Buku Falsafah Jawa |
Lurusing Lathi, Leresing Karep, Lirising Laku, Larasing Karsa.
Jawa
merupakan pulau yang pernah menjadi pusat peradaban sekaligus kejayaan Hindu
selama kurang lebih sekitar 1000 tahun. Sebagai pusat peradaban Hindu di masa lampau, maka tidaklah mengherankan
jika hampir semua pemikiran-pemikiran Hindu telah terpatri menjadi bagian dari
peradaban atau kebudayaan Jawa itu sendiri. Lebih-lebih pasca proyek besar
mangjawaken byasamata pada abad ke-10 di bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa.
Bahkan surutnya peradaban Hindu dan berkembangnya peradaban Islam di Jawa,
tidak menjadikan peradaban Jawa meninggalkan pemikiran-pemikiran Hindu
sebelumnya. Justru sebaliknya ketiga peradaban itu malah bermozaik menjadi
suatu isme baru yang dikenal sebagai javanisme atau kejawen.
Budaya Jawa
sebagai perkembangan cipta, rasa dan karsa menusia Jawa telah dikenal sebagai
budaya yang adi luhung. Keseluruhan budaya Jawa tersebut juga menjadi dasar
pemikiran-pemikiran orang Jawa dalam memahami hakekat. Pemikiran-pemikiran
inilah yang kemudian memunculkan pandangan hidup Jawa yang dikenal sebagai
filsafat atau falsafah Jawa.
Link terkait membahas budaya Hindu
Pada
hakikatnya falasafah Jawa timbul dari kecintaan orang Jawa untuk ngudi
kasampurnan (mencapai kesempurnaan hidup) yang juga sebagai tujuan hidup orang
Jawa itu sendiri. Untuk mencapai kesempurnaan hidup itu maka mereka memerlukan
“ngelmu kasunyatan”
atau “sastra cetha” sebagai jembatan yang harus dilaluinya agar dapat terhubung dengan-Nya.
atau “sastra cetha” sebagai jembatan yang harus dilaluinya agar dapat terhubung dengan-Nya.
Sebagaimana
kerangka filsafat pada umumnya, kerangka yang membangun filsafat Jawa pun
terdiri atas metafisika atau ontologi (filsafat tentang “ada”) yang memandang
inti kesemestaan sebagai kasunyatan (ada dan tiada), epistemologi (filsafat
tentang ilmu pengetahuan) yang berdasarkan penalaran (OAM dengan segala variasinya)
dan rasa “Jawa” (laku yang harus dilaksanakan), dan aksiologi (filsafat tentang
nilai atau value) yang berakar pada tata nilai Jawa.
Umat Hindu
Jawa memandang filsafat atau falsafah Jawa sebagai sebuah pandangan hidup yang
telah menyatu dalam jiwa dan tercermin dalam setiap peri-kehidupannya. Sehingga
apabila falsafah Jawa dalam diri mereka ibarat wayang ilang gapite (raga
kehilangan nyawanya).
Selain itu
dengan keberadaan mitos Sabdo Palon Naya Genggong yang diyakini oleh sebagian
besar masyarakat Jawa, Umat Hindu – Jawa semakin mantap dengan keyakinan dan
falsafah hidupnya. Kebangkitan agama “kawruh” atau agama “Buddhi” yang
dinyatakan dalam ramalan Sabdo Palon tersebut akan membawa dampak nyata dalam
mengembalikan kejawaan dan keyakinan para leluhur (kawitan) mereka. Selain itu
kebangkitan Buddhi (kecerdasan spiritual) yang ditandai dengan umbul-umbul
klaras pada ramalan Sabdo Palon tersebut mengisyaratkan agar mereka bisa
mengembangkan ajaran agamanya dengan lurusing lathi (kejujuran), leresing karep
(kemauan yang benar), lirising laku (kegiatan spiritual yang rutin) dan
larasing karsa (tindakan yang selaras dengan kejujuran, kebenaran didasari oleh
spiritualitas tinggi).
Dalam
peri-kehidupan beragama, falsafah Jawa secara esensial terbukti mampu memberikan
spirit dan kekuatan terhadap umat Hindu Jawa sehingga mereka dapat
mempertahankan keyakinan yang dianggap warisan leluhur itu. Tanpa spirit ini
kemungkinan besar sejak berabad-abad yang lampau, agama Hindu sudah tiada lagi
di Jawa.
Esensifalsafah Jawa tersebut dapat ditemukan dalam setiap intisari filosofis budaya
Jawa. Bagi umat Hindu Jawa falsafah ini mampu untuk mentransformasikan tattwa
(sraddha) ala Jawa dalam sanubari mereka, menegakkan (supremasi) kembali susila
dalam kehidupan beragama mereka serta merekomendasikan pelaksanaan ritual
(upacara) Hindu.
Mengingat
substansi dan esensi yang diberikan falsafah Jawa terhadap kehidupan masyarakat
Jawa, maka perlu adanya suatu pelestarian budaya Jawa yang harus didukung oleh
segenap kalangan baik itu pemerintah dan masyarakat. Pelestarian budaya leluhur
ini juga harus diaplikasikan melalui kebijakan-kebijakan institusional serta
program-program terpadu baik pada sektor informal, formal maupun non formal.
Budaya Jawa yang dilestarikan tersebut perlu didasarkan pada nilai-nilai
filosofinya atau falsafah Jawa itu sendiri, sehingga masyarakat Jawa pada
umumnya dapat mengerti akan dirinya sebagai seorang “Jawa” agar ungkapan “wong
Jawa ilang jawane” yang menjadi kekhawatiran para budayawan Jawa tidak menjadi
kenyataan.
Terkait
dengan pengembangan peradaban umat Hindu maka “link” peradaban Hindu Jawa (juga
dengan budaya yang lain seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Papua dan
sebagainya) perlu digalakkan agar terjalin kemunikasi multikultur yang efektif.
Karena dengan komunikasi efektif seperti ini maka agama Hindu akan menjadi
agama yang kuat dan didukung oleh kearifan lokal d masing-masing daerah di mana
Hindu berada.
Namun
demikian peradaban atau budaya lokal tersebut bukan untuk menciptakan
aliran-aliran agama (Hindu) lokal yang baru. Seperti misalnya persepsi sebagian
orang yang salah tentang Hindu Bali, Hindu Jawa, Hindu Kaharingan, Hindu Sunda,
Hindu Samin, Hindu Toraja dan Hindu-Hindu lainnya.
“…Aja
pati-pati ninggalake agamane leluhurmu senajan ta umat Hindu mung kari
sethithik” ( jangan sekali-sekali meninggalkan agama leluhurmu walaupun umat
Hindu tinggal sedikit).
Opini RareAngon Nak Bali Belog. Begitu takutkah orang belajar dan mengembangkan budaya
lokal yang telah ada ?, samakah budaya dengan agama ?, sehingga seolah-olah
menjalankan budaya lokal berarti kita harus merubah agama. Kekuatan Bangsa Indonesia
ada pada budaya, kembangkan budaya lokal kita agar Indonesia bisa kembali jaya
seperti dahulu.
Sumber bacaan buku "Esensi Falsafah Jawa Bagi Peradaban Umat Hindu ", Oleh Miswanto, Penerbit Paramita Surabaya, 2009
Link
terkait membahas budaya Hindu
di indonesia memang beragam etik dan suku budaya nya
BalasHapusheloo sobat Tasikmalaya yang ahli komputer, lestarikan budaya dengan teknologi yuukk
BalasHapusTerima kasih informasinya,mengenai Agama,adalah kepercayaan setiap individu kepada tuhannya.Di magelang masih ada,dan kami hidup dengan tenteram adanya.
BalasHapus