Pura Dharma Sidhi |
Sanghyang Rare Angon, Pengembala Pikiran. Setelah tiang menyelesaikan menyusun buku sejarah Berdirinya Pura Dharma Sidhi Ciledug Tangerang, yang tiang susun berdasarkan fakta sejarah berupa dokumentasi, literatur, dan yang utama dari hasil wawancara kepada para pelaku sejarah, sekaligus sesepuh serta pendiri. Buku tersebut telah pula dicetak yang hanya bersifat intern banjar Ciledug saja. Buku ini merupakan buku pertama tiang dalam menulis, dan menjadi kebanggaan tersendiri. Tiang mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pandita, Pinandita, Pendiri, Umat di wilayah Ciledug dan Sekitarnya yang telah membangun sebuah Pura yang sangat megah dan berperan sangat penting bagi umat Hindu di wilayah ini.
Kembali ke Sanghyang Rare Angon, Pengembala Pikiran. Blog yang tiang buat sejak tahun 2010 ini memiliki nama Rare Angon. Namun terus terang tiang baru menyadarinya sekarang, setelah membaca buku Sakti Sidhi Ngucap, karya Putu Yuliantara. Kita adalah sebagai perwujudan sanghyang rare angon. Ini merupakan salah satu nasehat yang sangat kaya dari lontar-lontar Bali, dimana kita disebut sebagai perwujudan sanghyang rare angon, atau bocah pengembala, yang mana tugas kita adalah mengembalakan pikiran, perasaan, perilaku dan kesadaran kita agar bisa secara bersama-sama dan beriringan mengantarkan kita pada kehidupan yang membahagiakan (jagathitta) dan kesadaran spiritual (moksartam). (buku Sakti Sidhi Ngucap, hal 30)
Sakti Sidhi Ngucap |
Sebagai seorang rare angon, sebagai seorang yang sedang mengembalakan diri, mengembalakan pikiran, perasaan dan perilaku dan mengarahkannya pada tujuan yang ingin dicapai. Ilmu yang menjaga kita agar ada di ladang-ladang "yang sesuai", bukan malah tersesat dalam kehilangan arah dalam kehidupan sehingga kita bahkan menjadi "santapan" berbagai keliaran yang ada di dalam diri dan kehidupan.
Sebagai seorang rare angon kita tentu memiliki batasan seluas apa padang pengembalaan kita. Namun, pagar pembatas tersebut sering kali terlalu sempit, bukan karena memang kita memiliki pagar yang sempit, namun karena kita sendiri yang memenjarakan diri dalam padang sempit tersebut dengan pola pikir dan cara-cara hidup yang membatasi diri, kita sendiri yang mempersempit "pintu akal" kita sehingga apa-apa menjadi "tidak masuk akal".