STATUS DAN KEDUDUKAN DIKSITA
Seseorang yang telah di Diksa diberi status dan
kedudukan sebagai seorang Sulinggih di masyarakat. Sulinggih berarti mendapat
kedudukan dan status yang mulia di masyarakat. Umat Hindu sangat menghormati
seorang Sulinggih karena dia telah mencapai kesucian diri lahir bathin ( DwiJati ) dan tidak lagi berstatur Walaka melainkan sudah berstatus Sadhaka.
Parahyangan Agung Jagatkartta Gunung Salak |
Upacara Mediksa selain bertujuan
meningkatkan kesucian diri pada tingkatan Dwi Jati juga mempunyai nilai
sosiologis karena yang Mediksa itu berubah status sosialnya di masyarakat yaitu
dari Walaka menjadi Sadhaka.
Pada Upacara Mediksa ini seseorang
akan berubah nama yang disebut Amarih Aran, berubah wujud dan penampilan serta
atribut yang disebut Amarih Wesa dan juga berubah aktivitas kehidupan
sehari-hari yang disebut Amarih Wisaya. Perubahan Jati Diri itu menyebabkan
terjadi perubahan sikap, pandangan dan perilaku masyarakat Hindu terhadapnya
sebagai suatu konsekwensi logis dari pengakuan dan penghormatan masyarakat
Hindu terhadap status dan kedudukan Sulinggih.
Kedudukan, status Diksita atau
Sulinggih telah melembaga pada masyarakat Hindu sejak jaman dahulu dan terus
berlanjut sampai sekarang. Karena itu ada tata krama yang berlaku bagi seorang
Diksita atau Sulinggih. Tata krama itu haruslah ditegakkan di dalam masyarakat.
Jika tidak maka tata titi atau tata kemasyarakatan Hindu dan tata keagamaan
Hindu akan memudar. Pudarnya tata kemasyarakatan Hindu akan menyebabkan tidak
tertibnya kehidupan masyarakat. Juga pudarnya tata keagamaan akan mendorong
munculnya sekularisme dan profanisasi dalam agama. Ini jelas merupakan titik
awal dari pudarnya kehidupan agama itu sendiri.
Sebaliknya bukan masyarakat Hindu
saja yang dituntut menegakkan kemasyarakatan dan tata keagamaan dalam kontek
hubungan Umat dengan seorang Diksita atau Sulinggih. Tetapi juga terhadap para
Diksita atau Sulinggih itu sendiri dituntut juga keteguhan dalam melaksanakan
Dharmaning Kepanditan dan taat terhadap Sasana Kawikon. Sasana Kawikon harus
ditaati dan jangan s ekali-sekali Wiku melanggar
sesananya. Ini akan berakibat fatal.
( Asing angelung sasana ngawetuaken sanghara bumi ).
Menurut Pustaka Tutur Kamoksan bahwa
Diksita atau Sulinggih itu adalah paragayan Sanghyang Dharma. Beliau adalah
lambang kebenaran dan beliau pula penegak Dharma di bumi ini. Karena itulah
beliau membawa tongkat (Teteken) sebagai simbul dari pada Dandha Astra dari
Bhatara Brahma. Selain ini juga beliau telah meninggalkan kehidupan Grahasta
yang penuh dengan dinamika kehidupan duniawi. Karena beliau merupakan paragayan
Sanghyang Dharma maka beliau menjadi panutan Umat Hindu.
Mengenai tugas dan fungsi setelah
menjadi Wiku ada persepsi yang keliru. Karena Ngeloka Pala Sraya itu dianggap
muput karya saja, sehingga tujuan Mediksa itu adalah untuk muput karya saja.
Tugas dan fungsi Wiku sebenarnya adalah :
1. Wiku
bertugas dan berfungsi memimpin Umat Hindu dalam upaya mencapai kesejahteraan
dan kebahagiaan baik jasmani maupun rohani.
2. Wiku
melaksanakan tugas dan fungsinya untuk Ngeloka Pala Sraya.
Loka artinya masyarakat. Pala
artinya tempat bersandar masyarakat dan Sraya artinya tempat berlindung. Ini
artinya Wiku menjadikan dirinya tempat bertanya bagi masyarakat mengenai
hal-hal keagamaan maupun kerohanian juga Sastra. Memberi tuntunan bidang rohani
dan memberi petunjuk dan bimbingan dalam hal keagamaan, muput upacara Yadnya
atas permintaan masyarakat. Wiku tidak diperbolehkan meminta agar dirinya
sendiri disuruh Muput Karya.
Pengertian
tentang Diksita, Wiku atau Sadhaka
Menurut Pustaka Bhuwana Kosa bahwa
kata sepadan dengan Diksita atau Sadhaka itu adalah Wiku. Wiku guna menunjukkan
kewajiban dalam memelihara kesucian hati. Rsi mencerminkan kewajiban dalam
memelihara sinar suci dalam dirinya. Yogiswara menunjukkan bahwa dia mampu
menghubungkan diri yaitu Atma dengan Paramatma dalam hidupnya untuk mencapai
Moksa. Pandita lebih menyatakan bahwa kewajibannya untuk meningkatkan
pengetahuan suci dalam hidupnya. Sedangkan Sadhaka sendiri mencerminkan bahwa
dia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan sadana dalam menempuh kehidupannya.
Dalam Pustaka Widhi Sastra RogaSanghara muncul istilah Bujangga sama dengan pengertian Sadhaka. Bujangga
mencerminkan sebagai kewajibannya sebagai pemuja Ananta Bhoga pada wilayah
Sapta Patala soring Hari Bhawana.
Dalam Pustaka Raja Purana timbul
istilah Siwa, Bhoda, Sengguhu, Dukuh. Siwa mengisyaratkan bahwa Sadhaka itu
sebagai pemuja Siwa dan Bhoda sebagai pemuja Bhuda. Sengguhu sebagai Sadhaka
yang menjalankan kewajiban sebagai pembina masyarakat. Sedangkan Dukuh menekankan pada kehidupan yang cendrung kepada
kesunyatan. Sementara Siwa, Sogata, dan Rsi menunjuk kepada kelompok Sadhaka
dalam kesatuan tiga yang populer dengan sebutan Tri Sadhaka.
Menurut Babad Dalem muncul istilah
Pandhya, Mpu dan Danghyang. Selain istilah-istilah yang sudah dikenal. Dengan
Pandhya dimaksudkan sebagai Sadhaka yang menguasai pengetahuan kerohanian. Mpu
menekankan pada kedudukannya sebagai pengemban masyarakat. Sedangkan Danghyang
dimaksudkan sebagai Sadhaka yang punya kedudukan terhormat berkat penguasaan
tentang kerohanian yang tinggi.
Dalam Pustaka Dwijendra Tatwa timbul
istilah Padanda dan Bhagawan disamping yang lainnya. Dengan Padanda dimaksudkan
Sadhaka yang bertongkatkan Sastra. Sedangkan Bhagawan dimaksudkan sebagai
Sadhaka yang mampu mencapai kebahagiaan berkat penguasaan kerohanian yang
tinggi.
sumber :Makalah Ida Padanda Nabe Gede Putra Sidemen Dharma Upapati Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Banten.