Selasa, 28 Agustus 2018

PURA KELUARGA ( SANGGAH WARGA )

PURA KELUARGA ( SANGGAH WARGA )

pura kawitan umat hindu
Pelinggih Padmasana
Pura Keluarga ialah Pura yang bersifat khusus, untuk keluarga tertentu. Pura Keluarga atau Penyungsungan  Keluarga merupakan perkembangan dari Sanggah (Pemerajan) yang ada dalam keluarga (beberapa keluarga). Di setiap rumah Umat Hindu, di Bali khususnya terdapat Sanggah Keluarga ataupun Pelinggih-Pelinggih.

Kata Sanggah (Sanggar) mengandung beberapa pengertian :

  • Sanggah : Sanggar berarti kumpulan, maksudnya kumpulan dari Pelinggih (bangunan-bangunan tempat suci)
  • Sanggah  : Penyangga, Penampung, Penuntun, menuntun ke arah ke-Tuhan-an.
  • Sanggah  : Berarti pula Palinggih (tempat Tinggal)

Contohnya yaitu :
Sanggah Kemulan, yang beruang Tiga. Ada sebutan Sanggar Agung (Surya).
Kemulan : Modal,Pokok asal kata Mula
Sanggah Kemulan minimal ada pada keluarga Hindu untuk memuja roh-roh Leluhur (kawitan) yang telah disucikan dengan Upacara Keagamaan dan dipandang telah bersatu dengan Sang Hyang Tri Ҫakti (Brahma, Wisnu, Ҫiwa)



Setelah keluarga makin berkembang besar, maka berkembang pulalah Sanggah /Pamarajan menjadi Pura Keluarga yang lebih besar diantaranya ada yang menyebut Kawitan, Pura Dadya, Pura Panti, Pura Ibu (Paibon) Padharman dan sebagainya.
  • Kawitan (Kemimitan) dari kata Wit = Pokok
  • Dadya = Dadi = Menjadi, Turunan
  • Panti = Tempat Berlindung, Menenangkan Pikiran, Tempat Menunggu
  • Ibu = Induk, Pokok
  • Padharman = Tempat memuja roh-roh suci Para Bijaksanawan/Pahlawan Dharma.

Palinggih
Kata Palinggih berasal dari kata Linggih = Duduk, Tempat,  Letak
Palinggih = Bangunan, Tempat Duduk
Sthana untuk Pemujaan terhadap Tuhan, dengan segala macam Perbhawanya (manifestasinya), termasuk pula untuk tempat untuk memuja Leluhur.

Palinggih ini banyak macamnya sesuai dengan besar kecilnya suatu Pura (Kahyangan) disesuaikan dengan guna dan tujuannya serta peraturan-peraturan yang berlaku. Kalau kita masuk ke PuraKeluarga, maupun Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan, Kahyangan lainnya, maka jelas terlihat dari satu sampai puluhan Palinggih (Bangunan-bangunan suci) antara lain :
  1. Padmasana
  2. Gedong
  3. Meru
  4. Sanggah Kemulan (Rong Tiga) dan sebagainya

Dahulu kala pada Jaman Batu, orang-orang membuat tempat pemujaan kepada Matahari dengan cara meletakkan beberapa Batu Besar. Setelah kebudayaan berkembang kita lihat sebagai mana ada pada masa kini.

1. Padmasana : ialah Bangunan Suci untuk memuja Sang Hyang Widdhi (Tuhan). Padma = Teratai, Asana = Sikap, Bentuk. Padmasana = Bangunan Suci berbentuk Teratai. Dalam Wrhaspati Tattwa, Tattwa Jnana, dan Ҫiwa Tattwa dijelaskan : Tuhan mempunyai Ҫadu Ҫakti (kekuatan yang empat) dan Asta Ҫakti (kekuatan yang delapan) dilambangkan pada Teratai berdaun empat dan teratai berdaun delapan. Tuhan bersthana di tengah yang disimbulkan dengan Aksara Suci OM.

Selain dari itu Padmasana ini juga berdasarkan bentuk Gunung terdapat pada Adi Parwa, yaitu pemutaran Gunung Mandhara di Lautan Ksira. Ada kalanya Padmasana dilukiskan gambaran bayi telanjang, melambangkan Acintya ( Tuhan Maha Gaib, tak dapat dipikirkan).

2. Gedong : Palinggih Gedong yang di Pura Dalem ialah untuk memuja Dewi Durgha yang merupakan Ҫakti Ҫiwa.

3. Meru : Juga berasal dari bentuk Gunung. Meru berarti Gunung (Gunung Mahameru) tempat memuja Prabhawa (manifestasi Tuhan), Dewa-Dewa/Bhatara.

Diketahui bahwa Palinggih-palinggih itu dibangun sesuai dengan guna tujuan dan menuruti peraturan tertentu.



HAL YANG TIDAK DIKETAHUI TENTANG TEMPAT-TEMPAT SUCI


  1. Kalau kita tidak mempunyai tempat tinggal, tempat suci yang terdekat sehari-hari ialah dihati kita sendiri
  2. Kalau kita hanya mempunyai satu kamar, maka tempat suci kita wujudkan dengan bentuk “Pelangkiran”.
  3. Kalau kita mempunyai satu rumah dan pekarangannya, tempat suci kita wujudkan dengan “Sanggah Kemulan” (bentuk sementara atau permanent) yang berisikan pelinggih-pelinggih minimal : Rong Tiga dan Taksu.
  4. Kalau kita mempunyai satu daerah pedesaan, maka tempat suci kita ialah Kahyangan Tiga yaitu : a. Pura Desa, b. Pura Puseh (yang bisa digabung berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Sari, Meru, Manjangan Seluang, Bale Agung dan Padmasana), c. Pura Dalem (yang dipisahkan dengan a dan b). Sebaiknya  di dekat kuburan berisikan pelinggih-pelinggih : Gedong Dalem, Taksu, Prajapati dan Padmasana.
  5. Kalau kita mempunyai daerah Persawahan tempat suci kita dirikan di tempat sumber air pertama dengan berisikan pelinggih-pelinggih : Padmasana, Tugu, Meru, namanya Pura Ulun Suwi.
  6. Kalau kita mempunyai suatu pasar, maka tempat suci disana kita bangun dengan nama “Pura Melanting”
  7. Dalam suatu kota pusat pemerintahan, hendaknya tempat suci kita dirikan dengan pelinggih “Padmasana Agung” sebagai halnya “Pura Jagatnatha”
  8. Ditempat-tempat suci diatas gunung maupun ditepi danau dan laut didirikan suatu pelinggih “Padmasana” menurut kemampuan.

Denah dari tempat-tempat suci itu maksimum terdiri dari 3 (tiga) pelataran (Jaba, Jaba tengah, Jeroan). Dan minimum satu pelataran (Jeroan). Perlu kiranya kami sarankan disini bahwa untuk mencari tempat suci hendaknya tempat untuk pura itupun harusnya berhati-hati setelah memperhitungkan yang jika digabungkan dapat menimbulkan soal-soal ketenangan, keindahan, dan keserasian, jadi tegasnya tidak disembarang tempat.

sumber bacaan : Buku Hindu