut ternyata seekor naga yang sangat besar, yang langsung dipangku oleh Mpu Katarangan. Dalem Waturenggong menanyakan tentang naga tersebut, Mpu Katarangan menjelaskan bahwa naga ini bernama Nagabandha, merupakan penuntun bagi sang raja untuk mencapai Visnuloka.
Selanjutnya Mpu Katarangan atau Danghyang Astapaka meninggalkan Gekgel pergi ke arah timur dan membuat asrama serta menetap di Budakeling Karangasem.
sejarah Nagabandha dalam Lontar Tattwa Bhatara Astapaka, yang merupakan babad (silsilah) keluarga Brahmana Buddha di Bali, yang dimaksud adalah Mpu Katarangan yang identik dengan Mpu Astapaka, putra Mpu Angcoka, kakak dari Danghyang Nirartha seorang pandita istana dari raja Dalem Waturenggong yang memerintah Bali pada tahun 1460-1550 Masehi dan beristana di Puri Linggarsapura ( Gelgel ), Kabupaten Klungkung.
Dalam Babad tersebut diuraikan bahwa Mpu Katarangan datang ke Bali karena diminta oleh Dalem Waturenggong untuk memimpin upacara "Homayajna". Setelah beliau tiba di Bali, sebelum sampai di istana Gelgel, Raja Dalem Waturenggong ingin menguji kesaktian Mpu Katarangan. Upaya yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong adalah membuat lubang di bawah lantai pertemuan, selanjutnya di dalam lubang dimasukkan seekor angsa kemudian diberi rongga udara dan ditutup dengan gedeg dari atas.
Pada saat Mpu Katarangan tiba di istana ( balai pertemuan ), beliau disambut dengan meriah, dihadiri oleh seluruh pejabat istana dan para pandita, demikian juga masyarakat disekitar puri. Ketika sidang berlangsung tiba-tiba angsa dalam lubang berbunyi. Dalem Waturenggong pura-pura tidak mengetahui suara tersebut dan menanyai hal ini kepada Mpu Katarangan.
Merasa bahwa dirinya diuji oleh Dalem Waturenggong, Mpu Katarangan menjawab bahwa suara tersebut ternyata seekor naga yang sangat besar, yang langsung dipangku oleh Mpu Katarangan. Dalem Waturenggong menanyakan tentang naga tersebut, Mpu Katarangan menjelaskan bahwa naga ini bernama Nagabandha, merupakan penuntun bagi sang raja untuk mencapai Visnuloka.
Selanjutnya Mpu Katarangan atau Danghyang Astapaka meninggalkan Gekgel pergi ke arah timur dan membuat asrama serta menetap di Budakeling Karangasem.