Pada
zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadanawa,
keturunan Daitya (Raksasa) di daerah Blingkang
(sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja
yang sakti
dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada
masa Mpu Kul
Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan
dapat ditaklukkannya. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh.
Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan
dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang
Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang
di mana-mana.Melihat hal tersebut,
Mpu Kul Putih melakukan
yoga semadhi di Pura
Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat
pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan ke India (Jambudwipa).
Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga,
yang dipimpin oleh Bhatara
Indra dengan
pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam
penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena
dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang jayantaka.
Sedangkan pasukan induk
dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa
untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan
Naradha.
Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya yang bernawa Kala Wong. Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam harinya, Mayadanawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring.
Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tirta Empul, dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadanawa. Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan DesaManukaya. Bhatara Indra tak bisa dikibuli dan terus mengejar. Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul, kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung, menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong. Batu pada stersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadanawa dan patihnya menemui ajalnya. Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhatara Indra yang isinya, jika air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan ituberumur 1000 tahun
Kematian Mayadanawa tersebut diperingati sebagai Hari Raya Galungan, sebagai tonggak peringatan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).