Rare Bali Anak Bali Belog Ngiring Ngajegang Bali dengan berbahasa Bali sane becik, senang ring Tembang Bali tur sekancan sastra lan Budaya Bali sane sampun kaloktah ring jagate mangda sumingkin jangkep tur paripurna #Bahasabali #AjegBudayaBali #RareBali

Breaking

Translate

Rabu, 01 Mei 2013

Lurusing Lathi, Leresing Karep, Lirising Laku, Larasing Karsa

Buku Falsafah Jawa
   Lurusing Lathi, Leresing Karep, Lirising Laku, Larasing Karsa.
Jawa merupakan pulau yang pernah menjadi pusat peradaban sekaligus kejayaan Hindu selama kurang lebih sekitar 1000 tahun. Sebagai pusat peradaban  Hindu di masa lampau, maka tidaklah mengherankan jika hampir semua pemikiran-pemikiran Hindu telah terpatri menjadi bagian dari peradaban atau kebudayaan Jawa itu sendiri. Lebih-lebih pasca proyek besar mangjawaken byasamata pada abad ke-10 di bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa. Bahkan surutnya peradaban Hindu dan berkembangnya peradaban Islam di Jawa, tidak menjadikan peradaban Jawa meninggalkan pemikiran-pemikiran Hindu sebelumnya. Justru sebaliknya ketiga peradaban itu malah bermozaik menjadi suatu isme baru yang dikenal sebagai javanisme atau kejawen.



Budaya Jawa sebagai perkembangan cipta, rasa dan karsa menusia Jawa telah dikenal sebagai budaya yang adi luhung. Keseluruhan budaya Jawa tersebut juga menjadi dasar pemikiran-pemikiran orang Jawa dalam memahami hakekat. Pemikiran-pemikiran inilah yang kemudian memunculkan pandangan hidup Jawa yang dikenal sebagai filsafat atau falsafah Jawa.


Link terkait membahas budaya Hindu

Pada hakikatnya falasafah Jawa timbul dari kecintaan orang Jawa untuk ngudi kasampurnan (mencapai kesempurnaan hidup) yang juga sebagai tujuan hidup orang Jawa itu sendiri. Untuk mencapai kesempurnaan hidup itu maka mereka memerlukan “ngelmu kasunyatan
atau “sastra cetha” sebagai jembatan yang harus dilaluinya agar dapat terhubung dengan-Nya.


Sebagaimana kerangka filsafat pada umumnya, kerangka yang membangun filsafat Jawa pun terdiri atas metafisika atau ontologi (filsafat tentang “ada”) yang memandang inti kesemestaan sebagai kasunyatan (ada dan tiada), epistemologi (filsafat tentang ilmu pengetahuan) yang berdasarkan penalaran (OAM dengan segala variasinya) dan rasa “Jawa” (laku yang harus dilaksanakan), dan aksiologi (filsafat tentang nilai atau value) yang berakar pada tata nilai Jawa.


Umat Hindu Jawa memandang filsafat atau falsafah Jawa sebagai sebuah pandangan hidup yang telah menyatu dalam jiwa dan tercermin dalam setiap peri-kehidupannya. Sehingga apabila falsafah Jawa dalam diri mereka ibarat wayang ilang gapite (raga kehilangan nyawanya).


Selain itu dengan keberadaan mitos Sabdo Palon Naya Genggong yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa, Umat Hindu – Jawa semakin mantap dengan keyakinan dan falsafah hidupnya. Kebangkitan agama “kawruh” atau agama “Buddhi” yang dinyatakan dalam ramalan Sabdo Palon tersebut akan membawa dampak nyata dalam mengembalikan kejawaan dan keyakinan para leluhur (kawitan) mereka. Selain itu kebangkitan Buddhi (kecerdasan spiritual) yang ditandai dengan umbul-umbul klaras pada ramalan Sabdo Palon tersebut mengisyaratkan agar mereka bisa mengembangkan ajaran agamanya dengan lurusing lathi (kejujuran), leresing karep (kemauan yang benar), lirising laku (kegiatan spiritual yang rutin) dan larasing karsa (tindakan yang selaras dengan kejujuran, kebenaran didasari oleh spiritualitas tinggi).


Dalam peri-kehidupan beragama, falsafah Jawa secara esensial terbukti mampu memberikan spirit dan kekuatan terhadap umat Hindu Jawa sehingga mereka dapat mempertahankan keyakinan yang dianggap warisan leluhur itu. Tanpa spirit ini kemungkinan besar sejak berabad-abad yang lampau, agama Hindu sudah tiada lagi di Jawa.


Esensifalsafah Jawa tersebut dapat ditemukan dalam setiap intisari filosofis budaya Jawa. Bagi umat Hindu Jawa falsafah ini mampu untuk mentransformasikan tattwa (sraddha) ala Jawa dalam sanubari mereka, menegakkan (supremasi) kembali susila dalam kehidupan beragama mereka serta merekomendasikan pelaksanaan ritual (upacara) Hindu.


Mengingat substansi dan esensi yang diberikan falsafah Jawa terhadap kehidupan masyarakat Jawa, maka perlu adanya suatu pelestarian budaya Jawa yang harus didukung oleh segenap kalangan baik itu pemerintah dan masyarakat. Pelestarian budaya leluhur ini juga harus diaplikasikan melalui kebijakan-kebijakan institusional serta program-program terpadu baik pada sektor informal, formal maupun non formal. Budaya Jawa yang dilestarikan tersebut perlu didasarkan pada nilai-nilai filosofinya atau falsafah Jawa itu sendiri, sehingga masyarakat Jawa pada umumnya dapat mengerti akan dirinya sebagai seorang “Jawa” agar ungkapan “wong Jawa ilang jawane” yang menjadi kekhawatiran para budayawan Jawa tidak menjadi kenyataan.


Terkait dengan pengembangan peradaban umat Hindu maka “link” peradaban Hindu Jawa (juga dengan budaya yang lain seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Papua dan sebagainya) perlu digalakkan agar terjalin kemunikasi multikultur yang efektif. Karena dengan komunikasi efektif seperti ini maka agama Hindu akan menjadi agama yang kuat dan didukung oleh kearifan lokal d masing-masing daerah di mana Hindu berada.


Namun demikian peradaban atau budaya lokal tersebut bukan untuk menciptakan aliran-aliran agama (Hindu) lokal yang baru. Seperti misalnya persepsi sebagian orang yang salah tentang Hindu Bali, Hindu Jawa, Hindu Kaharingan, Hindu Sunda, Hindu Samin, Hindu Toraja dan Hindu-Hindu lainnya.


“…Aja pati-pati ninggalake agamane leluhurmu senajan ta umat Hindu mung kari sethithik” ( jangan sekali-sekali meninggalkan agama leluhurmu walaupun umat Hindu tinggal sedikit).


Opini RareAngon Nak Bali Belog. Begitu takutkah orang belajar dan mengembangkan budaya lokal yang telah ada ?, samakah budaya dengan agama ?, sehingga seolah-olah menjalankan budaya lokal berarti kita harus merubah agama. Kekuatan Bangsa Indonesia ada pada budaya, kembangkan budaya lokal kita agar Indonesia bisa kembali jaya seperti dahulu. 

Sumber bacaan buku "Esensi Falsafah Jawa Bagi Peradaban Umat Hindu ", Oleh Miswanto, Penerbit Paramita Surabaya, 2009


Link terkait membahas budaya Hindu

3 komentar:

  1. di indonesia memang beragam etik dan suku budaya nya

    BalasHapus
  2. heloo sobat Tasikmalaya yang ahli komputer, lestarikan budaya dengan teknologi yuukk

    BalasHapus
  3. Terima kasih informasinya,mengenai Agama,adalah kepercayaan setiap individu kepada tuhannya.Di magelang masih ada,dan kami hidup dengan tenteram adanya.

    BalasHapus

Buku Tamu

Cari Blog Ini

Pengikut

Blog Archive