Buah Duku |
"Kalau Bapak-bapak atau Ibu-ibu membuat bayuan atau gebogan untuk dihaturkan kepada Ida Bhetara, maka buatlah gebogan yang komponennya terdiri dari apel yang enak, pir, pisang dan segala macam buah yang bergizi, terutama yang bisa dimakan, jangan pakai sentul, klecung masem dan sejenisnya. "
Agama terkadang mampu menggugah semangat patriotik, menginspirasi kecintaan kepada ibu pertiwi tempat pemeluk agama itu tinggal. Rsi Bhisma telah mengumandangkan kesan tersebut pada 7000 tahun lampau, "Aku lebih memilih Bharata daripada hidup di Sorga," demikian ucapnya sesaat menjelang Bharatayuda berkecamuk. Di Bali pun fenomena ini muncul dalam bentuk semangat Puputan dalam perang, di mana pelaku Puputan ini meyakini kalau mati di medan perang dalam rangka nindihin gumi adalah mulia dan akan berpahala Sorga.
Tak mengherankan munculnya keyakinan atau spirit semacam itu, karena agama adalah dunia ide. Jadi tergantung dengan apa kita mengisi pikiran kita, maka apa yang kita isikan itulah yang mendominasi persepsi dan cara pandang hidup kita. Pikiran membentuk normatifnya sendiri berdasarkan apa yang sudah dicernanya dalam bentuk informasi dan pengetahuan.
Secara instink manusia adalah mahluk yang memiliki daya untuk mempertahankan hidupnya. Secara mental dan secara tersamar orang-orang Bali tersadar akan adanya ancaman yang siap menerkam hidupnya. Munculnya sikap konsumerisme yang gila-gilaan dari manusia Bali, sikap konsumtif ini berimbas pada komponen upakara berupa imbas ekspansi luar. Dengan gagah, pongah dan angkuh, apel-apel New Zealand, buah pir China, mangga Thailand, pisang Jawa, Janur Banyuwangi "menari-nari" di hadapan Ida Bhetara dalam bentuk banten gebogan atau bayuan.
Kehadiran buah berkelas ini telah menjadikan buah sentul, ceroring, sabo, buah badung, klecung, tersisih pedih. Muncul pro dan kontra di masyarakat akan penggunaan buah lokal atau buah import. Melihat gelagat ini, maka bicaralah Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba di hadapan masyarakat di Geriya Pasraman Bang Swarga Manuaba. "
Karena sesuai dengan namanya, yaitu bayuan yang artinya sumber bayu (tenaga). Jadi, mutlak gebogan itu harus merupakan sumber tenaga atau bahan makanan yang berkualitas. Menghaturkan sentul untuk Ida Bhetara kita ikhlas, tetapi surudan-nya tak ikhlas kita makan, ini sangat konyol. Atau kalaupun mau memakannya akan menyebabkan mencret-mencret, jadi tak cocok disebut sumber tenaga (bayuan).
Soal isu ancaman pasar global terhadap keberlangsungan pasar lokal sebenarnya bukan ketakutan yang hanya ditanggung oleh Bali saja. Dunia global tak bisa dibendung dengan sikap fanatisme sempit, tetapi dengan ikut menciptakan produk-produk berkualitas adalah senjata ampuh untuk menangkis serangan produk impor itu. Ketika barang impor berkualitas membanjir, maka haruslah dibalas dengan mengekspor produk berkualitas pula. Nah, ini baru pertempuran yang seimbang namanya, wujud nindihin gumi yang sejati, bukan impian, bukan basa-basi, dan bukan pula kumpulan wacana-wacana kosong.
sumber bacaan buku "Pedanda Di Simpang Zaman" Biografi Ida Pedanda Gede Nabe Bang Buruan Manuaba. Ditulis dalam blog oleh Rare Angon Nak Bali Belog.
terima kasih,banyak belajar budaya bali disini
BalasHapusselamat pagi kawan Tiyang Magelang, terima kasih dukungannya
Hapus