Agama - Keyakinan |
Berawal dari keinginan tahu tentang sesuatu, tentang banyak hal yang ada di alam ini. Lahirlah kemudian sebuah falsafah, sebuah keragu-raguan akan sebuah kebenaran. Berkembang kemudian menjadi sebuah kepercayaan (diakui sebagai kebenaran) setelah nalar manusia dalam batas-batas tertentu dapat menerimanya. Untuk tidak lagi dan jangan lagi kepercayaan ini mundur kebelakang menjadi keragu-raguan, mereka justru ingin memperkuatnya. Kepercayaan mereka kemudian dikuatkan menjadi sebuah keyakinan. Agar lebih kuat lagi, keyakinan itu dipertegas dengan menyatakan bahwa keyakinannya itu adalah sabda Tuhan, wahyu Tuhan. Dalam perjalanannya yang sangat panjang, ribuan tahun keyakinan itu kini menjadi agama, seperti yang kita saksikan saat ini.
Bersamaan dengan menyikapi sebuah kepercayaan berubah menjadi sebuah keyakinan (agama, wahyu Tuhan), banyak diantara mereka kemudian menjadi sangat tidak tertarik untuk membuka sebuah diskusi. Diskusi agama kemudian menjadi tidak lagi perlu. Kamu tidak boleh lagi mundur. Ikuti semua perintah dari mereka yang lebih senior, dari mereka yang dipercaya lebih tahu. (yang diakui dan diberi hak legal untuk membuat tafsir)
Dalam suasana yang terkondisikan seperti itu nalar manusia, akal manusia yang konon hanya diberikan kepada manusia menjadi tidak lagi diperlukan, saat mereka berbicara tentang agama sebagai sebuah keyakinan, tentang wahyu Tuhan.
"Itu kata kamu", protes mereka yang tidak sependapat.
Tetapi bagi mereka yang sudah yakin ? Akal mereka, akal manusia sepertinya tidak akan pernah diperlukan lagi. "Toh akal kamu tidak akan pernah mampu menjelaskannya, bukan ?", kata mereka. Pada situasi seperti itu, diskusi memang harus di stop.
Walau, upaya pencerahan pada saat-saat yang lebih teduh, pada saat-saat telah sejuk, pasti sangat bermanfaat. Dan pada saat hati tenang, perenungan hidup akan membukakan kejernihan pikiran dan kelapangan dada.
Adalah sesuatu yang sangat indah apabila, sekali-sekali mereka mau membuka diri, berdiskusi dengan diri mereka sendiri. Bersikap kritis dengan keyakinannya sendiri. Dengan menggunakan nurani terdalamnya. Bukankah diri mereka adalah manusia biasa yang kemampuan dan persepsinya tentang sesuatu bisa keliru, bisa saja salah, termasuk dalam mempersepsikan sebuah keyakinan, sebuah agama. Bukankah kita mengakui kemampuan manusia itu terbatas, bahkan sering sangat cekak.
sumber bacaan buku Pencarian ke Dalam Diri Merajut Ulang Budaya Luhur Bangsa Tinjauan Filsafati Cerita Mahabharata dan Ramayana oleh I Gde Samba. (RANBB)