Topeng Monyet |
Sebentar lagi masyarakat Jakarta, baik yang tinggal di pemukiman maupun pengguna jalan, tidak akan melihat atraksi topeng monyet. Atraksi sirkus dari monyet yang dipawangi oleh seorang itu menampilkan adegan monyet naik sepeda motor, main reog, membawa bedil, atau membawa ember. Dengan diiringi musik tradisional atau langsung dari tape, monyet itu melenggang lenggong jalan ke sana dan kemari.
Sirkus itu dipertontonkan di gang-gang pemukiman atau perempatan dan pertigaan jalan. Suguhan itu tidak gratis namun orang yang merasa menonton diharapkan memberi uang seikhlasnya. Dari uang yang dikumpulkan selama pertunjukkan itulah pawang topeng monyet dan monyetnya mendapat penghidupan. Sehari mereka bisa mendapat antara Rp40.000 hingga Rp80.000.
Masyarakat Jakarta sebentar lagi tidak bisa menonton pertunjukkan itu sebab Pemerintah Jakarta melarang topeng monyet, bebas topeng monyet tahun 2014, karena sirkus itu dirasa tidak berperikemanusiaan di mana ada kesan menyakiti binatang. Menyakiti binatang memang benar adanya sebab dalam sebuah unggahan youtube divisualkan bagaimana untuk menjadikan monyet bisa berjalan tegak dan mau melaksanakan perintah sang pawang, monyet itu diikat tangannya dan digantung lebih dahulu. Dari unggahan youtube itulah yang membuat keprihatinan banyak pihak sehingga memicu pelarangan topeng monyet.
Tak hanya faktor penyiksaan terhadap monyet yang membuat pertunjukkan itu diharamkan namun juga alasan monyet sebagai sumber penyebaran penyakit rabies dan hepatitis maka semakin kuatlah aturan agar topeng monyet jangan berkeliaran di mana-mana.
Aturan yang dikeluarkan Gubernur Jokowi itu bukan main-main. Razia kepada topeng monyet sudah digelar. Tentunya Satpol PP Jakarta harus bekerja keras sebab jumlah topeng monyet itu tidak sedikit. Bila anda sering melintasi jalan di Jakarta, anda bisa menemukan topeng monyet di pertigaan atau perempatan jalan besar, seperti perempatan Jl. Matraman dan perempatan Jl. Imam Bonjol.
Dalam setiap penggusuran harus kita akui Jokowi orangnya berperikemanusiaan. Artinya ia tidak menggusur begitu saja namun juga memberikan tempat gantinya. Seperti penggusuran pemukiman penduduk di Waduk Pluit, Ria Rio, dan berbagai tempat lainnya, warga diberi tempat pemukiman di Rusun Marunda atau Cakung. Dalam hal topeng monyet ini, disebut Jokowi akan membeli monyetnya dan monyet itu akan ditempatkan di Taman Marga Satwa Ragunan, Jakarta.
Biasanya mereka pawang topeng monyet berasal dari daerah-daerah yang minus atau dari kalangan yang tak mempunyai apa-apa (miskin). Kalau meski mereka memiliki lahan mereka enggan menggarapnya sebab hasilnya tak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan. Hal demikian semakin parah ketika mereka enggan untuk bersekolah. Perpaduan itulah yang menimbulkan mereka pada terbatasnya pikiran. Penulis sering menjumpai rombongan topeng monyet dalam usia yang relatif masih muda. Kalau kita lihat sepertinya mereka lulusan sekolah dasar atau SMP tidak tamat.
Maka di sinilah pemerintah daerah khususnya yang penduduknya banyak bekerja menjadi pawang topeng monyet untuk meningkatkan taraf kualitas penduduknya. Masyarakatnya harus didorong untuk bersekolah. Pemerintah daerahnya juga harus kreatif menciptakan lapangan pekerjaan yang tepat dan berperikemanusiaan buat mereka. Maka di sini perlunya sinergisitas antar kementerian dan institusi untuk mengentaskan berbagai problem kemiskinan dan kebodohan. Bila kebodohan dan kemiskinan bisa dientaskan maka masyarakat akan memilih dan bekerja pada sektor yang lebih manusiawi, baik kepada dirinya atau makhluk lainnya.
Tak hanya pawang yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Sang monyet pun juga harus mendapat perhatian yang sama. Selama ini sudah banyak kawasan habitat monyet yang beralih fungsi menjadi tempat perumahan, perkebunan, tempat industri, atau sarana manusia lainnya. Bila habitat itu sudah beralih fungsi maka membuat monyet kebingungan. Mereka ada yang melakukan migrasi ke hutan lainnya atau menyerbu dan masuk ke rumah-rumah penduduk. Di sinilah terjadi konflik antara manusia dan monyet.
Para monyet itu tidak hanya kehilangan tempat tinggal aslinya namun mereka juga kesulitan mencari makan. Dari susahnya mencari makan inilah membuat para monyet memilih ‘mencari pekerjaan’ kepada manusia agar bisa tetap hidup. Para monyet itu berpikir nggak papa deh ditonton manusia untuk berjoget atau beradegan pergi ke pasar asal dirinya bisa makan. Para monyet itu tidak akan berpikir pulang kampung sebab kampungnya sekarang sudah menjadi tempat pemukiman, perkebunan, atau tempat industri.
Kesimpulannya, apa yang dilakukan oleh Jokowi untuk membebaskan daerahnya dari topeng monyet adalah tindakan yang manusiawi namun akan lebih manusiawi bila pawang topeng monyet diberdayakan dalam segi pendidikan dan pekerjaan. Dan para monyet itu juga akan berterima kasih kepada Jokowi bila Jokowi mengingatkan kepada pemerintah dan swasta agar kawasan habitat monyet tidak dialihfungsikan. Hilangnya habitat monyet membuat para monyet mencari ‘pekerjaan’ kepada manusia untuk bersirkus dalam topeng monyet.
Dari artikel Sahabat Ardi Winangun @ http://kompasiana.com
Ya cara pandang pemerintah DKI adalah topeng monyet adalah faktor menganiaya hewan. kasihan juga bagi pawangnya. sehari hanya dapat 40 hingga 80 ribu, nah kalau beaya hidup di Jakarta yang tinggi, segitu ya mepet banget
BalasHapusKalu lewat di bawah flyofer matraman, sering saya liat monyet2 di siksa... kasihan... mereka di suruh ngemis...
BalasHapusya, terkadang ada yang menitikkan air mata, namun tidak semua bisa melihat betapa sakitnya mereka (monyet) ...
Hapus