Rabu, 24 November 2010

Bimbinglah dari Kematian

Kematian

Bimbinglah saya dari kematian ke dalam yang abadi.
( Beberapa Petikan Singkat )

Pasrah kepada Tuhan adalah menyerahkan semua pikiran dan perbuatan tanpa mengharapkan hasilnya, bukan melakukan perbuatan untuk mendapatkan hasilnya, tetapi melakukan pekerjaan karena itu merupakan tugas. 

Artikel Terkait Kematian



Perbuatannya dipersembahkan kepada Tuhan, karena itu akibatnya ditanggung oleh Tuhan. Perbuatan yang dilakukan seperti itu, hasilnya direlakan pada waktu melakukannya, perbuatan semacam itu bebas dari karma. Dengan cara ini ego tidak diberi makan dan dikembangkan, karena itu tidak lama kemudian ia akan lenyap.

Sad Guru berkata,"Jangan mengganti nama Tuhan yang telah kaucintai, kau hormati dan kau pilih untuk diingat serta diulang-ulang. Satu nama Tuhan harus kau pilih dan kau gunakan seterusnya untuk japa dan meditasi." Bila sadhaka selalu mengganti-ganti nama dan wujud Tuhan yang dipilihnya disebut bakti yang tidak murni. Mengubah-ubah nama dan wujud Tuhan adalah sangat tidak baik dan berbahaya. Kesetiaan pada nama dan wujud Tuhan yang telah kaupilih adalah sumpah yang paling mulia, tapa yang mendalam.





Guru mengatakan,"Semua dilakukan oleh Tuhan, bukan oleh mu. " Tetapi pada hal lain ada konsep bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Guru menjawab, " Engkau adalah Tuhan. Selama engkau bersifat manusia, maka pikiranmu seperti itu". Ajaran Guru akan berbeda-beda sesuai dengan tingkatan setiap orang.

Ada dua hal yang patut diingat : maut dan Tuhan. Ada dua hal yang patut dilupakan : kejahatan yang dilakukan orang lain terhadap kita dan perbuatan baik yang kita lakukan terhadap orang lain. Karena jika kedua hal ini diingat terus, akan timbul akibat  pada mas mendatang. Apapun yang kita pikir atau ingat, akan kita alami reaksinya. Tentu saja maut haru selalu diingat karena dengan demikian akan banyak perbuatan baik yang dilakukan dan banyak perbuatan jahat akan dihindari.



Tidak ada gunanya melawan atau menentang pikiran. Bila ditekan, pikiran selalu siap meloncat keluar pada saat-saat yang lemah. Cara untuk mengatasi pikiran dan dorongan-dorongan buruk yaitu dengan memikirkan pengabdian kepada Tuhan, percapakan yang baik dengan orang-orang bijaksana, melakukan perbuatan baik dan bicara yang baik. Bobot perbuatan dan pikiran yang baik akan mengubur benih pikiran dan perbuatan yang buruk. 

Pikiran dan dorongan yang baik dan buruk itu seperti benih di dalam pikiran. Jika dikubur dalam-dalam di tanah, benih itu akan membusuk dan tidak dapat tumbuh. Pikiran dan perbuatan baik menimbun benih-benih kejahatan sedemikian dalamnya sehingga benih itu membusuk dan mati, tidak dapat tumbuh lagi.

Lahir sebagai manusia itu adalah semacam kesempatan yang istimewa untuk membebaskan diri dari kelahiran dan kematian. dan itu hanya bisa terjadi di bumi. Kesempatan ini tidak terdapat diplanet lain atau diwilayah manapun. 
Hal ini unik dan terbatas pada dunia ini saja. Betapa sucinya bumi ini.  Semua kehidupan boleh menginginkan lahir sebagai manusia. Hanya dengan lahir sebagai manusia, orang bisa menyadari Tuhan. Menyia-nyiakan waktu adalah kebodohan terbesar.

"Ya, karena kalian milik-KU, Aku akan menghukummu biarpun kesalahannya kecil. Orang lain, biar membuat kesalahan, Aku diamkan. Seorang ibu akan menghukum anaknya sendiri bukan anak orang lain".

 
Dengan Mengucapkan mantra Gayatri, paling sedikit dua kali sehari, dipagi dan di sore hari dosa-dosa yang dibuat tidak sengaja pada hari itu, dimusnahkan dan karma yang tersisa habis.



Sumber Evolusi melalui Reinkarnasi & Karma oleh Anadas Ra
dan Meditasi Matahari terbit oleh Gede Arsa Dana
ditulis kembali dan diposting oleh rare angon nakbalibelog
 Photography Ngaben By cithah.deviantart.com

Rabu, 17 November 2010

MENGAPA MEMAKAI BIJA DI KENING?


Cakra yang berdaun bunga dua disebut Ajna,
terletak di antara kedua alis mata dan memiliki aksara ham dan ksam.
Pimpinannya disebut Sukla Mahakala (waktu agung putih);
pimpinan devinya disebut Hakini.


Suatu hal sesederhana memakai bija pun sesungguhnya memiliki makna yang luas dalam ajaran Veda. Ketika kita bersembahyang dan meminum tirtha, kita akan dibagikan butiran-butiran beras yang kita tempelkan di kening dan di leher yang disebut bija. Tidak hanya di kening dan leher, bahkan banyak orang yang juga memakai bija di atas kepala, di bahu, di balik telinga, bahkan tidak jarang ada yang memakainya di kedua pelipis (lihat artikel Peranti Sembahyang oleh Ida Bhagawan Dwija di situs ini). 

Keberadaan bija sangat erat dengan kegiatan beragama Hindu. Bija adalah salah satu bahan yang dipakai di kening ketika seorang Hindu selesai melakukan persembahyangan. Ada bahan-bahan lain yang disebut bhasma, yang terbuat dari pasta cendana. 

Bahan-bahan ini dipercaya sebagai bahan yang suci sebagai lambang Tuhan. Bija juga disebut tilaka di tempat lain dengan bahan-bahan seperti abu agnihotra dan pasta merah. 



Bija memiliki beberapa makna filosofis yang dikaitkan dengan spiritualisme.


Pertama, kita lihat dari asal katanya. Bija berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang diadopsi dari kata vija (Sanskrit). Vija dapat dikaitkan dengan kata (pranava) Om sebagai nama utama dari Tuhan. Om juga disebut vijaksara, sebagai aksara Brahman yang tertinggi. Om adalah nama Tuhan yang paling sakral dan memiliki makna yang tidak terbatas.
  
Memakai bija di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara. Hal ini juga berarti konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan. Orang yang memakai bija (tilaka) diharapkan dapat mewujudan perilaku sattvika, pengasih, dan bijaksana. Demikianlah makna kata bija yaitu sebagai kata lain dari Omkara.

Kedua, bija memiliki makna anatomis. Dalam Siva Samhita ditemukan sloka-sloka tentang tujuh cakra (simpul syaraf) utama yang membujur di sepanjang tulang belakang. Ketujuh cakra itu memengaruhi fungsi biologis dan fisiologis tubuh. Salah satu cakra adalah cakra Ajna (baca: adnya) yang terletak di kedua alis. Cakra ajna memiliki daun bunga dua yang dalam masing-masing kelopaknya bertuliskan aksara vam dan ksam

Siva Samhita juga menyatakan bahwa cakra ini adalah petemuan tiga pembuluh, yaitu ida, pinggala, dan susumna. Pertemuan ketiganya ini disebut Triveni. Pembuluh ida (pembuluh bulan) yang dingin mengalir dari bagian kanan cakra ajna dan berbelok menuju lubang hidung sebelah kiri, semantara pinggala (pembuluh matahari) yang hangat mengalir dari bagian kiri ajna dan berbelok ke lubang hidung kanan. Ida membawa hawa dingin dan aktif pada malam hari, sedangkan pinggala membawa hawa panas yang aktif pada siang hari. 

Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akan menghembuskan udara yang agak hangat dari lubang hidung kanannya, sementara dari lubang hidung kirinya akan terhembus udara yang agak dingin. Pembuluh ketiga yaitu susumna adalah jalan keluar-masuk roh. Dalam kaitannya dengan pemakaian bija di kening, kita diharapkan mampu mengaktifkan energi dari ketiga pembuluh tersebut untuk menciptakan kesehatan yang baik. Apalagi jika seseorang mampu berkonsentrasi pada ajna, makhluk-makhluk seperti yaksa, gandharva, kinnara, dan apsara akan mematuhi perintahnya (Siva Samhita 113). 

Ketiga, bija memiliki makna benih. Bija terbuat dari beras yang seharusnya lonjong sempurna, bukan butiran-butiran yang terpecah-pecah seperti yang sering kita temui. Beras yang bentuknya sempurna melambangkan lingga, stana Siva Mahadeva. Selain itu, beras yang bentuknya sempurna juga melambangkan alam semesta yang juga berbentuk bulat. Bija adalah benih padi yang berwarna putih yang bermakna hendaknya kita menumbuhkan benih-benih kesucian dalam kehidupan. Kini banyak kita lihat orang-orang yang memakai bija tetapi tidak mampu menumbuhkan benih-benih kesucian dalam dirinya. Apabila semua orang dapat menumbuhkan kesucian dalam dirinya, semua akan dapat memanen hasilnya yaitu padi keharmonisan.

Keempat, bija memiliki makna kesungguhan dan kesadaran karena seseorang yang memakai bija berarti orang yang seharusnya memiliki keyakinan dan kesadaran akan kewajibannya untuk mendekatkan diri ke hadapan Tuhan. Orang yang memakai bija akan merasakan bahwa Tuhan berstana dalam dirinya sebagai Paramatman dan merasa terlindungi. 

Ia juga akan merasakan bahwa Tuhan berada dalam setiap makhluk hidup, termasuk kuman-kuman, bakteri, tumbuhan, dan hewan. Dengan demikian, ia akan belajar untuk menghormati eksistensi makhluk lain sebagai bagian dari kekuasaan Tuhan.

Demikianlah makna filosofis dari bija. Banyak yang tidak menyadari hal-hal kecil seperti ini dan menjadikan agama sendiri sebagai bahan olok-olok yang lainnya sebagai agama tahayul. Padahal sebenarnya peradaban Hindu dan Veda bukan hanya sebuah agama tua yang komplit, melainkan juga sebuah jalan pengetahuan tiada batas.

Mandalakawi Virtual Ashram, santikatmaka ring asing kawya Oleh I.B. Arya Lawa Manuaba
diPosting kembali olih rare angon
Foto Bija dari  http://www.balipurnama.com/

Jumat, 05 November 2010

Menyadari Datangnya Kematian

Perspektif Aji Kalepasan
Kematian itu Indah

Kematian sesungguhnya dapat diprediksi dan diketahui kapan datangnya melalui teknik Yoga. Dulu ketika aktivitas manusia tidak sesibuk seperti sekarang ini dalam pengejaran materi (harta), leluhur orang Bali telah menemukan suatu teknik Yoga ala Bali sederhana yang dapat dipakai untuk mengetahui kapan datangnya kematian itu (Mrtyu). Bentangan teks dari jenis atma tattwa (sastra kematian) yang luas di Bali, membuktikan bahwa kematian dalam tradisi Bali adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diungkap dan dipahami. Misteri kematian telah mengandung para waskita Bali untuk mengadakan studi mendalam atasnya.
 
Aji Kalepasan/Kamoksan dan ilmu-ilmu tentang kematian, selalu ada dipusat kesusastraan Bali zaman dulu, seperti geria,puri,jero, dan rumah-rumah penekun sastra Bali lainnya. Ini membuktikan bahwa kematian bagi orang Bali bukanlah sesuatu yang penuh misteri, menakutkan dan gelap gulita. 


Bagi leluhur orang Bali kematian adalah salah satu dari proses daur ulang dari kehidupan yang sesungguhnya, dimana ia (kematian) dipandang sebagai proses evolusi dari kehidupan yang lebih kasar menuju kehidupan yang lebih halus atau sebaliknya. Sesungguhnya bagi kesusastraan Bali, kehidupan itu tidak akan pernah berakhir, hidup itu abadi.


Artikel Terkait Kematian



Pandangan salah terhadap kematian, kita terlalu takut mati; ketakutan itu muncul akibat kekurang mampuan kita dalam memahami esensi yang sesungguhnya dari kematian. Akibat keberkutatan dan kesuntukan kita pada ilmu-ilmu duniawi yang sesungguhnya akan menyeret para penekunnya menuju kemerosotan spiritual belaka. Ilmu-ilmu itu memang membuat kita 'basah' dalam gelimangan materi, namun sayang ia sungguh 'kering' dari pencerahan spiritual.


Terkadang banyak orang yang terseret untuk mencari pemahaman-pemahaman tentang kematian pada tradisi-tradisi 'jauh', kemudian lantaran 'kebutaan' mereka pada tradisinya sendiri, si anak malang memandang dengan sebelah mata lontar-lontar leluhurnya
Selanjutnya si anak malang tadi sibuk menjadi provokator guna menghancurkan tradisinya sendiri. Kebenaran sejati itu universal adanya, dimanapun kebenaran itu muncul ia akan tetap dengan rasanya yang sama, walau beda kemasan, dan mereka mendebat kemasannya dan tidak menerima keuniversalan itu lantaran beda bungkusan. "Sungguh malang nasibmu anakku, mungkin ibu tanah Bali bergumam sedih seperti itu"
 
Bentangan teks dari jenis atma tattwa (sastra kematian) meliputi; Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Yama Tattwa, Atmaprasangsa, Suarga Rohana Parwa, Tetenger Pati Urip, Tetenger Kapatian, Dharma Usada, Tutur Kalepasan, Aji Kalepasan, Tutur Kamoksan, Aji Kamoksan, Sumanasantaka, Sasangka Sarana dll. Kali ini mari perhatikan secuil petikan teks Aji Kalepasan, dalam usaha kita untuk belajar memprediksi datangnya kematian, adapun pernyataannya sebagai berikut :
 
Iti tatenger kapatyan : Tutupi saptadwaranta, sapta dwara ngaran : karna karwa, rwa songing irung, caksu karwa lawan tunggal cangkem ta. Iki gelarakna: angusta karo anutupi karna, tujuh karwa anutupi panon, linjong karwa anutupi dwaraning irung kalih, lek ta karo anutupi bibir, pucuking tarjininta karwa pada nunggal. Yan katon hana ngalendong kadi pusuhing pisang haneng yoganta, pejah pwa kita. Ginelis walik idepta, ibu mulih maring akasa, bapa mulih ka prettiwi, mgakang siwadwara, poma kita tumut ring deresaning bayunta malecat atmanta ngungsi Siwa Loka. 
 (Aji Kalepasan 32 a)


Artinya:

Cara untuk mengetahui kematian : tutuplah ketujuh lobang itu, tujuh lobang adalah, dua lobang telinga, dua lobang hidung, dua lobang mata dan satu lobang mulut. Caranya; ibujari menutup lobang telinga, telunjuk menutup kedua mata, jari tengah menutup lobang hidung, kedua jari manis menutup mulut, selanjutnya ujung jari kelingking disatukan. Jika terlihat ada seperti pusuh pisang bergelayut saat berkonsentrasi (atau seperti kuncup bunga padma), kamu akan segera mati. 

Segera balik teknik meditasimu, Ibu Pertiwi (unsur jasmani/alambawah) kembalikan ke Bapa Akasa (unsur rohani/alam atas), Bapa Akasa (unsur rohani/alam atas) bawa ke Ibu Pertiwi (unsur rohani/alam bawah), akan terbuka lobang di ubun-ubun, ikutilah getaran dari tenaga yang terasa, maka terbanglah rohmu menuju alam Siwa.
 
Disini diperlukan adanya keyakinan penuh akan petunjuk-petunjuk dari Aji Kalepasan dan Tutur Kalepasan.


Atma Prasangsa olih IB Putra Manik Aryana, SS, M.Si
di tulis dan diposting kembali olih Rare Angon
Kematian itu Dekat digital arts olih apalahnamanyaitu.deviantart.com